Anda di halaman 1dari 17

2.

1 Terapi Nonfarmakologi
Pengobatan non farmakologi yang utama terhadap hipertensi adalah pembatasan
garam dalam makanan, pengawasan berat badan, dan membatasi minuman alkohol.
Intervensi terhadap faktor di atas dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi. Pengobatan
ini akan benar-benar berguna apabia tekanan darah diastol di antara 90-95 pada penderita
hipertensi dengan usia kurang dari 50 tahun yang tidak mempunyai faktor-faktor resiko
kardiovaskuler lainnya seperti : diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, laki-laki, riwayat
keluarga, kulit hitam, atau bukti-bukti adanya kerusakan dalam organ target. Pengobatan non-
farmakologi diberikan sebagai tambahan pada penderita-penderita yang mendapat terapi
dengan obat-obat. (Suwarso, 2010).
a. Modifikasi Gaya Hidup

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi.
Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya
hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He J, et.al., 2000).
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat dapat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas ; mengadopsi pola makan
DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium;
diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan tidak banyak mengkonsumsi alkohol. Pada
sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari
menggunakan obat. (Hyman DJ et.al., 2001).

b. Pembatasan Garam dalam Makanan


Pada beberapa orang dengan penyakit hipertensi, ada yang peka terhadap garam (salt-
sensitive) dan terdapat pula yang resisten terhadap garam. Penderita hipertensi yang peka
terhadap garam cenderung akan menahan natrium, berat badan bertambah, dan
menimbulkan hipertensi pada diet yang tinggi garam. Sebaliknya, untuk penderita yang
resisten terhadap garam cenderung tidak terdapat perubahan dalam berat badannya atau
tekanan darah pada diet garam rendah atau tinggi. Reaksi terhadap garam ini menjelaskan
mengapa beberapa orang yang mempunyai penurunan tekanan darah yang tidak sesuai
dengan pembatasan garam dalam makanan, sedang pada orang lain tekanan darah tetap
tidak berubah. (Suwarso, 2010).
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diet yang mengandung 1600-2300 mg
natrium/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 9-15 mmHg dan tekanan
diastolik sebesar 7-16 mmHg. Pembatasan garam sekitar 2000 mg natrium/hari
dianjurkan untuk pengelolaan diet pada kebanyakan penderita hipertensi. (Suwarso,
2010).
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 gr garam dapur perhari dan
menghindari makanan yang kandungan garamnya tinggi. Misalnya telur asin, ikan asin,
terasi, minuman dan makanan yang mengandung ikatan natrium.Tujuan diet rendah
garam adalah untuk membantu menghilangkan retensi (penahan) air dalam jaringan tubuh
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun rendah garam, yang penting
diperhatikan dalam melakukan diet ini adalah komposisi makanan harus tetap
mengandung cukup zat-zat gizi, baik kalori, protein, mineral, maupun vitamin yang
seimbang. (Unimus)
Diet rendah garam dibagi menjadi 3 :
1. Diet garam rendah I (200-400 mg Na)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan / atau
hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan garam dapur.
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
2. Diet garam rendah II (600-800 mg Na)
Diet garam rendah II diberikan kepada pasien dengan edema, asites, dan /
atau hipertensi tidak berat. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam
rendah I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ sdt garam dapur.
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
3. Diet garam rendah III (1000 – 1200 mg Na)
Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan edema dan atau
hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam rendah I. Pada
pengolahan makanannya boleh menggunakan 1 sdt garam dapur. (Unimus).
c. Diet rendah kolesterol dan lemak terbatas
Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak terlalu tinggi.
Kadar kolesterol darah yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya endapan
kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Lama-kelamaan jika endapan kolesterol
bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan mengganggu peredaran darah. Dengan
demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung memperparah
hipertensi. (Unimus).
Diet ini bertujuan untuk menurunkan kadar kolesterol darah dan menurunkan berat
badan bagi penderita yang kegemukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mengatur diet lemak antara lain sebagai berikut :
1. Hindari penggunaan lemak hewan, margarin, dan mentega, terutama makanan yang
digoreng dengan minyak
2. Batasi konsumsi daging, hati, limpa, dan jenis jeroan lainnya serta sea food (udang,
kepiting), minyak kelapa, dan santan
3. Gunakan susu skim untuk pengganti susu full cream
4. Batasi konsumsi kuning telur, paling banyak tiga butir dalam seminggu. (Unimus).
Pembatasan asupan natrium dapat merupakan pengobatan efektif bagi banyak pasien
dengan hipertensi ringan. Diet rata rata orang Amerika mengandung sekitar 200 meq
natrium setiap harinya. Diet yang dianjurkan untuk pengobatan hipertensi adalah 70-100
meq natrium setiap harinya, dapat dicapai dengan tidak memberi garam pada makanan
selama atau sesudah memasak dan menghindari makanan yang diawetkan dengan
kandungan natrium besar. Kepatuhandalam pembatasan natrium dapat ditentukan dengan
mengukur ekskresi natrium urine setiap 24 jam, yang dapat memperkirakan masukan
natrium sebelum dan sesudah petunjuk untuk melakukan diet.(Univesitas Udayana)
d. Olahraga
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur
paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan
menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. (Depkes, 2006).

e. Mengurangi Berat Badan


Insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada penderita yang obesitas.
Penurunan berat badan dalam waktu yang pendek dalam jumlah yang cukup besar
biasanya disertai dengan penurunan tekanan darah. Beberapa peneliti menghitung rata-
rata penurunan tekanan darah sebesar 20,7 sampai 12,7 mmHg dapat mencapai penurunan
berat badan rata-rata sebesar 11,7 kg. Terdapat hubungan yang erat antara perubahan
berat badan dan perubahan tekanan darah dengan ramalan tekanan darah sebesar 25/15
mmHg setiap kilogram penurunan berat badan. (Suwarso, 2010).
f. Pembatasan Alkohol
Kurang lebih sebanyak 5-12% dari kasus hipertensi yang mengurangi minum alkohol
dapat menurunkan tekanan darahnya. (Suwarso, 2010).
g. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
Diet yang kaya buah dan sayuran dengan sedikit produk rendah lemak efektif
menurunkan tekanan darah, diduga berkaitan dengan tinggi kalium dan kalsium pada diet
tersebut. (Universitas Udayana)
Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah yang banyak
mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan tekanan darah yang ringan.
Peningkatan masukan kalium (4,5 gram atau 120-175 mEq/hari) dapat memberikan efek
penurunan darah. Selain itu, pemberian kalium juga membantu untuk mengganti
kehilangan kalium akibat dari rendahnya natrium. (Unimus).
h. Terapi Diet Pisang Ambon
Berdasarkan penelitian yang dilakukanoleh Tangkilisan, et.al pada tahun 2013,
didapatkan bahwa terapi diet pisang ambon dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik pada pasien hipertensi. Pisang dapat menurunkan tekanan darah karena
mengandung kalium tinggi yang bekerja mirip obat antihipertensi di dalam tubuh
manusia.
i. Berhenti Merokok
Merokok merangsang sistem adrenergik dan meningkatkan tekanan darah.
Berdasarkan penelitian bahwa ada hubungan yang linear antara jumlah alkohol yang
diminum dengan laju kenaikan tekanan sistolik arteri. (Unimus).
j. Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi ditujukan untuk menangani faktor psikologis dan stress yang dapat
emnyebabkan hipertensi. Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress
menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan
meningkatkan denyut jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung pada
beratnya stress dan sejauh mana kita dapat mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat
dapat berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah. (Hikayati, 2014).
Relaksasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan teknik pernapasan yang
ritmis dan alami. Di dalam relaksasi harus melakukan pernapasan yang ritmis agar dapat
mencapai hasil relaksasi yang optimal melalui penurunan gelombang otak dari gelombang
beta ke gelombang alpha. Pernapasan dengan irama yang teratur akan menenangkan
gelombang otak serta merelaksasikan seluruh otot dan jaringan tubuh. (Hikayati, 2014).

2.2 Terapi Farmakologi


Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol) penghambat angiotensin
converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis reseptor angiotensin II
(misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin)
dan alpha‐blocker (misalnya doksasozin).

Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan
yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.

Golongan Mekanisme Kerja Efek Samping Contoh Obat


obat

Diuretik Tiazid • Menghambat hipokalemia, bendroflumetiazid


reabsorpsi hiponatriemi,
sodium pada hipomagnesiemi,
daerah awal hiperkalsemia,
tubulus distal hiperuresemia,
ginjal peningkatan
• Meningkatkan resiko DM II,
ekskresi sodium hiperlipidemia,
dan volume urin impotensi pada
• Vasodilator pria.
arteriol
ACE Inhibitor Menghambat secara gangguan fungsi Captopril,
kompetitif pembentukan ginjal, enalapril
angiotensin II dari hiperkalemia,
prekursor angiotensin I batuk
inaktif yang terdapat
pada darah, pembuluh
darah, ginjal, jantung,
kelenjar adrenal dan
otak.

Antagonis Memblok sistem gangguan fungsi candesartan,


Reseptor renin‐angitensin melalui ginjal, losartan
Angiotensin II jalur antagonis reseptor hiperkalemia
AT1

Calcium Menurunkan influks ion Kemerahan, amlodipin,


Channel kalsium ke dalam sel pusing, nifedipin
Blocker miokard, sel‐sel dalam pembengkakan,
sistem konduksi jantung, gangguan
dan sel‐sel otot polos pencernaan
pembuluh darah

Alpha Blocker Memblok adrenoseptor hipotensi doksasozin


alfa‐1 perifer, postural
mengakibatkan efek
vasodilatasi karena
merelaksasi otot polos
pembuluh darah

Beta Blocker Memblok beta- bronkhospasme, propanolol,


adenoreseptor bradikardia, atenolol,
miokardia, labetolol,
vasokonstriksi acebutolol,
pembuluh darah, bisoprolol
hipoglikemia,
rasa malas,
mimpi buruk,
impotensi,
peningkatan
kadar trigliserida,
penurunan kadar
HDL.

Obat Golongan • Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin,


Lain minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara
merelaksasi otot polos pembuluh darah.
• Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa,
monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau
reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran
simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,
sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah

2.6.1. Diuretik tiazid

Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,
meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi
langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama.
Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24
jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis
rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun
diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat
ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.

Efek samping

Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,


hipo‐natriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi
kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia,
sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat
mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan
resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia,
menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang
mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian
tiazid dihentikan.

2.6.2. Beta-blocker

Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi


reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta
pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan
aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan
miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada
ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system
rennin‐angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi
air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga
terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai
cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak
spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan
riwayat asma dan bronkhospasma harus hati‐hati. Beta‐blocker yang nonselektif (misalnya
propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas
agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya acebutolol,
bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur)
tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat
berolahraga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari.
Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek
adrenoseptor‐alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau
vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat
dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan
beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker
tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien
dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.

Efek samping

Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan


jika digunakan beta‐blocker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan
kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade
reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala
hipoglikemia pada beberapa pasien diabetes melitus tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena
beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi
peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga
menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada
penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi.
Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan
penurunan HDL.

2.6.3. ACE inhibitor

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif


pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada
darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan
vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan
perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika
sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium,
atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga
bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek
vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih
kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat
diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk
menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama
ACEi harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.

2.6.4. Antagonis Reseptor Angiotensin II

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.


Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon
farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh
karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui
ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1
dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor
angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak
mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada
stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang
hanya berfungsi satu.

Efek samping ACEi dan AIIRA

Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar
elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua
golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat
menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi
kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat
terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan antara ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang
merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi.
AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.

2.6.4. Calcium channel blocker


Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek
ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot
polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin
(verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer
yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek
kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB
dimetabolisme di hati.

Efek samping

Kemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai,
karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi.
Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering
mengakibatkan gangguan gastrointestinal, termasuk konstipasi.

2.6.5. Alpha-blocker

Alpha‐blocker (penghambat adrenoseptor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1


perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah.
Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.

Efek samping

Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada


pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia
karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.

2.6.6. Golongan lain

Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan


darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral
(misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor
lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,
sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.

Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus
dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga
diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja sentral
tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat
seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai
mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada
sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.

Target tekanan darah untuk terapi farmakologi:

Pedoman NICE untuk penanganan hipertensi:

Diagram pedoman NICE penanganan hipertensi:


(Gormer, 2007).

2.3 Algoritma Terapi


Obat Pilihan
Pertama

Tanpa Compelling Dengan Compelling


Indication Indication

Obat yang spesifik untuk


Hipertensi Tahap I Hipertensi Tahap II compelling indication:
(TDS 140-159 atau TDD (TDS > 160 atau TDD > Obat antihipertensi
90-99 mmHg) 100 mmHg) (diuretik, inhibitor ACE,
ARB, 𝛽 bloker)

Kombinasi 2 obat pada


Diuretik thiazide umumnya umumnya
Dapat dipertimbangkan inhibitor
ACE, ARB, 𝛽 bloker, Biasanya diuretik thiazide
CCB/kombinasi dengan inhibitor ACE atau
ARB atau 𝛽 bloker

Gambar algoritma Penanganan Hipertensi secara Farmakologi

Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan
compelling indication. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali
dengan diuretic thiazide. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikaan terapi
kombinasi, salah satu obatnya diuretic thiazide kecuali terdapat kontraindikasi. (Sukandar,
2009)

Ada enam compelling indication yang diidentifikasikan oleh JNC 7 menunjukkan


komorbiditas kondisi spesifik. Hal ini didukung oleh data klinik menggunakan antihipertensi
spesifik untuk menangani hipertensi dan compelling indications. (Sukandar, 2009)
Compelling
Indication

Resiko Tinggi Pencegahan


Paska Infark Diabetes Gagal Ginjal
Gagal Jantung Penyakit Serangan
Miokardial Melitus Kronik
Koroner Stroke Jantung

Diuretik dan 𝛽 bloker dan Inhibitor ACE Inhibitor ACE Diuretik dan
𝛽 bloker
Inhibitor ACE inhibitor ACE atau ARB atau ARB Inhibitor ACE

Inhibitor ACE,
Antagonis
𝛽 bloker ARB, dan Diuretik
Aldosteron
diuretik

ARB,
Angiostensin, 𝛽 bloker, CCB
Aldosteron

Gambar Compelling Indication dalam Penanganan Hipertensi

A. Gagal Jantung
Diuretik merupakan salah satu terapi tahap pertama karena diuretik
memperbaiki gejala edema dengan diuresis. Diuretik Jerat Henle diperlukan terutama
untuk penderita gagal sistolik.
Inhibitor ACE merupakan pilihan obat yang utama berdasarkan pada
penelitian dimana terjadi penurunan morbiditas dan kematian. Pada penderita gagal
jantung terjadi kadar renin dan angiostensin II yang tinggi, maka terapi seharusnya
diawali dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi ortostatik.
ARB dapat juga digunakan sebagai terapi alternatif untuk penderita yang
tidak dapat mentoleririnhibitor ACE dan juga bagi penderita yang sudah mendapatkan
tiga pengobatan standar (Sukandar, 2009).

B. Infark Postmyocardial
Beta blocker menurunkan stimulasi adrenergik jantung dan mengurangi
resiko infark miokardial atau kematian jantung yang mendadak.
Inhibitor ACE meningkatkan fungsi jantung dan mengurangi kejadian
kardiovaskular setelah infark miokardial.
Eleprenon yang merupakan antagonis aldosteron yang memberikan
manfaat yang segera setelah infark miokardial pada penderita gagal jantung sistolik.
Hal ini sebaiknya digunakan hanya untuk pasien tertentu (Sukandar, 2009).

C. Resiko Tinggi Penyakit Koroner


Beta blocker merupakan terapi tahap pertama pada angina kronik yang
stabil dan baik untuk angina tidak stabil serta infark miokardial.CCB (terutama
nondihidropiridin, verapamil, dan diltiazem) menurunkan tekanan darah dana
mengurangi kebutuhan oksigen miokardial. CCB, dihidropiridin, dapat menyebabkan
stimulasi jantung dan sebaiknya digunakan sebagai tahap kedua atau ketiga
(Sukandar, 2009).

D. Diabetes Melitus
Tekanan darah yang diharapkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.
Penderita diabetes dan hipertensi seharusnya mendapatkan pengobatan yang
mengandung inhibitor ACE atau ARB. Kedua kelompok ini menyebabkan
nefroproteksi dan mengurangi resiko kardiovaskular
Tiazid dibutuhkan apabila dibutuhkan obat kedua.Beta blocker
mengurangi resiko kardiovaskular pada penderita diabetes yang pernah mengalami
infark miokardil atau resiko tinggi koroner. Meskipun obat ini dapat menutupi gejala
hipoglikemia (tremor, takikardia, dan palpitasi tapi tidak berkeringat) pada penderita
dalam pengawasan ketat, dapat terjadi penundaan pemulihan hipoglikemia dan
meningkatnya tekanan darah melalui vasokontriksi yang disebabkan oleh stimulasi
reseptor α selama fase pemulihan hipoglikemia. Walaupun ada permasalahan seperti
ini penghambat β sangat bermanfaat pada diabetes setelah inhibitor ACE, ARB, dan
diuretik.CCB merupakan antihipertensi yang bermanfaat (add-on agents) untuk
mengontrol tekanan darah pada penderita hipertesnis yang disertai diabetes
(Sukandar, 2009).

E. Gagal Ginjal Kronik


Inhibitor ACE dan ARBs menurunkan tekanan darah dan juga mengurangi
tekanan intraglomerular yang lebih lanjut menurunkan fungsi ginjal. Beberapa data
menunjukkan bahwa kombinasi inhibitor ACE dan ARB lebih efektif daripada
penggunaan tunggalnya.Karena pasien-pasien ini membutuhkan terapi multi obat,
diuretik, dan kelas ketiga (beta blocker atau CCB) sering kali dibutuhkan (Sukandar,
2009).

F. Pencegahan Serangan Stroke Berulang


Ada suatu penelitian klinik yang menunjukkan bahwa kombinasi inhibitor
ACE dan diuretik tiazid mengurnagi kejadian stroke berulang atau serangan iskemia
transient (Sukandar, 2009).

Sukandar, E., dkk. 2009. ISO FARMAKOTERAPI. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.

Suwarso. 2010. Terapi Non Farmakologi Hipertensi. Tersedia di


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20926/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 10 Mei 2015.
Unimus. (n.d.) Terapi Non Farmakologi Hipertensi. Available on
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-srirahayum-6172-2-babii.pdf
Diakses tanggal 10 Mei 2015.
Hikayati, Flora, R., Purwanto, S. 2014. Penatalaksanaan Non Farmakologis Terapi
Komplementer sebagai Upaya untuk Mengatasi dan Mencegah Komplikasi pada
Penderita Hipertensi Primer di Kelurahan Mulya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal
Pengabdian Sriwijaya, pp. 124-131.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Tersedia di
http://www.binfar.depkes.go.id/bmsimages/1361338449.pdf. Diakses tanggal 10 Mei
2015

Anda mungkin juga menyukai