Poli Gami

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa-bangsa dan agama-agama sebelum Islam memperbolehkan kawin dengan
jumlah perempuan yang sangat banyak, puluhan hingga ratusan, tanpa syariat atau
batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, ditentukan batas dan syarat-syarat
poligami itu.

Batasannya, Islam mengizinkan batas maksimal empat orang istri. Ghailan Ats-
Tsaqafi ketika masuk Islam, ia beristri sepuluh orang. Nabi saw pun berkata
kepadanya, “pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya” (Syafi’i, Ahmad,
Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daruquthni, dan Baihaqi).

Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa Isteri delapan atau lima
orang, Rasulullah saw melarang mempertahankan kecuali empat orang diantaranya.
Sedangkan perkawinan Rasulullah saw dengan sembilan isteri, ini adalah kekecualian
dari Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya.

Islam membolehkan seorang suami memiliki isteri lebih dari satu (berpoligami) tetapi
tidak mewajibkannya. Oleh karena itu islam tidak dengan mudah membolehkan
poligami. Ada beberapa syarat, ketentuan yang harus dipenuhi seorang suami bila
hendak melakukan poligami, diantaranya adalah sang suami harus memberikan tempat
tinggal yang layak dan memisahkan tempat tinggal itu dari isteri pertama, memberi
nafkah yang adil antara isteri-isteri, tidur secara adil diantara mereka dan
memperlakukan mereka dengan adil pula.

Dibawah ini akan kami jelaskan tentang pengertian poligami, dasar hukum, alasan-
alasan seseorang berpoligami, syarat berpoligami dan dampak negatif yang mungkin
timbul dari berpoligami.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Poligami?
2. Bagaimana Dasar Hukum Poligami?
3. Bagaimana Alasan Monogami Dan Poligami?
4. Bagaimana Syarat Yang Harus Dipenuhi Seseorang Yang Berpoligami?
5. Bagaimana Akibat Negatif Dari Berpoligami ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Poligami.
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Poligami?
3. Untuk Mengetahui Alasan Monogami Dan Poligami.
4. Untuk Mengetahui Syarat Yang Harus Dipenuhi Seseorang Yang Berpoligami.
5. Untuk Mengetahui Akibat Negatif Dari Berpoligami

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN POLIGAMI

Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy


adalah perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah
dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan
dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.

Istilah poligami berasal dari bahasa Inggris “poligamy” dan disebut “ta’addu
duzzaujaati” dalam hukum Islam, yang berarti beristeri lebih dari seorang wanita.

Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti
perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu.

B. DASAR HUKUM POLIGAMI


1. Hukum Menurut Al-Qur’an dan hadits

Sepakat ulama madzhab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil
dalam kehidupan rumah tangga, dibolehkan melakukan poligami sampai empat isteri,
al-Qur’an surat an-Nisa ayat tiga.

yang artinya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

2. Hadits Nabi SAW

Bahwasanya Rasulullah saw berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika ia masuk
Islam yang padanya ada 10 isteri, milikilah 4 isterimu dan ceraikanlah yang lainnya
(HR. An Nasaa’y).

2
Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa Isteri delapan atau lima
orang, Rasulullah saw melarang mempertahankan kecuali empat orang diantaranya.

Sedangkan perkawinan Rasulullah saw dengan sembilan isteri, ini adalah kekecualian
dari Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya.

Jelaslah bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan sembilan isterinya itu
tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab
kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadisnya dari kalangan
bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi SAW masih berusia muda. Tetapi
kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda
umur 40 tahun dan pasangan suami isteri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah
tangga benar-benar sejahtera dan bahagia dan mendapatkan keturunan, dua anak laki-
laki, tetapi meninggal masih kecil dan empat anak perempuan.

3. Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 (UU P)

Apakah memang poligami ini boleh, pantas atau tidak mungkin dilakukan. Terkait
dengan hal ini, kita lihat pasal 3 UU “ Pada asasnya seorang pria hanya boleh
memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Dengan demikian
pada dasarnya kita menjunjung tinggi keagungan cinta suami istri yang pada saat
melangsungkan pernikahan pertama kali berasal dari satu suami satu istri. Karena
memang tidak dimungkinkan pernikahan pertamakali diadakan antara satu suami
dengan beberapa istri. Namun demikian hukum di Indonesia memungkinkan untuk
memperistri wanita idaman lain bagi suami dan sangat dilarang keras bagi si istri
untuk mempersuami pria idaman lain alias poliandri.

Lebih lanjut pasal 4 berbunyi: Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan
dimaksud dalam ayat pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.


b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
C. ALASAN-ALASAN MONOGAMI DAN POLIGAMI

Setiap pilihan, baik monogami ataupun poligami, memiliki implikasi positif di


samping membawa konsekuensi resiko yang negatif. Karena umat manusia secara
fitrah mempunyai potensi positif dan negatif dari arah kedua kecenderungan tersebut.
Adanya watak cemburu kaum wanita, iri hati, dan suka mengeluh yang mudah timbul
dengan dalam kehidupan keluarga poligamis. Dengan demikian, poligami secara
empiris memang bisa menjadi sumber konflik antara isteri-isteri serta anak-anak dari
isteri-siterinya, maupun konflik antara isteri dan isteri serta anak-anaknya masing-
masing.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa alasan mengappa seseorang melakukan


monogami dan alasan mengapa seseorang pria melakukan poligami, diantaranya
adalah :

1. Alasan Monogami
a) Tidak sanggup berlaku adil
b) Tidak sanggup menafkahi

Surat An Nisa’ ayat 34 menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi


kaum perempuan. Dalam hadits disebutkan pula bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi keluarganya. Dan salah satu kewajibannya adalah
memberikan nafkah.

”Dan kalian wajib memberi nafkah kepada mereka (para istri) dan memberi
pakaian secara ma’ruf” (HR. Muslim)

Maka bagi laki-laki yang dengan satu istri saja tidak sanggup menafkahi
dengan baik, sebaiknya ia tidak melakukan poligami.

c) Tidak sanggup membahagiakan

Kebahagiaan adalah hal yang dirindukan oleh siapa saja. Termasuk oleh
orang yang menikah. Seorang perempuan mengharapkan bisa berbahagia
dalam pernikahannya. Demikian pula seorang laki-laki.

d) Tidak sanggup mengelola kecemburuan

4
Wanita adalah makhluk pencemburu. Kecemburuan antar-istri dalam
berumah tangga bahkan terjadi dalam kehidupan Nabi. Misalnya dalam
kisah Nabi Ibrahim, antara Hajar dan Sarah. Bahkan, dalam kehidupan
Rasulullah. Bagaimana sampai menjatuhkan nampang, dan sebagainya.

e) Tidak sanggup mengatur waktu

Jika seorang laki-laki khawatir tidak sanggup mengatur waktu dengan


bertambahnya istri, sebaiknya ia monogami saja. Menikah dengan lebih dari
satu istri artinya menambah kewajiban. Menambah jumlah orang yang harus
dipenuhi hak-haknya, bukan hanya masalah materi tetapi juga perhatian dan
kasih sayang yang seluruhnya membutuhkan waktu. Termasuk kepada anak-
anaknya dari seluruh istri.
2. Alasan Poligami
a) Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki untuk memperoleh keturunan dari
isteri kedua, jika isterinya yang pertama mandul.
b) Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak. Melacur, untuk menjadi
umpan dan permainan kaum laki-laki yang rusak. Muncullah pergaulan bebas
yang mengakibatkan banyaknya anak-anak haram, anak-anak temuan yang
kehilangan hak-hak secara materi dan moral, sehingga menjadi beban sosial bagi
masyarakat.
c) Untuk memberi kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapatkan
suami yang berfungsi untuk melindunginya, memberinya nafkah hidup serta
melayani kebutuhan biologisnya.
d) Untuk menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika isterinya tidak bisa di
kumpuli karena terkena suatu ppenyakit yang berkepanjangan.

Dari beberapa alasan poligami yang telah dikemukakan diatas, memberikan


keterangan bahwa poligami yang dibolehkan dalam islam harus berlandaskan
atau beralasan serta bertujuan untuk melindungi laki-laki dan perempuan, bukan
hanya memberi peluang laki-laki yang tukang kawin tanpa mau bertanggung
jawab.

5
D. SYARAT YANG HARUS DIPENUHI SESEORANG YANG BERPOLIGAMI

Syarat yang dituntut Islam dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah
keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil diantara dua isteri atau isteri-isterinya
dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, dan nafkah serta kebutuhan biologis.
Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan
seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah
swt berfirman,

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An-Nisa’ : 3)

Beliau saw. Juga bersabda,

“Barangsiapa mempunyai dua isteri, sementara ia lebih condong kepada salah satu
diantara keduanya, maka pada hari kiamat nanti akan datang dengan menyeret salah
satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau miring”. (HR. Ahlus Sunan, Ibnu Hibban,
dan Hakim).

Miring yang diperingatkan dalam hadits ini adalah ketidakadilan dalam hak-haknya,
bukan sekedar kecenderungan hati, karena yang disebut terakhir ini termasuk hal yang
susah dipenuhi, bahkan dimaklumi dan dimaafkan Allah swt, Allah swt berfirman,

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’ : 129)

Karena itulah, Rasulullah saw dahulu membagi-bagi secara adil dan berkata: “Ya
Allah, inilah pembagianku sebatas apa yang bisa aku miliki. Karena itu, janganlah Kau
siksa aku dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”. (HR. Ashabus Sunan).

Dan apabila Rasulullah hendak berpergian, beliau saw mengundi mereka (kesembilan
isteri beliau). Barangsiapa diantara mereka namanya muncul, dialah yang berhak ikut

6
bersamanya. Beliau lakukan itu tidak lain kecuali untuk menghindari penyesalan dan
demi kelegaan hati semua pihak dari kesembilan isteri beliau Rasulullah saw.

Syarat-syarat poligami antara lain :

a) Kemampuan melakukan poligami.


b) Berlaku adil terhadap para isteri dalam hal pembagian giliran dan nafkah.
Seorang lelaki yang menikah menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri
dan anaknya termasuk nafkah. Seorang lelaki yang melakukan poligami
memikul tambahan kewajiban nafkah dengan sebab bertambah isterinya.

E. AKIBAT NEGATIF DARI BERPOLIGAMI

Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami,
memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau
melakukan poligami.

Di antara hikmah syariat Islam yang rahmatan lil’alamin adalah ia tidak menetapkan
prinsip monogami ataupun poligami sebagai salah satu asas perkawinan dalam islam
yang berorientasi kepada pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia dalam bingkai sakinah, mawaddah dan rahmah. Bila kita yakini bahwa
pernikahan merupakan manivestasi ibadah, maka nilai ibadah sangat ditentukan oleh niat
dan caranya. Bila niatnya benar dan caranya ihsan maka akan bernilai ibadah, demikian
sebaliknya akan bernilai maksiat. Nilai ibadah bukan sekadar pada kuantitasnya, namun
juga kualitasnya dan pernikahan yang diridhoi dan mendatangkan kebahagiaan lahir dan
batin tidak dapat ditentukan dengan kuantitas (satu atau lebih dari satu), melainkan oleh
kualitas rumah tangga dan prosesnya yang meliputi niat yang benar dan caranya yang
ihsan (baik).

Beberapa dampak negatif yang timbul akibat berpoligami, antara lain:

a) Dampak Psikologis

Perasaan menyalahkan diri isteri karena merasa tindakan suami berpoligami


adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.

b) Dampak Ekonomi Rumah Tangga

7
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami
memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih
sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan
istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan
akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

c) Dampak Hukum

Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap
tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak
perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap
tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

d) Dampak Kesehatan

Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan


terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus
HIV/AIDS.

e) Kekerasan Terhadap Perempuan

Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi
pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah
tangga yang monogami.

8
BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang
sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Ataupun Poligami berarti ikatan perkawinan
yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang
bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan
monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada
jangka waktu tertentu.

Jika seseorang ragu mampu berperilaku adil dan mampu memberi perlakuan yang
sama untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai isteri, maka sebaiknya seorang suami
memiliki isteri satu dan ia tidak diperkenankan menikahi perempuan yang kedua dan
seterusnya. Namun, bila seorang suami bisa berlaku adil dan memberikan hak yang sama
kepada kedua orang isteri atau lebih, maka ia diperbolehkan menikahi isteri yang ketiga.
Namun, pada dasar hukum poligami yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No 1
tahun 1974 (UU P) terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi jika seorang suami ingin
beristeri lebih dari satu (berpoligami) dan juga wajib wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003


2. Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000
3. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
4. Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 59
5. Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 62 Ibid., hlm. 63
6. Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000,
hlm. 273 Ibid., hlm. 273
7. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 269
8. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 268
9. Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 61
10. Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000,
hlm. 274
11. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 267

10

Anda mungkin juga menyukai