Anda di halaman 1dari 12

1

LI BLOK 13 LBM 3

1. Diagnosis gigi 32?

Abses Periodontal
Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen yang terlokalisir pada
jaringan periodonsium. Lesi ini disebut juga dengan abses periodontal lateral atau
abses parietal. Abses periodontal diketahui sebagai lesi yang dapat dengan cepat
merusak jaringan periodonsium terjadi selama periode waktu yang terbatas serta
mudah diketahui gejala klinis dan tanda-tandanya seperti akumulasi lokal pus dan
terletak di dalam saku periodontal.

Gambar 1. Abses periodontal pada


insisivus sentralis18

Etiologi Abses Periodontal


Etiologi abses periodontal dibagi atas 2, yaitu:2,17
a. Abses periodontal berhubungan dengan periodontitis
Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang berhubungan dengan periodontitis
adalah:
1. Adanya saku periodontal yang dalam dan berliku.
2. Penutupan marginal saku periodontal yang dapat mengakibatkan
perluasan infeksi ke jaringan periodontal sekitarnya karena tekanan pus di dalam
saku tertutup.
3. Perubahan dalam komposisi mikroflora, virulensi bakteri, atau dalam
pertahanan host bisa juga membuat lumen saku tidak efisien dalam meningkatkan
pengeluaran supurasi.
4. Pengobatan dengan antibiotik sistemik tanpa debridemen subgingiva pada
pasien dengan periodontitis lanjut juga dapat menyebabkan pembentukan abses.
b. Abses periodontal tidak berhubungan dengan periodontitis
Universitas Sumatera Utara
2
Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang tidak berhubungan dengan
periodontitis adalah:
1. Impaksi dari benda asing seperti potongan dental floss, biji popcorn,
potongan tusuk gigi, tulang ikan, atau objek yang tidak diketahui.
2. Perforasi dari dinding gigi oleh instrumen endodontik.
3. Infeksi lateral kista.
4. Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi morfologi akar dapat menjadi
predisposisi pembentukan abses periodontal.

Patofisiologi Abses Periodontal


Masuknya bakteri ke dalam dinding saku jaringan lunak merupakan awal
terjadinya abses periodontal. Sel-sel inflamatori kemudian ditarik oleh faktor
kemotaksis yang dilepaskan oleh bakteri dan bersama dengan reaksi inflamatori akan
menyebabkan destruksi jaringan ikat, enkapsulasi dari infeksi bakteri dan
memproduksi pus.17
Secara histologis, akan ditemukan neutrofil-neutrofil yang utuh mengelilingi
bagian tengah debris jaringan lunak dan destruksi leukosit. Pada tahap berikutnya,
membran piogenik yang terdiri dari makrofag dan neutrofil telah terbentuk. Laju
destruksi abses tergantung pada pertumbuhan bakteri di dalamnya, virulensinya dan
pH lokal. Adanya pH asam akan memberi keuntungan terhadap enzim lisosom.17

Macam-Macam Abses Periodontal


Abses periodontal dapat di klasifikasikan atas 3 kriteria, yaitu:
a. Berdasarkan lokasi abses
1. Abses gingiva
Abses gingiva merupakan infeksi lokal purulen yang terletak pada marginal gingiva
atau papila interdental dan merupakan lesi inflamasi akut yang mungkin timbul dari
berbagai faktor, termasuk infeksi plak mikroba, trauma, dan impaksi benda asing.
Gambaran klinisnya merah, licin, kadang-kadang sangat sakit dan pembengkakan
sering berfluktuasi.2,17
2. Abses periodontal
Abses periodontal merupakan infeksi lokal purulen di dalam dinding gingiva pada
saku periodontal yang dapat menyebabkan destruksi ligamen periodontal dan tulang
alveolar. Abses periodontal secara khusus ditemukan pada pasien dengan
Universitas Sumatera Utara
3
periodontitis yang tidak dirawat dan berhubungan dengan saku periodontal yang
sedang dan dalam, biasanya terletak diluar daerah mukogingiva. Gambaran klinisnya

Terlihat licin, pembengkakan gingiva mengkilat disertai rasa sakit, daerah


pembengkakan gingivanya lunak karena adanya eksudat purulen dan meningkatnya
kedalaman probing, gigi menjadi sensitif bila diperkusi dan mungkin menjadi
mobiliti serta kehilangan perlekatan periodontal dengan cepat.
Abses periodontal sering muncul sebagai eksaserbasi akut dari saku
periodontal yang ada sebelumnya terutama terkait pada ketidaksempurnaan dalam
menghilangkan kalkulus dan tindakan medis seperti pada pasien setelah perawatan
bedah periodontal, setelah pemeliharaan preventif, setelah terapi antibiotik sistemik
dan akibat dari penyakit rekuren. Kurangnya kontrol terhadap diabetes mellitus
merupakan faktor predisposisi dari pembentukan abses periodontal.17,18
3. Abses perikoronal
Abses perikoronal adalah abses yang terjadi karena adanya inflamasi jaringan lunak
operkulum, yang menutupi sebagian gigi yang sedang erupsi. Abses perikoronal
ditemukan pada gigi yang mengalami perikoronitis. Keadaan ini paling sering terjadi
pada gigi molar tiga rahang atas dan rahang bawah. Sama halnya dengan abses
gingiva, abses perikoronal dapat disebabkan oleh retensi dari plak mikroba dan
impaksi makanan atau trauma. Gambaran klinis berupa gingiva berwarna merah
terlokalisir, bengkak, lesi yang sakit jika disentuh dan memungkinkan terbentuknya
eksudat purulen, trismus, limfadenopati, demam dan malaise.17
b. Berdasarkan jalannya lesi
1. Abses periodontal akut
Abses periodontal akut biasanya menunjukkan gejala seperti sakit, edematous, lunak,
pembengkakan, dengan penekanan yang lembut di jumpai adanya pus, peka terhadap
perkusi gigi dan terasa nyeri pada saku, sensitifitas terhadap palpasi dan kadang
disertai demam dan limfadenopati.17
2. Abses periodontal kronis
Abses periodontal kronis biasanya asimtomatik, walaupun pada pasien didapatkan
gejala-gejala ringan. Abses ini terbentuk setelah penyebaran infeksi yang disebabkan
oleh drainase spontan, respon host atau terapi. Setelah hemeostatis antara host dan

Universitas Sumatera Utara


4

infeksi tercapai, pada pasien hanya sedikit atau tidak terlihat gejalanya. Namun rasa
nyeri akan timbul bila adanya saku periodontal, inflamasi dan saluran fistula.17

Gigi 16:

Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang berjalan lama yang
kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis kronis disebabkan oleh nekrosis
pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga disebabkan oleh abses akut yang
sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan pus yang terbentuk dalam jaringan. Pus ini
merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme
penyebab infeksi atau benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah.
Abses apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan untuk mencegah infeksi
menyebar kebagian tubuh lainnya.

Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala yang subjektif, hanya dapat
dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau dengan adanya fistula didaerah sekitar gigi yang
terkena. Fistula merupakan ciri khas dari abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran
abnormal yang terbentuk akibat drainasi abses.

Abses apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon non-sensitif,
Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon.

Gambaran radiografis abses apikalis kronis terlihat putusnya lamina dura hingga kerusakan
jaringan periradikuler dan interradikuler.

2. Etiologi penyakit periapikal dan periodontal

Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
faktor lokal (ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik). Faktor lokal merupakan
penyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan faktor sistemik
dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum.
Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan oleh faktor
lokal yaitu inflamasi gingiva dan trauma dari oklusi atau gabungan keduanya. Kerusakan
yang disebabkan oleh inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang
alveolar, sedangkan trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi
permukaan akar.
FAKTOR LOKAL

Universitas Sumatera Utara


5

1. Plak Bakteri

Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang melekat erat
pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan kebersihan mulut.
Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra gingival yang berada disekitar tepi
gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari dasar gingival.
Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus gingiva mempermudah
kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit periodontal berhubungan dengan plak bakteri
dan telah terbukti bahwa plak bakteri bersifat toksik.

Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama terjadinya gingivitis,


akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor,
meliputi interaksi antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya
tahan tubuh.

2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang mengalami
pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus merupakan
pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi terjadi karena
penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih banyak terjadi pada orang dewasa,
kalkulus bukan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab
timbulnya gingivitis adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan
kalkulus, mempengaruhi gingiva secara tidak langsung.

3. Impaksi makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan keadaan
awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau
miring merupakan tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak,
sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi.

Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi makanan yaitu


a. perasaan tertekan pada daerah proksimal

Universitas Sumatera Utara


6

b. rasa sakit yang sangat dan tidak menentu


c. inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering berbau.
d. resesi gingiva
e. pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari soketnya,
sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan sensitif terhadap perkusi.
f. kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar

4. Pernafasan mulut
Bernafas melalui mulut adalah satu kebiasaan buruk. Hal ini sering dijumpai secara
permanen atau sementara. Permanen misalnya pada anak dengan kelainan saluran
pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut terlalu
lama. Sementara misal pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi
depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir.
Keadaan ini menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada
permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang, populasi bakteri
bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan
terjadinya penyakit periodontal.

5. Sifat fisik makanan


Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang bersifat lunak
seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan sedikit pengunyahan, menyebabkan
debris lebih mudah melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta
memudahkan pembentukan karang gigi.
Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang
sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang demikian tidak dikunyah
secara biasa tetapi dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau
makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit.
Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat self cleansing
dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut secara lebih
efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan ikan yang sifatnya tidak
melekat pada permukaan gigi.

Universitas Sumatera Utara


7

6. Iatrogenik Dentistry
Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan dokter gigi
yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan jaringan
sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi.
7. Trauma dari oklusi
Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodonsium, tekanan oklusal
yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik oklusi.

Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh :


• Perubahan-perubahan tekanan oklusal
Misal adanya gigi yang elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan
buruk seperti bruksim, clenching.
• Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal
• Kombinasi keduanya.

FAKTOR SISTEMIK
Respon jaringan terhadap bakteri, rangsangan kimia serta fisik dapat diperberat
oleh keadaan sistemik. Untuk metabolisme jaringan dibutuhkan material-material seperti
hormon, vitamin, nutrisi dan oksigen. Bila keseimbangan material ini terganggu dapat
mengakibatkan gangguan lokal yang berat. Gangguan keseimbangan tersebut dapat berupa
kurangnya materi yang dibutuhkan oleh sel-sel untuk penyembuhan, sehingga iritasi lokal
yang seharusnya dapat ditahan atau hanya menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan
adanya gangguan keseimbangan tersebut maka dapat memperberat atau
menyebabkan kerusakan jaringan periodontal.
1. Demam yang tinggi
Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita demam yang
tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal ini disebabkan anak yang sakit
tidak dapat melakukan pembersihan mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan
biasanya berbentuk cair. Pada keadaan ini saliva dan debris berkumpul pada mulut
menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit periodontal.

2. Defisiensi vitamin

Universitas Sumatera Utara


8

Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan


periodontal, karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat. Defisiensi vitamin
C sendiri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit periodontal, tetapi adanya iritasi lokal
menyebabkan jaringan kurang dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut
sehingga terjadi reaksi inflamasi (defisiensi memperlemah jaringan).

3. Drugs atau obat-obatan


Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada anak-anak
penderita epilepsi yang mengkomsumsi obat anti kejang, yaitu phenytoin (dilantin).
Dilantin bukan penyebab langsung penyakit jaringan periodontal, tetapi hiperplasia
gingiva memudahkan terjadinya penyakit. Penyebab utama adalah plak bakteri.

4. Hormonal
Penyakit periodontal dipengaruhi oleh hormon steroid. Peningkatan hormon
estrogen dan progesteron selama masa remaja dapat memperhebat inflamasi margin
gingiva bila ada faktor lokal penyebab penyakit periodontal.

3. Mekanisme gigi 32: abses periodontal

PATOGENESA DAN POLA PENYEBARAN

Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang terinfeksi,
namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan periapikal secara
progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini
dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.

Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri campuran.
Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang
disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3
enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak jembatan antar
sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya parang yang digunakan petani untuk
merambah hutan.

Bagaimana sebenarnya pola perjalanan abses ini?

Universitas Sumatera Utara


9

Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis, meskipun
sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak membahas mengenai
perjalanan abses secara kronis.

Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat S.mutans) memiliki
3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan
layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini
merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari
namanya “hyaluronidase”, artinya adalah enzim pemecah hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan
antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga
sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat
diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam
rusak/mati/nekrosis.

Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi, akibatnya
jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka
mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.

Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi pulpo-
periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila
ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi
dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai pembentukan pus yang
sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk
datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan
virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi
abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan yang ada
di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di
sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan
ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui ronsenologis,
batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu
ditangkap dengan baik dengan ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi
dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi pada
peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik),
salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi,
tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena
itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar.

Universitas Sumatera Utara


10

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari
jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan timbulnya gejala-
gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus dalam
rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi atau keluar secara alami.

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah di
dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang,
mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi
perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan jaringan,
dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa
ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan
mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian tulang
atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi
hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi
tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon
keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan
melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan
periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut.
Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio
yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya
tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke
rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena
memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari,
tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas
bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal.
Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah
berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya
disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena
lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus
oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana
konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan bebasnya,
proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan

Universitas Sumatera Utara


11

lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial
spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.

4. Ciri-ciri periodontitis dan abses?

5. Resorbsi tulang horizontal dan vertical?

Resorpsi Tulang Alveolar pada Penyakit Periodontal


Penjalaran inflamasi kronis dari gingival ke tulang alveolar merupakan penyebab
dari kehilangan tulang pada penyakit periodontal. Kehilangan tulang pada penyakit
periodontal bukanlah proses nekrosis tulang.
Ada dua tipe sel yang berperan dalam proses resorpsi tulang alveolar, yaitu osteoklas
yang berperan menyingkirkan bagian mineral dari tulang dan sel mononekleus yang
berperan dalam degrasi matriks organik. Kedua tipe sel tersebut ditemukan pada
permukaan tulang alveolar yang mengalami resorpsi.
Hausmann mengemukakan lima mekanisme bagaimana produk plak bakteri dapat
menyebabkan kehilangan tulang pada penyakit periodontal:
1. Aksi langsung dari produk plak terhadap sel-sel progenitor tersebut menjadi
osteoklas.
2. Produk beraksi secara langsung terhadap tulang alveolar dan merusaknya
melalui mekanisme nonseluler.
3. Produk plak menstimulasi sel-sel gingival, sehingga sel-sel gingival tersebut
melepaskan mediator, yang pada akhirnya menginduksi sel-sel progenitor tulang
berdiferensiasi menjadi osteoklas.
4. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepaskan agen atau substansi
yang bertindak sebagai ko-faktor pada resorpsi tulang.
5. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepaskan agen yang merusak
tulang dengan aksi kimiawi secara langsung, tanpa keterlibatan osteoklas.

Universitas Sumatera Utara


12

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai