PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode itu telah menjadi solusi bagi Negara sebagai aktor utama dalam
hukum internasional klasik. Seiring dengan perkembangan zaman. cara-cara
kekerasan yang digunakan tersebut direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi
semenjak lahirnya The Hague Pace Conference dan Covention on the Pacific
Settlement of International Disputes pada tahun 1899 dan 1907. Akan tetapi.
karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat. konvensi tersebut
tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap) untuk melarang
1
Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian sengketa dengan
kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2. Oleh karena itu. Negara-negara
yang terlibat dalam PD II membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai
pengganti LBB. Terbentuknya PBB diharapkan dapat menciptakan kedamaian di
Dunia. Dalam praktik hubungan antarnegara saat ini. PBB telah menjadi
organisasi internasional.
Piagam PBB telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara
untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman
penyelesaian sengketa secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak
diperlukan. Hal itu disebabkan konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan
Fungsi) PBB itu sendiri. yaitu menjaga kedamaian dan kemanan dunia
(Internasional).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
b.Untuk mengetahui konflik antara Indonesia dan Malaysia mengenai
sengketa pulau Sipadan dan Ligitan
D. Manfaat Penulisan
Mudah-mudahan mkalalah ini dapat memberikan manfaat bagi
siapa saja yang membacanya dan agar si pembaca dapat menambah
wawasan menganai kasus Internasional seperti kasus antara Indonesia
dengan Malaysia dalam sengketa pulau Sipadan dan Ligitan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Yudisial. Penyelesaian yudisial adalah suatu penyelesaian sengketa internasional
melalui suatu pengadilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya,
dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Lembaga pengadilan internasional
yang berfungsi sebagai organ penyelesaian yudisial dalam masyarakat
internasional adalah International Court of Justice.
a. Politik Luar Negeri Yang Terlalu Luwes Atau Sebaliknya Terlalu Kaku
Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan
timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan
pemicu utama terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang
terlalu luwes (fleksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada
akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap
kaku terhadap Cina.
5
terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia,
meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.
e. Masalah ekonomi
Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali
memicu terjadinya konflik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan
memihak adalah penyebab terjadinya konflik. Hal ini dapat terlihat ketika
Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian
menjadikan konflik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.
6
d. Panduan Praktik (Practice Directions) I – IX, dan
e. Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah
(ResolutionConcerning the Internal Judicial Practice of the Court).
Di dalam Piagam PBB tahun 1945, dasar hukum yang berkenaan dengan
Mahkamah Internasional terdapat dalam Bab XIV tentang Mahkamah
Internasional yang terdiri atas lima pasal, yaitu Pasal 92-96. Sedangkan dalam
statuta Mahkamah Internasional, ketentuan mengenai proses beracara tercantum
dalam Bab III yang mengatur tentang prosedur, yang terdiri dari 26 pasal (Pasal
39-46). Selain itu juga terdapat dalam Bab IV yang memuat tentang advisory
opinion, terdiri atas empat pasal (Pasal 65-68).
Sementara itu, Aturan Mahkamah (Rules of the Court) tahun 1970 terdiri
atas 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa
kali amandemen. Adapun tentang Panduan Praktik (Practice Directions) I – IX,
ada sembilan panduan praktik yang dijadikan dasar proses beracara Mahkamah
Internasional. Panduan ini umumnya berkenaan dengan hal surat pembelaan
(written pleadings) dalam proses beracara di Mahkamah Internasional. Sedangkan
mengenai Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah (Resolution
Concerning the Internal Judicial
a. Mekanisme normal
7
a. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification Of Special Agreement)
Atau Aplikasi (Application)
Dalam pembelaan ini, apabila tidak ditentukan oleh para pihak yang
bersengketa, maka pembelaan tertulis dapat berupa memori dan tanggapan
memori. Bilamana para pihak meminta diadakannya kesempatan pertimbangan
dan MI menyetujuinya, maka diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban.
Memori umumnya berisi pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan penundukan
8
(submissions) yang diminta. Sedangkan tanggapanmemori berisi argumen
pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memori, tambahan
fakta baru, jawaban atas pernyataan hukum memori, dan putusan yang diminta
(umumnya disertakan pula dokumen pendukung). Apabila kedua pihak yang
bersengketa tidak mengatur batasan mengenai lamanya waktu untuk menyusun
memori ataupun tanggapan memori, maka hal itu akan ditentukan secara sama
oleh Mahkamah Internasional. Demikian juga, apabila kedua belah pihak yang
bersengketa tidak menentukan bahasa resmi yang akan digunakan, maka hal itu
akan ditentukan oleh MI.
d. Keputusan (Judgement)
9
(declarations), pendapat berisi persetujuan walaupun ada perbedaan dalam hal-hal
tertentu (separate opinions), dan pendapat berisi penolakan (dissenting opinion).
B. Mekanisme Khusus
10
applicant dapat meminta MI agar membuat putusan sela untuk memberikan
perlindungan atas subjek aplikasi tersebut. Dalam hal ini, putusan sela dapat
berupa permintaan MI agar pihak responden tidak melakukan hal-hal yang dapat
mengancam efektivitas putusan Mahkamah Internasional.
Proses beracara bersama bisa dilakukan oleh MI. Hal itu dimungkinkan
bila MI menemukan fakta adanya dua pihak atau lebih dalam proses beracara
yang berbeda, yang mempunyai argumen dan tuntutan (petitum) yang sama atas
satu pihak lawan yang sama.
e. Intervensi (Intervention)
11
Pada awalnya, akar terjadinya sengketa karena kesalahan dari pihak
kolonial Belanda. Pihak kolonial yang terlibat dalam hal ini adalah Belanda dan
Inggris. Kedua bangsa kolonial ini menandatangani Traktat London yang
menyetujui bahwa wilayah Singapura keatas sampai Malaysia menjadi jajahan
Inggris dan dari Bengkulu ke selatan dan ke timur menjadi jajahan Belanda.
Namun, karena sikap pemerintah Belanda yang menunda penuntasan detail
administrasi mengenai penetapan perbatasan telah terlanjur hingga sekarang.
Bagi Indonesia dalam posisi persengketaan ini tidak cukup kuat, karena
setelah ditinggalkan oleh Belanda, dan Indonesia telah menelantarkan kedua pulau
tersebut.Pada tahun 1968 Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama
12
Indonesia dengan Japex. Reaksi tersebut merupakan tanggapan terhadap
Eksplorasi Laut yang dilakukan di Pulau Sipadan dan Ligitan.
13
C. PROSES PENYELESAIAN KONFLIK INDONESIA DAN
MALAYSIA MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN
LIGITAN.
A. Bilateral (Diplomatik)
Pada tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur, presiden Soeharto dan
PM.Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus, kemudian tanggal 31 Mei
1997 kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional (MI) dengan menandatangani dokumen “Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute
between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau
Sipadan and Pulau Ligitan”.
14
Kedua Negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-
masing melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial pada 2
November 1999, diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “Reply”
pada 2 Maret 2001. Kemudian proses “Oral Hearing” yang merupakan tahap akhir
penyelesaian dari kedua Negara bersengketa dilakukan pada 3-12 Juni 2002.
Indonesia menyiapkan beberapa materi tersebut dengan membentuk Satuan
Khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi Negara seperti Deplu,
Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati
Nunukan, pakar kelautan dan pakar hokum laut Internasional.
15
pembangunan Resort oleh Malaysia tidak memberikan dampak hokum. MI
melihat bukti hokum sebelum 1969. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa
federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu
bagiannya pada 16 September 1963.
16
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa hal tersebut tidak menguntungkan
pihak Indonesia.
17
Bukti-bukti yang diajukan oleh Malaysia di antaranya adalah:
G. Kekalahan Indonesia
18
Pertimbangan utama Mahkamah Internasional untuk melegitimasi suatu
pulau adalah pelestarian alam (ecology preservation), penguasaan efektif
(effective occupation), dan keberadaan terus menerus pulau tersebut (continuous
presence). Padahal, selama ini hal-hal tersebut kurang diperhatikan oleh pihak-
pihak berwenang di Indonesia seperti Departemen Pariwisata, Departemen
Kelautan, Departemen Dalam Negeri, TNI AL, dan lembaga lain.
19
D. ANALISIS KONFLIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA
MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
21
pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya
B. Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
https://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/12/15/kasus-sengketa-pulau-
sipadan-ligitan-antara-indonesia-malaysia-dalam-icj/
https://ekusuma16.wordpress.com/2014/06/19/sengketa-pulau-sipadan-
dan-ligitan/
http://wilmart-mycreated.blogspot.co.id/2011/06/penyelesaian-sengketa-
malaysia-dan.html
23