S1 2014 285371 Chapter1 PDF
S1 2014 285371 Chapter1 PDF
PENDAHULUAN
1
2
beberapa parameter desain pada penambangan batubara terbuka (open pit) di daerah
Indragiri Hulu, Riau.
I.3. Tujuan
Tujuan dari proyek ini untuk membuat desain jalur tambang dan desain pit
(open pit mining) secara digital menggunakan perangkat lunak surpac sesuai dengan
standar desain jalur, yang mempertimbangkan jenis kendaraan, kecepatan,
lengkungan (horisontal dan vertikal), elevasi (gradient), dan volume galian dan
timbunan.
I.4. Manfaat
Metode desain secara digital menggunakan perangkat lunak surpac dapat
memberikan alternatif dalam melakukan desain jalur (route design) tambang dan
penyajian jalur sesuai spesifikasi kendaraan yang akan melintas.
3
I.5.1.1. Letak Jalan Masuk dan Keluar. Suatu tambang yang baru, penting
diperhitungkan dimana letak jalan-jalan masuk dan keluar dari tambang untuk akses
yang baik ke lokasi pembuangan tanah penutup (waste dump) dan permukaan bijih
crusher. Kondisi permukaan bumi merupakan faktor penting dalam penentuan
berapa jalur (tinggi dan lebar) pada tiap level jalur (rute).
I.5.1.2. Lebar Jalan. Lebar jalan angkut biasanya 4 kali lebar truk. Lebar jalan
seperti di atas memungkinkan lalu lintas dua arah, ruangan untuk truk yang akan
menyusul, juga cukup untuk selokan penyaliran dan tanggul pengaman seperti pada
ilustrasi pada gambar I.1.
a. Lebar jalan lurus
Gambar I.1. menunjukkan alasan kenapa lebar pada jalan lurus yaitu 4 kali
karena untuk kepentingan keamanan saat 2 kendaraan terbesar melintas dari
dua arah. Penentuan lebar jalan angkut ditentukan dengan rumus (I.1).
L = n.Wt + (n + 1).(0,5.Wt) (I.1)
4
Keterangan :
L : lebar jalan angkut minimum (meter)
n : jumlah jalur
Wt : lebar alat angkut (meter)
Nilai 0,5 pada rumus di atas menunjukkan bahwa ukuran aman kedua
kendaraan berpapasan merupakan sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar
terbesar dari alat angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan
untuk jarak dari tepi kanan atau kiri jalan kealat angkut yang melintasi secara
berlawanan. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut perhitungan,
maka harus dilakukan perubahan karena selain dapat menghambat dalam
kegiatan pengangkutan juga berbahaya bagi keselamatan operator dan
kendaraan yang beroperasi (Suwandi, 2004).
I.5.1.3. Cross slope dari Jalam Masuk Permukaan Kerja. Tujuan dari
pembuatan cross slope adalah jika terdapat air pada jalan, maka air tersebut akan
mengalir pada tepi jalan. Cross slope didapat dari perbandingan y:x. Cross slope
dibuat dengan perbandingan 1:25 untuk jalan yang tidak berlapis salju atau jalan
yang materialnya masih bisa meresap air. Jika jalan belum memenuhi cross slope di
atas, maka perlu menimbun bagian tengah jalan, sehingga memenuhi persyaratan
cross slope. Perbandingan besarnya nilai x dan y disajikan dalam gambar I.3.
jalan terdalam karena perbedaan kemiringan. Tujuan dibuat superelevasi pada daerah
tikungan jalan angkut yaitu untuk menghindari atau mencegah kendaraan tergelincir
keluar jalan atau terguling. Superelevasi berguna untuk mengimbangi gaya
sentrifugal (gaya yang mendorong keluar dari pusat) sewaktu kendaraan melintasi
tikungan, dan menambah kecepatan. Penguraian besarnya resultan gaya yang bekerja
pada kendaraan di lintasan miring dapat dilihat pada gambar I.4.
Berdasarkan teori anti-Cos D.I.C. pada kondisi jalan kering nilai superelevasi
merupakan harga maksimum yaitu 60 mm/m sedangkan pada kondisi jalan penuh
lumpur atau licin nilai superelevasi terbesar 90 mm/m.
Secara matematis kemiringan tikungan jalan angkut merupakan perbandingan
antara tinggi jalan dengan lebar jalan. Besarnya kemiringan tikungan jalan dihitung
berdasarkan kecepatan rata-rata kendaraan dengan koefisien friksinya (e). Persamaan
yang digunakan untuk menghitung superelevasi yaitu :
Tan α = e = V2/(R.G) (I.4)
Keterangan :
V : kecepatan kendaraan saat melewati tikungan (m/s)
R : radius tikungan
G : gravitasi bumi = 9,8 m/s2
Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan salah satu faktor penting yang
harus diamati secara detil dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang. Hal
7
Keterangan :
∆h : beda tinggi antara dua titik yang diukur
∆x : jarak antara dua titik yang diukurvertical
Pada gambar I.5 arah dalam survai tangent sampai ke P.I. dinamakan tangen
permulaan (initial tangent) atau tangen belakang (back tangent), sedangkan tangen
sesudah P.I. dinamakan tangen muka (forward tangent). Permulaan dari busur
lingkaran di A dikenal dengan T.C (tangent to curve), ujung akhir di B, merupakan
C.T. (curve to tangent). Pada lengkungan sederhana T.C. dan C.T. sama jauh dari
P.I. jarak dari P.I. ke T.C. atau C.T. dinamakan jarak tangen (T), jarak dari titik
tengah K dari lengkungan dinamakan jarak luar (E), radius dari busur lingkaran
dinyatakan dengan R, L.C. merupakan panjang tali busur yaitu jarak T.C dengan
C.T.. M merupakan ordinat tengah yaitu jarak dari titik tengah C dari tali busur
panjang ke titik tengah K dari lengkungan.
Rumus-rumus dasar dapat diturunkan melalui gambar I.5 dalam segitiga siku-siku
VAO, jadi
T = R tan ½ I (I.6)
Dalam segitiga siku-siku VAO cos ½ I = R/(R +E), jadi R cos ½ I +E cos ½ I=
R. maka
E = R( (I.7)
Definisi tali busur (chord definition) dari D semula banyak digunakan untuk
jalan baja dan agak kurang untuk jalan raya, tetapi definisi busur digunakan dalam
praktek modern. Untuk definisi busur (arc definition), derajat lengkungan merupakan
sudut pusat dengan busur 100. Dinyatakan dengan Dα seperti diperlihatkan pada
gambar I.6.
Sesuai dengan proporsinya, Dα : 100 = 360° : 2πR didapat
Dα= (I.10)
Pada gambar I.7 lengkung vertikal direferensikan pada salib sumbu koordinat,
sumbu X dan Y. Pusat salib sumbu pada titik A (PC). Jarak pada sumbu X
dinyatakan dalam stasiun sedang tingginya (offset) dinyatakan dalam feet atau meter.
g1 dan g2 dalam persen (%) kemiringan dari tangen AV dan BV, tanda plus (+) untuk
kemiringan naik, dan tanda minus (–) untuk kemiringan menurun.
Keterangan :
A = g2 – g1 = perbedaan secara aljabar dalam % kemiringan dari tangen.
L = total jarak dari lengkungan, dalam stasiun
e = vertikal offset (ft/m) dari vertek V atau PI ke tengah lengkungan.
11
y = kx2 (I.11)
d 2Y
kita dapatkan : = r = konstan (r = k)
dX 2
dY
di integralkan : = r.X+C (I.12)
dX
dY dY
apabila X= 0 maka = g1 ; bila X = L maka = g2 (I.13)
dX dX
g 2 g1
dan g1 = 0 + c, g2 = rL+c; atau r= (I.14)
L
dY g 2 g1
Dengan demikian, = . X g1 (I.15)
dX L
g g1 X
2
Di integralkan lagi, Y= 2 g1 X C ' (I.16)
L 2
1 g g1 2
y= - 2 . X (I.17)
2 L
1 g g1 2
y= 2 x (I.18)
2 L
1
Pada V , y = e dan x = L , kemudian
2
g g1 1
e= 2 .L = . A.L (I.19)
8 8
I.5.3. Luas
Luas atau area adalah besaran yang menyatakan ukuran dua dimensi suatu
bagian permukaan yang dibatasi. Perhitungan luas area penambangan batubara
sangat diperlukan dalam kaitannya proses perizinan pada instansi terkait. Luas yang
dimaksud dalam hal ini adalah luas yang dihitung dalam peta, yang merupakan
gambaran permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal, sehingga selisih tinggi dari
batas-batas yang diukur diabaikan (Basuki, 2006). Salah satu metode perhitungan
yang sering digunakan adalah penentuan luas dengan koordinat.
Pada gambar I.8 suatu bidang yang dibatasi oleh titik – titik A, B, C, D yang
diketahui koordinatnya : A (X1, Y1),B (X2, Y2),C (X3, Y3), dan D (X4, Y4).
Luas segi empat ABCD = luas trapesium A1ABB1 + luas trapesium B1BCC1 – luas
trapesium D1DCC1 – luas trapesium A1ADD1.
= 0,5 (X2 – X1) (Y2 + Y1) + 0,5 (X3 – X2) (Y3 + Y2) – 0,5
(X4 – X3) (Y4 + Y3) – 0,5 (X1 – X4) (Y1 + Y4).
I.5.4. Volume
Volume merupakan salah satu besaran yang menyatakan seberapa banyak
ruang yang bisa ditempati dalam suatu obyek. Perhitungan volume merupakan hal
yang sangat lazim khususnya dalam poses kegiatan penambangan. Kegiatan
menggali, menimbun, dan mengangkut membutuhkan biaya yang besar. Kegiatan
penambangan yang baik harus memperhatikan nilai ekonomis dari setiap kegiatan
khususnya yang terkait dengan volume, sehingga diperlukan kalkulasi yang benar
terhadap volume tanah maupun cadangan yang akan ditambang terkait SR (stripping
ratio) yang ditentukan (Meyer, 1980)
Perhitungan volume batubara di dunia pertambangan kebanyakan
menggunakan metode cut and fill dari dua surface (Aurelius, 2013). Prinsip
perhitungan metode cut and fill serupa dengan metode trapezoidal. Terdapat dua cara
yang dapat digunakan untuk menghitung volume dengan metode trapezoidal
(trapesium), yaitu rectangular dan triangular prism (pfilipsen, 2006). Gambar I.9
memperlihatkan geometri 3 buah triangular yang berimpit. Persamaan (I.23), (I.24),
dan (I.25) merupakan rumus triangular prism. Rumus untuk rectangular prism,
ditunjukkan oleh persamaan (I.26) dan (I.27).
hi2
hi1
hmi = (I.23)
Vi = Fi . hmi (I.24)
V =∑ Vi = Fi . hmi (I.25)
Keterangan :
i : segitiga ke – i
n : jumlah seluruh segitiga
hi1, hi2 : tinggi tiap titik pada suatu segitiga
hmi : tinggi rata-rata dari suatu segitiga
V : volume objek
Vi : volume dari satu segitiga
Fi : area dari suatu segitiga
Hm = ∑ ( (I.26)
V = F . (hm – ho) (I.27)
Keterangan :
Hm : tinggi rata-rata semua verteks
Gi : jumlah persegi panjang di sebelah verteks
Hi : tinggi verteks
N : jumlah seluruh persegi panjang
V : volume dari seluruh objek
F : luas area dari seluruh objek
Ho : tinggi dari bidang referensi horisontal (Witte, 1995) dalam
(Pfilipsen, 2006)
I.5.5.1. Contour Mining. Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada
penambangan batubara yang terdapat di pegunungan atau perbukitan dengan
batubara yang tersingkap sejajar dengan kemiringan gunung. Penambangan batubara
15
dimulai dari singkapan lapisan batubara di permukaan atau crop line dan selanjutnya
mengikuti garis kontur sekeliling bukit atau pegunungan tersebut seperti pada
gambar I.10.
I.5.5.2. Open Pit. Open pit mining merupakan penambangan secara terbuka
dalam pengertian umumnya. Metode ini dilakukan dengan cara mengupas terlebih
dahulu lapisan material penutup batubara kemudian dilanjutkan dengan menambang
batubaranya (Tebay, 2011).
I.5.6.1. Kemiringan Jenjang (Batter). Pada awalnya sebuah desain pit dibuat
dengan overall slope sebesar 45° dan kemudian dimodifikasi berdasarkan informasi
geoteknik dari material yang ada dalam pit tersebut. Batter dapat diatur pada
kemiringan 30-35% untuk overburden, meningkat 35-45° untuk batuan yang lapuk
dan hingga 55° untuk batuan fresh.
atau derajat iklimnya. Lereng pada overburden yang lemah atau tidak terkonsolidasi
atau pada tanah yang terekspos relatif lebih tipis kurang lebih 2-5 m. Hal tersebut
menunjukkan lebar range dari beberapa badan bijih memiliki variasi ketinggian
lereng 6-20 m pada operasi tambang yang besar. Pada kegiatan produksi dengan
kapasitas 10.000 ton/hari ketinggian lereng dibuat sebesar 9 m pada continental pit,
butter, dan Montana. Pada beberapa jenis batuan yang lain lereng dapat dirancang
berketinggian 12 m pada alluvium hingga ketinggian 24 m pada batuan kompeten.
I.5.6.3. Lebar Berm. Faktor ini biasanya mengikuti proses desain setelah
kedalaman pit bottom didefinisikan. Jalan angkut dirancang pada jenjang dasar
kemudian mengikuti naiknya jenjang ke arah permukaan dengan gradient
(kemiringan) berkisar antara 8-12 %. Ramp ini dapat berupa jalan lingkar yang
melingkar ke atas melalui dinding pit atau swich back yang hanya melalui salah satu
dinding pit (kemungkinaan keberadaannya dikarenakan kekuatan material pada
dinding tersebut atau kapasitas muat angkutnya yang cukup besar).
I.5.7.1. Format File Data. Format file data yang dapat digunakan dalam
perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu :
a. Supac Files formatnya meliputi .mdl, .DTM, .str
b. Block Model Files formatnya meliputi .eco, .con, .res, .mod, .mdl, .fbm,
.bmr
c. Database Files formatnya meliputi .txt, .csv, .rej, .dbc, .sdb, .dsc, .ddb
d. Plotting Files formatnya meliputi .pf, .lf, .cf, .dwf
e. Macro And Script Files formatnya meliputi .tbc, .cmz, .cmd, .tcl
18
I.5.7.4. Pembuatan Kontur. Pembuatan kontur dalam format .str dibentuk dari
data interpolasi DTM dalam format .dtm. Beberapa tool yang digunakan dalam
pembuatan DTM dan boundary pada perangkat lunak Surpac 6.1.2 Gemcom, yaitu :
contour dtm in layer, contour dtm file, smooth string file, dan smooth strings in layer.
19
MTD dalam perkembangannya digunakan oleh praktisi sipil untuk desain yang
berkaitan langsung dengan permukaan bumi (topografi). Desain lengkungan vertikal
membutuhkan data topografi yang dimodelkan secara matematis salah satunya DTM,
dari data DTM tersebut orang sipil dapat memperkirakan juga berapa volume dan
jari-jari yang dibutuhkan sehingga tercapai suatu keselamatan desain dan tercapainya
nilai ekonomis.Gambar I.13 memperlihatkan contoh DTM topografi daerah Indragiri
Hulu, Riau yang telah diclip.
a 13Gambar I.13. Clipping area dari DTM topografi daerah Indragiri Hulu, Riau