Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut Saparinah (2003) lansia yang berusia lebih dari 60 tahun
merupakan kelompok umur yang mencapai tahap pensiun, pada tahap ini akan
mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh atau kesehatan dan berbagai
tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam
hidupnya. Menurut Nugroho (2008) lansia merupakan kelompok orang yang
sedang mengalami suatu proses perubahan bertahap dalam jangka waktu
beberapa decade terjadinya suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
Menurut Hardywinoto (1999) periode kemunduran pada masa lanjut usia
dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak
potensial. Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu memenuhi
segala kebutuhan hidup tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain.
Lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Depkes (2001) menyatakan batasan lansia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Kelompok pra senelis atau pra lansia
Kelompok pralansia adalah kelompok usia dalam fase persiapan masa
lanjut usia yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-
59 tahun).
b. Kelompok usia lanjut
Kelompok usia lanjut adalah kelompok dalam masa senium (60 tahun
keatas).
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi
Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok berusia lebih dari
70 tahun atau lebih atau seseorang dengan usia 60 tahun lebih dengan
masalah kesehatan.

2.1.2 Konsep Sindrom Geriatric

3
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteristik
khusus yang membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya.
Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu adanya
lebih dari satu penyakit kronis degeneratif. Karakteristik kedua adalah daya
cadangan faali menurun karena menurunnya fungsi organ akibat proses
menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang
tidak khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan
penyakit yang diderita pasien. Karakteristik berikutnya adalah penurunan
status fungsional yang merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan
aktivitas seharihari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien
geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada
orang lain. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di
Indonesia ialah malnutrisi. melaporkan malnutrisi merupakan sindrom
geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang dirawat (42,6%) di 14 rumah
sakit.
Sindrom Geriatri Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri
adalah sindrom geriatri yang meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia,
insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun, gangguan pendengaran dan
penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity, dan impotensi.
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau
lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologis. Imobilisasi menyebabkan komplikasi lain yang lebih besar
pada pasien usia lanjut bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan
keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan
dapat mengalami patah tulang.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan
higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau
keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta
tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia pada pasien
geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang dikeluarkan terkait
masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per tahun per

4
pasien.13 Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan baik
jika dipahami pendekatan klinis dan pengelolaannya.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada
pasien geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak
memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang usia
lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut
mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu
pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga
banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali
dianggap sebagai bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada
pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%.12 Deteksi dini depresi dan
penanganan segera sangat penting untuk mencegah disabilitas yang dapat
menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun
pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih,
pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi,
multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal
yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada
pasien geriatri yang dirawat di Indonesia mencapai 24,8%.
Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan
waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan
penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,
meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul,
dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah
yang muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita
sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang
banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian
multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang dirawat inap
mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan
27,2%.

5
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut
mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-
farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien
usia lanjut, namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi
sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat yang benar dan tepat pada
usia lanjut harus menjadi kajian multi/ interdisiplin yang mengedepankan
pendekatan secara holistik.

2.1.3 Perawatan lansia di komunitas


1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan obyektif, kebutuhan, kejadian-
kejadian yang dialami klien lanjut semasa hidupnya, perubahan fisik pada
organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan
dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan
progrevitasnya.
Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi
atas dua bagian, yakni:
1. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih
mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk
kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri.
2. Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang
keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat
harus mengetahui dasar perawatan klien lanjut usia ini
terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan
keberhasilan perorangan untuk memepertahankan
kesehatannya. Kebersihan perorangan sangat penting dalam
usaha menceggah timbulnya peradangan, mengingat sumber
infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat
perhatian.
Di samping itu, kemunduran kondisi fisik akibat proses ketuaan,
dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan
infeksi dari luar.
Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan
mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan,
kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi

6
tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindah dari tempat
tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting karena meskipun tidak
selalu, keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala-gejala yang
ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang para klien lanjut usia
dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan
tindakan darurat dan intensif.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebih mendasar adalah
memperhatikan dan membantu para klien lanjut usia untuk bernafas
dengan lancar, makan termasuk memilih dan menentukan makanan,
minum, melakuan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan,
duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai
dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan, melindungi kulit
dan kecelakaan.
Toleransi terhadap kekurangan O2 sangat menurun pada klien
lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus dicegah
dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan makan terlalu
banyak dan jangan melakukan gerak badan yang berlebihan.

2. Pendekatan psikis
Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan
sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing,
sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan waktu yang cukup
banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia
merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”, yaitu
Sabar, Simpatik, dan Service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan
cinta kasih dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan
perawatan. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan suasana aman,
tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas
kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien
lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa

7
rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik,
dan kelainan yang dideritanya.
Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama
dengan berlanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-
gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi,
berkurangnya kegairahan keinginan, peningkatan kewaspadaan,
perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu
siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa
lampau yang membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien
lanjut usia bila lupa atau kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan
jangan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan
dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini
mereka dapat merasa puas dan bahagia.

3. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah
satu upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan
untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti
menciptakan sosialisasi mereka. Jadi, pendekatan sosial ini merupakan
suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya
perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia dan lanjut
usia dan perawat sendiri.
Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada para lanjut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan
rekreasi, misal jalan pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain.
Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar,
seperti menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat
kabar dan majalah. Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam

8
perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis
dalam proses penyembuhan atau ketenangan para klien lanjut usia.
Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress
memikirkan penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga
menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa
kecemasan. Untuk menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian
terhadap sekelilingnya perlu diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk
menikmati keadaan di luar, agar merasa masih ada hubungan dengan
dunia luar.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara lanjut
usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini dapat diatasi dengan
berbagai usaha, antara lain selalu mengadakan kontak dengan mereka,
senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban bersama.
Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik
sesama mereka maupun terhadap mempunyai hubungan komunikasi baik
sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung
berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti
werda.

4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama
bila klien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati
kematian.sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia
yang menekati kematian, DR Toni Setyobudhi mengemukakan bahwa
maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa takut semacam ini di dasari
oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian pengalaman
selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang sering menyertainya,
dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan
sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan
memberikan reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan
cara mereka menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti
dengan cermat di manakah letak kelemahan dan di mana letak kekuatan
klien, agar perawat selanjutnya akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan

9
terletak pada segi spiritual, sudah seelayaknya perawat dan tim
berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut usia ini dapat diringankan
penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan pada klien lanjut
usia untuk melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung memberikan
bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya seperti
membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban
terhadap agama yang dianutnya.
Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan
keluarga, maka perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa
keluarga tadi ditinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus mereka.
Sedangkan bila ada rasa bersalah yang menghantui pikiran lanjut usia,
segera perawat segera menghubungi seorang rohaniawan untuk dapat
mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhan-keluhannya maupun
pengakuan-pengakuannya.
Umumnya pada waktu kematian akan datang, agama atau
kepercayaan seseorang merupakan faktor yang penting sekali. Pada
waktu inilah kehadiran seorang imam sangat perlu untuk melapangkan
dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat lanjut usia bukan hanya
terhadap fisik, yakni membantu mereka dalam keterbatasan fisik saja,
melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia
melalui agama mereka.

2.1.4 Gangguan Kesehatan Pada Lansia


Banyak terjadi kemunduran pada fungsi fisiologis lansia sehingga
berakibat pada munculnya berbagai macam gangguan kesehatan. Nugroho
(2000) menyatakan gangguan kesehatan yang biasa dialami oleh lansia yaitu:
1. Masalah fisik umum
Masalah fisik umum yang biasa dialami oleh lansia adalah mudah jatuh dan
mudah lelah. Banyak faktor yang menyebabkan lansia mudah jatuh. Faktor
instrinsik yang menyebabkan lansia mudah jatuh adalah gangguan gaya
berjalan, kelemahan otot ekstrimitas bawah, kekakuan sendi, dan sinkope
atau pusing. Faktor ekstrinsik misalnya lantai yang terlalu licin dan tidak rata,
tersandung benda, dan cahaya kurang terang.
Mudah lelah pada lansia disebabkan oleh faktor psikologi (perasaan bosan,
keletihan, dan depresi), pengaruh obat, gangguan organis yang meliputi
anemia, kekurangan vitamin, perubahan pada tulang (Osteomalasia),

10
gangguan pencernaan, kelainan metabolisme (diabetes militus, hipertiroid),
gangguan ginjal dengan uremia, gangguan faal hati, gangguan sistem
peredaran darah dan jantung.
2. Gangguan kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah memberikan oksigen dan nutrien pada setiap
sel hidup yang diperlukan untuk bertahan hidup. Penurunan fungsi
kardiovaskuler akan berdampak pada fungsi yang lainnya. Peningkatan usia
menyebabkan jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik
secara struktural maupun fungsional. Secara umum, perubahan yang
disebabkan oleh penuaan berlangsung lambat dan tidak disadari (Steanly &
Beare, 2007). Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi:
a. Ventrikel kiri menebal.
b. Katup jantung menebal dan membentuk penonjolan.
c. Jumlah sel peacemaker yang berfungsi menghasilkan impuls listrik
menurun.
d. Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi (pelebaran atau
peregangan struktur tabular).
e. Vena mengalami dilatasi, katup menjadi tidak kompeten.
Manifestasi klinis penuaan pada sistem kardiovaskuler menurut (Steanly &
Beare, 2007) adalah:
a. Tekanan darah tinggi
Takanan darah tinggi atau hipertensi merupakan faktor risiko utama
terjadinya penyakit kardiovaskuler. Kombinasi hipertensi dengan diabetes
atau hiperlipidemia semakin meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.
Hipertensi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hipertensi esensial
2. Hipertensi non esensial
Hampir 90% tekanan darah tinggi tergolong tekanan darah tinggi esensial
atau tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya. Tekanan
darah tinggi esensial biasanya menyerang anak muda. Tekanan darah
tinggi untuk lansia cenderung hipertensi non esensial.

b. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan proses patofisiologis yang paling sering
mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Aterosklerosis adalah proses
penyakit yang secara umum memiliki dampak pada hampir semua arteri.
Aterosklerosis pada lansia dan orang masih muda hampir sama, akan
tetapi dampak pada lansia lebih berat karena proses akumulasi yang lebih
lama (Steanly & Beare, 2007).

11
c. Disritmia
Disritmia meningkat pada lansia karena perubahan struktural dan
fungsional pada proses penuaan. Disritmia dipicu oleh tidak
terkoordinasinya jantung dan sering dimanifestasikan sebagai perubahan
perilaku, palpitasi, sesak napas, keletihan, dan jatuh (Steanly & Beare,
2007). Gangguan kardiovaskuler dapat berupa nyeri dada, sesak napas
pada kerja fisik, palpitasi, dan edema kaki (Nugroho, 2010).
3. Berat badan menurun
Berat badan menurun pada lansia disebaban oleh:
a. Nafsu makan menurun karena kurang adanya gairah hidup atau
kelesuan.
b. Penyakit kronis.
c. Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan
terganggu.
d. Faktor sosio ekonimis (pensiunan).

4. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi lansia terkait dengan gangguan pada sistem ekskresi
pada tubuh manusia, meliputi:
a. Gangguan pada sistem alat kemih
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang sesuai adalah
suatu proses koordinasi volunter dan involunter yang rumit. Sistem
tersebut harus utuh secara fisik, neurologis, harus terdapat kesadaran
kognitif, keinginan untuk berkemih, dan tempat serta situasi yang tepat
untuk melakukannya (Staenly & Beare, 2007).
Perubahan yang biasa menyertai penuaan adalah kapasitas kandung
kemih yang lebih kecil, peningkatan volume residu, dan kontraksi
kandung kemih yang tidak disadari. Perubahan yang terjadi pada wanita
lansia adalah penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan
uretra dan efek setelah melahirkan dapat dilihat pada melemahnya otot
dasar panggul. Perubahan pada lansia pria adalah hipertrofi prostat
menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra (Staenly &
Beare, 2007).
Pemeriksaan mikroskopik ginjal lansia menunjukkan hanya 30% ginjal
yang utuh. Kondisi seperti itu menyebabkan daya kerja ginjal berkurang.
Gangguan pada sistem alat kemih biasa ditandai dengan:
1) Inkontinensia uri
Inkontinensia uri (gangguan terlalu sering kencing) dihubungkan
dengan keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih dengan
kemampuan yang kecil untuk menunda berkemih. Proses

12
inkontinensia uri terjadi apabila kandung kemih hampir penuh sebelum
kebutuhan untuk berkemih dirasakan sehingga berakibat sebagian
kecil sampai sedang urin keluar sebelum seseorang mencapai toilet
(Staenly & Beare, 2007).
Nugroho (2000) menyatakan penyebab inkontinensia uri adalah:
a. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kendung kemih
dan memperkuat sfingter uretra.
b. Konstraksi abnormal pada kandung kemih.
c. Obat diuretik dan obat penenang yang terlalu banyak.
d. Radang kandung kemih dan saluran kemih.
e. Kelainan kontrol dan persarafan pada kandung kemih.
f. Hipertrofi prostat.
g. Faktor psikologi.
2) Retensio urine
Retensio urine adalah suatu keadaan penumpukan urin dikandung
kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkan secara
sempurna (Staenly & Beare, 2007). Tanda dan gejala dalam retensio
urine adalah:
a) Urin mengalir lambat.
b) Poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan
kendung kemih tidak efisien.
c) Distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d) Terasa ada tekanan.
b. Inkontinensia alvi
Incontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air
besar yang menyebabkan tinja (feses) bocor tidak terduga dari dubur.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena penurunan fungsi usus yang
sebelumya bertugas sebagai penyerap dan pengeluaran feses (Staenly &
Beare, 2007).
5. Gangguan pada sistem muskuloskeletal
Perubahan normal muskuloskeletal pada lansia meliputi penurunan tinggi
badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas
tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan, dan
kekauan sendi (Staenly & Beare, 2007). Masalah muskuloskeletal yang
sering terjadi adalah:
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan massa tulang secara
keseluruhan sehingga seseorang tidak mampu berjalan atau bergerak.
Osteoposisis sering ditemukan pada wanita, walaupun pria juga masih
mengalami osteoporosis. Hilangnya substansi tulang menyebabkan
tulang menjadi lemah secara mekanis dan cenderung untuk mengalami
fraktur baik spontan maupun akibat trauma. Ketika kemampuan menahan

13
berat badan normal menurun atau tidak ada sebagai konsekuensi dari
penurunan atau gangguan mobilitas maka akan terjadi osteoporosis
karena tulang jarang digunakan (Staenly & Beare, 2007).
b. Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan yang berkembang secara lambat, tidak
simetris, dan non inflamasi. Osteoarthritis terjadi pada sendi yang dapat
digerakkan khususnya pada sendi yang menahan berat tubuh. Kerusakan
sendi akibat penuaan memainkan peranan dalam perkembangan
osteoartritis (Staenly & Beare, 2007).
c. Artritis reumatoid (penyakit radang sendi)
Staenly & Beare (2007) menyatakan artritis reumatoid (AR) adalah
penyakit inflamasi artikuler yang paling sering pada lansia. AR adalah
suatu penyakit kronis sistemik yang berkembang secara perlahan dan
ditandai oleh adanya radang yang sering kambuh pada sendi diartrodial
dan struktur yang berhubungan. AR sering disertai dengan nodul
reumatoid, arthritis (radang sendi), neuropati (gangguan saraf), skleritis
(radang pada bagian putih mata), perikarditis (radang pada perikardium),
limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), dan splenomegali
(pembesaran limfa).
6. Gangguan fungsi paru dan jantung
Hubungan antara jantung dan paru sangat dekat sehingga apabila salah
satu terganggu maka akan menganggu fungsi yang lainnya. Paru memiliki
struktur gelembung sangat halus yang dinamakan alveolus, apabila terjadi
kerusakan pada alveolus tersebut maka akan menyebabkan darah antara
paru dan jantung terbendung. Gejala yang timbul apabila terjadi penyakit
paru yaitu; batuk, sesak nafas, kulit membiru karena kekurangan oksigen,
dan sakit dada.

2.1.5 Hipertensi pada Lansia


2.1.5.1. Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah
diastolik dan sistolik yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
(Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978), tekanan darah sama
dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg

14
(Brunner & Suddarth, 1996).
2.1.5.2. Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang
terbanyak, yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi.
Riwayat keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan
penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun faktor genetik
sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi
mekanisme pastinya masih belum diketahui.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang
terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui
seperti hipertensi renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing,
aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari
seluruh pasien hipertensi.

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National


Committee 7
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal 115 atau kurang 75 atau kurang
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut


dapat dibedakan:
 Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat
pada 6-12% penderita di atas usia 60 th, terutama pada wanita.
Insioden meningkat seiring bertambahnya umur.
 Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara
12-14% penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi
menurun seiring bertambahnya umur.
 Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di
atas 60th, lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan
bertambahnya umur.

2.1.5.3. Etiologi Hipertensi

15
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko
hipertensi lain meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin
faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam yang tinggi alkohol
yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau
tidak dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga
(genetik kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65
tahun), jenis kelamin pria atau wanita pasca menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita.Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit
hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah
dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon
estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur
wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita
umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah
penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar
56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi
pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang
wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi
adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormon setelah menopause.
b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan
darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai
tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda.
Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal

16
ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai
menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-
benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi
banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada
usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns
Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan
dengan usia ini adalah produk samping dari keausan
arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan
akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya
arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu
kehilangan daya penyesuaian diri.
c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu
akanmenyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita
hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita
hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori
mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya
aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat
memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan
pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan
darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
2. Kurang Olahraga.

17
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit
tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan
yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya
aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang
tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat
dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa
semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
3. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok
berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden
hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal
yang mengalami ateriosklerosis.
4. Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization
(WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat
mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang
direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar
2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya
cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume
darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
5. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak
jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah.
Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu
faktor resiko hipertensi.
6. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir
tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

18
7. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan
tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap
tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang
tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres
akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan
curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf
simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan
pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

2.1.5.4. Tanda Gejala Hipertensi


Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya,
hipertensi sering tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul
tersamar (insidious) atau tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni (2001),
manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah,
Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

2.1.5.5. Patofisiologi Hipertensi


(terlampir)
2.1.5.6. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
a. Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko
seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
b. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
c. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan
hipertensi).
d. Kalium serum

19
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
e. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan
hipertensi.
f. Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk /
adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
g. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan
hipertensi.
h. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).
i. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau
adanya diabetes.
j. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
k. Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
m. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran
jantung.
n. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan,
gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu
tanda dini penyakit jantung hipertensi.

2.1.5.7. Komplikasi Hipertensi

20
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab
tersering kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal
ginjal sering ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan
tekanan sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan
penebalan dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel
memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan
tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat
dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard karena penambahan massanya. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri yang
menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan
murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial,
keempat) sering terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan
bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama gallop
mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-
tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi
iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi
disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-
data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih
diperantarai oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau
tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar
angiotensin II.
b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan
pada retina dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya
jaringan dengan arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa,
maka dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang memungkinkan
pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah
retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien
hipertensi. Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada
pagi hari, yang merupakan salah satu dari gejala-gejala awal
hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan,
vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi
yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.

21
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri
terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien
hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan
tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri
(aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial
diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,
gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati
dengan papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi
kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler atau udem
serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau
ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient
ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada
retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak
beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina.
Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau
setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena
crossing atau sklerosis pembuluh darah.
c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler
glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada
hipertensi dan berakibat pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan
disfungsi tubuler. Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena
lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian disebabkan oleh hipertensi
akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak
hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.

ASAM URAT

I. Pengertian

Asam urat merupakan kelainan metabolik yang disebabkan karena penumpukan


purin atau eksresi asam urat yang kurang dari ginjal.

Asam urat merupakan penyakit heterogen meliputi hiperurikemia, serangan


artritis akut yang biasanya mono-artikuler. Terjadi deposisi kristal urat di dalam

22
dan sekitar sendi, parenkim ginjal dan dapat menimbulkan batu saluran kemih
(Edu S. Tehupeiory, 2000)

II. Etiologi

· Faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan


metabolisme yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat.

· Jenis kelamin dan umur

Prosentase Pria : Wanita yaitu 2 : 1 pria lebih beresiko terjadinya asam urat yaitu
umur (30 tahun keatas), sedangkan wanita terjadi pada usia menopouse (50-60
tahun).

· Berat badan

Kelebihan berat badan meningkatkan risiko hiperurisemia dan gout berkembang


karena ada jaringan yang tersedia untuk omset atau kerusakan, yang
menyebabkan kelebihan produksi asam urat.

· Konsumsi alkohol

Minum terlalu banyak alkohol dapat menyebabkan hiperurisemia, karena alkohol


mengganggu dengan penghapusan asam urat dari tubuh.

· Diet

Makan makanan yang tinggi purin dapat menyebabkan atau memperburuk gout.
Misalnya makanan yang tinggi purin : kacang-kacangan, rempelo dll.

· Obat-Obatan Tertentu

Sejumlah obat dapat menempatkan orang pada risiko untuk mengembangkan


hiperurisemia dan gout. Diantaranya golongan obat jenis diuretik, salisilat, niasin,
siklosporin, levodova.

III. Patofisiologi

23
1. Presipitasi kristal monosodium urat, dapat terjadi di jaringan jika
konsentrasi dalam plasma lebih dari 9 mg/dl.

2. Respon leukosit polimorfonuklear (PMN) dan selanjutnya akan terjadi


fagositosis kristal oleh leukosit.

3. Fagositosis, terbentuk fagolisosom dan akhirnya membran vakuol


disekeliling kristal bersatu dengan membran leukositik lisosom.

4. Kerusakan lisosom, terjadi robekan membram lisosom dan pelepasan


enzim dan oksida radikal ke dalam sitoplasma.

5. Kerusakan sel, terjadi respon inflamasi dan kerusakan jaringan.

Setiap orang memiliki asam urat di dalam tubuh, karena pada setiap
metabolisme normal dihasilkan asam urat. Normalnya, asam urat ini akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui feses (kotoran) dan urin, tetapi karena ginjal
tidak mampu mengeluarkan asam urat yang ada menyebabkan kadarnya
meningkat dalam tubuh.

Hal lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat adalah kita terlalu banyak
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung banyak purin. Asam urat
yang berlebih selanjutnya akan terkumpul pada persendian sehingga
menyebabkan rasa nyeri atau bengkak.

IV. Tanda dan Gejala

1) Stadium Arthritis Gout Akut

· Sangat akut, timbul sangat cepat dalam waktu singkat.

· Keluhan utama: nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala


sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah.

· Faktor pencetus: trauma lokal, diet tinggi purin (kacang-kacangan, rempelo


dll), kelelahan fisik, stres, diuretic.

· Penurunan asam urat secara mendadak dengan allopurinol atau obat


urikosurik dapat menyebabkan kekambuhan.

2) Stadium Interkritikal

24
Stadium ini merupakan kelanjutan dari stadium akut dimana terjadi periode
interkritikal asimptomatik.

3) Stadium Arthritis Gout Menahun

Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri sehingga dalam
waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter. Pada tahap ini akan terjadi
benjolan-benjolan di sekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai
tofus. Tofus ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang
merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Tofus ini akan mengakibatkan
kerusakan pada sendi dan tulang di sekitarnya. Tofus pada kaki bila ukurannya
besar dan banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan
sepatu lagi.

V. Pemeriksaan Penunjang

· Pemeriksaan Laboraturium

LED , CRP analisis cairan sendi asam urat darah dan urine 24 jam ureum,
kreatinin.. Peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia), Peningkatan
asam urat pada urine 24 jam, Cairan sinovial sendi menunjukkan adanya kristal
urat monosodium, Peningkatan kecepatan waktu pengendapan

· Pemeriksaan X-Ray

Pada pemeriksaan x-ray, menampakkan perkembangan jaringan lunak

VI. Penatalaksanaan

1) Non farmakologi

a. Pembatasan makanan tinggi purin (± 100-150 mg purin/hari.

b. Cukup kalori sesuai kebutuhan yang didasarkan pada TB n BB.

25
c. Tinggi karbohidrat kompleks (nasi, roti, singkong, ubi) disarankan tidak
kurang dari 100 g/hari.

d. Rendah protein yang bersumber hewani.

e. Rendah lemak, baik dari nabati atau hewani.

f. Tinggi cairan. Usahakan dapat menghabiskan minuman sebanyak 2,5 ltr


atau sekitar 10 gelas sehari dapat berupa air putih masak, teh, sirop atau kopi.

g. Tanpa alkohol, termasuk tape dan brem perlu dihindari juga. Alkohol dapat
meningkatkan asam laktat plasma yang akan menghambat pengeluaran asam
urat

2) Farmakologi

a. Pengobatan fase akut, obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri dan
inflamasi (colchicine, indometasin, fenilbutazon, kortikostropin)

b. Pengobatan hiperurisemia, terbagi dua golongan, yaitu :

Golongan urikosurik (probenesid, sulfinpirazon, azapropazon, benzbromaron)


dan Inhibitor xantin (alopurinol ).

GASTRITIS
1. PENGERTIAN
Suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik difus
atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak
pada epigastrium, mual dan muntah. (Suratun SKM, 2010)
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung, sering akibat diet yang
sembarangan. Biasanya individu ini makan terlalu banyak atau terlalu
cepat atau makan-makanan yang terlalu berbumbu atau mengandung
mikroorganisme penyebab penyakit. ( Smelzer 2002)
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung yang dapat
bersifat akut kronik, difus atau lokal (Soepaman, 1998).
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung (Arif Mansjoer, 1999).
Gastritis adalah radang mukosa lambung (Sjamsuhidajat, R, 1998).
Gastritis merupakn peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,
kronis, difusi atau local. (patofisologi : 378 )
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung, seiring terjadi akibat diid
sembrono, makan terlalu banyak atau terlalu cepat atau makan

26
makanan yang terlalu berbumbu atau yang mengandung
mikroorgnisme penyebab penyakit, disamping itu penyebab lain
meliputi alcohol, aspirasi, refluks empedu, terapi radiasi ( KMB & vol 2
:1062 )

2. ETIOLOGI
Penyebab dari Gastritis dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasinya
sebagai berikut :
 Gastritis Akut
Penyebabnya adalah obat analgetik, anti inflamasi terutama
aspirin (aspirin yang dosis rendah sudah dapat menyebabkan
erosi mukosa lambung).
Bahan kimia misal : lisol, alkohol, merokok, kafein lada, steroid
dan digitalis.

 Gastritis Kronik
Penyebab dan patogenesis pada umumnya belum diketahui.
Gastritis ini merupakan kejadian biasa pada orang tua, tapi di
duga pada peminum alkohol, dan merokok.

3. PATOFISIOLOGI

 Gastritis Akut
Gastritis akut dapat disebabkan oleh karena stres, zat kimia
misalnya obat-obatan dan alkohol, makanan yang pedas,
panas maupun asam. Pada para yang mengalami stres akan
terjadi perangsangan saraf simpatis NV (Nervus vagus) yang
akan meningkatkan produksi asam klorida (HCl) di dalam
lambung. Adanya HCl yang berada di dalam lambung akan
menimbulkan rasa mual, muntah dan anoreksia.

Zat kimia maupun makanan yang merangsang akan


menyebabkan sel epitel kolumner, yang berfungsi untuk
menghasilkan mukus, mengurangi produksinya. Sedangkan
mukus itu fungsinya untuk memproteksi mukosa lambung agar
tidak ikut tercerna. Respon mukosa lambung karena
penurunan sekresi mukus bervariasi diantaranya vasodilatasi
sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster terdapat sel yang

27
memproduksi HCl (terutama daerah fundus) dan pembuluh
darah. Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan
produksi HCl meningkat. Anoreksia juga dapat menyebabkan
rasa nyeri. Rasa nyeri ini ditimbulkan oleh karena kontak HCl
dengan mukosa gaster. Respon mukosa lambung akibat
penurunan sekresi mukus dapat berupa eksfeliasi
(pengelupasan). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan
mengakibatkan erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa
akibat erosi memicu timbulnya perdarahan. Perdarahan yang
terjadi dapat mengancam hidup penderita, namun dapat juga
berhenti sendiri karena proses regenerasi, sehingga erosi
menghilang dalam waktu 24-48 jam setelah perdarahan
 Gastritis Kronis
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif.
Organisme ini menyerang sel permukaan gaster, memperberat
timbulnya desquamasi sel dan muncullah respon radang
kronis pada gaster yaitu: destruksi kelenjar dan metaplasia.
Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh
terhadap iritasi, yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster,
misalnya dengan sel desquamosa yang lebih kuat. Karena sel
desquamosa lebih kuat maka elastisitasnya juga berkurang.
Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan
peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka
akan timbul kekakuan yang pada akhirnya menimbulkan rasa
nyeri. Metaplasia ini juga menyebabkan hilangnya sel mukosa
pada lapisan lambung, sehingga akan menyebabkan
kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan
pembuluh darah ini akan menimbulkan perdarahan (Price,
Sylvia dan Wilson, Lorraine, 1999: 162).

4. KLASIFIKASI
Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Gastritis akut
Salah satu bentuk gastritis akut yang sering dijumpai di klinik ialah
gastritis akut erosif. Gastritis akut erosif adalah suatu peradangan
mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosif.

28
Disebut erosif apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam
daripada mukosa muskularis.
2. Gastritis kronis
Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa
lambung yang menahun (Soeparman, 1999, hal: 101). Gastritis kronis
adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang
berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak
maupun ganas atau oleh bakteri helicobacter pylori (Brunner dan
Suddart, 2000, hal: 188).

5. MANIFESTASI KLINIS
a. Gastritis akut
Rasa nyeri pada epigastrium yang mungkin ditambah mual. Nyeri
dapat timbul kembali bila perut kosong. Saat nyeri penderita
berkeringat, gelisah, sakit perut dan mungkin disertai peningkatan
suhu tubuh, tachicardi, sianosis, persaan seperti terbakar pada
epigastrium, kejng-kejng dan lemah.
b. Gastritis kronis
Tanda dan gejala hanpir sam dengan gastrritis akut, hanya disertai
dengan penurunan berat badan, nyeri dada, enemia nyeri, seperti
ulkus peptikum dan dapat terjdi aklohidrasi, kadar gastrium serum
tinggi.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Endoskopi : akan tampak erosi multi yang sebagian biasanya
berdarah dan letaknyatersebar.
 Pemeriksaan Hispatologi : akan tampak kerusakan mukosa
karena erosi tidak pernahmelewati mukosa muskularis.
 Biopsi mukosa lambung
 Analisa cairan lambung : untuk mengetahui tingkat sekresi
HCL, sekresi HCL menurun pada kliendengan gastritis kronik.
 Pemeriksaan barium
 Radiologi abdomen
 Kadar Hb, Ht, Pepsinogen darah
 Feces bila melena
 EGD (Esofagogastriduodenoskopi) = tes diagnostik kunci
untukperdarahan GI atas, dilakukan untuk melihat sisi
perdarahan / derajat ulkus jaringan / cedera.
 Minum barium dengan foto rontgen = dilakukan untuk
membedakan diganosa penyebab / sisi lesi..

29
 Angiografi = vaskularisasi GI dapat dilihat bila endoskopi tidak
dapat disimpulkan atau tidak dapat dilakukan. Menunjukkan
sirkulasi kolatera dan kemungkinan isi perdarahan.
 Amilase serum = meningkat dengan ulkus duodenal, kadar
rendah diduga gastritis (Doengoes, 1999, hal: 456)

7. TINDAKAN PENANGANAN
 Gastritis Akut
Pemberian obat-obatan H2 blocking (Antagonis reseptor H2).
Inhibitor pompa proton, ankikolinergik dan antasid (Obat-obatan
alkus lambung yang lain). Fungsi obat tersebut untuk mengatur
sekresi asam lambung.

 Gastritis Kronik
Pemberian obat-obatan atau pengobatan empiris berupa antasid,
antagonis H2 atau inhibitor pompa proton.

8. KOMPLIKASI
 Komplikasi yang timbul pada Gastritis Akut, yaitu perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hemotemesis dan
melena, berakhir dengan syock hemoragik, terjadi ulkus, kalau
prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Komplikasi yang timbul Gastritis Kronik, yaitu gangguan
penyerapan vitamin B 12, akibat kurang pencerapan, B 12
menyebabkan anemia pernesiosa, penyerapan besi terganggu dan
penyempitan daerah antrum pylorus.

30
DAFTAR PUSTAKA

Beigi, Mohammad Ali Babaee, Zibaeenezhad, Mohammad Javad,


Aghasadeghi, Kamran et al. 2014. The Effect of Educational
Programs on Hypertension Management. International
Cardiovascular Research Journal. 8 (3), 94-98.
Ilkafah. 2016. Perbedaan Penurunan Tekanan Darah Lansia Dengan
Obat Anti Hipertensi dan Terapi Rendam Air Hangat di Wilayah
Kerja Puskesmas Antara Tamalanrea Makasar. Jurnal Ilmiah
Farmasi-UNSRAT, vol. 5No. 2. ISSN 2302-2493.
Kusnul, Zauhani & Muhir, Zainal.(2014). Efek Pemberian Jus Mentimun
Terhadap Penurunan Tekanan Darah. Stikes Bahrul Ulum.
Diperoleh tanggal 30 September 2014 diakses dari situs
http://www.academia.edu.
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika
Gupta, Sapna S. (2014). Effect of Progressive Muscle Relaxation
Combined with Deep Breathing Technique Immediately after Aerobic
Exercises on Essential Hypertension. Journal Of Indian
Physiotherapy and Occupational Theraphy. Vol 8, No1. Diunduh
pada tanggal 20 Juni 2016 dari: www.proquest.com
Smeltzer C. Suzanne, dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC

Smeltzer, SC & Bare, BG, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, Edisi 8 Vol 2, EGC, Jakarta.

Mansjoer , Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3. Jakarta : Media


Aeusculapius.

Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai