Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

THALASSEMIA DALAM KEHAMILAN

Disusun oleh

Padrepio Ragil Rahadi


1015108

Pembimbing
Dr.dr. Aloysius Suryawan, SpOG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Thalasemia berasal dari kata “thalasa” yang berarti laut dan “haima” yang
berati darah. Kata thalasemia di maksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut
dengan penduduk Mediterania. Thalasemia ditemukan tersebar di seluruh ras di
Mediterania, Timur Tengah, India sampai Asia Tenggara (Merati, 2008)
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia.
Dari 250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta
(Bernadette Modell , Matthew Darlison, 2008) .
Menurut data dari badan Litbang Departemen Kesehatan RI, prevalensi
pembawa sifat talasemia di Indonesia sekitar 3 – 8%. Artinya 3 sampai 8 dari 100
orang Indonesia membawa sifat talasemia. Di RSCM saja pada tahun 2006
tercatat 1300 pasien thalassemia, dengan kisaran usia 6 bulan hingga 40 tahun.
Angka kejadiannya hampir sama antara laki-laki maupun perempuan
Karena angka morbiditas dan mortalitas nya cukup tinggi, maka perlu
diketahui karakteristik kelainan ini sehingga bisa dilakukan pencegahan-
pencegahan dan deteksi dini, untuk mengurangi angka kejadiannya terutama di
Indonesia ( Tubagus Djumhana Atmakusumah, Pustika Amalia Wahidiyat, Abdul
Salam,Riadi Wirawan, 2010).
Secara klinis, thalasemia dibedakan menjadi thalasemia mayor, intermediate
dan minor/carrier. Sedangkan secara genetik, thalasemia dibedakan menjadi
thalasemia α atau β (sesuai rantai globin yang mengalami reduksi) (Todd Gersten,
2014).
Kejadian thalasemia sampai saat ini belum bisa terkontrol terkait faktor
genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk
thalasemia khususnya di Indonesia.
Thalassemia pada kehamilan terjadi apabila ibu yang menderita thalassemia
tipe β major dan intermedia menginginkan memiliki anak. Penderita khususnya
tipe β major dan intermedia yang membutuhkan trasfusi darah membutuhkan

1
perhatian dan perlakuan khusus. Karena hal ini meningkatkan risiko kepada ibu
dan bayi yang dikandung. Ada beberapa masalah yang bisa terjadi kepada ibu
thalassemia yang ingin memiliki anak, yang meliputi masalah hormonal,
kardiovascular, iron overload, dan peningkatan risiko IUGR. Dengan tambahan
bahwa ibu dengan thalassemia sebisa mungkin tidak mendapatkan terapi
chelation, yang akan mungkin dapat menimbulkan masalah endokrin.
(Gynaecologist, 2014)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
di sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini di tandai oleh panas
berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch.

2.2 Etiologi dan Epidemiologi


Etiologi:
Etiologi dari demam thypoid yaitu :
1. 96 % disebabkan oleh Salmonella Typhi, basil gram negative yang bergerak
dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam
antigen, yaitu :
a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b. Antigen (flagella)
c. Antigen VI dan protein membran hialin
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
Mikroorganisme ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia dan
makanan atau minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa oleh lalat.
Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan
tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme
ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan dan
minuman yang tidak higenis.
Kuman Salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu
370C dan mati pada suhu 54,40C. Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh
bakteri golongan Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran

3
pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit,baik ketika ia sedang sakit atau
sedang dalam masa penyembuhan.Pada masa penyembuhan, penderita masih
mengandung Salmonella typosa didalam kandung empedu atau didalam ginjal.
Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,sedang
2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier
tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk
urinary type.

Epidemiologi:
Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan,
termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar Asia Selatan merupakan
daerah endemik Demam Tifoid. Di Indonesia ( daerah endemis ) di laporkan
penderita typoid berumur antara 3 smpai 19 tahun mencapai 91% kasus.
Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia setiap tahunnya, dengan
meninggal sebanyak 500.000. Sedangkan, dalam referensi lain mengatakan bahwa
diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh
dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah
endemiknya tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan,
Karibia, hingga Oceania. 80% kasus ditemukan di negara-negara berkembang,
seperti Bangladesh, LAOS, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Di
Indonesia, mayoritas penderitanya adalah kelompok umur 3-19 tahun.

2.3 Faktor Risiko


1. Sanitasi lingkungan yang buruk

Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang tercemar,
kondisi lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor
(sampah bertebaran di mana-mana), kotoran hewan di jalan umum yang tidak
dibersihkan (dibiarkan begitu saja), dan sebagainya.

4
2. Personal Hygiene yang buruk

Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak bersih dan sehat
oleh anggota masyarakat, seperti tidak mencuci tangan sebelum maupun
sesudah makan, menggunakan peralatan makan yang sudah dipakai
sebelumnya (belum dicuci langsung dipakai kembali, atau kalaupun dicuci
tetapi tidak bersih), tidak menggunakan jamban atau toilet untuk buang air
besar maupun buang air kecil.

3. Menjadikan sungai sebagai sapiteng rumah tangga. Hal ini dapat mencemari
sungai sehingga bakteri S. typhi dapat menyebar di dalam sungai. Jika, sungai
tersebut dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi, cuci, kakus maka bakteri
S. typhi akan sangat mudah menginfeksi manusia.
4. Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalamm kondisi mentah dan
minum air yang tidak direbus.
5. Pasteurisasi susu yang tidak baik
Pasteurisasi susu yang menggunakan suhu yang tidak sesuai maka dapat
memicu berkembangnya bakteri-bakteri termasuk bakteri S. typhi, apabila
terminum oleh manusia maka akan masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi
manusia tersebut
6. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak baik

Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak sesuai standar
kebersihan, seperti tidak mencuci tangan sebelum mengolah makanan dan
minuman, menggunakan wadah yang tidak bersih, makanan atau minuman
dibiarkan terbuka begitu saja, dan sebagainya. Hal tersebut dapat menyebabkan
bakteri mudah berpindah ke dalam makanan dan minuman kemudian termakan
dan menginfeksi manusia.

5
2.4 Patogenesis dan patofisiologi

Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui


makanan atau minuman terkontaminasi

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH <2, sebagian


lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.

Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya
ke lamina propia

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan


selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika

Selanjutnya kuman yang terdapat dalam makrofag ini keluar melalui


duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimptomatik)

Menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan


limpa.

6
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik

2.5 Gejala klinik


Gejala klasik yang muncul mulai dari demam tinggi, malas, sakit kepala,
konstipasi atau diare, Rose-Spot pada dada dan Hepatosplenomegal. Rose spot
adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 sampai
5 mm, sering kali di jumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah di laporkan di temukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 sampai 10 dan bertahan selama 2
sampai 3 hari.
Periode inkubasi demam typhoid pada anak antara 5 sampai 40 hari
dengan rata-rata 10 sampai 14 hari. Gejala klinis ringan tidak memerlukan
perawatan, sedangkan gejala klinis berat harus di rawat. Anak mengalami demam
tinggi pada sore hingga malam hari dan turun pada pagi hari.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis Demam Tifoid dapat dilakukan melalui beberapa pemeriksaan
laboratorium seperti berikut ini:
• Pemeriksaan Hematologi, dimana ditemukan penurunan jumlah leukosit
(leukopeni) dan limfositosis.
• Pemeriksaan Tes Widal
Menunjukkan reaksi antibodi dan antigen dari bakteri Salmonella.
Sensitifitas dan spesifisitas tes Widal tidak tinggi, sehingga bisa memberikan hasil
negative pada penderita yang sudah menggunakan antibiotic. Juga bisa
memberikan hasil positif palsu pada penyakit demam lainnya, sehingga harus
dinilai juga peningkatan titer yang terjadi melalui pemeriksaan serial ulangan.

7
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
- Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
- Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan
titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
- Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada
pasien dengan gejala klinis khas.
• Gall culture dan SS culture
Sumsum tulang dan Feces dilakukan pada minggu ke 1 – 2. Pemeriksaan
feces juga dapat dilakukan untuk mendeteksi penderita carrier, yaitu penderita
yang tidak menunjukkan gejala Demam Tifoid tapi berpotensi menularkan karena
bakteri Salmonella typhii dikeluarkan dari kandung empedu ke saluran cerna.
• Pemeriksaan Tes Tubex
mendeteksi antibody Ig M dan Ig G terhadap antigen Salmonella typhii ,
dengan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan Tes Widal

8
2.7 Diagnosis Banding
Typhoid DHF Malaria
 Demam >7hari  Demam 2-7 hari  Demam >7hari
 Demam timbul tidak  Demam timbul  Demam timbul tidak
mendadak mendadak mendadak
 Demam Remitten  Saddle back fever  Demam Intermitten
(Suhu naik lalu turun (hari ke 3-6 suhu (Suhu naik lalu turun
tapi tidak sampai turun, selama 48 jam) bisa sampai normal
normal)  Nyeri retroorbital atau dibawah normal)
 Puncak demam pada (pegal pada bagian  GIT : - (tidak ada
sore/malam hari mata) gejala khas)
 Nyeri kepala (Bagian  Ada yang sakit serupa  Riwayat : Pergi ke
Frontal) di rumah/ tempat daerah endemis
 GIT : 60% Konstipasi tinggal/ tempat kerja dalam 3 bulan
30% Diare  GIT : mual, muntah terakhir
10% Normal  Tes torniket + ,  Pemeriksaan : SADT
 Riwayat : Makan ditemukan petekie >10
makanan siap saji di pada bagian volar
luar lengan
 Typhoid Tongue,  Perdarahan spontan
lidah tremor saat Conjunctiva
dijulurkan hiperemis, epitaksis,
 Bradikardi relative pada wanita saat haid :
 Lab : leucopenia darah keluar lebih
60%, leukositosis banyak dari biasanya
30%, normal 10%  Lab :
Aneosinofilia, Hemokonsentrasi,
limfositosis Trombositopenia,
 Pemeriksaan : Gal Limfosit Plasma Biru
Kultur (darah), SS  Pemeriksaan :
Kultur (feses/urin), Hemaglutinasi
Tubex TF (+>4), IgM Inhibition (+, titer
anti Salmonella, meningkat 4x), IgM
Widal  + titer IgG anti Dengue, NS1
meningkat 4x/lebih

2. 9 Penatalaksanaan

 Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka harus
disarankan untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang baik dan untuk

9
pencegahan, hindari menyiapkan makanan untuk orang lain selama sakit.
selama fase akut infeksi, tinja dan urine harus dibuang secara aman.
 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit
(tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 Diet dan terapi penunjuang dilakukan padat dini rendah serat. Dalam artian
pasien secepatnya dapat memakan makanan apapun tetapi harus menghindari
makanan yang berserat tinggi untuk menghindari bahaya perforasi usus.
 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di
rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus.
Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.
 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol,
trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin dapat digunakan. Obat-
obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-
obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
 Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4
kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
 Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin
dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin
dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8
mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali
dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena,
selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai
sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat.

10
Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang
melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan
manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan
dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian
disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam
sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus
dengan penyulit perforasi usus
 Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan
ahli bedah lebih suka sederhana penutupan perforasi dengan drainase
peritoneum. Kecil usus reseksi diindikasikan untuk pasien dengan perforasi
ganda.

11
BAB III. KESIMPULAN

Typhus abdominalis adalah golongan penyakit yang ditularkan melalui


mekanisme fecal oral. Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan, termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar Asia Selatan
merupakan daerah endemik Demam Tifoid. Di Indonesia ( daerah endemis ) di
laporkan penderita typoid berumur antara 3 smpai 19 tahun mencapai 91% kasus.
Penatalaksanaannya hingga saat ini mulai dari diet dan tirah baring total lalu
juga rawat inap di rumah sakit. Dengan menghindari asupan makanan tinggi
serat,dan didukung dengan penggunaan antibiotik utama yaitu chlorampenicol,
tindakan bedah dilakukan sesuai indikasi dan manifestasi klinis pada pasien.
Prognosis kelainan ini baik, tetapi juga terdapat carrier typhoid walaupun sudah
menyelesaikan regimen pengobatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Kiddieadm, “Demam Tifoid”, diakses tanggal 9 Maret 2013 dari


http://www.kiddiecarecentre.com/saluran-cerna/demam-tifoid.html

2. Okky P. Pramitasari, Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada


Penderita yang Dirawat di RSUD Ungaran, (Semarang, 2013), h. 2

3. Buckle, Geoffrey C. Typhoid Fever and Paratyphoid Fever: Systemic Review to


Estimate Global Morbidity and Mortality for 2010. Journal of Global Health

13

Anda mungkin juga menyukai