Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya. Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring

dengan perubahan pola hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat

terutama di kota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian

komplikasi DM juga akan meningkat.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2013

menunjukan bahwa saat ini terdapat 382 juta penduduk dunia yang menderita

diabetes. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta penduduk

pada tahun 2035. Prevalensi DM sendiri mulai mengalami kenaikan pada awal

dekade 1990-an, seiring dengan meningkatnya angka kejadian DM terus

meningkat, baik di negara berkembang seperti India, maupun di negara maju

seperti Amerika Serikat.

Test glukosa darah puasa (GDP) merupakan salah satu cara untuk

diagnostik DM pada seseorang. Pada DM, glukosa tidak siap untuk ditransfer ke

dalam sel, sehingga terjadi hiperglikemia sebagai hasil bahwa glukosa tetap

berada di dalam pembuluh darah . Pada penyandang DM manifestasi komplikasi

kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa

kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung. Pada

pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada


pembuluh darah serebral, jantung dan pembuluh darah perifer. Komplikasi lain

DM dapat terjadi penurunan fungsi respon imun yang mengakibatkan lebih

mudahnya terkena berbagai macam infeksi. Pada penderita DM juga terjadi

komplikasi pada semua tingkat sel, salah satunya timbul proses angiopati dan

penurunanan fungsi endotel. Keadaan ini sangat berperan pada faktor

terlambatnya proses penyembuhan luka.

Infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian

glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar

glukosa darah yang tinggi meningkatkan kerentanan atau mempeburuk infeksi.

Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat

munculnya lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi pathogen,

menurunkan produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis

dan aktifitas fagositik, seta kerusakan fungsi neutofil, glikosuia dan dismotilitas

gastrointestinal dan saluran kemih.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tuan. ST
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tropis
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
No RM : 12-91-95

Tgl Masuk : 14 November 2017

2.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama

Merasa lemas sejak ± 3 hari yang lalu

b. Telaah

Os datang ke IGD RSU kabanjahe dengan keluhan merasa sangat

lemas sejak ± 3 hari yang lalu. Lemas dirasakan semenjak nafsu

makan os berkurang. Os juga mengelukan mual sejak ± 2 hari

tanpa disertai muntah. Kemudian os juga mengeluhkan pipi kanan

bengkak ± 1 minggu yang lalu, awalnya kecil seperti jerawat

kemudian digaruk, dan dirasakan semakin cepat membesar dan

bernanah, os mengaku sebelumnya memakan ikan asin kemudian

terasa gatal pada bagian wajah. Os merasa karena adanya benjolan

tersebut nafsu makan berkurang. Os juga mengeluhkan kedua kaki

3
terasa kebas dan kedua tangan terasa berpasir. Pada saat di IGD di

lakukan pemeriksaan KGD sewaktu didapatkan 620 mg/dl.


Os mengatakan bahwa pada tahun 2016 os pertama kali

mengetahui bahwa kadar gula darahnya tinggi dengan kisaran 300

mg/dl. Os mengatakan saat itu sering merasa haus dan sering

merasa lapar walaupun sebelumnya os sudah makan namun berat

badan os justru dirasakan menurun dan os juga mengatakan sering

terbangun malam hari untuk buang air kecil.


c. Riwayat Penyakit Dahulu
DM sejak 1 th yang lalu

TB Paru pengobatan hanya 4 bulan


Asam Urat.
d. Riwayat Pengobatan

OHO
OAT tidak tuntas (4 bulan)
e. Riwayat Keluarga
Tidak ada
f. Riwayat habituasi

Minum teh manis rutin sehari 2x

Merokok ± ½ bungkus

2.3 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang


b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan darah : 130/80 mmHg
d. Nadi : 73 x/i
e. Respirasi : 20 x/i
f. Suhu tubuh : C
g. Status gizi : BB : 45 kg TB : 165 cm
IMT : 16,5 (Underweight)

2.4 Status Generalisata

a. Kepala
Bentuk : Normochepali

4
Rambut : Kehitaman disertai uban
Muka : Bengkak pada pipi sebelah kanan,

hiperemis, bernanah dan nyeri tekan (+)


Diameter ± 4x3,5 cm
b. Mata
Konjungtiva anemis : - / -
Sklera ikterik :-/-
Oedem :-/-
Tampak cekung :-/-
c. Telinga
Nyeri tekan tragus :-/-
Serumen :-/-
d. Hidung
Deviasi septum :-/-
Sekret :-/-
e. Mulut
Bibir kering :-
Bibir pucat :-
Lidah kotor :-
f. Leher
Peningkatan JVP : Dalam batas normal
Pembesaran KBG : Dalam batas normal
Pembesaran thyroid : Dalam batas normal
g. Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada pernafasan tertinggal
Palpasi : Stem Fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi ST : Vesikuler + / +
SP : Ronchi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis
Palpasi : Tidak teraba ictus cordis
Perkusi : Dalam batas Normal
Auskultasi : Murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-) hepar dan lien

tidak teraba
Perkusi : Thympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

i. Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+)
Edema (-/-)
Gangguan sensasi raba (+/+)

5
Inferior : Akral hangat (+/+)
Edema (-/-)
Gangguan sensasi raba (+/+)

2.5 Anjuran

Cek Darah Rutin Lipid pofile


Urinalisa EKG
HbA1c USG
RFT Foto thoraks
KGDN
KGD N 2 jamPP

2.6 Resume

Os lemas sejak ± 3 hari yang lalu. Mual (+) muntah (-) Nafsu makan

menurun (+). Benjolan di pipi kanan sejak ± 1 minggu yang lalu semakin

membesar dan bernanah dengan diameter ± 4x3,5 cm. Kedua kaki terasa

kebas (+) dan kedua tangan terasa berpasir. KGD sewaktu didapatkan 620

mg/dl saat masuk RS.


Memiliki Riwayat Penyakit Dahulu :
-DM sejak 1 tahun yang lalu dengan gejala sering merasa lapar dan haus,

dan juga sering terbangun malam hari untuk BAK. Berat badan menurun

(+).

-TB Paru pengobatan tidak tuntas


-Asam Urat

2.7 Status Generalisata

Muka : Bengkak pada pipi sebelah kanan, hiperemis, bernanah dan

nyeri tekan (+) diameter ±4x3,5 cm


Ekstremitas :
Superior : Gangguan sensasi raba (+/+)
Inferior : Gangguan sensasi raba (+/+)

2.8 Diagnosis Banding

DM Tipe 2 dengan abses facialis

6
DM Tipe 1 dengan abses facialis

2.9 Diagnosis Kerja

DM Type 2 dengan Abses Facial Dextra

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Non medikamentosa

Bed Rest
Diet DM 1500 Kcal

2.10.2 Medikamentosa

IVFD RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime 1gr/12 jam (ST)
Inj Ranitidin amp/12jam
Novomix 2x8 IU
Glimepirid 4mg 1x1
Sucralfat syr 3xC1
Debridement Abses

Follow Up

Tanggal, 14 November 2017

Keluhan : Pipi bengkak dan bernanah, nafsu makan berkurang, lemas (+)
Vital Sign Tekanan Darah : 188/106 mmHg
Nadi : 88x/i
Pernapasan : 22x/i
Suhu : 37,3ºc
Terapi : Inf RL 20 gtt/i
Inj Levofloxacin 1 gr/ hr
Domperidone tab 2x1
Omeprazole tab 1x1
Amlodipin 10mg 1x1
Anjuran : Darah Rutin
Leukosit : 22.740
Hb : 11,8 g/dl
KGD Sewaktu : 620 g/dl

Tanggal, 15 November 2017

7
Keluhan : Bisul di pipi kanan sejak 3 hari, lemas (+), mual (+)
RPT DM
RPO Tidak Jelas
Vital Sign Tekanan Darah : 130/85 mmHg
Nadi : 73x/i
Pernapasan : 20x/i
Suhu : 36,7ºc
Terapi : Bedrest
Diet DM 1500 Kcal
Inf RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime 1 gr/ 12 jam (ST)
Inj Ondancentron amp/ 8 jam
Inj Ranitidin amp/ 12 jam
Anjuran : (-)

Tanggal, 16 November 2017

Keluhan : Mual (-), Tidak selera makan


Vital Sign Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/i
Pernapasan : 20x/i
Suhu : 36,5ºc
Terapi : Bedrest
Diet DM 1500 Kcal
Inf RL 20 gtt/I
Inj Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
Inj Ondancentron amp/ 8 jam
Inj Ranitidin amp/ 12 jam
Anjuran : KGD Sewaktu : 620 g/dl

Tanggal, 17 November 2017

Keluhan : Kedua kaki terasa kebas, kedua tangan terasa berpasir, sulit
tidur, nafsu makan berkurang
Vital Sign Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 52x/i
Pernapasan : 29x/i
Suhu : 36ºc
Terapi : Bedrest
Diet DM 1500 Kcal
Inf RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
Inj Ondancentron amp/ 8 jam
Inj Ranitidin amp/ 12 jam
Novomix 2x8 IU
Glimepirid 4mg 1x1

8
Anjuran : KGD 2jam PP : 384 g/dl

Tanggal, 18 November 2017

Keluhan : Kedua kaki terasa kebas, kedua tangan terasa berpasir, sulit
tidur, nafsu makan berkurang
Vital Sign Tekanan Darah : 120/60 mmHg
Nadi : 84x/i
Pernapasan : 22x/i
Suhu : 36ºc
Terapi : Bedrest
Diet DM 1500 Kcal
Inf RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
Inj Ondancentron amp/ 8 jam
Inj Ranitidin amp/ 12 jam
Novomix 2x8 IU
Glimepirid 4mg 1x1
Anjuran : (-)
Tanggal, 20 November 2017
Keluhan : Lemas (-), tidur kurang nyenyak, nafsu makan sudah mulai
membaik
Vital Sign Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 84x/i
Pernapasan : 24x/i
Suhu : 36,8ºc
Terapi : Bedrest
Diet DM 1500 Kcal
Inf RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
Inj Ondancentron amp/ 8 jam
Inj Ranitidin amp/ 12 jam
Novomix 2x8 IU
Glimepirid 1mg 1x1
Anjuran : KGD Sewaktu : 120 g/dl

Tanggal, 21 November 2017

Keluhan : KU Stabil
Vital Sign Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 80x/i
Pernapasan : 24x/i
Suhu : 36ºc
Terapi : Novomix 2x8 IU
Glimepirid 1mg 1x1
Gabexal 1x1
Levofloxacin 1x500mg

9
Sucralfat Syr 3xC1
OMZ 2x1
Anjuran : KGD Sewaktu : 129 g/dl

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya.

3.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Saat ini diperkirakan terdapat 285 juta penduduk dunia yang menderita

diabetes, meningkat dibandingkan tahun 2008 ketika penderita diabetes mencapai

246 juta penduduk. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 380 juta

penduduk pada tahun 2025, atau setara dengan 7,1% dari total penduduk dewasa

pada tahun tersebut.

Akan meningkat lagi menjadi 439 juta penduduk pada tahun 2030.

Prevalensi Diabetes mellitus sendiri mulai mengalami kenaikan pada awal dekade

1990-an, seiring dengan meningkatnya pula prevalensi obesitas. Di berbagai

belahan dunia, angka kejadian diabetes mellitus terus meningkat, baik di negara

berkembang seperti India, maupun di negara maju seperti Amerika Serikat.

Jumlah penderita DM di India meningkat tiga kali lipat dalam jangka waktu 14

10
tahun dari tahun 1989-2003. Di Amerika Serikat (AS), Prevalensi DM

diperkirakan akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2050, dari sebelumnya

5,6% pada tahun 2005, dan prevalensi pada penduduk usia 65 tahun ke atas

diprediksi akan meningkat menjadi 20,1% pada tahun 2050 dari sebelumnya

12,9% pada tahun 2010.

3.3 Patofisiologi Diabetes Melitus

Gula dari makanan yang masuk melalui mulut dicerna di usus, kemudian

di serap ke dalam aliran aliran darah. Glukoasa ini merupakan sumber energi

utama bagi sel tubuh di otot dan jaringan. Agar dapat melakukan fungsinya,

glukosa membutuhkan ”teman” yang di sebut insulin. Hormon insulin ini di

produksi oleh sel beta di pilau langerhans (islets of langerhans) dalam pankreas.

Setiap kali kita makan, pankreas memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke

dalam aliran darah. Ibarat kunci, insulin membuka pintu sel agar glukosa masuk.

Dengan demikian, kadar glukosa dalam darah menjadi turun.

Hati merupakan tempat penyimpanan sekaligus pusat pengolahan glukosa.

Pada saat kadar insulin meningkat seiring dengan makanan yang masuk ke dalam

tubuh, hati akan menimbun glukosa, yang nantinya dialirkan ke sel-sel tubuh

bilamana dibutuhkan.

Pada orang normal, setiap hari insulin dikeluarkan oleh sel beta pankreas

sebanyak 20-60 unit. Bila kebutuhan insulin sehari melebihi 60 unit maka ada

kemunkinan terjadi resistensi insulin. Beberapa penyebab terjadinya resistensi

insulin antara lain menurunnya jumlah reseptor insulin, adanya anti-insulin,

perusakan yang cepat di jaringan yang membutuhkan, dan sebagiannya. Apabila

ada gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan dalam

11
utilitiasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan

tersebut dikenal sebagai diabetes melitus. Khusus pada diabetes melitus tipe 2,

yakni jenis yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa

disebabkan oleh dua faktor: tidak adekuatnya sekresi insulin secara kuantitatif

(defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin

(resistensi insulin). Sedangkan pada diabetes tipe 1, gangguan tersebut mutlak

hanya disebabkan defisiensi insulin. Gangguan metabolisme glukosa akan

berlanjut pada gangguan metabolisme dan protein serta proses kerusakan berbagai

jaringan tubuh.

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada

yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:

jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel

alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa),dan

otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya

gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.

Tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral

dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan

yang disebutnya sebagai the ominous octet (Gambar-1).

12
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2

ditegakkan,fungsi sel beta sudah sangat berkurang.


2. Liver : Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal

oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat.


3. Otot : Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga

timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis

glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa


4. Sel lemak : Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas

(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang

proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan

otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang

disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.


5. Usus : Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like

polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide

13
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-

2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal

tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga

hanya bekerja dalam beberapa menit.


6. Sel Alpha Pancreas : Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan

dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi

dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam

plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam

keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang

normal.
7. Ginjal : Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam

patogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gramglukosa sehari.

Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali

melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian

convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi

melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga

akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi

peningkatan ekspresi gen SGLT-2.


8. Otak : Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu

yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia

yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada

golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi

insulin yang juga terjadi di otak.

3.4 Klasifikasi

14
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010

(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (IDDM)

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas

karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau

tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level

protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama

sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM)

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi

insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan

karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh

jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah

tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah)

akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat

mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa

bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan

mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.

15
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu

gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-

lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa

berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi

komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada

defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik,

infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.

4. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana

intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan,

biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional

16
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita

DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM

yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

3.5 Gejala Klinis Diabetes Melitus

Gejala Diabetes Melitus Tipe-1 di antaranya adalah:

a. Merasa sangat haus


b. Merasa sangat lapar
c. Kelelahan/letih
d. Pandangan kabur
e. Mati rasa atau merasa gatal pada kaki
f. Kehilangan berat badan tanpa berusaha
g. Sering buang air kecil

Selain itu, gejala berikut ini juga dapat muncul pada penderita DM Tipe-1,

atau muncul bila kadar gula darah sangat tinggi. Gejala tersebut adalah:

a. Napas dalam dan cepat


b. Kulit dan bibir kering
c. Wajah kemerah-merahan
d. Mual, muntah
e. Sakit pada perut

Gejala Diabetes Melitus Tipe-2 adalah sebagai berikut :

a. Infeksi pada ginjal, kandung kemih, atau kulit yang sering terjadi

dan memerlukan waktu lama untuk sembuh


b. Lelah, letih
c. Rasa lapar
d. Merasa sangat haus
e. Frekuensi buang air kecil lebih sering
f. Pandangan kabur
g. Merasa sakit atau mati rasa pada kaki atau tangan

Gejala diabetes mellitus gestasional adalah sebagai berikut:

a. Pandangan kabur
b. Lelah, letih
c. Seringnya terjadi infeksi, di antaranya pada kandung kemih,

d. vagina, dan kulit

17
e. Merasa sangat haus
f. Sering buang air kecil
g. Mual dan muntah
h. Penurunan berat badan, meskipun nafsu makan meningkat.

3.6 Diagnosa Diabetes Melitus

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa

darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah

yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. untuk diagnosis, pemeriksaan

yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah

seyognyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpecaya (yang melakukan

program pemantauan kenadali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai

dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena

ataupun apiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang

berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat

diperiksa glukosa darah kapiler.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengindetifikasi mereka yang

tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. (serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif,

untuk memastikan diagnosis definitif)

PERKENI membagi alur diagnostik DM menjadi dua bagian besar

berdasarkan ada tidaknya gejala has DM. apabila di temukan gejala khas DM,

pemeriksaan glukosa darah abnormal 1 kali saja sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis, namun apabila tidak di temukan gejala khas DM, maka di perlukan 2

18
kali pemeriksaan abnormal. Diagnosis DM juga dapat di tegakkan melalui cara

pada tabel 2.

Tabel .2 Diagnosis DM

No Kriteria
1 Gejala klasik Dm DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/ dL
(11.1mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada pada


suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2 Atau
Gejala klasik Dm + glukosa plasma puasa >126 mg/ dL (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa yang


setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan

sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan

kegiatan jasmani seperti biasa


b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan


c. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB

(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam

waktu 5 menit
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai


f. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat

dan tidak merokok

19
h. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi

menjadi 3 yaitu:
 Normal : <140 mg/dL
 Toleransi Glukosa Terganggu : 140 - <200 mg/dL
 Diabetes : >200 mg/dL

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan

Indeks Massa Tubuh (IMT) >25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut:

1. Aktivitas fisik kurang


2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree

relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native

American dll)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau

riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)


5. Hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat

anti hipertensi)

20
6. Kolestrol HDL <35 mg/dL atau trigleserida >250 mg/dL
7. Wanita dengan sidrom polikistik ovarium
8. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah suara

terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas,

akantosis nigrikansi) dan


10. Riwayat penyakit kardiovaskular

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau

sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan

penyaringannya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun,

sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis

masing-masing pasien.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk

umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal,

rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang

mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain

(general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian

pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi

glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga

dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan

GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian

1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya

kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada

kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan

21
kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular,

hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat

diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan

primer dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi

glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat

diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart.

3.7 Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu

resiko DM sebagai berikut:

1. Usia > 45 tahun


2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam keluarga

22
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir

bayi > 4000 gram


6. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau TG ≥ 250 mg/dl

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan

GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien

dengan TGT dan GDPT merupakan tahap sementara menuju DM. setelah 5-10

tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM. 1/3 tetap

TGT dan 1/3 lainya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan

resistensi insulin. pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih

tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit

kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan

sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkindan

penegahan primer dan skunder dapat segera diterapkan.


Pemeriksaan penyaring dapat dialakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,

kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel 3. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Konsentrasi Plasma vena
glukosa < 100 100-199 >200

Darah Sewaktu Darah kapiler


(mg/dL) <90 90-199 >200

Konsentrasi Plasma vena


<100 100-125 >126
Glukosa Darah darah kapiler
<90 90-99 >100
Puasa (mg/dL)

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi

Glukosa

23
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200 mg/dl
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl
3. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah diberi

beban glukosa 75 gram pada TTGO.

3.8 Penatalaksanaan

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2,

dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM

tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali

faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM

tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan

pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan

jasmani dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

b. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang

memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya

edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan

motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi

diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk

mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali

masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat

masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit

secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang

diperlukan.

c. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,

perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,

24
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi

lemak.

d. Terapi Gizi Medis

e. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang

seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu,

dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah

makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat

45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g,

dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

f. Latihan Jasmani

g. Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama

kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik

seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani

selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

meningkatkan sensitifitas insulin.

h. Intervensi Farmakologis

i. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan

pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri

dari obat oral dan bentuk suntikan.

Obat yang saat ini ada antara lain:

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Pemicu sekresi insulin

a. Sulfonilurea

25
 Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas
 Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
 Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,

gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi


b. Glinid

 Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

 Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih

ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.

 Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:

a. Biguanid

 Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah

Metformin.

 Metformin menurunkan glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,

distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa

hati.

 Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita

diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi

insulin.

b. Tiazolidindion

 Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan

ambilan glukosa perifer.

26
 Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung

karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis

Biguanid (Metformin).

 Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga

mengurangi produksi glukosa hati.

 Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi

ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan

fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia

seperti pada sepsis

 Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia

seperti golongan sulfonylurea.

 Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna

(mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah

makan.

Penghambat glukosidase alfa

Acarbose

 Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

 Acarbose juga tidak mempunyai efek samping

hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.

 Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna

yaitu kembung dan flatulens.

27
 Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like

peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi

bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan

perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.

Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang

tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat

meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat

penglepasan glukagon.

2. Obat Suntikan

Insulin

a. Insulin kerja cepat

b. Insulin kerja pendek

c. Insulin kerja menengah

d. Insulin kerja panjang

e. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik

 Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa

menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan

glukagon

 Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan

sulfonilurea

28
 Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti

mual muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat

dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).

Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang

terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan

melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat

terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan

GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-

beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan.

Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan

sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan

pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor

dapat diberikan saat makan atau sebelum makan. Bila dengan GHS dan

monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2

OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda,

misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi

terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang

pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2

OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin

kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.

Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian

29
OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini

diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan

insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah

prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang

terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana selengkapnya dapat

dilihat pada gambar 2. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan

cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu

sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali

setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Kriteria pengendalian DM Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan

pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan

terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.

Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM ini dapat dilihat pada gambar

4. Metformin dan DM tipe 2 Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin

mempunyai beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah

melalui penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin

khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma.

Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas

insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan

invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity

dari reseptor dan transporter, supresi dari mitochondrial respiratory chain,

peningkatan insulin stimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine

kinase, stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic

pathways. 10 Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali

30
glikemik, tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman

mortalitas dan morbiditas justru datang dari berbagai komplikasi kronik tersebut.

Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan

hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi

endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi

lemak. Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki

sensitivitas insulin, dan mengurangi lemak viseral. Pada penderita perlemakan

hati (fatty liver), didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin

juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular.

Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga

mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf,

khususnya spatial memory function15 dan peranan proteksi Metformin dalam

karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena

berbagai macam kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal,

payudara, dan kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan

insidens keganasan pada pasien yang menggunakan Metformin. Pedoman

tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American Diabetes

Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan

the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of

Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai

monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin

dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih

minimal dan tidak meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini

pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study

31
(UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi

Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas.

3.9 Komplikasi diabetes melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi

akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua

kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

 Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai

normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada

penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu,

Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak

tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan

dapat mengalami kerusakan.

 Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah

meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,

Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto

asidosis.

b. Komplikasi Kronis

Komplikasi Makrovaskuler
 Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan

penumpukan lemak di dinding yang rusak dan

menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot

32
jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga

kematian mendadak bisa terjadi.


 Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang

dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih

dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada

orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di

kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes

berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat

mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping

diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang

sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan

pada pembuluh darah jantung.

 Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar

1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam

penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke

berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1%

and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

 Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan

keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan

ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya

serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko

33
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila

penderita diabetes juga terkena hipertensi.

 Gangguan Pada Hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak

makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan

ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri.

Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita

diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau

hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi

orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan

vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis

hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang

hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering

ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau

fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2

dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan

pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

 Penyakit Paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru

dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan

secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru,

demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

 Gangguan Saluran Cerna

34
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena

kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf

otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai

dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa

pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar

gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal

serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan

muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan

saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran

makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang

diminum.

 Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh

dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita

diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami

infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih

dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak

sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap

adanya infeksi.

Komplikasi Mikrovaskuler
 Kerusakan Saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak

dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit,

dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot

polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah

35
glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan

berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah

berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa

terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak

berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan

merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke

saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati

diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat

mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-

pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim.

Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana

yang terkena.

 Kerusakan Ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta

pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi

sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan

dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari

untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang

dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal,

racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya

dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang

terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi,

maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.

36
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan

neuropathy atau kerusakan saraf.

 Kerusakan Mata (Retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan

menjadipenyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada

mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina

mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang

sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh

darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan

transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar

dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi;

dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata

sehingga merusak saraf mata.

3.10 Infeksi

1. Definisi Infeksi

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi

didalam tubuh yang menyebabkan sakit. Infeksi adalah beberapa penyakit yang

disebabkan oleh pertumbuhan organisme patogenik dalam tubuh.

2. Etiologi infeksi

Tipe mikroorganisme penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

a. Bakteri

37
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan

spesies bakteri dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan

dapat hidup didalam tubuhnya. Bakteri bisa masuk antara lain

melalui udara, tanah, air, makanan, cairan dan jaringan tubuh dan

benda mati lainnya.

b. Virus

Virus terutama berisi asam nukleat (nukleat acid) karenanya harus

masuk dalam sel hidup untuk di produksi.

c. Parasit

Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok

parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda.

d. Fungi

Fungi terdiri dari ragi dan jamur

3. Tipe Infeksi

a. Kolonisasi

Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi

flora yang menetap/residen. Mikroorganisme bisa tumbuh dan

berkembang biak tetapi tidak bisa menimbulkan penyakit. Infeksi

terjadi ketika mikroorganisme yang menetap tadi sukses

menginvasi/menyerang bagian tubuh/host manusia yang sistem

38
pertahanannya tidak efektif dan pathogen menyebabkan kerusakan

jaringan.

b. Infeksi lokal

Spesifik dan terbatas pada bagian tubuh dimana mikroorganisme

tinggal.

c. Infeksi Sistemik

Terjadi bila microorganisme menyebar kebagian tubuh yang lain

dan menimbulkan kerusakan.

d. Bakterimia

Terjadi ketika didalam darah ditemukan adanya bakteri.

e. Septikimia

Multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi

sistemik.

f. Infeksi akut

Infeksi yang muncul dalam waktu singkat.

g. Infeksi kronik

Infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama (dalam

hitungan bulan/tahun).

Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut :

a. Periode inkubasi

Interval antara masuknya pathogen kedalam tubuh dan munculnya

gejala pertama

39
b. Tahap prodromal

Interval dari awitan tanda dan gejala non spesifik (malaise, demam

ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini,

mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih

mampu menyebarkan penyakit ke orang lain.

c. Tahap sakit

Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap

jenis infeksi.

d. Pemulihan

Interval saat munculnya gejala akut infeksi.

6. Pertahanan terhadap infeksi

Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh

yang tinggal didalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa

pathogen. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan terhadap agen

infeksius. Flora normal, sistem pertahanan tubuh dan inflamasi adalah pertahanan

non spesifik yang melindungi terhadap mikroorganisme.

a. Flora normal

Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang ada pada

lapisan permukaan dan didalam kulit, saliva, mukosa oral dan

saluran gastrointestinal. Manusia secara normal mengekskresi

setiap hari triliyunan mikroba melalui usus. Flora normal biasanya

tidak menyebabkan sakit tetapi biasanya justru turut berperan

dalam memelihara kesehatan. Flora ini bersaing dengan

40
mikroorganisme penyebab penyakit untuk mendapatkan makanan.

Flora normal juga mengekskresi substansi antibakteri dalam usus.

Flora normal kulit menggunakan tindakan protektif dengan

menghambat multiplikasi organisme yang menempel dikulit. Flora

normal dalam jumlah banyak mempertahankan keseimbangan yang

sensitive dengan mikroorganisme lain untuk mencegah infeksi.

Setiap faktor yang mengganggu keseimbangan ini mengakibatkan

individu semakin beresiko mendapatkan penyakit infeksi.

b. Pertahanan sistem tubuh

Sejumlah sistem organ tubuh memiliki pertahanan unik terhadap

mikroorganisme. Kulit, saluran pernafasan dan saluran

gastrointestinal sangat mudah dimasuki oleh mikroorganisme.

Organisme pathogen dengan mudah menempel pada permukaan

kulit, di inhalasi melalui pernafasan atau dicerna melalui makanan.

Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan yang secara

fisiologis disesuaikan dengan struktur dan fungsinya.

c. Inflamasi

Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan

menghantarkan cairan, produk darah dan nutrien ke jaringan

interstisial ke daerah cidera. Proses ini menetralisasi dan

mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan memulai

cara-cara perbaikan jaringan tubuh. Tanda inflamasi termasuk

bengkak, kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya

41
fungsi bagian tubuh yang terinflamasi. Bila inflamasi menjadi

sistemik akan muncul tanda dan gejala demam, leukositas, malaise,

anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar limfe.

Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi

atau mikroorganisme. Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:

a. Respon seluler dan vaskuler

Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang

cidera berdilatasi, memungkinkan lebih banyak darah masuk dala

sirkulasi. Peningkatan darah tersebut menyebabkan kemerahan

pada inflamasi. Gejala hangat lokal dihasilkan dari volume darah

yang meningkat pada area yanginflamasi. Cidera menyebabkan

nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh mengeluarkan histamin,

bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan, protein

dan sel memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema

lokal. Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan

yang terinflamasi meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang

mengakibatkan nyeri.

b. Pembentukan eksudat inflamasi

Akumulasi cairan dan jaringan mati serta SDP membentuk

eksudat pada daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih

seperti plasma), sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau

purulen (mengandung SDP dan bakteri). Akhirnya eksudat disapu

melalui drainase limfatik. Trombosit dan protein plasma seperti

42
fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada tempat

inflamasi untuk mencegah penyebaran.

c. Perbaikan jaringan

Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang

sehat. Sel baru mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut

mencapai karakteristik struktur dan bentuk yang sama dengan sel

sebelumnya.

8. Tanda-tanda infeksi

Tanda-tanda infeksi antara lain :

a. Rubor

Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran

arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak

darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi

penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan

warna merah lokal karena peradangan akut.

b. Kalor

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.

Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang

memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang

lebih banyak daripada ke daerah normal.

c. Dolor

43
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat

merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif

lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang

meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.

d. Tumor

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar

ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-

jaringan interstitial.

e. Functio laesa

Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang. Functio

laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum

diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang

meradang.

3.11. Diabetes Melitus dengan Infeksi

a. Penyebab kerentanan diabetes melitus terhadap infeksi

Meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada diabetes melitus disebabkan

oleh berbagai faktor (multifaktorial), baik yang disebabkan oleh hiperglikemi

maupun gangguan immunitas. Salah satu bukti bahwa hiperglikemi sebagai salah

satu penyebab rentannya infeksi pada diabetes melitus ialah pada penderita

44
dengan ketoasidosis dimana ditemukan hiperglikemi berat sering ditemukan

komplikasi infeksi. Beberapa hal dapat menerangkan hiperglikemi sebagai

penyebab kerentanan infeksi pada diabetes melitus, yaitu :

1. Pembawa kuman

Penderita diabetes melitus ternyata lebih banyak kuman, jamur yang

mengidap di tubuhnya. Sebagai contoh penderita diabetes melitus khususnya

wanita sering disertai dengan infeksi jamur pada alat genitalia. Penderita dengan

kendali glikemik yang buruk sering dengan infeksi pada gigi dan mulut. Pada

keadaan hiperglikemi kuman gram positif akan lebih subur tumbuhnya, sedang

gram negatif kurang .

2. Gangguan fungsi sel neutrofil dan monosit

Hiperglikemi dapat mengakibatkan gangguan fungsi neutrofil dan

monosit. Gangguannya dapat berupa :

b. Pergerakan-chemotaxis

Neutrofil dan monosit pada diabetes mellitus terutama pada

keadaan hiperglikemi mempunyai pergerakan yang lebih

lambat.Beberapa peneliti bahkan menyebut bahwa pada

penderita diabetes melitus terlepas dari hiperglikemi atau

tidak,sel neutrofil dan monosit berperilaku malas dan disebut “lazy

leucocyte disorder”.

c. Kemampuan melengket menurun

Hiperglikemi juga menyebabkan menurunnya kemampuan

melengketnya neutrofil dan monosit dengan demikian

akan mengurangi daya kerja kerja sel tersebut.

45
d. Kemampuan fagositosis menurun

e. Menurunnya kemampuan membunuh kuman (killing).

Setelah neutrofil menangkap kuman (setelah proses fagositosis) maka

kuman akan dibunuh. Proses pembunuhan kuman (killing proses) terjadi pada

keadaan oksidatif dan non-oksidatif. Pada awal proses pembunuhan kuman selalu

dimulai dengan tahap oksidatif dan menggunakan radikal bebas toksik (toxic free

radicals) seperti superoksida, hydrogen peroksida. Dalam keadaan normal glukosa

yang masuk ke dalam sel neutrofil akan dimetabolisme melalui hexose

monomonophosphate shunt (HMP shunt). Proses HMP-shunt ini akan

menghasilkan NADPH yang dibutuhkan untuk menghasilkan radikal bebas

superoksida dan hidrogen peroksida yang dibutuhkan pada proses membunuh

kuman. Pada keadaan hiperglikemi maka sebagian dari glukosa akan

dimetabolisme melalui jalur polyol (polyol pathway). Enzim aldose reduktase

yang berperan pada jalur polyol akan menggunakan NADPH, dengan demikan

produksi superoksida dan hydrogen peroksida akan menurun dan berakibat

menurunnya proses pembunuhan kuman.

Infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian

glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar

glukosa darah yang tinggi meningkatkan kerentanan atau mempeburuk infeksi.

Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat

munculnya lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi pathogen,

menurunkan produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis

dan aktifitas fagoitik, serta kerusakan fungsi neutofil, glikosuia dan dismotilitas

gastrointestinal dan saluran kemih.

46
BAB IV

KESIMPULAN

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit metabolik yang dapat

menimbulkan berbagai komplikasi. Diabetes melitus sering disertai dengan infeksi

dan tidak jarang dengan infeksi berat / sepsis. Diketahui penderita diabetes

mempunyai kerentanan terhadap infeksi baik bakteri jamur maupun virus.

Penyebab kerentanan terhadap infeksi bersifat multifaktorial. Diketahui bahwa

47
hiperglikemi dapat menyebabkan perubahan pada sel netrofil maupun monosit

dalam hal menurunya kemampuan pergerakan, penempelan dan fagositosis sel.

Selain itu kemampuan membunuh kuman berkurang. Keadaan ini sangat

mempengauhi kualitas hidup penyandang DM sehingga perlu mendapatkan

perhatian seius dari semua pihak.

Sampai saat ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang

dapat menyembuhkan proses diabetes secara menyeluruh. Akan tetapi DM dapat

di kendalikan dengan baik, dengan cara diet, olahraga, dan dengan obat

antidiabetik. Modifikasi gaya hidup sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk

mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secaraa umum, diharapkan

dapat mencegahh dan menurunkan prevalensi DM baik di Indonesia maupun di

dunia dimasa yang akan datang.

48

Anda mungkin juga menyukai