Anda di halaman 1dari 23

MODUL CLINICAL SKILL

PEMERIKSAAN GIGI DAN MULUT

GASTROENTEROHEPATOLOGI

Nama Mahasiswa / NIM : ..........……………………… / ...……………

Nama Tutor / Kelompok : ………………………………............./....…..

Tim Kurikulum Pendidikan Preklinik


Program Pendidikan Dokter
Universitas Islam Malang
2012
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
tauifik dan hidayah-Nya pada kami selaku tim penyusun sehingga dapat menyelesaikan
pembuatan Buku Petunjuk Ketrampilan Klinis BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
1 ini dengan baik dan lancar

Buku ini dibuat sebagai bagian dari proses integral pelaksanaan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) di PSPD FK UNISMA. Kemampuan psikomotor merupakan salah satu
penilaian penting dalam pencapaian kompetensi suatu blok. Buku ini merupakan pegangan
bagi mahasiswa yang berisi hal-hal yang perlu diketahui dan dilaksanakan dalam
pelaksanaan pembelajaran ketrampilan klinis. Buku ini berisi dasar teori, skenario, tugas,
cara kerja, dan cek list mengenai ketrampilan klinis.

Tiada gading yang tak retak, dan tiada manusia yang sempurna, oleh karena itu, kami
menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak kekurangan yang perlu diperbaiki
untuk meningkatkan fungsinya sebagai panduan melakukan ketrampilan klinis bagi
mahasiswa PSPD FK UNISMA. Adalah suatu kebanggaan bagi kami apabila para pembaca
modul ini dapat memberikan saran, kritik dan masukan kepada kami untuk pengembangan
dan penyempurnaan buku ini.

Demikian pengantar dari kami, semoga buku petunjuk ketrampilan klinis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tim Penyusun

drg. Helmin Elyani, M.Kes


PENDAHULUAN

Blok Gastroenterohepatologi ialah blok yang mempelajari sistim yang berhubungan


pencernaan dan hepar. Untuk memahami blok ini dibutuhkan pengetahuan dasar mengenai
rongga mulut sebagai salah satu alat pencernaan, sehingga perlu dipelajari anatomi dan
fisiologi gigi, rongga mulut untuk memahami kelainan dan pemeriksaan yng diperlukan
untuk menegakkan kelaia\nan pada rongga mulut, kepala dan leher yang merupakan
manifestasi kelainan sistemik. Untuk menunjang kemampuan kognitif tersebut, maka
dibutuhkan kemampuan psikomotor yang mendukung blok tersebut, yaitu pemeriksaan
rongga mulut, kepala dan leher.

Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (2004), pemeriksaan rongga mulut,


kepala dan leher mempunyai tingkat kompetensi 4 artinya, mahasiswa harus mampu
melakukan tindakan klinis secara mandiri dengan benar dan tepat. Untuk mencapai
kompetensi tersebut, maka proses pembelajaran ketrampilan klinis dilakukan melalui tahapan
(1) pretest (2) introduksi (3) penjelasan prosedur secara singkat (4) demonstrasi (5)
melakukan (6) feedback (7) post test serta OSCE pada akhir semester.

Head/neck
inspection of eyes, nose, mouth and throat -1- -2- -3- -4-

palpation of salivary glands -1- -2- -3- -4-

palpation of thyroid gland -1- -2- -3- -4-

palpation of trachea -1- -2- -3- -4-

Tongue, inspection at rest -1- -2- -3- -4-

tongue, inspection and assessment of motor system (e.g. sticking out) -1- -2- -3- -4-

Mouth, throat, speech, oesophagus, neck


inspection lips and oral cavity -1- -2- -3- -4-

inspection tonsils -1- -2- -3- -4-

assessment of mobility of tongue -1- -2- -3- -4-

assessment of mobility of hypoglossal muscles -1- -2- -3- -4-

inspection of base of tongue (with laryngoscope) -1- -2- -3- -4-

inspection of neck -1- -2- -3- -4-

palpation of branchial lymph nodes -1- -2- -3- -4-

Palpation of thyroid gland -1- -2- -3- -4-


SKENARIO

Seorang pria berusia 35 tahun, berat badan 55 kg dan tinggi badan 167 cm, mengeluh
sariawan kecil-kecil yang pada awalnya melenting di ujung lidah sejak 1 minggu yang
lalu,terasa sakit, sulit makan dan minum, sejak tadi malam sulit bicara. Sekitar 2 bulan yang
lalu pasien pernah berobat ke dokter umum karena demam dan menderta sariawan di rongga
mulut yang serupa dengan kondisi sekarang, diberi obat asam mefenamat dan cyprofloxasin
selama 3 hari. Kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien datang ke dokter THT, dikatakan radang
amandel dan jamur di mulut, diberi 3 macam obat (termasuk antibiotik) tetapi sariawan tidak
sembuh juga. Kemudian pasien datang ke dokter bedah mulut, dikatakan karena stres dan
tidak diberi obat apapun. Pasien membeli obat kumur yang mengandung obat kumur
Betadine dan albothyl, tetapi sariawan tidak ada perbaikan. Sebelumnya pasien jarang sekali
menderita sariawan dan tidak pernah menderita sariawan yang berat. Riwayat sariawan pada
keluarga disangkal.
Pasien mempunyai riwayat gastritis kronis yang jarang sekali kambuh. Satu bulan
yang lalu pasien merasa terlalu letih, kurang makan dan tidur, serta stres karena harus
membiayai istri yang baru dinikahi 3 bulan yang lalu dan dirawat di rumah sakit karena sakit
tifus.
Keadaan umum tampak baik, tidak terdapat lesi ekstra oral.
Pemeriksaan intra oral menunjukkan beberapa ulser putih , dangkal dan dikelilingi
daerah eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-5 mm, pada mukosa labial (gambar 1a
dan b), ventral dan lateral lidah (1c dan d), mukosa bukal (1e dan f). Higiene mulut tampak
buruk. Berdasarkan pemeriksaan subjektif dan objektif, ditegakkan diagnosis suspek RIH
dengan diagnosis banding SAR herpetiformis.
Hasil pemeriksaan hematologi yaitu LED 83.0 mm, kadar Hb 13,4 g/dl, Ht 40,5%,
eritrosit 4,87 juta/ml, MCV 87 fl, MCH 30 pg, MCHC 34 g/dl, trombosit 288.000 ml,
leukosit 8.700 ml. Pemeriksaan imunologi anti HSV-I IgG positif (OD=2.30), anti HSV-I IgM
positif (OD=1.30), anti HSV-II IgG negatif (OD=0,20) dan anti HSV-II IgM negatif
(OD=0,90) menunjukkan kesan adanya infeksi herpes simpleks tipe 1.
DASAR TEORI

Untuk diagnosis banding antara recurrent intraoral herpes (RIH) dengan stomatitis
aftosa rekuren (SAR) herpetiformis, digunakan istilah lesi herpes dan lesi afte. Para ilmuwan
Yunani, terutama Hippocrates, menggunakan istilah ’herpes’ yang berarti creep atau crawl
untuk menjelaskan lesi yang menyebar.6 Sedangkan istilah afte juga berawal dari Hippocrates
pada tahun 460-370 SM untuk menandai kelainan mulut. Dalam penggunaan umum, kata afte
mengacu pada keberadaan ulser yang tidak dapat didefinisikan. Stomatitis aftosa
digambarkan sebagai lesi terlokalisir pada mukosa ronga mulut atau sebagai komponen dari
kelainan vesikulo-ulseratif yang melibatkan berbagai sistem organ. Sulit untuk menentukan
diagnosis yang tepat antara RIH dan SAR herpetiformis jika melihat secara langsung pada
gambaran klinis di dalam rongga mulut karena kedua lesi tersebut mempunyai tampilan yang
mirip.
Penegakkan diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan perawatan
selanjutnya yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu selain melihat gambaran klinis,
yang sangat penting untuk diketahui dalam proses menegakkan diagnosis adalah riwayat
pasien dan keluarga, pemeriksaan ekstra oral, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang
diindikasikan. Informasi mengenai frekuensi terjadinya lesi, faktor-faktor yang meringankan
(obat-obatan yang telah digunakan), dan faktor-faktor yang mempemberat penting untuk
diketahui melalui anamnesis pada pasien atau keluarga yang menyertainya.
Pemeriksaan subyektif berupa anamnesis yang akurat dan lengkap perlu dicatat. Hal
pertama yang ditanyakan adalah keluhan utama pasien. Kedua lesi herpes dan afte seringkali
hadir disertai gejala prodromal yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk penting dalam
menegakkan diagnosis. Literatur menyebutkan bahwa gejala prodromal untuk infeksi herpes
mungkin membingungkan dan pasien tidak menyadari bahwa gejala demam merupakan
gejala prodromal. Tetapi bagi pasien yang seringkali mengalami lesi herpes maka gejala ini
akan mudah dikenali. Indikasi pertama terjadinya lesi herpes rekuren mungkin berupa sensasi
yang tidak menyenangkan pada jaringan yang terkena dan dapat terasa sebagai berkurangnya
sensasi sensorik, serta rasa nyeri terbakar. Pada kasus di atas dengan diagnosis RIH, melalui
anamnesis pasien mengeluh adanya rasa sakit sampai mengganggu makan, minum, tidur,
bahkan berbicara. Gejala demam dirasakan oleh dua pasien pertama sedangkan pasien ketiga
tidak merasakan demam sebelum lesi mulut muncul. Lesi herpes yang rekuren tidak selalu
disertai dengan gejala prodromal seperti demam, bahkan lesi timbul tanpa disadari oleh
pasien. Gejala prodromal SAR juga berupa nyeri atau rasa terbakar terlokalisir selama 24- 48
jam dapat mendahului terjadinya ulser. Derajat nyeri dapat bervariasi dari ringan sampai berat
dan seringkali dianggap melebihi ukuran lesi.Kesadaran akan mulai berkembangnya SAR
umumya terlihat dari ketidaknyamanan lokal yang dirasakan di daerah lesi. Gejala yag
hampir mirip, jika melihat berdasarkan gejala klinis saja sulit untuk menentukan diagnosis
mana yang tepat dari kedua kelainan tersebut tanpa melihat parameter klinis lain.
Informasi penting lainnya yang perlu diketahui di dalam anamnesis untuk
membedakan RIH dan SAR adalah faktor etiologi dan faktor predisposisinya. Telah diketahui
bahwa RIH disebabkan oleh herpes simplex virus type 1 (HSV-1) tetapi tidak tertutup
kemungkinan juga oleh herpes simplex virus type 1(HSV-2). Dan reaktivasi virus dapat
dipicu oleh demam (misalnya karena infeksi saluran pernafasan atas), sinar matahari (fever
blister), trauma, stress, atau immunosuppresi menyebabkan infeksi rekuren atau sekunder.
Pada SAR tidak ada faktor etiologi yang pasti, tetapi diduga penyebab utama SAR adalah
faktor herediter. Berbagai faktor pemicu SAR pada pasien yang rentan, antara lain trauma
oral, stress, defisiensi hematinik (kekurangan zat besi, vitamin B, atau asam folat), sensitif
terhadap makanan (pengawet seperti asam benzoat), kelainan gastrointestinal, defisiensi
imun, dan ketidakseimbangan hormonal yang berkaitan dengan siklus menstruasi.
Pada pasien dengan RIH terbukti bahwa kelainan yang terjadi karena infeksi HSV,
yang dapat dilihat pada hasil pemerikasaan imunologi. Dan faktor pemicunya adalah faktor
psikologis dan fisik.. Sebuah literatur menyebutkan bahwa istilah SAR digunakan untuk lesi
rekuren yang ditemukan di rongga mulut dan tidak ada riwayat penyakit sistemik. Tetapi lesi
dengan gambaran klinis yang mirip dengan SAR, dapat ditemukan padakelainan sistemik
seperti Behcet’s syndrome, kelainan gastrointestinal, sindrom imunodefisiensi seperti infeksi
HIV, dan cyclic neutropenia. Bila pada seseorang tidak ada riwayat lesi dengan gambaran
klinis lesi aftosa pada saat kanak-kanak maka ia dinamakan aphtous like ulcers.
Gambaran klinis merupakan parameter yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis RIH dan SAR herpetiformis. Oleh karena itu setelah mengetahui gejala
klinis,pemeriksaan klinis secara teliti penting dilakukan. Literatur menyebutkan bahwa
setelah tahap prodromal lesi herpetik bermanifestasi dalam bentuk kumpulan vesikel-vesikel
kecil berwarna keabuan sampai putih yang ruptur dan membentuk ulser kecil-kecil dengan
diameter 1 mm atau kurang. Ulser-ulser ini dapat bersatu membentuk ulser yang lebih besar
sampai mencapai 1.5 cm. Ulser yang besar dan iregular yang merupakan gabungan dari ulser-
ulser yang kecil dapat dijumpai pada ketiga kasus ini. Lesi afte biasanya berbatas jelas,
dangkal, berbentuk bulat atau oval, dengan bagian tengahnya nekrosis dangkal dengan
pseudomembran kuning-keabuan dan dikelilingi oleh daerah kemerahan (halo eritema). Telah
diketahui bahwa SAR mempunyai 3 tipe yaitu mayor, minor, dan herpetiformis.Lesi afte yang
menyerupai penampakan lesi herpetik adalah SAR tipe herpetiformis, tetapi lesi afte tidak
mengalami transisi lewat tahap spesifik seperti pada lesi herpes. Lesi tersebut dapat
meningkat ukurannya dari mulai awal terdeteksi sampai akhirnya maturasi. Pada kasus
keempat, ditemukan ulser putih, dangkal, dan halo eritema yang jelas ditemukan pada
mukosa bukal. Tidak ditemukan lesi vesikel yang menjadi salah satu faktor yang dapat
disanggah sebagai infeksi herpes. Lokasi terjadinya lesi awal dapat memberi petunjuk penting
akan kondisi yang terjadi. Lesi herpes umumnya timbul di jaringan berkeratin seperti pada
vermillion border, palatum keras, gingiva cekat. Sebaliknya, stomatitis aftosa rekuren
biasanya terjadi pada jaringan tidak berkeratin atau didekat kelenjar. Lokasi yang umum
dijumpai yaitu pada mukosa labial, bukal dasar mulut, orofaring, vestibulum, dan sisi lateral
lidah. Pada ketiga kasus infeksi herpes, lokasi lesi tampak pada mukosa berkeratin mapun
tidak berkeratin. Sedangkan pada kasus keempat, lesi tampak hanya pada mukosa yang tidak
berkeratin. Temuan lokasi lesi ini menunjang diagnosis SAR herpetiformis.
Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis pada kedua
kelainan tersebut adalah pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan imunologi berupa anti
HSV IgG dan IgM. Hasil pemeriksaan pada ketiga kasus RIH menunjukkan adanya anti
HSV-I IgG dan IgM positif pada dua pasien dan HSV-II IgM positif pada satu pasien,
sedangkan kasus keempat anti HSV-I dan II negatif.. Pemeriksaan penunjang merupakan alat
penting dalam menegakkan diagnosis, terutama bila gambaran lesi dan riwayat pasien tidak
cukup jelas.Literatur menyebutkan bahwa virus herpes mungkin dijumpai tersebar di seluruh
lingkungan. Sehingga sering terjadi pemaparan, baik yang menimbulkan gejala maupun
tidak. Banyak orang sehat mempunyai antibodi terhadap berbagai jenis virus herpes. Infeksi
herpes dapat ditegakkan dengan kenaikan titer antibodi yang bermakna selama sakit atau
sesudahnya. Kenaikan jumlah titer antibodi pada infeksi herpes ini masih kontroversial.
Sebuah studi melaporkan pada saat dilakukan pemeriksaan pada subyek dengan lesi herpes
menunjukkan titer antibodi yang lebih tinggi daripada subyek dengan tanpa lesi. Sebuah
literatur lain menyebutkan bahwa untuk menegakkan diagnosis infeksi herpes primer, titer
antibodi sekurang-kurangnya 4 kali lipat. Jika tidak, lesi tersebut merupakan rekuren
(sekunder). Kadar anti HSV yang meningkat secara bermakna belum tentu ditemukan
bersamaan dengan ditemukan lesi pada rongga mulut pada pasien. Pada ketiga kasus RIH ini,
kenaikan titer antibodi bervariasi. Tetapi, dari hasil pemeriksaan anti HSV ini dapat
menunjukkan adanya infeksi yang kronis dan aktif terhadap virus herpes. Selain pemeriksaan
serologi, virus herpes biasanya dapat diisolasi melalui dari lesi primer dengan cara dibiakkan.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dilakukan karena adanya keterbatasan biaya. Berdasarkan
evaluasi pada empat kasus di atas, kedua lesi ini jelas memiliki persamaan dan perbedaan.
Oleh karena itu mengetahui secara teliti parameter klinis, riwayat pasien, pemeriksaan ekstra
oral, dan hasil pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan sangat penting dalam proses
menegakkan diagnosis. Sehingga dapat direncanakan perawatan selanjutnya dengan benar
dan dapat dihindari tidak rasionalnya pemberian obat-obatan karena kesalahan dalam
menegakkan diagnosis.

PEMERIKSAAN RONGGA MULUT

Pendahuluan

Pemeriksaan rongga mulut adalah daerah diagnosis fisik yang dapat diperoleh
melalui evauasi sistematik jaringan lunak dan keras rongga mulut.

Terlepas dari tujuan utamanya adalah untuk membedakan antara kondisi sehat
dan penyakit, pemeriksaan rongga mulut yang menyeluruh – berbarengan dengan
riwayat medik dan dental – dapat memberikan wawasan penting terhadap kesehatan
dan kesejahteraan pasien secara keseluruhan.

Sebagian besar lesi jaringan lunak di rongga mulut sering merupakan lesi
infeksi, traumatik ataupun proses reaktif, etiologi yang tepat kadang ditentukan
melalui anamnesa dan pemeriksaan klinis yang teliti. Sebagai contoh, efek samping
obat – yang menimbulkan xerostomia dapat mempunyai efek yang besar pada
keseharan rongga mulut. Dengan alasan itulah, riwayat medis lengkap sebaiknya
diperoleh secara rutin. Kebiasaan, pasta gigi dan mouthwash dapat mempengaruhi
jaringan rongga mulut dalam keadaan khusus. Jika diagnosis klinis lesi oral tidak
dapat ditentukan dengan dasar gejalan dan tanda, pemeriksaan rongga mulut dapat
ditunjang dengan biopsi.

Pada sebagian besar kasus, penemuan mikroskopik, bersamaan dengan


pemeriksaan klinis, cukup untuk menentukan diagnosis. Tergantung pada situasi dan
kondisi selama pemeriksaan, pendokumentasian penampakan klinis jaringan rongga
mulut dapat bermanfaat. Hal ini biasanya berguna ketika memonitor perjalanan
penyakit kronis dan respon pasien terhadap perawatan. Kamera tradisional reflektor
lensa tunggal 35 mm dapat beradaptasi dengan mudah untuk merekam penemuan
rongga mulut. Lebih jauh lagi, kamera digital telah berevolusi menjadi alternatif yang
dapat diandalkan.
PEMERIKSAAN FISIK

Selalu mulai dengan pemeriksaan ekstra oral kepala dan leher. Pada beberapa
kasus, informasi klinis yang diperoleh sangat berharga dalam menentukan etiologi
dan perjalanan penyakit mulut pada pasien yang mencari perawatan. Sebagai contoh,
manifestasi oral utama sindrom hamartoma adalah adanya papiloma oral multipel.

PEMERIKSAAN EKSTRA ORAL

a. PENAMPILAN UMUM, BESAR DAN BERAT BADAN

Secara umum tinggi badan seorang dapat diamati dengan cepat sewaktu pasien
memasuki ruang praktek. Untuk memastikannya dapat diukur dan membandingkannya
dengan tabel yang memuat perbandingan antara tinggi badan, usia dan berat badan
anak. Faktor yang mempengahi keadaan tinggi, berat badan dalam masa
perkembangan adalah herediter, lingkungan, penyakit sistemik dan gangguan
endokrin

b. KULIT

Adanya perubahan atau kelainan pada kulit di wajah atau tangan dapat dipakai
sebagai petunjuk adanya kelainan atau penyakit. Lesi yang primer atau sekunder
dapat terjadi pada kulit muka, bila terdapat herpes pada bibir atau muka yang disertai
rasa sakit dan juga disertai sakit gigi, sebaiknya perawatan gigi ditunda atau diberi
premedikasi dan pasien dirujuk ke dokter kulit terlebih dulu.

c. MATA

Infeksi/abses pada gigi rahang atas dapat menyebar ke mata menyebabkan


pembengkakan atau conjuctivitis pada mata. Bila perawatan gigi telah selesai dan
pembengkakan pada mata belum hilang, sebaiknya pasien dirujuk ke dokter mata.

d. PEMERIKSAAN WAJAH DAN LEHER


Asimetris wajah dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologis
misalnya kebiasaan tidur bayi terutama yang lahir prematur sehingga meyebabkan
perubahan bentuk wajah yang permanen. Asimetris wajah patologis dapat disebabkan
tekanan abnormal dalam intra uterus, paralise saraf kranial, fibrous displasia atau
gangguan perkembangan herediter. Selain itu asimetris wajah patologis pada anak –
anak sering juga disebabkan karena infeksi atau trauma. Pemeriksaan dan riwayat
pembengkakan penting diketahui untuk menentukan diagnosa dan etiologi. Bila
terdapat asimetris wajah tanpa rasa sakit dan penyebabnya tidak diketahui dengan
pasti serta tidak berhubungan dengan gigi lebih baik merujuk pasien ke dokter
spesialis. Pada pasien sering ditemui selulitis yaitu infeksi pada jaringan lunak yang
difus, disebabkan infeksi pulpa gigi susu/tetap. Selulitis dapat menimbulkan
pembengkakan pada wajah dan leher. Bila disebabkan gigi atas pembengkakan dapat
meluas ke bawah mata dan dalam keadaan akut mata kelihatan merah.

Pemeriksaan Kelenajr Limfe Leher

Inspeksi dan palpasi limfonodi servikal pada area leher : kesimetrisan, ada nya
pembesaran dan konsistensi.

Adanya massa di leher bukan penemuan yang tidak umum, terutama pada
pasien-pasien dengan infeksi oral dan malignansi lanjut. Limfonodi yang paling
sering terlibat adalah limfonodi leher anterior, meski limfonodi regional lainnya dapat
membesar juga. Limfadenopati sekunder karena infeksi biasanya mobile dan lunak,
sedangkan limfadenopati metastatik biasanya asimptomatik dan terfiksir pada
struktur di bawahnya; meski variasi-variasi limfadenopati ditemukan sebagai
penemuan subjektif maupun objektif. Massa ekstraoral yang umum ditemukan
selanjutnya yang mungkin ditemukan melalui palpasi adalah neoplasma kelenjar
saliva.
Neoplasma parotis, secara khusus, paling baik dideteksi melalui palpasi kulit
preaurikular. Palpasi ekstraoral glandula submandibuler kadang kadang
mengungkapkan pembesaran dan perlunakan; palpasi bimanual biasanya lebih efektif.

Pasien kadang melaporkan adanya nyeri dan disfungsi TMJ. Etiologi


ketidaknyamanan biasanya multifaktor dan susah untuk dilokalisir. Krepitasi, clicking
dan popping pada TMJ dapat dideteksi dengan cara meletakkan ujung jari kelingking
pada meatus accusticus eksternus dan menginstruksikan pasien supaya membuka dan
menutup mulut dan menggerakkan mandibula ke lateral kanan-kiri. Nyeri wajak
atipikal dapat karena penyebab selain disfungsi TMJ (misalnya sindroma disfungsi
nyeri miofasial, distrofi simpatis refleks, tic douloureux dan kondisi yang berkaitan).

Pemeriksaan kelenjat Thyroid

Dengan meletakkan tangan pada area trakhea, kemudian meminta pasien untuk
menelan, maka akan terasa kel tiroid akan upward

Pemeriksaan Kelenjar Saliva

Inspeksi dan palpasi pada area depan telinga, untuk mendeteksi adanya massa
bilateral, pembengkakan dan nyeri pada kelenjar parotis (area pada depan telinga).
Kelenjar
parotis Kelenjar
submandi
bularis

BIBIR

Pemeriksaan bibir dilakukan dengan mengamati ukuran, bentuk, warna dan


tekstur permukaan. Dipalpasi dengan ibu jari dan telunjuk. Pada bibir sering dijumpai
abrasi, fisur, ulserasi atau crust. Trauma sering menyebabkan memar pada bibir,
reaksi alergi juga dapat terlihat. Ditarik untuk mengetahui konsistensi, adanya massa,
dan perubahan warna

Bibir diperiksa secara visual dan palpasi. Vermilion border seharusnya halus
dan lembut. Warna membran mukosa diperiksa dengan teliti. Mukosa rongga mulut
dideskripsikan sebagai warna pink-salmon; meski variasi tertentu hadir karena
adanya rasial pigmentasi, vaskularisasi dan keratinisasi. Sejumlah pigmentasi kutan
muncul secara umum proporsional dengan jumlah pigmentasi pada mukosa rongga
mulut; perubahan warna pada mukosa rongga mulut yang tidak seharusnya dapat
mengindikasikan penyakit sistemik. Bibir kemudian ditarik ke depan dan inspeksi
mukosa labial. Pada individu yang sehat, mukosa labial halus, lembut dan terlumasi
dengan baik oleh glandula saliva minor. Kecemasan berkaitan dengan pemeriksaan
dapat mengakibatkan xerostomia sementara. Pada kasus demikian, mukosa menjadi
lengket ketika disentuh. Glandula saliva minor pada bibir bawah biasanya dapat
dipalpasi. Bibir bawah kadang mengalami trauma yang dapat menyebabkan luka pada
duktus glandula saliva minor yang menyebabkan pembentukan mucocele

Kerusakan aktinik pada bibir (actinic cheilitis), terutama pada bibir bawah
bermanifestasi pada perubahan atrofi yang berkaitan dengan eritema atau leukoplakia
dengan penebalam epitelium. Kedua perubahan ini sering ditemukan secara simultan
pada area yang berdekatan dengan vermilion border. Maserasi dan cracking pada
sudut mulut (angular chelitis) dianggap disebabkan oleh:

• Infeksi lokal, terutama melibatkan Candida albicans

• Defisiensi nutrisi, terutama vitamin B kompleks

• Penutupan rahang berlebih; disebabkan karena kehilangan gigi (bruxism,


gigi, protesa usang). Defisiensi nutrisi dan kehilangan vertikal dimensi berkontribusi
terhadap angular cheilitis, sebagian besar kasus merespon baik pada agen-agen anti
jamur, sering tanpa intervensi tambahan.

PEMERIKSAAN INTRA ORAL

1. PIPI DAN BIBIR BAGIAN DALAM

Figure 3 - Labial mucosa Figure 4 - Labial mucosa

Diperiksa dengan menarik pipi dan bibir, akan terlihat mukosa labial,
dilanjutkan dengan memeriksa mukosa bukal, apakah terdapat pembengkakan, warna
di kedua sisi, lesi yang menonjolatau kedalam atau perubahan lain.

Pemeriksaan mukosa bukal paling mudah dilakukan dengan cara


menginstruksikan pada pasien untuk membuka mulutnya setengah, kemudian menarik
mukosa bukal dengan mirror atau tongue blade. Poplasi kulit berwarna biasanya
mempunyai penampakan seperti susu pada mukosa bukalnya yang hilang jika
diregangkan. Leukoedema ini merupakan variasi anatomis yang menggambarkan
hidrasi epitel mukosa bukal dan tidak memerlukan perawatan.

Figure 5 - Right buccal mucosa Figure 6 - Left Buccal mucosa

Glandula sebacea ektopik (Fordyce granulr) ditemukan pada sebagian besar


pasien dan nampak sebagai papula berwarna putih-kekuningan yang terletak bilateral
pada mukosa bukal. Kadang-kadang juga muncul pada mikosa bukal meskipun lebih
jarang dijumpai. Rigi horisontal sering dijumpai pada mukosa bukal setinggi
interdigitasi gigi geligi (linea alba) yang menunjukkan adanya hiperkeratosis benigna
sekunder terhadap iritasi jangka panjang ringan tonjol-tonjol gigi.

Muara glandula parotis (ductus Stensen) dapat ditemukan sebagai massa


jaringan lunak kecil pada mukosa bukal berdekatan dengan molar pertama atas.
Saliva seharusnya mengalir dari saluran tersebut; meski demikian, pemijatan glandula
secara ekstraoral mungkin perlu. Saliva nampak jernih dan berair; pasien tidak
merasakan adanya ketidaknyamanan dari prosedur tersebut.

Pada bibir, mukosa bukal juga seharusnya dilumasi dengan saliva. Glandula
saliva minor dan Fordyce granule dapat berupa tekstur granuler pada mukosa bukal.
Kecuali lesi-lesi Human Herpes Virus (HHV-tipe 1) rekuren – yang terbatas pada
mukosa terkeratinisasi, penyakit vesikuloerosif paling sering melibatkan mukosa
bukal.

2. GINGIVA

Pemeriksaan gingiva meliputi warna, ukuran, bentuk dan konsistensinya.


Sewaktu erupsi gigi, gingiva dapat membengkak, sakit (terutama bila terkena trauma
gigi antagonisnya) dan meradang. Pada anak-anak gigi yang mengalami gangren
pulpa sering disertai fistel pada gingiva karena abses paradontal.

Gingiva dapat diperiksa paling mudah dengan cara menutup mulut sebagian
dan bibir diretraksi dengan jari-jari, tongue blade atau lip retractor). Gingiva cekat
terkeratinisasi dan tampak lebih pucat daripada mukoa lainnya . Jaringan ini biasanya
cekat, stipling dan melekat erat pada tulang di bawahnya. Mukosa alveolar
memanjang dari gingiva cekat hingga vestibulum oris. Mukosa alveolar – kontras
dengan gingiva cekat – tidak terkeratinisasi dan berwarna lebih gelap. Gingiva cekat
biasanya mengandung pigmen yang kadang berkorelasi dengan pigmentasi pada kulit
lainnya; sedangkan mukosa alveolar jarang terpigmentasi, meski pada orang kulit
berwarna.

Figure 7 – Gingiva

Perubahan tampilan klinis gingiva dapat menjadi indikator penyakit lokal


maupun sistemik. Penyebab paling umum eritema pada gingiva adalah kebersihan
mulut yang buruk. Plak dan kalkulus menyebabkan gingivitis dan jika tidak
dihilangkan dapat merusak struktur pendukung gigi. Retensi plak dan kalkulus dapat
pula menyebabkan lesi gingiva reaktif seperti piogenik granuloma. Gingiva juga
kadang menjadi tempat inisiasi penyakit mukokutan – misalnya lichen planus,
pemphigoid cicatrical, pemphigus vulgaris. Gingiva juga kadang menjadi indikator
infeksi HIV dan indikator pertama imunosupresi.

3. LIDAH DAN TONSIL


Figure 8 - Tongue dorsum Figure 9 - Tongue left margin

Figure 10 - Tongue right margin


Figure 11 - Tongue ventral

Figure 12 – Floor
Figure 13 - Hard palate
Figure 14 – Oropharynx
Figure 15 – Palpation

Homogenous leukoplakia in the floor of the mouth

in a smoker. Biopsy showed hyperkeratosis.

Clinically, a leukoplakia on left buccal mucosa. However, the biopsy showed early squamous

cell carcinoma. The lesion is suspicious because of the presence of nodules .


Nodular leukoplakia in right commissure. Biopsy showed severe epithelial dysplasia .

Erythroleukoplakia in left commissure and buccal mucosa. Biopsy showed mild epithelial

dysplasia and presence of candida infection. A 2-3 week course of anti-fungal treatment may

turn this type of lesion into a homogenous leukoplakia.

Untuk memeriksa lidah, pasien diminta menjulurkan lidahnya ke depan.


Periksa ukuran, bentuk, warna dan pergerakannya. Daerah di bawah lidah harus
diperiksa karena sering terjadi pembengkakan atau ulserasi yang dapat mengganggu
bila berbicara dan sewaktu lidah digerakkan. Selain itu frenulum lingualis yang
pendek dapat menahan gerakan lidah ke depan, sehingga mengganggu pasien
berbicara. Dasar lidah diperiksa perlahan-lahan dengan menggunakan kain kasa yang
diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk. Permukaan lidah umumnya licin, halus dan
papila filiformis relatif pendek. Pada awal penyakit exantematous, lidah berselaput
putih keabu-abuan atau putih kecoklatan. Selaput itu berisi sel yang mengalami
desquamasi, sisa makanan dan bakteri. Keadaan ini sering juga terlihat pada pasien
yang sedang demam. Avitaminosis tertentu, anemi atau stress dapat menyebabkan
desquamasi papila yang ditandai dengan perubahan warna dan pembengkakan.
Adanya pembesaran lidah yang patologis dapat disebabkan cretinisme, mongolism
atau tumor. Kebiasaan jelek pada lidah dapat menimbulkan maloklusi.

Untuk memeriksa tonsil, lidah ditekan dengan kaca mulut atau tongue blade,
lalu pasien berkata ”aahh” dilihat apakah ada perubahan warna, ulserasi atau
pembengkakan.

Inspeksi dan palpasi bimanual pada dasar lidah, dengan memakai kaca mulut
angkatlah lidah dan amati dasar lidah lalu gunakana 2 jari (satu di luar dan satu
didalam) unutk papasi maasa dasar mulut, perubahan warna di dasar mulut atau
adanya massa.

Permukaan dorsal lidah paling mudah diinspeksi dengan cara


menginstruksikan pada pasien untuk menjulurkan lidah ke arah kaudal (dagu).
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memegang dengan tangan
dilapisi kasa spon 2x2. Permukaan dorsal lidah dilapisi dengan papila filiform – yang
seperti rambut . Tersebar diantara papilla filiform adalah papilla fungiform yang
berbentuk jamur, dan tiap-tiapnya mengandung satu atau lebih kuncup rasa. Papilla
circumvallata terletak pada perbatasan dua-pertiga anterior lidah dengan sepertiga
posterior lidah. Papilla ini biasanya berjumlah 8-12 dan teratur pada pola bentuk V.
Seperti papilla fungiform, papilla circumvallata mempunyai sejumlah kuncup rasa.

Papilla filiform kadang-kadang memanjang (hairy tongue) dan sisa makanan


dapat menyangkut padanya – hal ini dapat mengarah pada halitosis. Papila
memanjang dapat juga menyebabkan sensasi pada palatum menjadi tidak nyaman dan
dapat mengacu pada perasaan ingin muntah. Pembentukan fisur pada permukaan
dorsal lidah ditemukan pada anomali trisomi 21; adanya fisur pada lidah tidak
mempunyai signifikansi klinis pada sebagian besar kasus. Atropi permukaan dorsal
lidah dapat disebabkan oleh beberapa hal. Defisiensi nutrisi, telah dikaitkan dengan
atrofi permukaan dorsal lidah; manifestasi oral penyakit mukokutan juga sering
menjadi penyebab yang mendasari. Selain ketidaknyamanan, pasien kadang
melaporkan adanya perubahan sensasi rasa atau kehilangan persepsi rasa sama
sekali.

Sisi lateral lidah dapat diperiksa dengan cara menjepit lidah dengan kasa,
menarik lidah dan kemudian memutarnya ke lateral. Sisi lateral lidah tidak dilapisi
dengan sejumlah papila. Mukosa lateral lidah lebih eritematus dan makin ke
posterior, fisur-fisur vertikal makin jelas terlihat. Sekumpulan jaringan berwarna
dengan protuberansia dapat ditemukan pada dasar lidah. Jaringan limfe accesori
(tonsila lingualis) adalah komponen dari cincin Waldeyer dan dapat membesar jika
terjadi infeksi ataupun inflamasi.

Permukaan ventral lidah paling mudah diperiksan dengan menginstruksikan


pasien menyentuh langit-langit mulut dengan lidahnya. Pembuluh darah sublingual
biasanya nampak jelas, terutama pada individu yang lebih tua. Plica sublingualis –
yang berbentuk daun pakis – dapat diinspeksi dengan cara memanjangkan permukaan
ventral lidah. Dasar mulut, mirip dengan mukosa bukal, berwarna pink-salmon. Muara
glandula submandibular (ductus Wharton) tampak sebagai sepasang papila pada
midline pada sisi lateral frenulum lingualis. Saliva biasanya menggenang pada dasar
mulut. Saliva tergenang ini dapat dihilangkan dengan mudah oleh kasa. Palpasi
bimanual glandula submandibula biasanya memunculkan saliva dari ductus Wharton.
Saliva yang dihasilkan biasanya lebih kental dibandingkan saliva yang dihasilkan
glandula parotis karena persentase mukus yang lebih tinggi. Baik permukaan ventral
alteral dan dasar mulut adalah lokasi umum penemuan carcinoma sel skuamous.
Dengan alasan inilah, indeks kecurigaan terhadap lesi-lesi jaringan lunak pada
daerah ini harus ditekankan, termasuk adanya penampakan lesi merah atau putih
yang tampak tidak berbahaya. Kecuali didapatkan riwayat lesi dan bukti klinis yang
meyakinkan mengatakan sebaliknya, biopsi harus didapatkan jika terdapat perubahan
kronis dan pembentukan massa yang jelas untuk mengesampingkan kemungkinan
premalignansi ataupun malignansi.

4. PALATUM

Untuk melihat langsung bentuk, warna dan lesi pada jaringan lunak dan keras
palatum, kepala pasien direbahkan ke belakang. Pembengkakan, kelainan bentuk dan
konsistensinya dapat diketahui dengan palpasi.

Inspeksi visual langsung palatum durum dapat dicapai dengan cara


menggunakan kaca mulut. Palatum durum, mirip dengan gingiva cekat, dalam keadaan
normal berwarna kurang pink dibandingkan mukosa rongga mulut lainnya karena
adanya peningkatan keratinisasi. Palatum durum dan gingiva cekat hanyalah salah
duanya mukosa yang biasanya terlibat dalam infeksi virus herpes simpleks rekuren.
Palatum durum anterior dilapisi dengan rigi-rigi fibrous atau disebut dengan rugae .
Glandula saliva minor banyak terdapat di palatum durum; karena hal inilah,
neoplasma glandula saliva minor – baik benigna maupun maligna – mempunyai
insidensi tinggi di sini. Papilla incisivus terletak di posterior gigi incisivus maksilla
pada palatum durum. Struktur anatomis normal ini tampak sebagai nodul kecil imobil
yang terletak langsung di bawah muara ductus nasopalatinal, dimana kumparan
neurovaskuler keluar dari maksila untuk mensupai mukosa palaum.

Palatum lunak, mukosanya tidak berkeratin dan berwarna pink-salmon. Dapat


diamati dengan mudah melalui pemeriksaan langsung dengan cara mnekan lidah
dengan tongue blade dan menginstruksikan pasien untuk berkata “Ahhh” (Image 18).
Deviasi palatum lunak pada salah satu sisi dapat mengindikasikan masalah neurologis
ataupun neoplasma. Ketika lidah bagian posterior sudah diturunkan dan pasien
mengangkat palatum molle-nya, orofaring juga mungkin terlihat. Hal ini kadang
menjadi sedikit rumit pada pasien yang mempunyai refleks muntah berlebihan; pada
kasus demikian, refleks muntah dapat ditekan dengan menggunakan anestesi lokal.
Pilar tonsilar biasanya terlihat dengan cara menggerakkan lidah ke lateral dengan
tongue blade.

Kripta tonsilar mempunyai vaskularisasi tinggi dan tampak lebih eritem


dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Kadang ditemukan sel-sel epitel
terdeskuamasi, sisa makanan pada kripta tonsilar yang dapat menyebabkan sensasi
kasar-gatal pada kerongkongan dan halitosis. Adenois (jaringan limfe pada posterior
faring) tampak sebagai papula pucat ireguler. Jaringa ini mungkin membesar dengan
adanya inflamasi atau infeksi. Perubahan faring tidak umum ditemukan – terutama
karena infeksi virus – misalnya herpangina, hand, foot, and mouth disease).

5. GIGI

Pengamatan gigi secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cepat sebelum


masing-masing gigi didiagnosa secara teliti. Pemeriksaan gigi dilakukan dengan
memakai kaca mulut, ekskavator dan pinset. Perlu diketahui apakah ada gigi yang
dicabut sebelum waktunya (prematur loss), gigi yang sudah waktunya tanggal atau
gigi persistensi (gigi penggantinya sudah erupsi tetapi gigi sulung belum tanggal).
Gigi persistensi dan gigi yang mengalami prematur loss akan mengganggu susunan
gigi dan perkembangan lengkung rahang. Kelainan akibat pertumbuhan dan
perkembangan dicatat, yaitu meliputi kelainan jumlah, waktu erupsi, struktur, warna
dan bentuk gigi. Gigi berlebih (supernumerary) dicatat regio dan jenisnya
(mesiodens, laterodens atau paramolar). Kondisi pada saat pemeriksaan perlu
dipertimbangkan apakah gigi berlebih tersebut perlu segera dicabut, menunggu waktu
yang tepat atau tidak perlu dicabut. Pada apel gigi, diberi tanda-tanda untuk
memudahkan melihat keberadaan dan perawatan gigi. Gigi yang belum erupsi
dilingkari, gigi yang sudah dicabut diberi tanda silang, gigi karies ditandai dengan
kedalamannya (superfisialis, media atau profunda), akar gigi diberi tanda juga.
Pemeriksaan karies gigi dimulai dengan membersihkan kavitas dan periksa
kedalamannya, lokasinya (superfisialis, oklusal, proksimal, serviks, dll), vitalitasnya
juga diperiksa.

Pemeriksaan gigi sebaikya menjadi tahap terakhir pemeriksaan rongg mulut.


Beberapa kelainan perkembangan gigi dapat nampak, misalnya anodonsia parsial
(yang melibatkan gigi incisivus lateral maxilla), dan supernumerari (mesiodens).
Anodonsia dan gigi supernumerari merupakan penemuan umum pada pasien sindrom
Gardner dan sindrom digital facial oral. Karies pada permukaan oklusal tampak
sebagai lubang diskolorisasi dan menunjukkan kebersihan mulut yang buruk. Karies
interproksimal mungkin secara klinis tidak nampak jika tidak ditunjang dengan
adanya radiografi. Karies pada margin gingiva dapat menjadi manifestasi awal
xerostomia. Karies permukaan akar juga sering dijumpai pada pasien geriatri dengan
resesi gingiva.

Rencana Proses Pembelajaran

Waktu Instruktur Mahasiswa Lokasi

5 menit Menjelaskan secara Mendengarkan dan LAB


singkat tujuan memperhatikan KETRAMPILAN
kegiatan ketrampilan KLINIS
klinis

10 menit Memberikan soal Mengerjakan soal


pretest pretest

15 Mendemonstrasikan Mendengar dan


secara singkat memperhatikan
prosedur kegiatan

50 menit Memperhatikan Mendemonstrasikan


kegiatan ketrampilan
klinis

10 menit Melakukan feedback Memperhatikan


10 menit Post test Mengerjakan soal
post test

PROSEDUR KEGIATAN

A. Persiapan alat

Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan oral pastikan bahwa alat dan bahan yang
dibutuhkan telah tersedia. Berikut ini peralatan dan bahan –bahan yang dibutuhkan :

1. mempersiapkan alat : masker, handschoen, diagnostic set (kaca mulut, pinset, cheek
retractor dan sonde), kapas, senter, nierbekken.

2. melakukan sterilisasi pada alat

3. melakukan pemeriksan dan mendokumentasikan

4. Merapikan alat-alat.

5. Melepas sarung tangan dan masker (buang dalam sampah infeksius).

6. Mencuci tangan

7. Mengucapkan terima kasih kepada pasien

Anda mungkin juga menyukai