Anda di halaman 1dari 10

Unnes J Life Sci 3 (2) (2014)

Unnes Journal of Life Science

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/UnnesJLifeSci

JENIS CACING PADA FESES SAPI DI TPA JATIBARANG DAN KTT


SIDOMULYO DESA NONGKOSAWIT SEMARANG
Muhammad Rofiq Nezar, R. Susanti, Ning Setiati

Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis, tingkat infeksi, dan metode yang paling efektif untuk
Diterima Agustus 2014 identifikasi cacing pada feses sapi dengan pemeliharaan berbeda di TPA Jatibarang dan KTT
Disetujui September 2014 Sidomulyo Nongkosawit Semarang. Jumlah sampel feses sapi sebanyak 64 sampel. Penelitian
Dipublikasikan November dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014. Metode identifikasi menggunakan metode natif,
sedimentasi, dan flotasi. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis telur cacing pada feses sapi di
2014
TPA Jatibarang sebanyak tiga belas spesies (Ascaris lumbricoides, Bunostomum phlebotomum,
________________ Haemonchus contortus, Oesophagostomum radiatum, Ostertagia ostertagi, Trichuris globulosa, Fasciola
Keywords: hepatica, Fasciola gigantica, Moniezia expansa, Moniezia benedeni, Paramphistomum cervi, Cotylophoron
Species cotylophorum, dan Schistosoma bovis). Telur cacing pada feses sapi di KTT Sidomulyo sebanyak
Helminth parasites empat spesies (B. phlebotomum, H. contortus, O. ostertagi, P. cervi). Larva cacing hanya pada feses sapi
KTT Sidomulyo sebanyak dua spesies (larva Trichostrongylus axei dan Strongyloides papillosus).
Cattle faeces
Intensitas telur cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang lebih tinggi daripada feses sapi dari KTT
____________________ Sidomulyo yaitu H. contortus sebanyak 1080 epg dan pada feses sapi di KTT Sidomulyo intensitas
tertinggi adalah O. ostertagi sebanyak 1000 epg. Berdasarkan metode identifikasi, metode natif
efektif untuk identifikasi nematoda, Moniezia sp, dan trematoda. Metode sedimentasi efektif untuk
identifikasi trematoda dan Moniezia sp, sedangkan metode flotasi efektif untuk identifikasi telur dan
larva nematoda.

Abstract
___________________________________________________________________
Research has determined the species, infection level, and the most effective identification method of helminths in
cattle faeces with different husbandry in Jatibarang landfill and KTT Sidomulyo Nongkosawit Semarang.
Faecal samples were 64 samples. It was conducted in April-May 2014. The identification used native,
sedimentation, and flotation methods. Results showed the species of helminths eggs of cattle faeces in
Jatibarang landfill were thirteen species (Ascaris lumbricoides, Bunostomum phlebotomum, Haemonchus
contortus, Oesophagostomum radiatum, Ostertagia ostertagi, Trichuris globulosa, Fasciola hepatica, Fasciola
gigantica, Moniezia expansa, Moniezia benedeni, Paramphistomum cervi, Cotylophoron cotylophorum, and
Schistosoma bovis). Helminths eggs found in KTT Sidomulyo Nongkosawit were four species (B.
phlebotomum, H. contortus, O. ostertagi, and P. cervi). Larvae found in cattle faeces of KTT Sidomulyo were
two species (larvae T. Axei and S. papillosus). Intensity of helminths eggs in Jatibarang landfill more than
KTT Sidomulyo was H. contortus as much as 1080 epg and KTT Sidomulyo has the highest intensity of O.
ostertagi as much as 1000 epg. Identification showed an effective method for nematodes, Moniezia sp, and
trematodes were native. Sedimentation was the effective method for trematodes and Moniezia sp. identification,
while flotation method was effective for eggs and larvae of nematodes.

© 2014 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 2252-6277
Gedung D6 Lt.1, Jl. Raya Sekaran,
Gunungpati, Semarang, Indonesia 50229
E-mail: nezarrofiq@gmail.com

93
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

PENDAHULUAN seluruh Semarang mencapai 3.750 m³/hari atau


750–800 ton per hari setiap tahunnya. Pihak
Pola pengelolaan peternakan sapi di TPA memanfaatkan sapi yang digembalakan
Indonesia sudah mengarah pada sistem yang untuk mendegradasi sampah organik,
lebih modern. Pola yang banyak dipakai oleh sedangkan pemulung mengumpulkan sampah
peternak Indonesia adalah usaha penggemukan anorganiknya. Kondisi kebersihan TPA kurang
sapi. Terdapat beberapa jenis pola pemeliharaan terjaga dengan banyaknya feses sapi di
sapi yaitu sistem ekstensif (digembalakan), sepanjang jalan. Tahun 2006 telah dilakukan
intensif (dikandangkan) dan semiintensif penelitian mengenai kualitas daging sapi potong
(kombinasi). Pada pola penggembalaan (pasture dari TPA Jatibarang dan hasilnya positif
fattening), sapi tidak mendapatkan pakan mengandung logam berat Pb (Timbal)
tambahan. Pola kandang (dry lot fattening) melampaui ambang batas keamanan (Dwiloka
pemberian proporsi pakan hijauan lebih sedikit et al. 2006). Kasus pencemaran logam berat lain
daripada konsentrat dengan dikandangkan pernah terdeteksi pada daging sapi Jatibarang
tanpa digembalakan. Pola kombinasi antara Berdasarkan penelitian sapi Jatibarang
keduanya, proporsi pakan hijauan diperoleh mengandung logam berat seperti Hg, Pb, Cd,
dari penggembalaan di padang tanpa harus Cr, Co, Zn, dan Fe, sehingga Dinas Peternakan
dikandangkan dan diberikan juga pakan dan Kesehatan Hewan melarang
konsentrat. Pola kereman dilakukan dengan penggembalaan sapi dalam TPA. Tetapi sampai
pemberian pakan hijauan dan konsentrat sekarang masih ditemukan sapi yang
bergantung pada musim (Setiadi et al. 2012). digembalakan di TPA (Arifin & Soedharmono
Saat ini penggembalaan sapi tidak hanya di 1982).
lapangan rumput, tetapi juga di Tempat Untuk mengetahui tingkat prevalensi
Pembuangan Akhir (TPA). Sapi yang infeksi cacing parasit pada sapi dengan kondisi
digembalakan di TPA mendapatkan asupan geografis yang sama maka dibutuhkan dua
makanan dari sampah organik yang lokasi yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur.
terfermentasi, tetapi ada efek samping yang Dua lokasi tersebut adalah TPA Jatibarang dan
kurang baik bagi kesehatan sapi terutama Kelompok Tani Ternak (KTT) Sidomulyo Desa
serangan parasit yang banyak hidup di tempat Nongkosawit Semarang.
lembab tersebut (Guntoro 2013). Salah satu Desa Nongkosawit mempunyai jumlah
TPA di Semarang yang dimanfaatkan sebagai sapi cukup banyak yang dikelola dalam
tempat penggembalaan sapi adalah TPA Kelompok Tani Ternak (KTT) Sidomulyo.
Jatibarang dengan populasi sapi terbesar di Kota Secara geografi dan ekologi Nongkosawit
Semarang (Disnak 2012). memiliki kemiripan dengan TPA Jatibarang.
Penggembalaan di TPA dapat Tetapi pola pemeliharaan sapi yang diterapkan
menyebabkan sapi terjangkit penyakit parasit sangat berbeda. Sapi di Nongkosawit dipelihara
terutama cacing. Telur cacing bisa ditemukan secara intensif/dikandangkan (dry lot fattening),
pada tempat lembab yang dibawa oleh siput dan sedangkan sapi di TPA Jatibarang dipelihara
lalat. Lalat yang hinggap akan menyebarkan secara semiintensif/digembalakan pada pagi
telur cacing yang terbawa, sedangkan siput akan hingga sore hari kemudian dikandangkan pada
membawa telur cacing dalam bentuk serkaria malam harinya. Sapi di Nongkosawit diberikan
dan ditempelkan pada rerumputan yang lembab. pakan secara intensif di kandang seperti rumput,
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang silase, konsentrat, dedak, ransum, dan
rata-rata menghasilkan sampah dari warga di

94
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

kotorannya dimanfaatkan untuk dijual sebagai dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan April-
pupuk kandang basah dan kering. Mei 2014.
Sapi di Nongkosawit mendapatkan kontrol Sampel feses sapi di TPA Jatibarang dan
dan pengawasan yang lebih baik dari segi KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit diambil
pakan, kesehatan dan kebersihan. Sedangkan sebanyak empat ekor sapi secara acak (dua
pengawasan konsumsi pakan dan lingkungan sampel sapi dewasa usia >2 tahun dan dua
gembalaan sapi di TPA Jatibarang masih sampel sapi anakan usia <2 tahun).
kurang. Kelompok Tani Ternak (KTT) Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8x
Sidomulyo Desa Nongkosawit memelihara sapi setiap dua hari sekali selama 15 hari, sehingga
secara intensif berbeda dengan sapi di TPA sampel keseluruhan 64 sampel. Sampel feses
Jatibarang yang dipelihara secara semiintensif, diambil satu kali dalam sehari pada pagi hari
sehingga lebih rentan terinfeksi cacing parasit. (perkiraan kebiasaan defekasi sapi).
Dalam kesehatan ternak upaya pencegahan Metode identifikasi sesuai Bistner et al.
infeksi penyakit akibat cacing harus dilakukan (2000) menggunakan metode natif (tanpa
sebelum infeksi. Salah satu cara mengetahui pewarnaan), metode sedimentasi
adanya telur cacing dengan identifikasi telur (pengendapan) dan metode flotasi
cacing dalam feses. Hal ini dilakukan untuk (pengapungan). Telur dan larva cacing
deteksi dini adanya infeksi cacing parasit diidentifikasi berdasarkan Atlas Parasitologi
terutama parasit pencernaan dengan cara yang Kedokteran (Pusarawati et al. 2014), Atlas
cepat, mudah dan efektif. Helmintologi Kedokteran (Purnomo et al. 2009)
Beberapa jenis penyakit parasitik yang dan Parasitology The Biology of Animal Parasites
umum dijumpai pada ruminansia khususnya (Noble et al. 1989).
sapi menurut Silva et al. (2014) adalah
fasciolosis dan nematodosis yaitu cacing HASIL DAN PEMBAHASAN
Haemonchus contortus, Toxocara vitulorum,
Oesophagostomum sp, Bunostomum sp dan Berdasarkan hasil pengamatan dan
Trichostrongylus sp (Mardihusodo 1985 dalam identifikasi pada 64 sampel feses sapi di TPA
Hestiningsih 2004). Jatibarang dan KTT Sidomulyo Nongkosawit
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ditemukan dua belas jenis telur cacing dan dua
jenis cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang jenis larva cacing (Tabel 1).
dan Kelompok Tani Ternak (KTT) Sidomulyo Intensitas penemuan jumlah dan jenis
Desa Nongkosawit Semarang diharapkan dapat telur cacing yang ditemukan pada sampel feses
digunakan sebagai indikator kualitas kesehatan dari TPA Jatibarang lebih tinggi daripada
ternak di kedua lokasi tersebut. sampel dari KTT Sidomulyo. Hal tersebut
diindikasikan karena perbedaan pemeliharaan
METODE PENELITIAN yang diterapkan dari kedua tempat tersebut.
Sapi di TPA Jatibarang dipelihara secara
Pengambilan sampel feses sapi dilakukan semiintensif sedangkan sapi di KTT
di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit dipelihara secara intensif.
Nongkosawit Semarang. Pengamatan sampel Meskipun dipelihara secara semiintensif, sapi
feses sapi dilaksanakan di Laboratorium TPA Jatibarang digembalakan di tempat
Taksonomi Hewan Jurusan Biologi FMIPA sampah bukan padang rumput.
Universitas Negeri Semarang. Penelitian Sapi di TPA Jatibarang mendapatkan
perawatan yang kurang higienis dengan

95
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

memakan sampah, sedangkan sapi di KTT dalam membersihkan kandang. Kotoran sapi di
Sidomulyo dipelihara lebih intensif dan higienis KTT Sidomulyo dari pagi setelah dibersihkan
baik dari segi pakan ataupun lingkungannya. menumpuk hingga siang atau sore hari ketika
Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan peternak kembali dari bertani/berkebun,
Brotowijoyo (1987) bahwa hewan yang sehingga dapat memancing lalat dan menjadi
diumbar akan lebih mudah mengalami vektor penyebab penyakit. Hasil identifikasi
kerusakan dan gangguan akibat infeksi parasit menunjukkan bahwa infeksi telur cacing
daripada hewan yang terawat dengan baik. tertinggi adalah Haemonchus contortus yang
Berdasarkan keterangan pemilik, sapi di KTT banyak ditemukan pada sampel feses dari TPA
Sidomulyo sudah pernah diberikan obat cacing Jatibarang sesuai dengan pernyataan Roeber et
dan kandang dibersihkan secara rutin setiap al. (2013) bahwa intensitas cacing yang paling
pagi dan sore hari. tinggi ditemukan pada domba, sapi dan
Berdasarkan kondisi dan lokasi kandang ruminansia kecil lain adalah Haemonchus sp.
di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Pada sapi dewasa jumlah telur cacing per gram
Nongkosawit keduanya sudah sesuai dengan (eggs per gram, epg) feses rata-rata sebesar 657
kriteria kandang yang dianjurkan menurut epg, sedangkan pada sapi anakan sebanyak
Setiadi et al. (2012) baik segi sumber air dan 1080 epg. Nilai tersebut tergolong infeksi
pakan, letak bangunan, jauh dari pemukiman sedang dan hanya perlu perawatan rutin
padat penduduk dan mikroklimat yang sejuk. dengan anthelmintik (Thienpont et al. 1995).
Tetapi dari semua aspek, transportasi di TPA Menurut Levine (1994) serta Pfukenyi &
Jatibarang cukup sulit sedangkan di KTT Mukaratirwa (2013) cacing dari genus
Sidomulyo jalan agak sempit untuk kendaraan nematoda yang paling sering menginfeksi
besar. Dari segi pakan sapi di TPA Jatibarang ruminansia terutama sapi, domba dan kambing
memakan sampah sebagai asupannya. Dari adalah Haemonchus sp. Telur ini di temukan
kondisi umum kandang, kedua lokasi sudah biasanya pada abomasum ruminansia dan
sesuai untuk kenyamanan sapi dalam bergerak, memiliki jangkauan yang luas terutama di
sirkulasi udara yang lancar, kandang mudah daerah tropis. Cacing ini dapat memberikan
dibersihkan, melindungi sapi dari terik kerugian ekonomis dan material yang besar
matahari dan hujan dan pengelolaan ternak bagi industri agrikultur. Siklus hidup nematoda
yang mudah. Tetapi pada beberapa aspek pada ruminansia bersifat langsung tanpa
masih belum maksimal, seperti di TPA membutuhkan hospes intermediet sehingga
Jatibarang lokasi kandang ada di bawah bukit intensitas nematoda pada sapi cukup tinggi
yang digunakan sebagai TPA sampah sehingga (Bowman & Georgi 2009). Cacing ini adalah
dapat mengganggu kesehatan sapi. Drainase penghisap darah yang dapat menyebabkan
kandang sapi di TPA jatibarang juga minim anemia dan edema. Selain itu pelepasan protein
meskipun kandang terlihat bersih dan kering. hemolitik dapat menyebabkan gangguan usus.
Lingkungan sekitar kandang di KTT Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan
Sidomulyo banyak ditumbuhi rerumputan yang kematian pada hospes. Infeksi cacing ini dapat
dapat dijadikan vegetasi bagi hospes ditekan dengan menggunakan dosis tunggal
intermediet trematoda yaitu siput. Di sekitar anthelmintik broad-spectrum (Jacquiet et al.
kandang juga dikelilingi sawah yang dapat 1998). Salah satu yang juga banyak dijumpai
dimanfaatkan juga sebagai vegetasi siput. adalah B. phlebotomum. B. phlebotomum dapat
Drainase kandang cukup baik dengan ditemukan pada usus halus dan menyebabkan
kemiringan tertentu sehingga memudahkan

96
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

Tabel 1. Jenis dan jumlah rata-rata telur cacing (epg)penyakit gangguan


pada feses tiap ekor pencernaan
sapi di TPA serta merusak
Jatibarang
dan KTT Sidomulyo Nongkosawit Semarang integumen selama masa invasi perkutaneus.
TPA Jatibarang (epg) KTT Sidomulyo (epg)
No Jenis Sedimenta Flotas Sedimenta
Natif Natif Flotasi
si i si
1 A. lumbricoides 300 (D) - 225 - - -
(D)
300 (A) - 500 - - -
(A)
2 B. phlebotomum 500 (D) 640 (D) - 500 350 (D) -
250 (A) 350 (A) (D) 600 (A)
300
(A)
3 H. contortus 657 (D) - - 733 - -
1080(A) (D)
450
(A)
4 O. radiatum 650 (D) - 633 - - -
400 (A) (D)
500
(A)
5 C. cotylophorum - 675 (D) - - - -
675 (A)
6 T. globulosa - - 250 - - -
(D)
150
(A)
7 O. ostertagi 350 (D) - 450 500 - 1000 (A)
300 (A) (D) (A)
8 F. gigantica 200 (D) 300 - - - -
(D)
200 (A)
9 F. hepatica 600 (D) 300 (D) - - - -
500 (A) 300 (A)
10 Moniezia sp. 200 (A) - 425 - - -
(A)
11 P. cervi - 767 (A) - - 500 (A) -
12 S. bovis 210 (D) 650 (D) - - - -
800 (A) 350 (A)
13 Larva S. - - - - - 4 (D)
papillosus 3 (A)
14 Larva T. axei - - - - - 2 (D)
4 (A)
Keterangan : (D) feses sapi dewasa, (A) feses sampel feses dari TPA Jatibarang. Telur T.
sapi anakan globulosa adalah telur cacing bertipe resisten
tinggi tetapi sangat bergantung pada suhu
Gejala yang sering ditemukan adalah sapi
lingkungan (25-30oC) untuk bisa berkembang
terserang diare, anoreksia dan penurunan berat
(Bowman & Georgi 2009). Sesuai dengan hasil
badan. Serangan parah dapat merugikan
penelitian kondisi di TPA yang bersuhu antara
peternak karena penurunan nilai jual. Beberapa
25-37oC, sehingga telur cacing T. globulosa
anthelmintik bersifat resisten terhadap spesies
dapat berkembang meskipun hanya ditemukan
ini karena tidak ditemukannya anthelmintik
dengan intensitas cukup rendah.
yang efektif (Maichomo et al. 2004).
Intensitas trematoda yang ditemukan
Trichuris globulosa mempunyai intensitas
cukup banyak yaitu F. hepatica, F. gigantica, S.
terendah di antara cacing lainnya yaitu sebesar
bovis, P. cervi dan C. cotylophorum. Kemungkinan
250 epg pada sapi dewasa dan 150 epg pada
ditemukannya trematoda adalah adanya
sapi anakan, dan hanya ditemukan pada
97
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

genangan air (kubangan) yang terkontaminasi air/selokan yang agak kotor sehingga
parasit di lokasi TPA dan saluran lindi yang kemungkinan kelanjutan siklus hidup cacing
digunakan sapi untuk minum. Sesuai dengan masih cukup tinggi.
pernyataan Williamson & Payne (1993) bahwa Berdasarkan organ yang diserang jenis
vegetasi yang menjadi makanan dan tempat telur cacing yang ditemukan dapat
berlindung induk semang, baik definitif atau dikelompokan menjadi tiga kelompok besar
intermediet berpengaruh besar pada populasi yaitu yang menyerang organ pencernaan
parasit, termasuk air. (gastrointestinal), hati, dan pembuluh darah.
Larva yang ditemukan ada dua jenis dari Jenis cacing gastrointestinal yang ditemukan
filum nematoda dengan jumlah tiga puluh kebanyakan adalah cacing berpredileksi di usus
delapan larva cacing. Larva hanya ditemukan halus seperti A. Lumbricoides, S. papillosus, B.
pada sampel feses dari KTT Nongkosawit dan phlebotomum, T. axei, Moniezia sp. dan P. cervi
tidak ditemukan pada sampel dari TPA. Hal (duodenum dan jejenum). Cacing
ini dimungkinkan karena telur sudah menetas gastrointestinal yang berpredileksi di
di kelenjar usus dan keluar bersama feses dalam abomasum yaitu H. contortus dan O. ostertagi
bentuk larva rhabditiform/filariform. Jika sedangkan di usus besar adalah O. radiatum dan
dalam bentuk larva rhabditiform maka larva T. globulosa. Larva migran S. papillosus dapat
akan berubah menjadi larva filariform jia sudah menular melalui transplacental dan
berada di tanah. Namun, larva filariform bisa transmammary. Larva migran B. phlebotomum
terbentuk dan menetap di dalam usus sehingga dapat berpindah serta menyebabkan gangguan
terjadi infeksi dalam bentuk autoinfeksi internal pada kulit, darah, paru-paru dan trakea. Infeksi
dan mengakibatkan strongylidiasis (Bowman & T. globulosa dapat menyebabkan ulserasi,
Georgi 2009). Penelitian dilakukan pada gangguan penyerapan cairan dan diare
musim kemarau meskipun beberapa kali turun berdarah (Madzingira et al. 2002).
hujan. Hal ini sesuai dengan penelitian Cacing hati yang ditemukan ada dua
Pfukenyi et al. (2007) bahwa genus yang paling spesies dari genus Fasciola yaitu F. gigantica dan
umum ditemukan adalah Haemonchus sp, F. hepatica. Keduanya berpredileksi di saluran
Trichostrongylus sp. dan Strongyloides papillosus empedu dan kantong empedu, hanya sesekali
yang biasanya banyak ditemukan pada anakan menginfiltrasi jaringan hati. Cacing ini bersifat
sapi. H. contortus secara signifikan lebih banyak zoonosis (dapat menular dan menginfeksi dari
menginfeksi selama musim hujan, sebaliknya ternak ke manusia baik melalui ingesti atau
Trichostrongylus sp. secara signifikan ditemukan kulit). Telur cacing yang keluar bersama feses
dalam jumlah yang lebih banyak pada musim akan berkembang menjadi telur berembrio
kemarau. dalam waktu 9-15 hari jika menemukan
Faktor lingkungan yang mendukung air/genangan dengan suhu sesuai antara 23-26
masih ditemukannya cacing di feses sapi KTT o
C. Di TPA ada genangan air sisa tumpukan
Sidomulyo adalah tumbuhan semak dan sampah dan hujan. Genangan ini digunakan
saluran air yang ada di sekitar kandang. Semak sapi untuk berkubang dan minum. Selain itu
terlihat lebat sehingga dapat mendukung juga ditemukan saluran lindi yang digunakan
berkembangnya vektor-vektor parasit. Kandang untuk minum sapi yang diperkirakan menjadi
juga dekat dengan sawah dan genangan jalur infeksi Fasciola.

98
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

Tabel 2. Klasifikasi jenis telur dan larva cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang dan KTT
Sidomulyo Nongkosawit Semarang
Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Nematoda Secernentea Ascaridida Ascarididae Ascaris A. lumbricoides
Strongylida Trichostrongylidae Haemonchus H. contortus
Strongyloidae Oesophagostomum O. radiatum
Rhabditida Strongyloidae Strongyloides S. papillosus
Chromadorea Strongylida Ancylostomatidae Bunostomum B. phlebotomum
Trichostrongylidae Trichostrongylus T. axei
Ostertagia O. ostertagi
Adenophorea Trichurida Trichuridae Trichuris T. globulosa

Platyhelmi
Cestoda Cyclophillidea Anoplocephalidae Moniezia M. expansa
ntes
Trematoda Echinostomida Paramphistomatidae Paramphistomum P. cervi
Cotylophoron C. cotylophorum
Fasciolidae Fasciola F. gigantica
F. hepatica
Strigeidida Schistosomatidae Schistosoma S. bovis
Trematoda hati ini memerlukan hospes peningkatan aktivitas fagositik mononukleus,
intermediet dalam siklus hidupnya yaitu siput penurunan berat badan dan lemahnya kondisi
Lymnea spp. dan Eliocharis spp. yang berada di tubuh (Pandey et al 1993).
air lalu menginfeksi hospes definitifnya yaitu Kerugian yang ditimbulkan oleh cacing-
ruminansia. Larva fase ke-3 (L3) dari keduanya cacing gastrointestinal secara umum
dapat migrasi melalui jaringan hati melewati mengganggu sistem pencernaan, menyebabkan
dinding saluran empedu sehingga diare, enteritis (inflamasi usus), pendarahan,
menyebabkan kerusakan berat hingga gastritis, anemia akibat pecahnya pembuluh
pendarahan dan inflamasi. Dampak yang darah pada usus, penurunan berat badan yang
ditimbulkan selain kematian sel dan fibrosis drastis, dan dehidrasi. Efek paling merusak
adalah penurunan berat badan, pengurangan cacing gastrointestinal H. contortus adalah
produksi susu pada sapi perah. Selain itu akumulasi cairan di abdomen, thoraks dan
Fasciola dapat memproduksi toksin yang jaringan submandibular (bottle jaw) (Basetto et
merusak fungsi hati (Natadisastra & Agoes al. 2011).
2009). Banyaknya cacing yang ditemukan
Cacing pembuluh darah yang berhasil dipengaruhi oleh faktor makanan, kebersihan
ditemukan adalah S. bovis. Cacing ini dan lingkungan sesuai menurut Gasbarre et al.
berpredileksi di pembuluh darah. Trematoda (1990) bahwa cacing gastrointestinal
darah ini memperoleh makanan dari nutrisi dipengaruhi oleh cara pemeliharaan yang
hospesnya. Cacing yang belum dewasa hidup efisien dan pemberian makanan. Makanan
di dalam pembuluh darah dan memperoleh yang dikonsumsi sapi di TPA adalah sisa
makanan dari sel darah merah sehingga makanan, dedaunan dan sisa sayuran. Selain
menyebabkan anemia dan persaingan konsumsi itu, sapi-sapi tersebut minum di kubangan dan
nutrisi dengan hospesnya. Cacing ini dapat saluran air lindi yang ada di lokasi TPA. Hasil
bersifat toksik di dalam darah dan merusak pengamatan terhadap struktur feses sapi terlihat
kantong empedu. Gejala yang umum terjadi adanya perbedaan yang cukup mencolok.
akibat infeksi cacing ini adalah konstipasi, Struktur feses sapi di TPA rata-rata lebih
diare, anemia, hepatosplenomegali, lembek dan warnanya cenderung lebih gelap.

99
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

Jika dilihat fisik feses terlihat tidak ada juga dua jenis larva cacing (S. papilosus dan T.
rerumputan yang terkandung dalam feses, axei). Klasifikasi jenis telur dan larva cacing
kadar seratnya sedikit dan aromanya lebih dapat dilihat pada Tabel 2.
menyengat. Feses sapi di KTT Sidomulyo Pada penelitian ini, metode sedimentasi
memiliki tekstur kasar, warna hijau kecoklatan, dan flotasi dilakukan secara bersamaan dalam
kadar serat cukup banyak. Ciri-ciri tersebut satu langkah. Metode flotasi dilakukan sebelum
sesuai pernyataan Yahya (2002) dalam sedimentasi. Kedua metode menggunakan
Primawidyawan (2006) bahwa struktur feses larutan NaCl sebagai pelarutnya, sehingga
ruminansia yang normal adalah kasar, selain mendapatkan hasil apung juga
berwarna hijau kecoklatan, kadar serat didapatkan endapan yang bisa diamati pada
tumbuhan cukup banyak dan masih ditemukan metode sedimentasi. Berdasarkan pemeriksaan
sisa rumput yang tidak tercerna. melalui berbagai metode tersebut diketahui
Feses sapi TPA Jatibarang didapatkan bahwa masing-masing metode memiliki
enam jenis telur cacing (B. phlebotomum, T. efektivitas tersendiri untuk menemukan jenis
globulosa, Fasciola sp, P. cervi dan S. bovis) cacing yang berbeda morfologi dan
dan sampel feses dari KTT Sidomulyo fisiologinya. Metode natif dapat menemukan
sebanyak dua jenis telur cacing (B. paling banyak yaitu sembilan jenis telur cacing.
phlebotomum dan P. cervi). Keuntungan metode natif adalah tidak
Metode terakhir yang digunakan adalah memerlukan waktu lama, langkah pemeriksaan
metode apung/flotasi dimana sampel feses yang sederhana dan tidak memerlukan bahan
diapungkan menggunakan larutan NaCl jenuh dan alat khusus.
dan biasanya digunakan untuk pemeriksaan Jika dilihat dari hasil yang didapat,
feses yang mengandung sedikit telur. Prinsip metode natif efektif terhadap identifikasi telur
kerjanya berdasarkan perbandingan berat jenis cacing nematoda, cestoda dan trematoda.
telur cacing dan larutan. Jika berat jenis telur Metode sedimentasi efektif pada identifikasi
cacing lebih ringan daripada berat jenis larutan telur cacing trematoda dan cestoda. Sementara
maka telur cacing akan mengapung pada metode flotasi pada penelitian efektif untuk
permukaan larutan. Telur cacing terindikasi identifikasi telur dan larva nematoda seperti
mengapung ini yang bisa diamati pada metode Ascaris, O. radiatum, Trichuris, Moniezia, larva S.
flotasi (Natadisastra & Agoes 2009). Pada papillosus dan T. axei.
penelitian metode flotasi menggunakan larutan Metode natif efektif untuk menemukan
NaCl infus. NaCl ini berfungsi mengapungkan telur nematoda dan trematoda dalam feses
telur cacing dengan berat jenis lebih ringan terutama untuk mengetahui tingkat infeksi
daripada berat jenis larutan. Selain itu, NaCl cacing parasit ringan. Metode sedimentasi
berfungsi memisahkan partikel besar pada feses efektif dipakai untuk ascaris, ascaris unfertil
sehingga memudahkan untuk diproses dan dan trematoda. Metode flotasi efektif
diamati. Metode ini menggunakan penutupan digunakan untuk mengetahui infeksi telur
dengan gelas benda pada permukaan tabung nematoda, coccidia oosit, telur tapeworms,
sentrifuge yang ditambahkan NaCl sampai Nematodirus, Ascaris, Strongyloides, Trichuris dan
cembung. Berdasarkan hasil Identifikasi dan Moniezia (Natadisastra & Agoes 2009).
pengamatan pada sampel feses dari TPA
Jatibarang didapatkan lima jenis telur cacing SIMPULAN
dan pada sampel fesesdari KTT Sidomulyo
sebanyak satu jenis telur cacing (O. ostertagi)

100
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

Berdasarkan hasil penelitian dapat membrane proteins from H. contortus. J


Parasite Immunol. (33): 377–381.
disimpulkan bahwa jenis telur cacing yang
[BPSN RI] Badan Pusat Statistik Nasional RI. 2011.
ditemukan pada feses sapi di TPA Jatibarang Statistika Hewan ternak di Indonesia Tahun
Semarang lebih tinggi dan lebih banyak yaitu 2011. Jakarta: RI.
Bistner IS, Ford BR & Raffe MR. 2000. Handbook of
tiga belas spesies (A. lumbricoides, Veterinary Procedures and Emergency Treatment.
B. phlebotomum, H. contortus, O. radiatum, O. United States of America: W. B. Sanders co.
Bowman DD & Georgi JR. 2009. Georgi’s
ostertagi, T. globulosa, F. hepatica, F. gigantica, M.
Parasitology for Veterinarians. United
expansa, M. benedeni, P. cervi, C. cotylophorum dan Kingdom: Elsevier Health Sciences.
S. bovis) daripada feses sapi dari KTT Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme.
Jakarta: Media Sarana Press.
Sidomulyo Nongkosawit sebanyak enam [Disnak] Dinas Peternakan. 2012. Statistika
spesies (B. phlebotomum, H. contortus, O. Peternakan Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
ostertagi, P. cervi, larva T. axei dan S. papillosus).
Jawa Tengah.
Intensitas telur cacing yang ditemukan Dwiloka B, Rasana’e DLMR & Rianto F. 2006.
pada feses sapi di TPA Jatibarang lebih tinggi Kandungan Logam Berat pada Hati dan
Usus Sapi yang Dipelihara di TPA
daripada feses dari KTT Sidomulyo Jatibarang Semarang setelah direbus dengan
Nongkosawit dengan intensitas tertinggi adalah Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus
Haemonchus contortus sebesar 1080 epg dan Benth). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi Isotop
dan Radiasi. Jakarta, 12 Desember 2006.
terendah Trichuris globulosa sebesar 150 epg. Gasbarre LC, Leighton EA & Davies CJ. 1990.
Sedangkan pada feses sapi di KTT Sidomulyo Genetic control of immunity to
gastrointestinal nematodes of cattle, J Veterin
Nongkosawit intensitas tertinggi adalah Parasitol 37: 257–272.
Ostertagia ostertagi sebesar 1000 epg dan Guntoro S. 2013. Membuat Pakan Ternak dari Limbah
Organik. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
terendah Bunostomum phlebotomum sebesar 300
Hestiningsih R. 2004. Perbandingan bakteri
epg. kontaminan pada lalat Chrysomyia
Berdasarkan metode identifikasi, metode megacephala dan Musca domestica di TPA
Piyungan Bantul Yogyakarta. Thesis.
natif efektif untuk identifikasi nematoda,
Yogyakarta.
Moniezia sp. dan trematoda. Metode Jacquiet P, J Cabaret, E Thiam & D Cheikh. 1998.
sedimentasi efektif untuk identifikasi trematoda Host range and maintenance of Haemonchus
spp. in adverse, arid climate. Int J Parasitol.
dan Moniezia sp, sementara metode flotasi 28(2):253-261
efektif untuk identifikasi telur dan larva Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi
Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada
nematoda.
University Press (diterjemahkan oleh Ashadi
G).
DAFTAR PUSTAKA Madzingira O, Mukaratirwa S, Pandey VS & Dorny
P, 2002, A questionnaire survey of the
management and use of anthelmintics in
Arifin C. & Soedharmono. 1982. Parasit Ternak dan
cattle and antelope in mixed farming systems
Cara Penanggulangannya. Jakarta: PT.
in Zimbabwe. J Sou Afr Veterin Asso. (73):70-
Penebar Swadaya.
73
Bassetto CC, Silva BF, Newlands GFJ, Smith WD,
Maichomo MW, Kagira JM & Walker T. 2004. The
Amarante AFT. 2011. Protection of calves
prevalence of gastro-intestinal parasites in
against Haemonchus placei and Haemonchus
calves, sheep and goats in Magadi division,
contortus after immunization with gut

101
M. Rofiq Nezar dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (2) (2014)

south-western Kenya. Onderstepoort J Veterin Purnomo, Gunawan JW, Magdalena LJ, Ayda R &
Res. 71:257–261. Harijani AM. 2009. Atlas Helmintologi
Mardihusodo SJ. 1985. Studi Macam Spesies dan Kedokteran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Bionomi Lalat yang Berbiak di Kandang Utama.
Ternak dan Timbunan Sampah di Pusarawati S, Ideham B, Kusmartisnawati, Tantular
Yogyakarta. Laporan Penelitian. Fakultas IS & Basuki S. 2014. Atlas Parasitologi
Kedokteran UGM. Kedokteran. Jakarta: EGC.
Natadisastra D & Agoes R. 2009. Parasitologi Roeber F, Jex AR & Gasser RB. 2013. Impact of
Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang gastrointestinal nematodes of sheep, and the
Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran role of advanced moleculer tools for
EGC. exploring epidemiology and drug resistance-
Noble ER, Noble AG, Schad AG & Austin JJ. an Australian perspective. J Parasite & Vect.
1989. Parasitology: The Biology of Animal 153(6): 1-13.
Parasites. Philadelpia: Lea & Febiger. Setiadi MA, Sa’id G, Achjadi RK & Purbowati E.
Pandey VS, Chitate F & Nyanzunda TM. 1993. 2012. Sapi dari Hulu ke Hilir dan Info
Epidemiological observations on gastro- Mancanegara. Jakarta: Penebar Swadaya.
intestinal nematodes in communal land Silva MRL, Amarante MRV, Bresciani KDS,
cattle from the highveld of Zimbabwe. J Amarante AFT. 2014. Host-specificity and
Veterin Parasitol. 51: 99–106. morphometrics of female Haemonchus
Pfukenyi MD, Mukaratirwa S, Willingham AL & contortus, H. placei and H. similis (Nematoda:
Monrad J. 2007. Epidemiological studies of Trichostrongylidae) in cattle and sheep from
parasitic gastrointestinal nematodes, shared pastures in São Paulo State Brazil. J
cestodes and coccidia infections in cattle in Helminthol. (4):1-5.
the highveld and lowveld communal grazing Thienpont, Rochette F & Vanparijs OFJ. 1979.
areas of Zimbabwe. Onderstepoort J Veterin Diagnosting Helminthiasis Through Coprological
Res. 74: 129-142. Examination. Belgium: Jannsen
Pfukenyi DM & Mukaratirwa S. 2013. A review of Pharmaeutica.
the epidemiology and control of Williamson G. & Payne WJA. 1993. Pengantar
gastrointestinal nematode infections in cattle Peternakan di Daerah Tropis. Yogyakarta:
in Zimbabwe. Onderstepoort J Veterin Res. Gadjah Mada University Press
80:1-12. (diterjemahkan oleh Darmadja SGND).
Primawidyawan A. 2006. Identifikasi Nematoda Yahya A. 2002. Studi Populasi Badak Jawa
Saluran Pencernaan pada Tinja Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) melalui Kamera Penjebak
Inframerah di Taman Nasional Ujung Kulon.
(Rhinocerous sondaicus) di Taman Nasional
Direktorat Jenderal Konservasi Alam
Ujung Kulon. Skripsi. Bogor: Fakultas Taman Nasional Ujung Kulon-WWF.
Kedokteran Hewan IPB.

102

Anda mungkin juga menyukai