Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia Internasional, menjalin hubungan Internasional adalah suatu


mutlak yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara, hal ini sudah tertuang di
dalam Konvensi Montevideo 1933 yang menyatakan syarat dari terbentuknya
negara salah satu poin yang paling penting adalah mampu menjalin hubungan
Internasional dengan negara lain, tujuannya adalah adanya saling membutuhkan
satu negara dengan negara lainnya, karena tidak ada satu negara yang dapat
memenuhi kebutuhan negaranya sendiri tanpa bantuan dari negara lain.

Dengan seringnya negara menjalin hubungan Internasional dengan negara


lain banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain
dampak positif yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara
terlibat suatu pertikaian atau sengketa Internasional di antara kedua negara,
banyak kasus yang sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai
dan banyak kasus yang terjadi yang menyebabkan masalah di atas, misalkan kasus
Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, serta suatu Sengketa Kuil
Preah vihear antara Thailand dan Kamboja dan yang terakhir ini adalah sengketa
yang terjadi di Indonesia yaitu konflik antara China dengan Indonesia atas
wilayah pulau Natuna. Berbagai metode penyelesaian sengketa ini telah
berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dahulu. metode penyelesaian
sengketa ini dilakukan dengan kekerasan. seperti perang. invasi. dan lainnya.

Metode itu telah menjadi solusi bagi Negara sebagai aktor utama dalam
hukum internasional klasik. Seiring dengan perkembangan zaman. cara-cara
kekerasan yang digunakan tersebut direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi
semenjak lahirnya The Hague Pace Conference dan Covention on the Pacific
Settlement of International Disputes pada tahun 1899 dan 1907. Akan tetapi.
karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat. konvensi tersebut
tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap) untuk melarang

1
Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian sengketa dengan
kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2. Oleh karena itu. Negara-negara
yang terlibat dalam PD II membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai
pengganti LBB. Terbentuknya PBB diharapkan dapat menciptakan kedamaian di
Dunia. Dalam praktik hubungan antarnegara saat ini. PBB telah menjadi
organisasi internasional.

Piagam PBB telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara
untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman
penyelesaian sengketa secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak
diperlukan. Hal itu disebabkan konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan
Fungsi) PBB itu sendiri. yaitu menjaga kedamaian dan kemanan dunia
(Internasional).

B. Rumusan Masalah

a.Bagaimana Penyelesaian Kasus Sengketa Internasional Dengan Cara


Yudisial

b Bagaimana konflik antara Indonesia dan Malaysia mengenai sengketa


pulau Sipadan dan Ligitan

c.Bagaimana proses penyelesaian konflik Indonesia dan Malaysia


mengenai sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

d.Bagaimana analisis konflik Indonesia dengan Malaysia mengenai


sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk Memngetahui Bagaimana Penyelesaian Kasus Sengketa


Internasional Dengan Cara Yudisial

2
b.Untuk mengetahui konflik antara Indonesia dan Malaysia mengenai
sengketa pulau Sipadan dan Ligitan

c.Untuk mengetahui proses penyelesaian konflik Indonesia dan Malaysia


mengenai sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

d.Untuk menganalisis konflik Indonesia dengan Malaysia mengenai


sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

D. Manfaat Penulisan
Mudah-mudahan mkalalah ini dapat memberikan manfaat bagi
siapa saja yang membacanya dan agar si pembaca dapat menambah
wawasan menganai kasus Internasional seperti kasus antara Indonesia
dengan Malaysia dalam sengketa pulau Sipadan dan Ligitan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA


YUDISIAL

Sengketa internasional dapat berujung pada perang ataupun bukan perang.


Suatu sengketa internasional dapat digolongkan menjadi perang atau bukan
perang didasarkan pada luas atau dalamnya sengketa itu sendiri, niat para pihak
yang bersengketa, dan sikap serta reaksi pihak-pihak yang tidak bersengketa.

Timbulnya sengketa internasional memerlukan cara penyelesaian.


Penyelesaian sengketa internasional dengan cara yang seadil-adilnya, bagi para
pihak merupakan dambaan masyarakat internasional.Untuk itu, Konvensi The
Hague 1899 dan 1907 tentang Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa
Internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, memberikan acuan cara-
cara penyelesaian sengketa internasional.

Secara umum, ada dua cara penyelesaian sengketa internasional, yakni


penyelesaian secara damai dan penyelesaian secara paksa atau kekerasan apabila
penyelesaian secara damai gagal terlaksana.

Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan penyelesaian


tanpa paksaan atau kekerasaan. Cara-cara penyelesaian secara damai meliputi
arbitrase; penyelesaian yudisial; negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi,
penyelidikan; dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB.Pembedaan
cara-cara tersebut tidak berarti bahwa proses penyelesaian sengketa internasional
satu sama lain saling terpisah secara tegas, melainkan ada kemungkinan antara
cara yang satu dengan yang lain saling berhubungan.

Disini kami akan membahas tentang sengketa Internasional yang


diselesaikan dengan cara dengan cara damai yaitu dengan melalui jalu hukum atau

4
Yudisial. Penyelesaian yudisial adalah suatu penyelesaian sengketa internasional
melalui suatu pengadilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya,
dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Lembaga pengadilan internasional
yang berfungsi sebagai organ penyelesaian yudisial dalam masyarakat
internasional adalah International Court of Justice.

Sengketa Internasional (international dispute) adalah perselisihan yang


terjadi antara negara dan negara, antara negara dan individu-individu, atau antara
negara dan badan-badan atau lembaga-lembaga yang menjadi subjek hukum
Internasional. Nah, pada kesempatan kali ini kami akan membahas sengketa
internasional yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia, akan tetapi sebelum
membahas permasalahan sengketa tersebut terlebih dahulu kami akan membehas
tentang apa saja penyebab-penyebab terjadinya sengketa Internasional dan cara-
cara apa saja yang ditempuh untuk menyeledsaikannya.

A. Penyebab Sengketa Internasional

a. Politik Luar Negeri Yang Terlalu Luwes Atau Sebaliknya Terlalu Kaku

Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan
timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan
pemicu utama terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang
terlalu luwes (fleksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada
akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap
kaku terhadap Cina.

b. Unsur-Unsur Moralitas Dan Kesopanan Antarbangsa

Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain,


kesopanan antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab
jika kita menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini pernah

5
terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia,
meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.

c. Masalah klaim batas negara atau wilayah kekuasaan

Negara-negara yang bertetangga secara geografis berpeluang besar terjadi


konflik atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara lain
oleh Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.

d. Masalah Hukum Nasional (Aspek Yuridis) Yang Saling Bertentangan

Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan


dan kondisi masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa
mempertimbangkan hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin
konfrontasi bisa terjadi. Hal ini terjadi saat Malaysia secara yuridis menentang
cara-cara pengalihan daerah Sabah dan Serawak dari kedaulatan Kerajaan Inggris
ke bawah kedaulatan Malaysia.

e. Masalah ekonomi

Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali
memicu terjadinya konflik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan
memihak adalah penyebab terjadinya konflik. Hal ini dapat terlihat ketika
Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian
menjadikan konflik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.

B. Dasar Hukum Proses Peradilan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional memiliki lima aturan yang menjadi dasar dan


rujukan dalam proses persidangan. Kelima aturan tersebut adalah:

a. Piagam PBB tahun 1945,


b. Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945,
c. Aturan Mahkamah (Rules of the Court) tahun 1970,

6
d. Panduan Praktik (Practice Directions) I – IX, dan
e. Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah
(ResolutionConcerning the Internal Judicial Practice of the Court).

Di dalam Piagam PBB tahun 1945, dasar hukum yang berkenaan dengan
Mahkamah Internasional terdapat dalam Bab XIV tentang Mahkamah
Internasional yang terdiri atas lima pasal, yaitu Pasal 92-96. Sedangkan dalam
statuta Mahkamah Internasional, ketentuan mengenai proses beracara tercantum
dalam Bab III yang mengatur tentang prosedur, yang terdiri dari 26 pasal (Pasal
39-46). Selain itu juga terdapat dalam Bab IV yang memuat tentang advisory
opinion, terdiri atas empat pasal (Pasal 65-68).

Sementara itu, Aturan Mahkamah (Rules of the Court) tahun 1970 terdiri
atas 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa
kali amandemen. Adapun tentang Panduan Praktik (Practice Directions) I – IX,
ada sembilan panduan praktik yang dijadikan dasar proses beracara Mahkamah
Internasional. Panduan ini umumnya berkenaan dengan hal surat pembelaan
(written pleadings) dalam proses beracara di Mahkamah Internasional. Sedangkan
mengenai Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah (Resolution
Concerning the Internal Judicial

C Mekanisme Persidangan Mahkamah Internasional

Secara umum, mekanisme persidangan Mahkamah Internasional dapat


dibedakan menjadi dua, yaitu mekanisme normal dan mekanisme khusus.

a. Mekanisme normal

Secara ringkas, mekanisme normal persidangan Mahkamah Internasional


dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

7
a. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification Of Special Agreement)
Atau Aplikasi (Application)

Dalam hal ini, persidangan dimulai dengan penyerahan perjanjian khusus


antara kedua pihak yang bersengketa yang berisi penerimaan yurisdiksi
Mahkamah Internasional. Dalam perjanjian tersebut termuat identitas para pihak
yang bersengketa dan inti persengketaan. Namun, ada bentuk lain dalam proses
awal persidangan, yaitu dengan penyerahan aplikasi dari salah satu pihak yang
bersengketa. Dalam hal ini, aplikasi berisikan identitas pihak yang menyerahkan
aplikasi, identitas negara yang menjadi pihak lawan dalam sengketa, dan pokok
persoalan sengketa.

Negara yang mengajukan aplikasi disebut applicant, sedangkan pihak


lawan disebut respondent. Adapun perjanjian khusus atau aplikasi tersebut pada
umumnya ditandatangani oleh wakil dan dilampiri surat menteri luar negeri atau
duta besar negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh register Mahkamah
Internasional, perjanjian khusus atau aplikasi tersebut segera dikirimkan kepada
kedua belah pihak yang bersengketa dan kepada negara-negara anggota
Mahkamah Internasional. Selanjutnya perjanjian khusus atau aplikasi tersebut
dimasukkan dalam Daftar Umum Mahkamah (Court’s General Lists), dilanjutkan
dengan siaran pers. Setelah didaftar, versi bahasa Inggris dan Perancis dikirimkan
kepada Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui yuridiksi MI, dan setiap
orang yang memintanya. Tanggal pertama kali perjanjian atau aplikasi diterima
oleh register merupakan tanggal dimulainya proses beracara di Mahkamah
Internasional.

b. Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)

Dalam pembelaan ini, apabila tidak ditentukan oleh para pihak yang
bersengketa, maka pembelaan tertulis dapat berupa memori dan tanggapan
memori. Bilamana para pihak meminta diadakannya kesempatan pertimbangan
dan MI menyetujuinya, maka diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban.
Memori umumnya berisi pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan penundukan

8
(submissions) yang diminta. Sedangkan tanggapanmemori berisi argumen
pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memori, tambahan
fakta baru, jawaban atas pernyataan hukum memori, dan putusan yang diminta
(umumnya disertakan pula dokumen pendukung). Apabila kedua pihak yang
bersengketa tidak mengatur batasan mengenai lamanya waktu untuk menyusun
memori ataupun tanggapan memori, maka hal itu akan ditentukan secara sama
oleh Mahkamah Internasional. Demikian juga, apabila kedua belah pihak yang
bersengketa tidak menentukan bahasa resmi yang akan digunakan, maka hal itu
akan ditentukan oleh MI.

c. Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)

Setelah pembelaan tertulis diserahkan oleh para pihak yang bersengketa,


dimulailah presentasi pembelaan (oral pleadings). Tahap ini bersifat terbuka untuk
umum, kecuali bila para pihak menghendaki tertutup dan disetujui oleh
Mahkamah Internasional. Ada dua kali kesempatan bagi para pihak yang
bersengketa untuk memberikan presentasi pembelaannya di hadapan Mahkamah
Internasional. Proses ini umumnya berlangsung dua atau tiga minggu. Waktu
tersebut akan diperpanjang apabila Mahkamah Internasional menghendakinya.

d. Keputusan (Judgement)

Ada tiga kemungkinan yang menjadikan sebuah kasus sengketa


internasional dianggap selesai. Pertama, bilamana para pihak berhasil mencapai
kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, bilamana pihak applicant
atau kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menarik diri dari proses
persidangan. Bilamana ini terjadil, maka secara otomatis kasus sengketa tersebut
dianggap selesai. Ketiga, bilamana Mahkamah Internasional telah memutus kasus
tersebut berdasarkan pertimbangan dari keseluruhan proses persidangan yang
telah dilakukan.

Di akhir persidangan sebuah kasus sengketa, ada tiga kemungkinan


pendapat hakim Mahkamah Internasional, yaitu pendapat menyetujui

9
(declarations), pendapat berisi persetujuan walaupun ada perbedaan dalam hal-hal
tertentu (separate opinions), dan pendapat berisi penolakan (dissenting opinion).

B. Mekanisme Khusus

Karena sebab-sebab tertentu, persidangan Mahkamah Internasional bisa


berlangsung secara khusus. Dalam arti, ada penambahan tahap-tahap tertentu yang
agak berbeda dari mekanisme normal sebagaimana diuraikan di atas. Adapun
sebab-sebab yang menjadikan persidangan sedikit berbeda dari mekanisme
normal, di antaranya sebagai berikut:

a. Adanya Keberatan Awal (Preliminary Objection)

Adakalanya untuk mencegah agar Mahkamah Internasional tidak membuat


putusan, salah satu pihak dalam sengketa (respondent) mengajukan keberatan.
Keberatan awal diajukan oleh pihak responden karena MI dianggap tidak
mempunyai yurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna, dan hal lain yang
dianggap penting olehnya. Menghadapi keberatan awal ini, ada dua kemungkinan
yang bisa dilakukan oleh MI. Kemungkinan pertama, MI menerima keberatan
awal tersebut, lantas menutup kasus yang diajukan. Kemungkinan kedua, MI
menolak keberatan awal tersebut dan meneruskan proses persidangan.

b. Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)

Ketidakhadiran salah satu pihak biasanya dilakukan oleh pihak responden.


Hal itu dilakukan karena menolak yurisdiksi MI. Ketidakhadiran ini tidak
menghentikan proses persidangan di MI. Persidangan tetap akan dijalankan
dengan mekanisme normal dan akhirnya akan diberikan putusan atas sengketa
tersebut.

c. Putusan Sela (Provisional Measures)

Adakalanya dalam proses persidangan terjadi hal-hal yang dapat


membahayakan subjek dari aplikasi yang diajukan. Bila hal itu terjadi, pihak

10
applicant dapat meminta MI agar membuat putusan sela untuk memberikan
perlindungan atas subjek aplikasi tersebut. Dalam hal ini, putusan sela dapat
berupa permintaan MI agar pihak responden tidak melakukan hal-hal yang dapat
mengancam efektivitas putusan Mahkamah Internasional.

d. Beracara Bersama (Joinder Proceedings)

Proses beracara bersama bisa dilakukan oleh MI. Hal itu dimungkinkan
bila MI menemukan fakta adanya dua pihak atau lebih dalam proses beracara
yang berbeda, yang mempunyai argumen dan tuntutan (petitum) yang sama atas
satu pihak lawan yang sama.

e. Intervensi (Intervention)

Ada kemungkinan dalam sebuah persidangan dilakukan intervensi. Hal ini


berarti, MI memberikan hak kepada negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa
(non-disputant party) untuk melakukan intervensi atas sengketa yang tengah
disidangkan. Hak tersebut diberikan manakala negara yang tidak terlibat dalam
sengketa tersebut beranggapan bahwa ada kemungkinan nantinya ia bisa
dirugikan oleh adanya putusan MI atas masalah yang diajukanoleh para pihak
yang terlibat dalam sebuah sengketa.

B. KONFLIK ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGENAI


SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

Pulau sipadan-ligitan merupakan objek sengketa internasional antara


indonesia dan malaysia. Pulau sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut
(sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari
pantai pulau sebatik (Indonesia). Sedangkan pulau ligitan dengan luas 7,9 ha
terletak sekitar 21 mil laut (seikitar 34 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 57,6
mil laut (sekitar 93 km) dari pantai pulau sebatik.

11
Pada awalnya, akar terjadinya sengketa karena kesalahan dari pihak
kolonial Belanda. Pihak kolonial yang terlibat dalam hal ini adalah Belanda dan
Inggris. Kedua bangsa kolonial ini menandatangani Traktat London yang
menyetujui bahwa wilayah Singapura keatas sampai Malaysia menjadi jajahan
Inggris dan dari Bengkulu ke selatan dan ke timur menjadi jajahan Belanda.
Namun, karena sikap pemerintah Belanda yang menunda penuntasan detail
administrasi mengenai penetapan perbatasan telah terlanjur hingga sekarang.

Permasalahan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan telah terjadi dari


tahun 1890, dimana kesultanan Sulu menyewakan kedua pulau tersebut yang
letaknya berdekatan dengan Sabah kepada perusahaan Austria. Karena pada tahun
1967 Sabah bergabung dengan federasi Malaysia, tetapi Sipadan dan Ligitan tidak
diikutkan didalamnya.

Pada 20 Juni 1891, Inggris dan Belanda melakukan perundingan dan


tercapainya perjanjian yang berisi: wilayah utara yaitu wilayah Sebatik adalah
milik Inggris, sedangkan bagian selatan garis adalah milik Belanda, sementara itu
Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis tersebut.

Malaysia dalam pengakuan kedua wilayah tersebut juga memiliki dasar


yang kuat dengan berlandaskan Traktat Paris pada tahun 1809 yang merupakan
perjanjian mengenai perbatasan daerah Malaysia dengan daerah Filiphina.
Kemudian perjanjian Spanyol-Amerikapada tahun 1900 dan perjanjian Inggris-
Amerika pada tahun 1930. Selain dasar perjanjian diatas, wilayah Sipadan-Ligitan
merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan kedua wilayah
tersebut kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris, dan kemudian kepada
Malaysia setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963.

Bagi Indonesia dalam posisi persengketaan ini tidak cukup kuat, karena
setelah ditinggalkan oleh Belanda, dan Indonesia telah menelantarkan kedua pulau
tersebut.Pada tahun 1968 Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama

12
Indonesia dengan Japex. Reaksi tersebut merupakan tanggapan terhadap
Eksplorasi Laut yang dilakukan di Pulau Sipadan dan Ligitan.

Akibat dari persengketaan antar kedua negara ini, maka untuk


menghindari terjadinya peperangan maka dilakukan perundingan. Sebagai
langkah awal penyelesaian kasus ini maka kedua pulau dinyatakan berstatus quo.
Perbedaan pandangan mengenai status quo ini ditanggapi oleh Malaysia dengan
mendirikan pariwisata di Sipadan dan Ligitan, dan juga melakukan pembaharuan
guna menjadikan pulau tersebut sebagai daya tarik pariwisata.Menurut pandangan
Malaysia status quo merupakan status dimana boleh dilakukan pendudukan
terhadap pulau sengketa hingga proses sengketaberakhir. Hal itu tidak diketahui
oleh Indonesia, karena menurut pandangan Indonesia status quo merupakan status
yang dimana tidak boleh dilakukan pendudukan terhadap pulau sengketa hingga
kasusnya berakhir. Sehingga pada akhirnya Indonesia merasa tercuri start dan
membuat Indonesia semakin rugi dalam posisinya.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun


1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-
masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam
batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa
berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah
dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung
kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa
dua pulau tersebut sebagai miliknya sesuai peta unilateral 1979 malaysia serta
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Namun kedua belah
pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status
quo”. Pada tahun 1989, masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan
kembali oleh kedua negara.

13
C. PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INDONESIA DAN
MALAYSIA MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN
LIGITAN.

A. Bilateral (Diplomatik)

Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan masalah


persengketaan secara bilateral yaitu dengan melakukan pertemuan pejabat tinggi
kedua negara pada tahun 1992. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati untuk
membentuk Komisi Bersama dan Kelompok kerja sama ( Joint Commission/JC
dan Join Working Groups/JWG). Terbentuknya JC dan JWG tidak membawa
hasil optimal karena pertemuan antar keduanya tidak menghasilkan keputusan
mengenai penyelesaian sengketa. Selanjutnya pemerintah RI menunjuk
Mensesneg Moerdiono, sementara Malaysia menunjuk wakil PM Datok Anwar
Ibrahim sebagai wakil khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum
JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan Kuala Lumpur tidak
tercapai hasil kesepakatan. Dengan kata lain, penyelesaian sengketa dengan jalan
bilateral belum mencapai titik terang.

B. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Pada tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur, presiden Soeharto dan
PM.Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus, kemudian tanggal 31 Mei
1997 kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional (MI) dengan menandatangani dokumen “Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute
between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau
Sipadan and Pulau Ligitan”.

Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah


ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah
Internasional, melalui suatu “joint letter” atau notifikasi bersama. Dengan itu
proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI mulai berlangsung.

14
Kedua Negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-
masing melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial pada 2
November 1999, diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “Reply”
pada 2 Maret 2001. Kemudian proses “Oral Hearing” yang merupakan tahap akhir
penyelesaian dari kedua Negara bersengketa dilakukan pada 3-12 Juni 2002.
Indonesia menyiapkan beberapa materi tersebut dengan membentuk Satuan
Khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi Negara seperti Deplu,
Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati
Nunukan, pakar kelautan dan pakar hokum laut Internasional.

Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI yaitu Dirjen pol Deplu, dan


Dubes RI untuk Belanda Indonesia juga mengangkat tim penasehat hukum
Internasional. Malaysia juga melakukan hal yang sama. Proses hokum di MI/ICJ
memakan waktu kurang lebih 3 tahun.

Tetapi, MI/ICJ dalam beberapa persidangannya tidak menggunakan materi


hukum yang disampaikan oleh kedua Negara seperti yang menjadi persyaratan
diatas, melainkan menggunakan kaidah pembuktian lain yaitu “Continuous
presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”.
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was
successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was
successor to the Sultan Sulu cannot be upheld”

C. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Internasional

Mahkamah menyatakan bahwa ukuran yang objektif dalam penentuan


kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective
occupation (penguasaan efektif). Dua aspek penting dalam penentuan effective
occupation adalah keputusan adanya cut-off datesering yang disebut critical date,
dan bukti-bukti hokum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh MI adalah
pada tahun 1969 , sehingga semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti

15
pembangunan Resort oleh Malaysia tidak memberikan dampak hokum. MI
melihat bukti hokum sebelum 1969. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa
federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu
bagiannya pada 16 September 1963.

MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa


kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh
Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-
Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi
Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/Inggris yang
kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan
(Chain of Title Theory). Mahkamah menyatakan bahwa tidak satupun dokumen
hokum yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara
efisien ini memuat referensi yang secara tegas menuju pada dua pulau yang
disengketakan.

Argument Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah


yang berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV
konvensi 1891 juga ditolak oleh MI. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4o
10’ LU yang memotong pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus
kea rah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak diterima oleh
MI.

D. Pertimbangan Putusan Mahkamah Internasional

Indonesia tidak dapat memberikan bukti-bukti kuat yang dapat


mewujudkan kedaulatan Belanda pada Pulau Sipadan dan Ligitan dalam
pembuktian effectivities. Tidak ada dokumen otentik yang dapat menguatkan
tentang pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau hingga tahun 1969.
UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan yang ditetapkan pada 18 Februari 1960 yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara, juga tidak memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah

16
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa hal tersebut tidak menguntungkan
pihak Indonesia.

Sebaliknya, MI menyimpulakan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan


Malaysia berkaitan dengan pembuktian penguasaan efektif menunjukkan adanya
beragam tindakan pengelolaan berkesinambungan dan damai yang dilakukan
pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Upaya-upaya Inggris terwujud dalam
tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa
seperti :

a. Pemungutan pajak terhadap aktifitas penangkapan penyu dan


pengumpula telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di
pulau Sipadan pada tahun 1930-an.
c. penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung di Pulau Sipadan
d. pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau
Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan.

E. Pembuktian Masing-Masing Negara Di Mahkamah Internasional

Bukti-bukti yang diajukan oleh Indonesia di antaranya adalah:

a. Adanya patroli AL Belanda di kawasan Sipadan dan Ligitan dari tahun


1895-1928 termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan
pada November-Desember 1921
b. Adanya Survey hidrogafi kapal Belanda Mecasser di perairan Sipadan
Ligitan pada Oktober-November 1903, yang kemudian dilanjutkan
dengan patroli TNI-AL
c. Adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960

17
Bukti-bukti yang diajukan oleh Malaysia di antaranya adalah:

a. Hukum Turtle Preservation Ordiance 1917; perjanjian kapal nelawan


kawasan Sipadan Ligitan
b. Regulasi suaka burung tahun 1933
c. Pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963

F. Putusan Mahkamah Internasional

Menanggapi bukti-bukti yang diserahkan Indonesia, Mahkamah


Internasional menegaskan bahwa dalam UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan,
Indonesia tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia.
Kemudian terhadap bukti-bukti berupa kegiatan patroli yang dilakukan angkatan
laut Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bagian dari
latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Sedangkan mengenai
kegiatan yang dilakukan nelayan Indonesia, mahkamah berpendapat bahwa
kegiatan tersebut adalah kegiatan pribadi yang bukan bagian dari pelaksanaan
suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas pemerintah.

Sementara itu, bukti-bukti yang diserahkan Malaysia dinilai lebih kuat


karena berlandaskan hukum—tidak hanya mengedepankan esensi bahwa negara
harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan
keberatan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation.

G. Kekalahan Indonesia

Kekalahan Indonesia atas proses legitimasi Pulau Sipadan dan Ligitan


disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Kurangnya koordinasi antara lembaga untuk mengelola Sipadan-


Ligitan.

18
Pertimbangan utama Mahkamah Internasional untuk melegitimasi suatu
pulau adalah pelestarian alam (ecology preservation), penguasaan efektif
(effective occupation), dan keberadaan terus menerus pulau tersebut (continuous
presence). Padahal, selama ini hal-hal tersebut kurang diperhatikan oleh pihak-
pihak berwenang di Indonesia seperti Departemen Pariwisata, Departemen
Kelautan, Departemen Dalam Negeri, TNI AL, dan lembaga lain.

b. Tidak adanya kegiatan penguasaan efektif sebelum tahun 1969.

Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia karena sebelum tahun


1969, Inggris telah menunjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu
berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan
aturan perlindungan swasta. Sedangkan Belanda yang merupakan pemilik resmi
pulau Sipadan-Ligitan pada masa kolonialisme tidak pernah melakukan tindakan
apa pun terhadap Sipadan-Ligitan.

c. Penolakan Mahkamah Internasional terhadap konvensi 1891.

Indonesia sempat mengajukan pembelaan dan argumen yang bersandar


pada konvensi 1891. Argumen ini kemudian ditolak oleh Mahkamah Internasional
karena konvensi ini hanya mengatur batasan wilayah darat Kalimantan, bukan
pada wilayah perairan. Selain itu isi konvesi tersebut hanya menarik jarak sejauh
3 mil dari titik pantai, dan penarikan itu tidak sampai ke Sipadan Ligitan.

d. Lemahnya faktor kependudukan (occupation) dari pihak Indonesia.

Setelah diselidiki, masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak


bergantung pada transportasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia selama
bertahun-tahun. Seperti sarana pemancar radio, telepon, dan televisi.

19
D. ANALISIS KONFLIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA
MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan


yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan
ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk
menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu
pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga
tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan
oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang
tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.

Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan


Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata
hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas
kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun
1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan
Sabah dibentuk pada 16 September 1963.

Indonesia berdasarkan treaty-based title, yaitu 1891 Convention yang


membagi wilayah Belanda dan Inggris, tetapi Indonesia tidak mencantumkan dua
pulau itu dalam UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia, walaupun
menurut Konvensi 1891 Sipadan-Ligitan berada di bawah wilayah Belanda yang
dilanjutkan pada Indonesia. Mahkamah lebih memperhatikan Effective Control
oleh Inggris yang diteruskan pada Malaysia, yaitu (1) collection of turtle eggs sbg
the most important economic activity in 1914, (2) establishment of a bird
sanctuary in 1933, (3)constructed lighthouses in the early 1960s

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan permasalah diatas dapat kita simpulkan bahwa Malaysia telah


menguasai Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tahun 1969 Malaysia mengklaim
bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia, karena kedua pulau itu
berdsarkan chain of title (rantai kepemilikan) merupakan wilayah dibawah
kekuasaan Inggris yang menjajah Malaysia sebelum Malaysia menyatakan
merdeka. Malaysia telah melakukan kecurangan terhadap Indonesia. Karena pada
saat Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa, Indonesia dan Malaysia pun
membuat perjanjian yakni perjanjian status quo.Namun disini Malaysia malah
melakukan kecurangan karena melakukan aktivitas di tanah sengketa dengan
membuka tempat wisata penangkaran penyu, pembuatan risosrt, dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Pulau Sipadan dan Ligitan
tersebut. Maka Indonesia pun merasa di curangi

Keputusan Mahkamah Internasional pun telah memberi keputusan bahwa


Negara Malaysia berhak atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan karena
Mahkamah Internasional melihat siapa yang lebih dahulu melakukan aktivitas
ditanah sengketa, maka Negara itulah yang berhak menerima Pulau tersebut.
Disini juga Indonesia tidak memiliki peta atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Maka
jelaslah pihak Malaysia yang menang dalam kasus sengketa ini. Pada tanggal 31
Mei 1997 Presiden Soeharto menyetujui kesepakatan “Final and Binding”
berasama dengan perdana mentri Muhatir Muhamad.

keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni


bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi
atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk
menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu

21
pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya

B. Saran

Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah


Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan
pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk
memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana
lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan
satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting,
karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi
banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap
pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan
wilayah.Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan
di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus
diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara
atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu
sendiri.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/12/15/kasus-sengketa-pulau-
sipadan-ligitan-antara-indonesia-malaysia-dalam-icj/

https://ekusuma16.wordpress.com/2014/06/19/sengketa-pulau-sipadan-
dan-ligitan/

http://wilmart-mycreated.blogspot.co.id/2011/06/penyelesaian-sengketa-
malaysia-dan.html

23

Anda mungkin juga menyukai