Askep Hisfrung Desease
Askep Hisfrung Desease
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Agar mahasiswa mengetahui tinjauan terori Hisprng serta
asuhan keperawatannya dan untuk memenuhi tugas Keperawatan
Anak II pada semester VI.
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
a. Untuk mengetahui pengertian hirschprung.
b. Untuk mengetahui etiologi hirschprung.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis hirschprung.
d. Untuk mengetahui komplikasi hirschprung.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan hirschprung.
f. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Hirschprung.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 PENGERTIAN
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatik pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (
Ngastiyah,1997;139).
Hirschprung atau megacolon adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada
bayi dengan berat badan lahir 3 Kg, lebih banyak laki-laki dari pada perempuan
( Arief Mansjoeer : 2000).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau
megakolon (aganglionik megakolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam
rectum dan sebagian tidak ada dalam kolon. (Suriadi, 2001).
Penyakit hirschprung atau megakolon congenital adalah tidak adanya sel-
sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. (Cecily L. Betz,
2002; 196).
Hirschprung atau Megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan( Betz,Cecily& amp; Sowden : 2010 ).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau
megakolon (aganglionik megakolon) yaitu adanya sel ganglion parasimpatik,
mulai dari spingter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, dapat dari kolon sampai pada usus halus.
Jadi penyakit hirschprung adalah suatu kelainan bawaan di mana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatik, mulai dari spingter ani interna kearah
proksimal dengan panjang yang bervariasi, dapat dari kolon sampai pada usus
halus.
Penyakit Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus
kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (mega kolon). (Gambar 1)
2.2 ETIOLOGI
1) Penyakit hirschsprung diduga sebagai defek congenital familia.
2) penyakit hirschsprung terjadi akibat kegagalan perpindahan kraniokaudal
dari precursor sel saraf ganglion sepanjang saluran GI antara minggu kelima
dan kedua belas gestasi.
3) Sering terjadi pada anak dengan down syndrome.
4) Megakolon pada hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian usus distal dengan defisiensi ganglion .
5) Tidak diketahui secara pasti kemungkinan factor genetic dan factor
lingkungan.
6) Mungkin terdapat suatu kegagalan migrasi sel-sel dari puncak neural
embrionik ke dinding usus atau kegagalan dari pleksus-pleksus mienterikus
dan submukosa untuk bergerak ke kraniokaudal dalam dinding usus
tersebut.
2.4 PATOFISIOLOGI
1) Tidak adanya sel ganglion parasimpatik otonom pada satu segmen kolon
menyebabkan kurangnya persarafan di segmen tersebut.
2) Kurangnya persarafan menyebabkan tidak adanya gerakan mendorong,
menyebabkan akumulasi isi intestinal dan distensi usus proksimal terhadap
defek.
3) Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltic secara normal.
4) Penyempitan pada lumen usus, tinja dan gas akan berkumpul dibagian
proksimal dan terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian kolon tersebut
melebar (megakolon).
5) Enterokolitis, inflamasi usus halus dan kolon, merupakan penyebab utama
kematian pada anak-anak dengan penyakit Hirschprung. Hal itu terjadi
sebagai akibat dari distensi intestin dan iskemia (sekunder) akibat distensi
dinding usus.
2.5 PATHWAY
Anoreksia
Nyeri Gangguan
keseimbangan
Gangguan cairan
Gangguan nutrisi kurang
integritas kulit dari kebutuhan
Resiko
infeksi
2.6 GAMBARAN KLINIS
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi
dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut.
Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidak
adaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti
obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam.
Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang
khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat
dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
(1). Bayi baru lahir
Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah lahir,
malas minum, distensi abdomen,dan emesis yang mengandung empedu.
(Gambar 2)
2.7 KOMPLIKASI
1) Gawat pernafasan akut
2) Enterokolitis akut
3) Triktura ani pasca bedah
4) Inkontinensia jangka panjang
5) Obstruksi usus
6) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
7) Konstipasi
2.9 PENATALAKSANAAN
1) Medik
Bila belum dapat dilakukan operasi, biasanya (merupakan tindakan
sementara) dipasang pipa rectum, dengan atau tanpa dilakukan pembilasan
dengan air garam fisiologis secara teratur.
a. Bayi dengan obstruksi akut
Pemeriksaan rectal atau memasukkan pipa rectal sering dapat
memperbaiki keadaan sementara waktu
Mengosongkan rectum tiap hari dengan cairan NaCl 0,9 %
b. Pengobatan enterokolitis
2) Bedah
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion
aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan
mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi
spinkter ani internal. Pembedahan yang dilakukan yaitu:
a. Kolostomi sementara pada bagian transisi segera setelah dipastikan
diagnosis, dikonfirmasikan dengan pemeriksaan histology sehinggaakan
mengurangi adanya enterolitis
b. Anastomosis definitive bagian yang mempunyai ganglion dengan saluran
anus, dilakukan pada umur 9 sampai 12 bulan atau 6 bulan setelah
kolostomi pada anak yang lebih besar
Prosudur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai
tindakan bedahdefinitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya,
operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi
spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea
dentata, sebenarnya adalahmeninggalkan daerah aganglionik,
sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai
spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson
memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan
spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior5.
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga
dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke
dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler.
Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik
/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.
Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik
ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud
dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan
fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :
1. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2
buahklem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk
mencegahinkontinensia.
2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian.
4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik
transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah
denganmemotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah
klem keduaklem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini
lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasi.
Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak
tinggi.Namunoleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan
bedah definitive Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini
adalah membuang mukosarektum yang aganglionik,
kemudianmenarik terobos kolon proksimal yangganglionik masuk
kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rectumpada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi,sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.
3) Keperawatan
1. Kaji, dan laporkan dengan segera setiap tanda-tanda enterokolitis.
2. Tingkatkan hidrasi yang adekuat.
3. Kaji fungsi usus.
a. Kaji pasase mekonium pada neonatus.
b. Perhatikan dan catat frekuensi dan karakteristik feses pada bayi dan
anak yang lebih besar.
c. Ukur lingkar abdomen secara periodik untuk mengkaji adanya
peningkatan distensi.
4. Tingkatkan nutrisi yang adekuat sesuai dengan usia anak dan kebutuhan
nutrisi (Beri makan sedikit tapi sering).
5. Berikan enema, sesuai program untuk mengatasi konstipasi.
6. Hindari mengukur suhu melalui rectum karena berpotensi merusak
mukosa yang lembut.
7. Beri obat-obatan yang diprogramkan, dapat mencakup :
a. Nak mereka, jika sesuai.Antibiotik sistemik diberikan dengan
enema untuk mengurangi flora intestinal.
b. Pelunak feses diberikan untuk mengatasi konstipasi.
8. Turunksn ketidaknyamanan akibat dari distensi abdomen.
a. Tinggikan kepala tempat tidur.
b. Ubah posisi anak dengan sering.
c. Kaji adanya kesulitan bernapas dikaitkan dengan distensi.
9. Dukung anak dan orang tua.
a. Anjurkan anak dan orang tua untuk mengungkapkan perasaan dan
kekhawatirannya.
b. Anjurkan orang tua untuk mengunjungi dan berpartisipasi dalam
perawatan
10. Persiapkan anak dan orang tua untuk setiap prosedur dan pengobatan, yang
mencakup :
a. Dilatasi anus secara manual, penatalaksanaan diet dan
pembersihan dengan enema sampai anak mempu menoleransi
pembedahan.
b. Pembedahan untuk mengangkat segmen kolon aganglionik yang
tidak berfungsi, dilanjutkan dengan anastomosis dalam tiga tahap :
1) Kolostomi sementara sebelum pembedahan definitif untuk
mengistirahatkan usus dan meningkatkan berat badan anak.
2) Reanastomosis dengan menggunakan teknik penarikan
abdominoperineal sekitar 9 sampai 12 bulan kemudian.
3) Penutupsn kolostomi sekitar 3 bulan kemudian setelah
prosedur penarikan abdominoperineal.
c. Tanggung jawab perawat untuk asuhan praoperasi antara lain :
1) Membantu dengan terapi simtomatik untuk memperbaiki
status fisik anak dalam menghadapi pembedahan. Terapi
dapat mencakup enema ; diet rendah serat, tinggi kalori,
tinggi protein ; dan tidak jarang, penggunaan nutrisi
parenteral total (TPN, totall parenteral nutrion).
2) Mempersiapkan usus untuk pembedahan dengan enema
salin yang berulang-ulang, antibiotik sistemik, dan irigasi
antibiotik kolonik untuk menurunkan flora usus. Persiapan
usus tidak diperlukan untuk bayi baru lahir karena ususnya
masih steril.
d. Tanggung jawab perawat untuk perawatan pascaoperatif antara
lain :
1) Tetap mempuaskan anak selama periode pascaoperasi
awal.
2) Memantau asupan dan haluatan cairan, termasuk drainase
slang nasogastrik.
3) Menjauhkan popok anak dar pakaian untuk mencegah
kontaminasi.
4) Mengawali pemberian cairan oral sewaktu fungsi usus
pulih, biasanya setelah bising usus dapat diidentifikasi.
5) Memberikan perawatan ostomi jika diindikasikan. Hal ini
mencakup persiapan kulit, penggunaan alat pengumpul
feses, perawatan alat-alat, pengendalian bau, dan
memantau masalah-masalah seperti feses berbentuk pita,
diare berlebihan, perdarahan, prolaps, dan kegagalan untuk
mengeluarkan feses atau flatus.
6) Memberikan informasi pada keluarga mengenai perawatan
di rumah, mencakup perawatan ostomi dan sumber-sumber
yang ada.
11. Beri pendidikan kesehatan untuk dan keluarga.
a. Jelaskan prosedur dan penanganan, seperti enema, pelunak feses,
dan diet rendah serat atau rendah sisa ( misal, memberikan daging
yang lunak, daging unggas, ikan, roti tawar, sup yang bening, dan
tidak memberikan makanan yang berbumbu, buah dan jus buah,
sayuran mentah, dan sereal gandum serta roti.
b. Diskusikan dan jawab pertanyaan mengenai diagnosis,
pembedahan, perawatan praoperasi dan pascaoperasi, dan
perawatan kolostomi, jika dapat dilakukan.
c. Rencanakan konsultasi denga perawat ostomi untuk membantu
memberikan penyuluhan, sesuai indikasi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Terjadi terutama pada neonatus dan kanak-kanak.Lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
2. Keluhan utama
Ibu mengatakan mekonium lambat keluar atau tidak keluar
3. Riwayat penyakit sekarang
Mekonium lambat keluar lebih dari 24-48 jam setelah lahir, perut
kembung, muntah berwarna hijau, dan nyeri abdomen.Pada kanak-kanak
kadang terdapat diare atau enterokolitis kronik disertai kehilangan cairan,
elektrolit, dan protein yang masif, secara cepat dan progresif menjadi
sepsis dan syok.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diketahui adanya peningkatan kesulitan dalam
defekasi yang dimulai pada beberapa minggu pertama kehidupan,
konstipasi sejak lahir dan ditemukannya rektum yang kosong.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada
anaknya.
6. Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
7. Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit
Hirschsprung.
8. Kebutuhan nutrisi
Pola nutrisi didapatkan penurunan nafsu makan, minum, dan muntah
berwarna hijau, atau ada pembatasan klien pre op.
9. Kebutuhan eliminasi
Konstipasi, tinja seperti pita dan berbau busuk.
10. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan umum
Kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah dan gelisah,
suhu tubuh meningkat bila terdapat enterokolitis, nadi cepat dan
lemah, respirasi takipnea , BB menurun.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi.Perut kembung/perut tegang, muntah
berwarna hijau.Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik.
Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau
tinja yang menyemprot.
d. Sistem saraf.
SSP :Tidak ada kelainan, namun ada kelainan sel ganglion pada
ususnya.
e. Sistem lokomotor/musculoskeletal
Gangguan rasa nyaman.
f. Sistem integumen.
Akral hangat.
g. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
Chris Brooker. (2008). Ensiklopedia Keperawtan alih Bahasa Oleh Estu Tiar.
Jakarta : EGC
R. Sjamsuhidayat dan Wim de jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC