Terapi Nonfarmakologi Hipertensia
Terapi Nonfarmakologi Hipertensia
1 Terapi Nonfarmakologi
Pengobatan non farmakologi yang utama terhadap hipertensi adalah pembatasan
garam dalam makanan, pengawasan berat badan, dan membatasi minuman alkohol.
Intervensi terhadap faktor di atas dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi. Pengobatan
ini akan benar-benar berguna apabia tekanan darah diastol di antara 90-95 pada penderita
hipertensi dengan usia kurang dari 50 tahun yang tidak mempunyai faktor-faktor resiko
kardiovaskuler lainnya seperti : diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, laki-laki, riwayat
keluarga, kulit hitam, atau bukti-bukti adanya kerusakan dalam organ target. Pengobatan non-
farmakologi diberikan sebagai tambahan pada penderita-penderita yang mendapat terapi
dengan obat-obat. (Suwarso, 2010).
a. Modifikasi Gaya Hidup
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi.
Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya
hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He J, et.al., 2000).
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat dapat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas ; mengadopsi pola makan
DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium;
diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan tidak banyak mengkonsumsi alkohol. Pada
sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari
menggunakan obat. (Hyman DJ et.al., 2001).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan
yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,
meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi
langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama.
Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24
jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis
rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun
diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat
ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
Efek samping
2.6.2. Beta-blocker
Efek samping
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar
elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua
golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat
menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi
kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat
terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan antara ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang
merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi.
AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
Efek samping
Kemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai,
karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi.
Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering
mengakibatkan gangguan gastrointestinal, termasuk konstipasi.
2.6.5. Alpha-blocker
Efek samping
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus
dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga
diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja sentral
tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat
seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai
mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada
sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.
Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan
compelling indication. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali
dengan diuretic thiazide. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikaan terapi
kombinasi, salah satu obatnya diuretic thiazide kecuali terdapat kontraindikasi. (Sukandar,
2009)
Diuretik dan 𝛽 bloker dan Inhibitor ACE Inhibitor ACE Diuretik dan
𝛽 bloker
Inhibitor ACE inhibitor ACE atau ARB atau ARB Inhibitor ACE
Inhibitor ACE,
Antagonis
𝛽 bloker ARB, dan Diuretik
Aldosteron
diuretik
ARB,
Angiostensin, 𝛽 bloker, CCB
Aldosteron
A. Gagal Jantung
Diuretik merupakan salah satu terapi tahap pertama karena diuretik
memperbaiki gejala edema dengan diuresis. Diuretik Jerat Henle diperlukan terutama
untuk penderita gagal sistolik.
Inhibitor ACE merupakan pilihan obat yang utama berdasarkan pada
penelitian dimana terjadi penurunan morbiditas dan kematian. Pada penderita gagal
jantung terjadi kadar renin dan angiostensin II yang tinggi, maka terapi seharusnya
diawali dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi ortostatik.
ARB dapat juga digunakan sebagai terapi alternatif untuk penderita yang
tidak dapat mentoleririnhibitor ACE dan juga bagi penderita yang sudah mendapatkan
tiga pengobatan standar (Sukandar, 2009).
B. Infark Postmyocardial
Beta blocker menurunkan stimulasi adrenergik jantung dan mengurangi
resiko infark miokardial atau kematian jantung yang mendadak.
Inhibitor ACE meningkatkan fungsi jantung dan mengurangi kejadian
kardiovaskular setelah infark miokardial.
Eleprenon yang merupakan antagonis aldosteron yang memberikan
manfaat yang segera setelah infark miokardial pada penderita gagal jantung sistolik.
Hal ini sebaiknya digunakan hanya untuk pasien tertentu (Sukandar, 2009).
D. Diabetes Melitus
Tekanan darah yang diharapkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.
Penderita diabetes dan hipertensi seharusnya mendapatkan pengobatan yang
mengandung inhibitor ACE atau ARB. Kedua kelompok ini menyebabkan
nefroproteksi dan mengurangi resiko kardiovaskular
Tiazid dibutuhkan apabila dibutuhkan obat kedua.Beta blocker
mengurangi resiko kardiovaskular pada penderita diabetes yang pernah mengalami
infark miokardil atau resiko tinggi koroner. Meskipun obat ini dapat menutupi gejala
hipoglikemia (tremor, takikardia, dan palpitasi tapi tidak berkeringat) pada penderita
dalam pengawasan ketat, dapat terjadi penundaan pemulihan hipoglikemia dan
meningkatnya tekanan darah melalui vasokontriksi yang disebabkan oleh stimulasi
reseptor α selama fase pemulihan hipoglikemia. Walaupun ada permasalahan seperti
ini penghambat β sangat bermanfaat pada diabetes setelah inhibitor ACE, ARB, dan
diuretik.CCB merupakan antihipertensi yang bermanfaat (add-on agents) untuk
mengontrol tekanan darah pada penderita hipertesnis yang disertai diabetes
(Sukandar, 2009).