CSL Gigi Dan Mulut
CSL Gigi Dan Mulut
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
tauifik dan hidayah-Nya pada kami selaku tim penyusun sehingga dapat menyelesaikan
pembuatan Buku Petunjuk Ketrampilan Klinis BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
1 ini dengan baik dan lancar
Buku ini dibuat sebagai bagian dari proses integral pelaksanaan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) di PSPD FK UNISMA. Kemampuan psikomotor merupakan salah satu
penilaian penting dalam pencapaian kompetensi suatu blok. Buku ini merupakan pegangan
bagi mahasiswa yang berisi hal-hal yang perlu diketahui dan dilaksanakan dalam
pelaksanaan pembelajaran ketrampilan klinis. Buku ini berisi dasar teori, skenario, tugas,
cara kerja, dan cek list mengenai ketrampilan klinis.
Tiada gading yang tak retak, dan tiada manusia yang sempurna, oleh karena itu, kami
menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak kekurangan yang perlu diperbaiki
untuk meningkatkan fungsinya sebagai panduan melakukan ketrampilan klinis bagi
mahasiswa PSPD FK UNISMA. Adalah suatu kebanggaan bagi kami apabila para pembaca
modul ini dapat memberikan saran, kritik dan masukan kepada kami untuk pengembangan
dan penyempurnaan buku ini.
Demikian pengantar dari kami, semoga buku petunjuk ketrampilan klinis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tim Penyusun
Head/neck
inspection of eyes, nose, mouth and throat -1- -2- -3- -4-
tongue, inspection and assessment of motor system (e.g. sticking out) -1- -2- -3- -4-
Seorang pria berusia 35 tahun, berat badan 55 kg dan tinggi badan 167 cm, mengeluh
sariawan kecil-kecil yang pada awalnya melenting di ujung lidah sejak 1 minggu yang
lalu,terasa sakit, sulit makan dan minum, sejak tadi malam sulit bicara. Sekitar 2 bulan yang
lalu pasien pernah berobat ke dokter umum karena demam dan menderta sariawan di rongga
mulut yang serupa dengan kondisi sekarang, diberi obat asam mefenamat dan cyprofloxasin
selama 3 hari. Kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien datang ke dokter THT, dikatakan radang
amandel dan jamur di mulut, diberi 3 macam obat (termasuk antibiotik) tetapi sariawan tidak
sembuh juga. Kemudian pasien datang ke dokter bedah mulut, dikatakan karena stres dan
tidak diberi obat apapun. Pasien membeli obat kumur yang mengandung obat kumur
Betadine dan albothyl, tetapi sariawan tidak ada perbaikan. Sebelumnya pasien jarang sekali
menderita sariawan dan tidak pernah menderita sariawan yang berat. Riwayat sariawan pada
keluarga disangkal.
Pasien mempunyai riwayat gastritis kronis yang jarang sekali kambuh. Satu bulan
yang lalu pasien merasa terlalu letih, kurang makan dan tidur, serta stres karena harus
membiayai istri yang baru dinikahi 3 bulan yang lalu dan dirawat di rumah sakit karena sakit
tifus.
Keadaan umum tampak baik, tidak terdapat lesi ekstra oral.
Pemeriksaan intra oral menunjukkan beberapa ulser putih , dangkal dan dikelilingi
daerah eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-5 mm, pada mukosa labial (gambar 1a
dan b), ventral dan lateral lidah (1c dan d), mukosa bukal (1e dan f). Higiene mulut tampak
buruk. Berdasarkan pemeriksaan subjektif dan objektif, ditegakkan diagnosis suspek RIH
dengan diagnosis banding SAR herpetiformis.
Hasil pemeriksaan hematologi yaitu LED 83.0 mm, kadar Hb 13,4 g/dl, Ht 40,5%,
eritrosit 4,87 juta/ml, MCV 87 fl, MCH 30 pg, MCHC 34 g/dl, trombosit 288.000 ml,
leukosit 8.700 ml. Pemeriksaan imunologi anti HSV-I IgG positif (OD=2.30), anti HSV-I IgM
positif (OD=1.30), anti HSV-II IgG negatif (OD=0,20) dan anti HSV-II IgM negatif
(OD=0,90) menunjukkan kesan adanya infeksi herpes simpleks tipe 1.
DASAR TEORI
Untuk diagnosis banding antara recurrent intraoral herpes (RIH) dengan stomatitis
aftosa rekuren (SAR) herpetiformis, digunakan istilah lesi herpes dan lesi afte. Para ilmuwan
Yunani, terutama Hippocrates, menggunakan istilah ’herpes’ yang berarti creep atau crawl
untuk menjelaskan lesi yang menyebar.6 Sedangkan istilah afte juga berawal dari Hippocrates
pada tahun 460-370 SM untuk menandai kelainan mulut. Dalam penggunaan umum, kata afte
mengacu pada keberadaan ulser yang tidak dapat didefinisikan. Stomatitis aftosa
digambarkan sebagai lesi terlokalisir pada mukosa ronga mulut atau sebagai komponen dari
kelainan vesikulo-ulseratif yang melibatkan berbagai sistem organ. Sulit untuk menentukan
diagnosis yang tepat antara RIH dan SAR herpetiformis jika melihat secara langsung pada
gambaran klinis di dalam rongga mulut karena kedua lesi tersebut mempunyai tampilan yang
mirip.
Penegakkan diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan perawatan
selanjutnya yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu selain melihat gambaran klinis,
yang sangat penting untuk diketahui dalam proses menegakkan diagnosis adalah riwayat
pasien dan keluarga, pemeriksaan ekstra oral, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang
diindikasikan. Informasi mengenai frekuensi terjadinya lesi, faktor-faktor yang meringankan
(obat-obatan yang telah digunakan), dan faktor-faktor yang mempemberat penting untuk
diketahui melalui anamnesis pada pasien atau keluarga yang menyertainya.
Pemeriksaan subyektif berupa anamnesis yang akurat dan lengkap perlu dicatat. Hal
pertama yang ditanyakan adalah keluhan utama pasien. Kedua lesi herpes dan afte seringkali
hadir disertai gejala prodromal yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk penting dalam
menegakkan diagnosis. Literatur menyebutkan bahwa gejala prodromal untuk infeksi herpes
mungkin membingungkan dan pasien tidak menyadari bahwa gejala demam merupakan
gejala prodromal. Tetapi bagi pasien yang seringkali mengalami lesi herpes maka gejala ini
akan mudah dikenali. Indikasi pertama terjadinya lesi herpes rekuren mungkin berupa sensasi
yang tidak menyenangkan pada jaringan yang terkena dan dapat terasa sebagai berkurangnya
sensasi sensorik, serta rasa nyeri terbakar. Pada kasus di atas dengan diagnosis RIH, melalui
anamnesis pasien mengeluh adanya rasa sakit sampai mengganggu makan, minum, tidur,
bahkan berbicara. Gejala demam dirasakan oleh dua pasien pertama sedangkan pasien ketiga
tidak merasakan demam sebelum lesi mulut muncul. Lesi herpes yang rekuren tidak selalu
disertai dengan gejala prodromal seperti demam, bahkan lesi timbul tanpa disadari oleh
pasien. Gejala prodromal SAR juga berupa nyeri atau rasa terbakar terlokalisir selama 24- 48
jam dapat mendahului terjadinya ulser. Derajat nyeri dapat bervariasi dari ringan sampai berat
dan seringkali dianggap melebihi ukuran lesi.Kesadaran akan mulai berkembangnya SAR
umumya terlihat dari ketidaknyamanan lokal yang dirasakan di daerah lesi. Gejala yag
hampir mirip, jika melihat berdasarkan gejala klinis saja sulit untuk menentukan diagnosis
mana yang tepat dari kedua kelainan tersebut tanpa melihat parameter klinis lain.
Informasi penting lainnya yang perlu diketahui di dalam anamnesis untuk
membedakan RIH dan SAR adalah faktor etiologi dan faktor predisposisinya. Telah diketahui
bahwa RIH disebabkan oleh herpes simplex virus type 1 (HSV-1) tetapi tidak tertutup
kemungkinan juga oleh herpes simplex virus type 1(HSV-2). Dan reaktivasi virus dapat
dipicu oleh demam (misalnya karena infeksi saluran pernafasan atas), sinar matahari (fever
blister), trauma, stress, atau immunosuppresi menyebabkan infeksi rekuren atau sekunder.
Pada SAR tidak ada faktor etiologi yang pasti, tetapi diduga penyebab utama SAR adalah
faktor herediter. Berbagai faktor pemicu SAR pada pasien yang rentan, antara lain trauma
oral, stress, defisiensi hematinik (kekurangan zat besi, vitamin B, atau asam folat), sensitif
terhadap makanan (pengawet seperti asam benzoat), kelainan gastrointestinal, defisiensi
imun, dan ketidakseimbangan hormonal yang berkaitan dengan siklus menstruasi.
Pada pasien dengan RIH terbukti bahwa kelainan yang terjadi karena infeksi HSV,
yang dapat dilihat pada hasil pemerikasaan imunologi. Dan faktor pemicunya adalah faktor
psikologis dan fisik.. Sebuah literatur menyebutkan bahwa istilah SAR digunakan untuk lesi
rekuren yang ditemukan di rongga mulut dan tidak ada riwayat penyakit sistemik. Tetapi lesi
dengan gambaran klinis yang mirip dengan SAR, dapat ditemukan padakelainan sistemik
seperti Behcet’s syndrome, kelainan gastrointestinal, sindrom imunodefisiensi seperti infeksi
HIV, dan cyclic neutropenia. Bila pada seseorang tidak ada riwayat lesi dengan gambaran
klinis lesi aftosa pada saat kanak-kanak maka ia dinamakan aphtous like ulcers.
Gambaran klinis merupakan parameter yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis RIH dan SAR herpetiformis. Oleh karena itu setelah mengetahui gejala
klinis,pemeriksaan klinis secara teliti penting dilakukan. Literatur menyebutkan bahwa
setelah tahap prodromal lesi herpetik bermanifestasi dalam bentuk kumpulan vesikel-vesikel
kecil berwarna keabuan sampai putih yang ruptur dan membentuk ulser kecil-kecil dengan
diameter 1 mm atau kurang. Ulser-ulser ini dapat bersatu membentuk ulser yang lebih besar
sampai mencapai 1.5 cm. Ulser yang besar dan iregular yang merupakan gabungan dari ulser-
ulser yang kecil dapat dijumpai pada ketiga kasus ini. Lesi afte biasanya berbatas jelas,
dangkal, berbentuk bulat atau oval, dengan bagian tengahnya nekrosis dangkal dengan
pseudomembran kuning-keabuan dan dikelilingi oleh daerah kemerahan (halo eritema). Telah
diketahui bahwa SAR mempunyai 3 tipe yaitu mayor, minor, dan herpetiformis.Lesi afte yang
menyerupai penampakan lesi herpetik adalah SAR tipe herpetiformis, tetapi lesi afte tidak
mengalami transisi lewat tahap spesifik seperti pada lesi herpes. Lesi tersebut dapat
meningkat ukurannya dari mulai awal terdeteksi sampai akhirnya maturasi. Pada kasus
keempat, ditemukan ulser putih, dangkal, dan halo eritema yang jelas ditemukan pada
mukosa bukal. Tidak ditemukan lesi vesikel yang menjadi salah satu faktor yang dapat
disanggah sebagai infeksi herpes. Lokasi terjadinya lesi awal dapat memberi petunjuk penting
akan kondisi yang terjadi. Lesi herpes umumnya timbul di jaringan berkeratin seperti pada
vermillion border, palatum keras, gingiva cekat. Sebaliknya, stomatitis aftosa rekuren
biasanya terjadi pada jaringan tidak berkeratin atau didekat kelenjar. Lokasi yang umum
dijumpai yaitu pada mukosa labial, bukal dasar mulut, orofaring, vestibulum, dan sisi lateral
lidah. Pada ketiga kasus infeksi herpes, lokasi lesi tampak pada mukosa berkeratin mapun
tidak berkeratin. Sedangkan pada kasus keempat, lesi tampak hanya pada mukosa yang tidak
berkeratin. Temuan lokasi lesi ini menunjang diagnosis SAR herpetiformis.
Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis pada kedua
kelainan tersebut adalah pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan imunologi berupa anti
HSV IgG dan IgM. Hasil pemeriksaan pada ketiga kasus RIH menunjukkan adanya anti
HSV-I IgG dan IgM positif pada dua pasien dan HSV-II IgM positif pada satu pasien,
sedangkan kasus keempat anti HSV-I dan II negatif.. Pemeriksaan penunjang merupakan alat
penting dalam menegakkan diagnosis, terutama bila gambaran lesi dan riwayat pasien tidak
cukup jelas.Literatur menyebutkan bahwa virus herpes mungkin dijumpai tersebar di seluruh
lingkungan. Sehingga sering terjadi pemaparan, baik yang menimbulkan gejala maupun
tidak. Banyak orang sehat mempunyai antibodi terhadap berbagai jenis virus herpes. Infeksi
herpes dapat ditegakkan dengan kenaikan titer antibodi yang bermakna selama sakit atau
sesudahnya. Kenaikan jumlah titer antibodi pada infeksi herpes ini masih kontroversial.
Sebuah studi melaporkan pada saat dilakukan pemeriksaan pada subyek dengan lesi herpes
menunjukkan titer antibodi yang lebih tinggi daripada subyek dengan tanpa lesi. Sebuah
literatur lain menyebutkan bahwa untuk menegakkan diagnosis infeksi herpes primer, titer
antibodi sekurang-kurangnya 4 kali lipat. Jika tidak, lesi tersebut merupakan rekuren
(sekunder). Kadar anti HSV yang meningkat secara bermakna belum tentu ditemukan
bersamaan dengan ditemukan lesi pada rongga mulut pada pasien. Pada ketiga kasus RIH ini,
kenaikan titer antibodi bervariasi. Tetapi, dari hasil pemeriksaan anti HSV ini dapat
menunjukkan adanya infeksi yang kronis dan aktif terhadap virus herpes. Selain pemeriksaan
serologi, virus herpes biasanya dapat diisolasi melalui dari lesi primer dengan cara dibiakkan.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dilakukan karena adanya keterbatasan biaya. Berdasarkan
evaluasi pada empat kasus di atas, kedua lesi ini jelas memiliki persamaan dan perbedaan.
Oleh karena itu mengetahui secara teliti parameter klinis, riwayat pasien, pemeriksaan ekstra
oral, dan hasil pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan sangat penting dalam proses
menegakkan diagnosis. Sehingga dapat direncanakan perawatan selanjutnya dengan benar
dan dapat dihindari tidak rasionalnya pemberian obat-obatan karena kesalahan dalam
menegakkan diagnosis.
Pendahuluan
Pemeriksaan rongga mulut adalah daerah diagnosis fisik yang dapat diperoleh
melalui evauasi sistematik jaringan lunak dan keras rongga mulut.
Terlepas dari tujuan utamanya adalah untuk membedakan antara kondisi sehat
dan penyakit, pemeriksaan rongga mulut yang menyeluruh – berbarengan dengan
riwayat medik dan dental – dapat memberikan wawasan penting terhadap kesehatan
dan kesejahteraan pasien secara keseluruhan.
Sebagian besar lesi jaringan lunak di rongga mulut sering merupakan lesi
infeksi, traumatik ataupun proses reaktif, etiologi yang tepat kadang ditentukan
melalui anamnesa dan pemeriksaan klinis yang teliti. Sebagai contoh, efek samping
obat – yang menimbulkan xerostomia dapat mempunyai efek yang besar pada
keseharan rongga mulut. Dengan alasan itulah, riwayat medis lengkap sebaiknya
diperoleh secara rutin. Kebiasaan, pasta gigi dan mouthwash dapat mempengaruhi
jaringan rongga mulut dalam keadaan khusus. Jika diagnosis klinis lesi oral tidak
dapat ditentukan dengan dasar gejalan dan tanda, pemeriksaan rongga mulut dapat
ditunjang dengan biopsi.
Selalu mulai dengan pemeriksaan ekstra oral kepala dan leher. Pada beberapa
kasus, informasi klinis yang diperoleh sangat berharga dalam menentukan etiologi
dan perjalanan penyakit mulut pada pasien yang mencari perawatan. Sebagai contoh,
manifestasi oral utama sindrom hamartoma adalah adanya papiloma oral multipel.
Secara umum tinggi badan seorang dapat diamati dengan cepat sewaktu pasien
memasuki ruang praktek. Untuk memastikannya dapat diukur dan membandingkannya
dengan tabel yang memuat perbandingan antara tinggi badan, usia dan berat badan
anak. Faktor yang mempengahi keadaan tinggi, berat badan dalam masa
perkembangan adalah herediter, lingkungan, penyakit sistemik dan gangguan
endokrin
b. KULIT
Adanya perubahan atau kelainan pada kulit di wajah atau tangan dapat dipakai
sebagai petunjuk adanya kelainan atau penyakit. Lesi yang primer atau sekunder
dapat terjadi pada kulit muka, bila terdapat herpes pada bibir atau muka yang disertai
rasa sakit dan juga disertai sakit gigi, sebaiknya perawatan gigi ditunda atau diberi
premedikasi dan pasien dirujuk ke dokter kulit terlebih dulu.
c. MATA
Inspeksi dan palpasi limfonodi servikal pada area leher : kesimetrisan, ada nya
pembesaran dan konsistensi.
Adanya massa di leher bukan penemuan yang tidak umum, terutama pada
pasien-pasien dengan infeksi oral dan malignansi lanjut. Limfonodi yang paling
sering terlibat adalah limfonodi leher anterior, meski limfonodi regional lainnya dapat
membesar juga. Limfadenopati sekunder karena infeksi biasanya mobile dan lunak,
sedangkan limfadenopati metastatik biasanya asimptomatik dan terfiksir pada
struktur di bawahnya; meski variasi-variasi limfadenopati ditemukan sebagai
penemuan subjektif maupun objektif. Massa ekstraoral yang umum ditemukan
selanjutnya yang mungkin ditemukan melalui palpasi adalah neoplasma kelenjar
saliva.
Neoplasma parotis, secara khusus, paling baik dideteksi melalui palpasi kulit
preaurikular. Palpasi ekstraoral glandula submandibuler kadang kadang
mengungkapkan pembesaran dan perlunakan; palpasi bimanual biasanya lebih efektif.
Dengan meletakkan tangan pada area trakhea, kemudian meminta pasien untuk
menelan, maka akan terasa kel tiroid akan upward
Inspeksi dan palpasi pada area depan telinga, untuk mendeteksi adanya massa
bilateral, pembengkakan dan nyeri pada kelenjar parotis (area pada depan telinga).
Kelenjar
parotis Kelenjar
submandi
bularis
BIBIR
Bibir diperiksa secara visual dan palpasi. Vermilion border seharusnya halus
dan lembut. Warna membran mukosa diperiksa dengan teliti. Mukosa rongga mulut
dideskripsikan sebagai warna pink-salmon; meski variasi tertentu hadir karena
adanya rasial pigmentasi, vaskularisasi dan keratinisasi. Sejumlah pigmentasi kutan
muncul secara umum proporsional dengan jumlah pigmentasi pada mukosa rongga
mulut; perubahan warna pada mukosa rongga mulut yang tidak seharusnya dapat
mengindikasikan penyakit sistemik. Bibir kemudian ditarik ke depan dan inspeksi
mukosa labial. Pada individu yang sehat, mukosa labial halus, lembut dan terlumasi
dengan baik oleh glandula saliva minor. Kecemasan berkaitan dengan pemeriksaan
dapat mengakibatkan xerostomia sementara. Pada kasus demikian, mukosa menjadi
lengket ketika disentuh. Glandula saliva minor pada bibir bawah biasanya dapat
dipalpasi. Bibir bawah kadang mengalami trauma yang dapat menyebabkan luka pada
duktus glandula saliva minor yang menyebabkan pembentukan mucocele
Kerusakan aktinik pada bibir (actinic cheilitis), terutama pada bibir bawah
bermanifestasi pada perubahan atrofi yang berkaitan dengan eritema atau leukoplakia
dengan penebalam epitelium. Kedua perubahan ini sering ditemukan secara simultan
pada area yang berdekatan dengan vermilion border. Maserasi dan cracking pada
sudut mulut (angular chelitis) dianggap disebabkan oleh:
Diperiksa dengan menarik pipi dan bibir, akan terlihat mukosa labial,
dilanjutkan dengan memeriksa mukosa bukal, apakah terdapat pembengkakan, warna
di kedua sisi, lesi yang menonjolatau kedalam atau perubahan lain.
Pada bibir, mukosa bukal juga seharusnya dilumasi dengan saliva. Glandula
saliva minor dan Fordyce granule dapat berupa tekstur granuler pada mukosa bukal.
Kecuali lesi-lesi Human Herpes Virus (HHV-tipe 1) rekuren – yang terbatas pada
mukosa terkeratinisasi, penyakit vesikuloerosif paling sering melibatkan mukosa
bukal.
2. GINGIVA
Gingiva dapat diperiksa paling mudah dengan cara menutup mulut sebagian
dan bibir diretraksi dengan jari-jari, tongue blade atau lip retractor). Gingiva cekat
terkeratinisasi dan tampak lebih pucat daripada mukoa lainnya . Jaringan ini biasanya
cekat, stipling dan melekat erat pada tulang di bawahnya. Mukosa alveolar
memanjang dari gingiva cekat hingga vestibulum oris. Mukosa alveolar – kontras
dengan gingiva cekat – tidak terkeratinisasi dan berwarna lebih gelap. Gingiva cekat
biasanya mengandung pigmen yang kadang berkorelasi dengan pigmentasi pada kulit
lainnya; sedangkan mukosa alveolar jarang terpigmentasi, meski pada orang kulit
berwarna.
Figure 7 – Gingiva
Figure 12 – Floor
Figure 13 - Hard palate
Figure 14 – Oropharynx
Figure 15 – Palpation
Clinically, a leukoplakia on left buccal mucosa. However, the biopsy showed early squamous
Erythroleukoplakia in left commissure and buccal mucosa. Biopsy showed mild epithelial
dysplasia and presence of candida infection. A 2-3 week course of anti-fungal treatment may
Untuk memeriksa tonsil, lidah ditekan dengan kaca mulut atau tongue blade,
lalu pasien berkata ”aahh” dilihat apakah ada perubahan warna, ulserasi atau
pembengkakan.
Inspeksi dan palpasi bimanual pada dasar lidah, dengan memakai kaca mulut
angkatlah lidah dan amati dasar lidah lalu gunakana 2 jari (satu di luar dan satu
didalam) unutk papasi maasa dasar mulut, perubahan warna di dasar mulut atau
adanya massa.
Sisi lateral lidah dapat diperiksa dengan cara menjepit lidah dengan kasa,
menarik lidah dan kemudian memutarnya ke lateral. Sisi lateral lidah tidak dilapisi
dengan sejumlah papila. Mukosa lateral lidah lebih eritematus dan makin ke
posterior, fisur-fisur vertikal makin jelas terlihat. Sekumpulan jaringan berwarna
dengan protuberansia dapat ditemukan pada dasar lidah. Jaringan limfe accesori
(tonsila lingualis) adalah komponen dari cincin Waldeyer dan dapat membesar jika
terjadi infeksi ataupun inflamasi.
4. PALATUM
Untuk melihat langsung bentuk, warna dan lesi pada jaringan lunak dan keras
palatum, kepala pasien direbahkan ke belakang. Pembengkakan, kelainan bentuk dan
konsistensinya dapat diketahui dengan palpasi.
5. GIGI
PROSEDUR KEGIATAN
A. Persiapan alat
Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan oral pastikan bahwa alat dan bahan yang
dibutuhkan telah tersedia. Berikut ini peralatan dan bahan –bahan yang dibutuhkan :
1. mempersiapkan alat : masker, handschoen, diagnostic set (kaca mulut, pinset, cheek
retractor dan sonde), kapas, senter, nierbekken.
4. Merapikan alat-alat.
6. Mencuci tangan