Anda di halaman 1dari 22

Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 1

Kepemimpinan dalam Perspektif Islam1

Abdul Aziz
Asosiasi Alumni Pelatihan Kepemiluan Internasional ‘BRIDGE’ di Indonesia
Azahma54@gmail.com

Abstract: This writing is a mapping of philosophical notions by Sunnī ‘ulamā’ (scholars) on


leadership (imāmah, imamate) within Islam. The argumentation of imamate embraces seven topics:
1) the necessity of imamate, 2) imamate election, 3) imām’s qualification, 4) religious authority vs.
temporal, 5) the true imamate vs. monarchy, 6) single or plural imām, 7) imām’s tasks. The article
also questions a referred model of ancient imamate, the so called caliphate-state, which quarrels
with the temporary system, nation-state.
Keywords: Sunnī thought, Caliphate state, Nation state

Abstrak: Tulisan ini merupakan pemetaan pandangan falsafi para ulama Sunnī mengenai
kepemimpinan dalam Islam. Pembahasan falsafat kepemimpinan (imāmah) mencakup tujuh topik:
1) perlu tidaknya imamah, 2) penunjukan imam, 3) kualifikasi imam, 4) otoritas religius versus
otoritas temporal, 5) imamah yang benar versus kerajaan, 6) imam tunggal atau banyak, 7) tugas-
tugas imam. Artikel ini juga menyoroti model rujukan kepemimpinan masa lalu, negara khilafah,
berbenturan dengan sistem masa kini, negara bangsa.
Katakunci: Pemikiran Sunnī, Negara khilafah, Negara bangsa

Pendahuluan1 mencapai tujuannya dengan baik. Jadi perlu


Dalam mendiskusikan falsafat kepemim- dipertanyakan di sini, apa yang dimaksud
pinan dilihat dari perspektif Islam, perlu ter- dengan falsafat, apakah kepemimpinan itu,
lebih dahulu dicari kejelasan tentang beberapa apa arti gabungan kedua istilah itu, apa yang
istilah yang digunakan, mengingat demikian dimaksud dengan ‘perspektif Islam,’ dan
banyak kemungkinan arti yang disandang bagaimana falsafat kepemimpinan dipahami
oleh masing-masing istilah, tergantung siapa dan dikembangkan dengan menggunakan
yang menggunakan, kapan dan untuk maksud perspektif tersebut.
apa istilah itu digunakan. Pembatasan arti Kamus Besar Bahasa Indonesia mengarti-
dari setiap istilah yang digunakan dalam kan kata benda falsafah: gagasan dan pandang-
diskusi ini penting dilakukan agar diskusi an yang mendasar yang dimiliki oleh orang
1
Makalah untuk “International Conference,”
atau masyarakat; pandangan hidup. Kata kerja
diselenggarakan Laboratorium Falsafat Islam (Labfi) ‘berfalsafah’ diartikan: memikirkan dalam-
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah dan Al- dalam tentang sesuatu; mengungkapkan
Sofa Iran, di Auditorium UIN Jakarta, 20 September
pemikiran-pemikiran yang dalam, yang dija-
2016.

1
2 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

dikan sebagai pandangan hidup.2 Kamus yang di masa modern guna merujuk kepada upaya
sama menyajikan kata benda lain, ‘filsafat’ mengetahui (apa yang ada) di balik kekhasan
yang diartikan: teori tentang kebenaran; ilmu masalah-masalah inti dalam kehidupan
yang berintikan logika, estetika, metafisika, manusia, di antaranya mati, hidup, realitas,
dan epistemologi; falsafah; pengetahuan dan makna-makna dan hakikat. Kalimat itu juga
penyelidikan dengan akal budi mengenai digunakan untuk merujuk kepada produk yang
hakikat yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. dihasilkan bersama oleh para failasuf besar.3
Jadi teranglah, dalam bahasa Indonesia,
‘filsafat’ diartikan lebih luas dari ‘falsafah’ Dalam The American Heritage Dictionary
dan kata yang terakhir ini menjadi salah satu of The English Language disebutkan bahwa
arti kata ‘filsafat.’ Dari sini dapat dilihat, philosophy adalah kata yang berkembang dari
bahwa dalam bahasa Indonesia, penggunaan bahasa Inggris Abad Tengah philosophie yang
kata ‘filsafat’ lebih mewakili padanan kata asalnya dari bahasa Perancis Lama, diambil
Arab falsafah dan kata Inggris philosophy. Di dari kata Latin philosophia, dari bahasa
kalangan pengguna bahasa Arab, kata falsafah Yunani philosophos yang berarti lover of
dialihbahasakan dari kata Yunani, dengan arti wisdom, philosopher. Philosophy memiliki
yang tampak lebih luas, atau mengandung banyak arti, di antaranya: 1) Mencintai dan
perbedaan cakupan, dari kata ‘falsafah’ dalam memajukan kebijaksanaan dengan menggu-
bahasa Indonesia, karena memasukkan hasil- nakan sarana intektual dan moral disiplin-
hasil karya semua kaum failasuf yang dikenal diri, 2) Investigasi terhadap sebab-sebab dan
umum. Simaklah pendapat di bawah ini, hukum-hukum yang mendasari realitas, 3)
Penyelidikan terhadap keadaan segala sesuatu
‫ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﺔ ﻟﻔﻈﺔ ﻳﻮﻧﺎﻧﻴﺔ ﻣﺮﺗﻜﺒﺔ ﻣﻦ ﺟﺰﺃ ﻳﻦ "ﻓﻴﻠﻮ" ﺑﻤﻌﻨﻰ‬ berdasarkan pemikiran logis daripada metode-
‫"ﻣﺤﺒﺔ" ﻭ "ﺻﻮﻓﻴﺎ" ﺑﻤﻌﻨﻰ "ﺣﻜﻤﺔ" ﺍﻱ ﺍﻧﻬﺎ ﺗﻌﻨﻲ ﻓﻰ‬ metode empiris, 4) Ilmu pengetahuan yang
."‫ﺍﻻﺻﻞ ﺍﻟﻴﻮﻧﺎﻧﻲ "ﻣﺤﺒﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻭ ﻟﻴﺲ ﺍﻣﺘﻼﻛﻬﺎ‬ terdiri atas logika, etika, estetika, metafisika,
‫ﻭﺗﺴﺘﺨﺪﻡ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻺﺷﺎﺭﺓ ﺍﻟﻰ‬ dan epistemologi.4
Dalam salah satu literatur falsafah di
‫ﺍﻟﺴﻌﻲ ﻭﺭﺍء ﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺑﺨﺼﻮﺹ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﺟﻮﻫﺮﻳﺔ ﻓﻲ‬
Indonesia disebutkan bahwa kata ‘filsafat’
‫ﺣﻴﺎﺓ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭﺍﻟﻮﺍﻗﻊ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ‬
secara etimologis adalah padanan kata
‫ ﻭﻳﺴﺘﺨﺪﻡ ﺍﻟﻜﻠﻤﺔ ﺫﺍﺗﻬﺎ ﺍﻳﻀﺎ ﻟﻺﺷﺎﺭﺓ ﺍﻟﻰ ﻣﺎ‬.‫ﻭﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ‬ falsafah dalam bahasa Arab, dan philosophy
‫ﺍﻧﺘﺠﻪ ﻛﺒﺎﺭ ﺍﻟﻔﻼﺳﻔﺔ ﻣﻦ ﺍﻋﻤﺎ ﻝ ﻣﺸﺘﺮﻛﺔ‬ dalam bahasa Inggris. Kata ini berasal dari
Al-falsafah adalah kata Yunani yang terdiri bahasa Yunani philosophia, terdiri atas
atas dua bagian, filo dengan arti cinta dan dua kata philo yang berarti cinta (love)
shofia dengan arti ḥikmah, yaitu bahwa kata atau sahabat, dan sophia yang berarti
itu dalam bahasa Yunani yang asli berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan, dan
‘mencintai ḥikmah, dan bukan (berarti) pengetahuan. Jadi secara etimologis, filsafat
memilikinya.’ Kalimat falsafah digunakan 3
Jamāl al-Dīn Fāli ḥ al-Kaylānī, Tārīkh al-
Falsafah al-Islāmiyyah: Qirā’ah Tsāniyyah (Kairo:
2
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia Maktabah al-Muṣṭafā li al-Nasyr, 2012), 4.
(Jakarta: Gitamedia Press, 2012), 258, 261; “Kamus 4
Anne H. Soukhanov (ed.), The American
Besar Bahasa Indonesia Versi Online,” dalam http:// Heritage Dictionary of the English Language, Third
kbbi.web.id/falsafah; http://kbbi.web.id/filsafat. Edition (Boston: Houghton Mifflin, 1992), 5453.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 3

berarti love of wisdom atau cinta/sahabat memburu kebenaran, mencari kejelasan,


kebijaksanaan, cinta/sahabat kearifan, cinta/ dan rasional.6
sahabat pengetahuan. Pengertian etimologis Keanekaragaman pengertian falsafat atau
ini tidak dianggap cukup untuk memahami falsafah atau filsafat juga ditemukan dalam
falsafat, sehingga harus memerhatikan istilah ‘kepemimpinan.’ Kamus Besar Bahasa
konsep dan definisi yang dibuat para Indonesia menjelaskan kata kerja ‘pimpin’
failasuf dengan masing-masing sudut diartikan (dalam keadaan) dituntun, dibimbing,
pandangnya. Ternyata konsep dan definisi jari berpegangan (bergandengan) tangan.
yang diajukan para failasuf itu banyak sekali ‘Memimpin’ antara lain diartikan: mengetuai,
dan berbeda-beda, mulai dari pra-Socrates, atau mengepalai (rapat, perkumpulan),
Plato, Aristoteles, hingga Harold Titus, dan membimbing, memandu, melatih supaya
Sidi Gazalba. Namun dari semua perbedaan dapat mengerjakan sendiri. Sedangkan ‘ke-
itu dikenali ‘benang merah’ yang menuju pemimpinan’ diartikan: perihal pemimpin,
kepada kesimpulan bahwa cara memimpin. Kata ‘kepemimpinan’
dipadankan oleh ahli administrasi negara
…filsafat adalah proses berpikir secara dengan kata Inggris leadership. Sedangkan
radikal, sistematik, dan universal terhadap padanan kata leadership dalam bahasa Arab,
segala yang ada dan mungkin ada. Dengan menurut kamus Al-Mawrid, adalah imāmah.7
kata lain, berfilsafat berarti berpikir secara Oleh karena kata imāmah akan menjadi topik
radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar- kajian kepemimpinan dalam tulisan ini,
akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, maka guna memeroleh pengertian dengan
dan tidak serampangan), untuk mencapai perspektif yang lebih luas dan sekaligus
kebenaran universal (umum, terintegral, serta mencerminkan keanekaragaman makna,
tidak khusus dan tidak parsial).5 penjelasan tentang arti ‘kepemimpinan’ akan
menggunakan padanan katanya dalam bahasa
Mengacu kepada uraian di atas, dapatlah Inggris, yaitu leadership.
dikatakan bahwa adalah mungkin, dan tidak Secara etimologis, kata kerja to lead
salah, menggunakan kata ‘falsafat’ dalam berasal dari kata Inggris Lama leden, atau
pengertiannya yang sama dengan kata loedan yang berarti: membuat berlangsung,
‘filsafat,’ jika kata ‘falsafat’ dalam bahasa membimbing, atau menunjukkan jalan,
Indonesia dipahami sebagai padanan kata dan dari bahasa Latin ducere yang berarti:
falsafah dalam bahasa Arab, yang merupa- menghela, menyeret, menarik; mengarahkan,
kan padanan kata philosophy dalam bahasa membimbing, memimpin. Penjelasan kamus
Inggris. Demikian juga kata kerja ‘berfalsafat’ untuk kata lead dan leader baru muncul pada
dapat diartikan sama dengan ‘berfilsafat,’
yaitu berpikir dengan sejumlah ciri berikut 6
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, 21-3.
ini: radikal, mencari asas yang paling hakiki,
7
“Kamus Besar Bahasa Indonesia, Versi Online”
dalam http://kbbi.web.id/pimpin ; Miftah Thoha,
Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya,
Cetakan ke-21 (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011),
5
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa 260-2; Rohi Baalbaki, Al-Mawrid: A Modern Arabic-
Klasik hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz English Dictionary, Seventh Edition (Beirut: Dar al-
Media, 2016), 11-6. Tulisan italik asli dari teks. Ilm li al-Malayin, 1995), 165.
4 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

abad 18 M. Kata lead memunyai beberapa kata leadership oleh para teoritisi dan praktisi.
arti, di antaranya: membimbing dengan Joseph Rost mencatat, hanya 60 % dari 586 buah
tangan; memimpin ke tempat mana saja; buku, bagian buku dan sedikit jurnal sejak 1910
memimpin sebagai kepala atau komandan; sampai 1990 yang menulis tentang leadership,
memerlihatkan cara mencapai; menularkan menjelaskan definisinya. Hal ini menunjukkan,
suatu tatakrama. Leader didefinisikan: para sarjana dan praktisi terjebak dalam apa
seseorang yang memimpin; seseorang yang yang disebutnya “a culture of definitional
bergerak lebih dahulu; ketua partai atau fraksi. permissiveness and relativity” (budaya keserba-
Sedangkan leadership tidak didefinisikan. bolehan dan relatifitas pendefinisian.) banyak
Baru pada 1828 M., Webster dalam An sarjana yang tidak memiliki pemahaman yang
American Dictionary of the English Language jelas, dan tidak mampu mengenali secara tepat
mendefinisikan leadership dengan the state or apa leadership itu.9
condition of a leader (keadaan atau kondisi Tysson, Wald dan Spieth memetakan
seorang pemimpin.) Pada 1908 New English perbedaan tekanan perhatian para sarjana
Dictionary Based on Historicl Principles dalam studi leadership. Mereka membagi
memuat definisi leadership: the dignity, office, kepada empat orientasi, yaitu orientasi pe-
or position of a leader, especially of a political mimpin (leader-oriented leadership), seperti
party; also ability to lead (martabat, jabatan, teori-teori kepemimpinan Great-man (Orang
atau posisi seorang pemimpin, khususnya Besar), Trait (Sifat Melekat), dan Charismatic
partai politik; juga kemampuan memimpin.) (Kharismatis.) Berikutnya, perhatian dibe-
Dalam edisi kedua dari Random House rikan kepada orientasi pengikut (follower-
Dictionary of the English Language yang oriented), di antaranya teori Attribution (sifat
terbit pada 1987, leadership mencakup empat kepemimpinan hasil observasi prilaku oleh
definisi: 1) the position or function of a leader pengikut.) Perhatian selanjutnya ditekankan
(posisi atau fungsi seorang pemimpin), 2) kepada situasi (situation-oriented) seperti
the ability to lead (kemampuan memimpin), teori Contingency (Kemungkinan), dan
3) an act or instance of leading, guidance, Path-Goal (Cara-Tujuan.) Terakhir, tekanan
direction (suatu tindakan atau keadaan diberikan kepada interaksi (interaction-
memimpin, membimbing, mengarahkan), 4) oriented) seperti teori-teori Transactional,
the leaders of a group (para pemimpin suatu dan Transformational.10 Melalui berbagai
kelompok.) Penjelasan ketiga kamus yang argumen dan pertimbangan, Richard Bolden
berbeda kurun waktu itu dapat menjelaskan dkk. sampai pada pembedaan tiga perspektif
perkembangan (dan pergeseran) arti leadership leadership, yaitu individual, organisasional
dari waktu ke waktu. Definisi ketiga dari dan sosietal, dan berupaya memetakan
kamus Random House mencerminkan gagasan tantangannya, seperti persoalan gender, dunia
kaum behavioris, sedangkan definisi keempat
mewakili pandangan kaum sosial-psikologis.8
Penjelasan kamus tentu tidak cukup ter- 9
Joseph C. Rost, Leadership, 6.
utama untuk melihat kompleksitas penggunaan 10
Ana K. Tysson, Andreas Wald, Patrick Spleth,
“Leadership in Temporary Organizations: A review of
8
Joseph C. Rost, Leadership for the Twenty-First Leadership Theories and Research Agenda,” Project
Century (Westport: Praeger, 1993), 37-42. Management Journal, Vol .44, No.6 (2013), 52-67.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 5

virtual, dan sebagainya.11 Tentu berguna untuk Josep Rost: Leadership is an influence
menjelaskan satu persatu semua orientasi, relationship among leaders and followers
perspektif dan teori-teori, namun paparan di who intend real changes that reflect their
atas dimaksudkan hanya untuk mengingatkan, mutual purposes (Kepemimpinan adalah
bahwa definisi dan konsep leadership sudah suatu hubungan pengaruh di antara para
sangat luas dan kompleks cakupannya. pemimpin dengan para pengikut yang
Sebagai ilustrasi, dan untuk membantu menginginkan perubahan-perubahan nyata,
memerjelas uraian selanjutnya, di bawah ini yang mencerminkan tujuan-tujuan timbal
disertakan tiga definisi dari tiga orientasi, balik mereka.)14
yaitu orientasi pemimpin, orientasi interaksi,
dan campuran beberapa orientasi, Uraian di atas memberi landasan bagi
penjelasan tentang ‘falsafat kepemimpinan’
Ordway Tead: Leadership is the activity yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu
of influencing people to cooperation proses berpikir dengan cara radikal, rasional,
toward some goal which they come to menggali dasar-dasar yang paling hakiki, guna
find desirable (Kepemimpinan adalah menemukan kebenaran tentang kepemimpinan
aktifitas memengaruhi orang-orang untuk dalam semua orientasi dan perspektifnya. Ke
bekerjasama mencapai beberapa tujuan dalam falsafat kepemimpinan ini termasuk
yang mereka rasakan perlu.)12 menemukan gagasan yang berada di balik
James Burns: Leadership is the reciprocal berbagai teori kepemimpinan, dan mengenali
process of mobilizing, by persons with certain paradigma (metafalsafat) di balik pemikiran-
motives and values, various economic, pemikiran falsafi tentang kepemimpinan.15
political and other resources, in a context of Penjelasan bagian terakhir ini penting, meng-
competition and conflict, in order to realize ingat falsafat kepemimpinan tidak terlepas dari
goals independently or mutually held by both konteks kelahirannya. Hal ini berarti, perspektif
leaders and followers (Kepemimpinan adalah falsafat kepemimpinan tidak terbatas kepada
proses timbal balik [yang dilakukan] oleh apa yang telah terurai di atas, melainkan
orang-orang dengan motif-motif dan nilai- dapat diperluas dengan perspektif keyakinan
nilai tertentu, dalam memobilisasi berbagai agama, perspektif kultural, perspektif wilayah
sumber ekonomi, politik dan lainnya, di dalam geografis dan seterusnya.
suatu kaitan kompetisi dan konflik, guna Telah disinggung bahwa tulisan ini ber-
mewujudkan tujuan-tujuan secara mandiri maksud menjelaskan falsafat kepemimpinan
atau secara bersama baik oleh para pemimpin dari perspektif Islam, salah satu agama besar
maupun para pengikut.)13
14
Joseph C. Rost, Leadership, 102.
15
Istilah ‘metafalsafat’ (metaphilosophy) diguna-
11
Richard Bolden, Jonathan Gosling, Beverley kan oleh Morris Lazerowits sebagai pengganti istilah
Hawkins, Scott Taylor, Exploring Leadership: Indivi- the philosophy of philosophy (falsafat di balik falsafat),
dual, Organizational, and Societal Perspectives sedangkan Dimitris Gakis menggunakan istilah lain,
(Oxford: Oxford Univesity Press, 2011), khususnya yaitu paradigm (paradigma.) Lih. Dimitris Gakis,
139. “Philosophy as Paradigms: An Account of a Contextual
12
Joseph C. Rost, Leadership, 45. Metaphilosophical Perspective,” dalam Philosophical
13
Joseph C. Rost, Leadership, 113. Papers , Vol. 45, No. 1-2 (2016), 1-31.
6 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

dunia. Apakah Islam? Maḥmūd Syalṭūṭ Dengan demikian, diskusi tentang


memberikan definisi yang sangat praktis: Islam falsafat kepemimpinan dalam perspektif
adalah agama Allah yang memiliki dua cabang, Islam memerlukan pelacakan terhadap turāts
yaitu aqidah dan syari‘ah. Definisi ringkasnya, yang memuat hasil-hasil kerja falsafi, mulai
“Islam adalah aqidah dan syari‘ah.” Aqidah dari ilmu tafsir, ilmu Ḥadīts, fiqh, ādāb,
adalah iman kepada kebenaran risalah Nabi tasauf, kalām dan falsafat, suatu pelacakan
Muḥammad, sebagaimana tercermin dalam yang tidak mungkin dilakukan dalam ruang
dua kalimat syahadat; sedangkan syari‘ah dan waktu yang terbatas. Terlebih lagi, turāts
adalah aturan-aturan sistemik (al-nuẓūm) terbatas hanya mencakup warisan intelektual
yang digariskan oleh Allah, atau ditetapkan berbahasa Arab, dan pada umumnya dari
pokok-pokoknya oleh Allah, untuk digunakan tradisi Sunnī. Padahal masyarakat Muslim
manusia dalam hubungan dirinya dengan sepanjang sejarahnya telah mengalami
Tuhannya, hubungan dengan saudaranya fragmentasi paham keagamaan (khususnya
sesama Muslim, hubungan dengan saudaranya Khārijī, Syī‘ī, dan Sunnī), kewilayahan,
sesama manusia, hubungan dengan alam dan desentralisasi kekuasaan, sehingga
semesta, dan hubungan dengan kehidupan. persoalan kepemimpinan dan kerja-kerja
Bagi Syalṭūṭ, Islam berwatak memajukan falsafi tentang kepemimpinan tersebar di
kebebasan berpikir guna kebaikan manusia kalangan pengguna berbagai bahasa selain
dan kemajuan peradabannya.16 Menurut Aziz, bahasa Arab. Di alam Melayu misalnya,
definisi Syalṭūṭ dan penjelasannya tentang sejak awal abad ke-17 telah dikenal kitab-
watak Islam ini mengandung arti bahwa kitab berbahasa Melayu yang dikategorikan
pokok-pokok kandungan syari‘at seperti sebagai ādāb dari genre “cermin para
termaktub dalam dua sumber utamanya, pangeran” (mirrors for princes), yang antara
yaitu al-Qur’ān dan Ḥadīts Rasul terbuka lain mengandung falsafat kepemimpinan
untuk penafsiran dan derivasi. Sebagai dari perspektif Islam, seperti Tāj al-Salāṭīn,
hasilnya, sepanjang sejarah Islam telah Bustān al-Salāṭīn, dan Kitab Adab Raja-
muncul berbagai produk kecerdasan kaum Raja. Meskipun kitab-kitab itu kental
ilmuwan Muslim, yang ditransfer dari satu dipengaruhi karya Arab dan Persia, tetap saja
generasi ke generasi lainnya, yang lazim masih menyisakan pengaruh lokal.18
disebut turāts (arti harfiahnya: warisan) di Oleh sebab itu, tulisan ini akan lebih
mana di dalamnya tercakup berbagai ilmu fokus kepada falsafat kepemimpinan dalam
seperti tafsir al-Qur’ān, Ḥadīts, fiqh, sastra kaitan dengan kepemimpinan negara, yang
(ādāb), astronomi, kedokteran, kalām, dan di dalam tradisi Islam sangat terkait erat
tentu saja falsafat.17 dengan perkembangan pemahaman tentang
aqidah. Fokus ini pun sebenarnya terlalu luas
untuk dikupas dalam satu makalah, sehingga
16
Maḥmūd Syalṭūṭ, Al-Islām: ‘Aqīdah wa Syarī‘ah, hanya bagian tertentu dari kepemimpinan
al-Maṭba‘ah al-Tsāminah ‘Asyrah (Kairo: Dār al-Syurūq,
2001), 9-11. Terjemahan dikutip dari Abdul Aziz, Islam
Versus Demokrasi: Menguak Mitos Menemukan Solusi 18
Jelani Harun, “Bustān al-Salāṭīn, ‘The Garden
(Jakarta: Saadah Pustaka Mandiri, 2016), 15. of Kings’: A Universal History and Adab Work from
17
Abdul Aziz, Islam Versus Demokrasi, 15, Seventeenth-Century Aceh,” dalam Indonesia and the
dengan adaptasi. Malay World, Vol. 32, No. 92 (2004), 21-52.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 7

negara itu yang akan diuraikan, yakni hanya Leadership dalam Islam:
terkait dengan pemikiran falsafi tentang Imamah/khilafah
imāmah/khilāfah (selanjutnya ditulis imamah/ Menurut Qasim Zaman,19 istilah dalam
khalifah.) Hal ini berarti, bahwa kepemimpinan bahasa Arab yang bermakna leader adalah
masyarakat atau kelompok masyarakat, atau imām. Tetapi kata ini juga memunyai arti lain,
kepemimpinan dalam dunia bisnis yang dewasa yaitu model, otoritas, atau eksemplar. Hal ini
ini mulai banyak disentuh oleh kerja-kerja dapat dilihat misalnya dalam al-Qur’ān surah
falsafi dengan perspektif Islam, tidak masuk al-Baqarah/2: 112 tentang Ibrāhīm, “…Aku
dalam pembahasan. Perlu ditegaskan sekali akan menjadikanmu imam bagi seluruh
lagi di sini, bahwa yang dimaksud dengan manusia,” atau surah Hūd/11: 17 tentang
falsafat kepemimpinan dalam perspektif Islam kitab Mūsā, “…dan sebelum al-Qur’ān itu ada
ialah proses berpikir dengan cara radikal, kitab Mūsā sebagai imam dan rahmat.” Dalam
rasional, menggali dasar-dasar yang paling literatur tauhid atau fiqh masa awal, al-Qur’ān
hakiki, guna menemukan kebenaran tentang disebut juga imam, walaupun al-Qur’ān
imamah/khilafah dalam semua orientasi dan sendiri tidak menyebutkannya. Pemimpin
perspektifnya, sebagaimana tercermin dalam salat berjamaah biasa disebut imam, dan
karya para ulama Sunnī. Jadi tulisan ini lebih dalam tradisi fiqh Sunnī, imam juga merujuk
merupakan pemetaan atas produk-produk kepada khalifah, meskipun sejak abad 9 dan
kerja falsafi para ulama Sunnī daripada kerja seterusnya istilah imam digunakan untuk
falsafi penulis makalah ini. menyebut para tokoh ulama Sunnī. Bagi para
Demikianlah dapat dipastikan bahwa ahli fiqh Sunnī, imam/khalifah itu penting
hanya sebagian kecil karya para ahli akan eksistensinya sesuai petunjuk wahyu dan
dirujuk, khususnya para sarjana dalam tradisi bukan menurut akal, guna memertahankan
yurisprudensi Sunnī. Karya para failasuf Islam dan menerapkan syari‘at. Ketika
atau ahli sastra, akan disinggung sepanjang kekuasaan imam/khalifah mulai melemah
relevan, oleh karena para juris Muslim di di tangan para panglima perang, ada ahli
masa lalu seringkali memiliki posisi ganda fiqh yang menyatakan penguasa manapun
sebagai ahli fiqh sekaligus failasuf. Konsep yang memiliki kekuasaan politik efektif,
imamah/khilafah secara jelas menunjukkan dianggap sebagai imam yang sah sejauh tidak
fokus pembahasan akan mencakup suatu menentang syari‘at.
rentang waktu panjang, sejak konsep itu Sejalan dengan pendapat di atas, Robert
menjadi topik perdebatan di masa awal Islam Gleave menyatakan kata imamate dalam
hingga masa keruntuhan sistem khilafah bahasa Inggris merujuk kepada jabatan imam
di muka bumi. Pembahasan ini mungkin yang dalam yurisprudensi Sunnī berarti leader
terasa ambisius, namun perlu karena falsafat (pemimpin) salat berjamaah dan kepala
kepemimpinan dalam perspektif Islam belum negara Muslim. Hanya saja, imam sebagai
banyak dibahas. Tulisan ini akan dilengkapi leader dalam arti kepala negara seringkali
dengan respons falsafi kaum Muslim masa
modern terhadap problem imamah/khilafah 19
Muhammad Qasim Zaman, “Imam” dalam
di era negara-bangsa. Richard C. Martin (ed.), Encyclopedia of Islam and
the Muslim World, Vol. 1 (New York: Thomson- Gale,
2004, 349-50.
8 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

tidak sesuai realitas, ketika pemilik kekuasaan yang berbeda (Khārijī, Syī‘ī, Sunnī), tetapi
politik yang sebenarnya bukan hanya khalifah, juga di masing-masing sekte.21
melainkan juga sultan, amir, atau bahkan Tokoh Sunnī Abū Ḥasan al-Asy‘arī
syaikh yang secara teori yurisprudensi tidak mengakui bahwa perselisihan yang pertama
tercakup dalam istilah leader. 20 kali terjadi di antara kaum Muslim adalah
Seperti Gleave, Hayrettin Yucesoy me- perselisihan tentang imamah. Al-Asy‘arī
nyatakan bahwa kata imamate dapat berarti menulis bahwa segera setelah Nabi wafat,
leadership dalam salat berjamaah, sekaligus kaum Anṣār (sahabat Nabi penduduk asli
merujuk kepada arti kepemimpinan religio- Madīnah) berkumpul di balai pertemuan
politik dan kepemimpinan pemerintahan Banu Sa‘īdah, guna menetapkan imamah
atau kepala negara, yang disebutnya the bagi Sa‘d b. ‘Ubādah, tetua kabilah Khazraj.
supreme leadership (al-imāmah al-‘uẓmā), Mendengar berita ini, Abū Bakr Ṣiddīq
atau the caliphate. Inti gagasan imamate dan ‘Umar b. Khaṭṭāb, dua tokoh kabilah
(untuk selanjutnya digunakan kata imamah) Quraysy Muhājirūn (sahabat Rasul yang
adalah asumsi bahwa kaum Muslim wajib hijrah dari Makkah ke Madīnah) terkemuka
memiliki pemimpin yang sah, yang harus mendatangi mereka. Terjadilah diskusi
bertanggungjawab melindungi agama, se- panas, dan seorang Anṣār berkata, “Dari kami
kaligus menangani urusan dunia. Kaum seorang pemimpin dan dari kalian seorang
Muslim abad Tengah mendiskusikan pemimpin (minnā amīr wa minkum amīr.)”
imamah sebagai bentuk terbaik leadership, Maka bangkitlah al-Ḥubbāb b. al-Munẓir,
walaupun tidak jelas apakah imamah tokoh Khazraj lain, menyatakan diri paling
adalah satu-satunya bentuk pemerintahan layak menjadi pemimpin, sambil menghunus
yang sah. Perkembangan teori imamah pedang menantang duel. Qays b. Sa‘d, anak
secara substansial sangat dipengaruhi oleh laki-laki Sa‘d b. ‘Ubādah, membela ayahnya
respons kaum ilmuwan terhadap fenomena dan bangkit hendak meladeni tantangan
the caliphate (selanjutnya akan disebut al-Ḥubbāb. Pada saat itulah Abū Bakr
khilafah), khususnya khilafah yang turun mengutip Ḥadīts Nabi, “Kepemimpinan
temurun berdasarkan keturunan laki-laki berada di tangan Quraysy (al-imāmah fī
(the patrirchal caliphate); oleh posisi- Quraysy.)” ‘Umar lalu menyatakan sumpah
posisi politik dan doktrinal dari sekte- setia (berbaiat) kepada Abū Bakr Ṣiddīq,
sekte keagamaan yang saling bersaing; dan khalayak hadirin kaum Muhājirūn
pandangan-pandangan politik kaum praktisi dan Anṣār mengakui kepemimpinan Abū
dan para failasuf; serta adat istiadat dan Bakr dan bersepakat atas kekhalifahannya.
kebiasaan yang ada di Timur Tengah. Abū Bakr lalu memerangi mereka yang
Berbagai pandangan yang sangat kaya membangkang kepemimpinannya dan kaum
tentang imamah dapat ditemukan dalam
buku-buku teologi, fiqh, tafsir maupun
Ḥadīts, bukan hanya di antara sekte-sekte 21
Heyrettin Yucesoy, “Imamate,” dalam Gerhard
Bowering, P. Crone, W. Kadi, D. Stewart, M. Qasim
Zaman, M. Mirza (eds.), The Princeton Encyclopedia
20
Robert Gleave, “Imamate,” dalam Richard C. of Islamic Political Thought (Princeton: Princeton
Martin (ed.), Encyclopedia of Islam, 350-1. University Press, 2013), 247.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 9

murtad (yang keluar dari Islam) hingga Imamah/Khilafah dan Skisma


mencapai kemenangan.22 Kontroversi imamah di masa khalifah
Al-Asy‘arī menegaskan lagi: perselisihan Alī b. Abū Ṭālib (w. 40 H./661 M.) telah me-
sesudah (wafat) Rasul adalah tentang imamah. nimbulkan perang saudara sesama Muslim
Tidak ada lagi perselisihan tentang hal itu antara para pendukung ‘Alī dengan para pem-
selama hidup Abū Bakr dan selama masa bela kematian ‘Utsmān, baik yang tergabung
‘Umar b. Khaṭṭāb, sampai ke masa ‘Utsmān dalam kubu ‘Ā’isyah bt. Abū Bakr Ṣiddīq,
b. ‘Affān menjabat (kepemimpinan) ketika maupun Mu‘āwiyah b. Abū Sufyān, penguasa
di akhir masa jabatannya, sebagian kaum wilayah Damaskus dan sekitarnya. Perang ini
Muslim mengingkari sejumlah tindakannya telah mendorong pembunuhan Alī, sehingga
yang sangat tidak mereka sukai, dan mereka imamah berpindah ke tangan Mu‘āwiyah dari
salah dalam hal itu. Mereka telah keluar keluarga Quraysy Banu Umayyah. Perang
dari tradisi berdebat, sehingga apa yang ini juga menimbulkan perpecahan kaum
mereka ingkari itu terus diperdebatkan Muslim ke dalam tiga faksi, yaitu faksi Khārijī
hingga hari ini. Lalu terbunuhlah ‘Utsmān, (penentang ‘Alī sekaligus Mu‘āwiyah),
dan mereka saling berbeda pendapat tentang faksi ‘Utsmānī (khususnya keluarga Bani
pembunuhannya. Adapun Ahl al-Sunnah wa Umayyah) dan faksi Syī‘ah ‘Alī, yang untuk
al-Istiqāmah23 mengatakan bahwa ‘Utsmān pertama kali menyuarakan pandangan masing-
adalah benar dalam semua tindakannya, masing tentang imamah.25
dan ‘Utsmān telah terbunuh secara zalim. Di antara tiga faksi itu, Khārijī (lazim
Namun sebagian lagi menentang pendapat itu disebut dalam bentuk jamak, yaitu Khawārij)
sampai hari ini. Lalu ‘Alī b. Abū Ṭālib dibaiat merupakan faksi pendukung ‘Alī yang paling
(menjadi pemimpin) dan orang-orang pun awal mengartikulasikan pandangan tentang
berbeda pendapat tentang (kepemimpinan) imamah, segera setelah perundingan damai
dia, sebagian mengingkari imamahnya, yang gagal antara ‘Alī dan Mu‘āwiyah.
sebagian lain menahan diri, sementara Khārijī menyatakan kesetaraan manusia di
sebagian lagi mendukung imamahnya depan Allah tanpa memedulikan asal-usul
dan meyakini keabsahan khilafahnya. suku. Mereka juga menyatakan meninggalkan
Inilah perbedaan di antara manusia sampai tradisi kemuliaan berasas kabilah (syaraf
hari ini.24 al-qabīlah) dan menggantinya dengan ke-
muliaan Islam (syaraf al-Islām), sehingga
imamah menjadi hak bagi setiap individu
22
Abū Ḥasan ‘Alī b. Ismā‘īl al-Asy‘arī, Maqālah Muslim.26 Mereka hanya mengakui Abū Bakr
al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn, taḥqīq oleh dan ‘Umar sebagai khalifah yang sah, dan
Muḥammad Muḥyī al-Dīn ‘Abd al-Ḥamīd, al-Juz’
al-Awwal (Beirut: Al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1990), menganggap ‘Alī dan Mu‘āwiyah, serta para
39-46.
23
Istilah ini adalah asli dari teks karya al- 25
Apa yang disebut dengan kelompok Ahl al-
Asy‘arī. Sunnah wa al-Jamā‘ah atau Sunnī, belum dikenal
24
Abū Ḥasan ‘Alī b. Ismā‘īl al-Asy‘arī, Maqālah saat itu
al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn, 47-55. Yang 26
Abdul Aziz, Islam Versus Demokrasi, 202.
dimaksud dengan ‘sampai hari ini’ adalah sampai pada Istilah syaraf al-qabīlah dan syaraf al-Islām berasal
masa al-Asy‘arī hidup. Al-Asy‘arī lahir tahun 260 dari Martin Hind, sebagaimana dikutip oleh Abdul
H./873 M., dan wafat tahun 324 H./935 M. Aziz.
10 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

juru runding damai sebagai pendosa besar khalifah sebelum ‘Alī, karena telah merampas
yang boleh dibunuh kalau tidak mau bertobat. hak imamah ‘Alī, walaupun kemudian ada
Mereka juga menglaim sebagai penerus kaum upaya untuk menghaluskannya.30
pemberontak yang membunuh ‘Utsmān.27 Berbeda dari kedua faksi di atas yang cen-
Berikutnya adalah faksi Syī‘ah ‘Alī, yang derung membangun identitas dan pandangan
menemukan momentum untuk menyuarakan keagamaan yang khas, faksi ‘Utsmāni
identitas dan pandangan keagamaannya tidak mengembangkan identitas kelompok
sendiri (sebagai komunitas Syī‘ī) dalam tersendiri semacam itu, meskipun tetap
peristiwa pembunuhan Ḥussayn b. ‘Alī b. mengusung pandangan tentang imamah,
Abū Ṭālib di Karbala, imam ketiga setelah dengan melanjutkan prinsip yang digunakan
Ḥasan b. ‘Alī b. Abū Ṭālib (kakak) dan Abū Bakr, yaitu “imamah berada di tangan
‘Alī b. Abū Ṭālib (ayah.)28 Namun benih- Quraysy.” Di dalam barisan ini, terdapat para
benih pembentukan komunitas itu diduga sahabat yang menolak berbaiat kepada ‘Alī
telah tumbuh sejak masa ‘Alī masih hidup sebagai khalifah, yang oleh Ibn al-‘Atsīr disebut
dan terus berlanjut hingga ke imam-imam ‘Utsmāniyyah. Mereka antara lain Ḥassan b.
berikutnya, melalui pengembangan apa yang Tsābit, Ka‘b b. Mālik, Abū Sa‘īd al-Khudrī,
disebut dengan doktrin walāyah/wilāyah dan Zayd b. Tsābit, Nu‘mān b. Basyīr, Maslamah
nuṣrah. Konsep walāyah (diartikan dengan b. Mukhallad, Muḥammad b. Maslamah,
kedekatan, keakraban) merujuk kepada suatu Mu‘āwiyah b. Abū Sufyān (‘āmil al-Syām
persaudaraan spiritual yang menekankan yang kelak menjadi khalifah), ‘Abdullāh
loyalitas dan ketaatan timbal balik berbasis b. Amīr al-Ḥaḍramī (‘āmil Makkah), dan
nuṣrah (bantuan, pertolongan) antara imam Ya‘lā b. Umayyah al-Tamīmī (‘āmil Ṣan‘ah,
dan pengikutnya. Walāyah juga dapat berarti Yaman.) ‘Ā’isyah istri Rasulullah, meskipun
kualitas spiritual istimewa yang dimiliki tidak disebut ‘Utsmāniyyah, turut menentang
seorang imam berdasarkan kedekatan dengan Khalifah ‘Alī, bersama tokoh-tokoh Bani
Yang Suci, yang diperoleh melalui jalur Umayyah seperti Marwan b. al-Ḥakam, dan
keturunan guna menjalankan fungsi imam Sa‘īd b. al-‘Āṣ. Dua sahabat Rasul, Ṭalḥah b.
dalam inisiasi dan bimbingan spiritual di dalam ‘Ubaydillāh dan Zubayr b. al-‘Awwām yang
komunitasnya.29 Sejak awal pembentukannya, semula mendukung Khalifah ‘Alī, berbalik
faksi ini hanya mengakui hak imamah bagi melawannya dan bergabung ke kubu ‘Ā’isyah,
‘Alī dan keturunannya, dan menistakan para hingga mereka semua kalah dari ‘Alī.31 Ketika
posisi khilafah berada di tangan Mu‘āwiyah,
27
Lih. Aḥmad Sulaymān Ma‘rūf, Qirā’ah ia memersempit prinsip ini menjadi hanya di
Jadīdah fī Mawāqif al-Khawārij wa Fikrihim wa tangan Quraysy dari keluarga ‘Abd Manāf
Ādābihim (Damaskus: Dār al-‘Aṭlaṣ, 1988), 129-37;
Von W. Montgomery Watt, “The Conception of the saja. Meskipun menerima keabsahan Abū Bakr
Charismatic Community in Islam” dalam Numen Vol. dan ‘Umar dengan alasan kedua mereka telah
7 fasc. 1 (1960), 77-90.
28
Andrea M. Farsakh, “A Comparison of the 30
Dwight M. Donaldson, “The Shī‘ah Doctrine
Sunnī Caliphate and the Shī‘ī Imamate,” dalam The of the Imamate,” dalam The Muslim World, Vol. 21,
Muslim World, Vol. 59, Issue 1 (1969), 50-63. No.1 (1931). Tentang penghalusan lih. Maria Massi
29
Maria Massi Dakake, The Charismatic Dakake, The Charismatic Community, 11.
Community: Shi’ite Identity in Early Islam (Albany: 31
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz, Islam
State University of New York Press, 2007), 15-31. Versus Demokrasi, 200-1.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 11

melakukan tugas dengan baik, Mu‘āwiyah di masjid-masjid atau tempat pribadi, tanpa
menolak keturunan kedua khalifah itu terlibat campurtangan pemerintah.34 Khalifah Banu
dalam kontestasi khilafah, karena kedua Umayyah yang diakui secara luas sebagai
mereka bukan Quraysy dari keluarga ‘Abd patron ilmu hanya ‘Umar b. ‘Abd al-‘Azīz
Manāf.32 Konsekuensi dari sikap ini ialah yang pada masa kekuasaannya yang singkat
terbentuk apa yang disebut al-Jābirī dengan (98-101 H./717-720 M.) diduga mencetuskan
‘ranah politik’ yang hanya dikuasai oleh istilah sunnah al-Nabī dan meminta ulama
keluarga Banu Umayyah sebagai representasi Syria Ibn Syihāb al-Zuhrī (w. 124 H./742 M.)
keluarga ‘Abd Manāf. Klaim atas imamah dari agar mulai menyusun ilmu Ḥadīts.35 Seluruh
manapun, dihadapi oleh tentara reguler (jund) gerakan keilmuan itu telah menghasilkan
berbasis kabilah pendukung yang dilarang sekelompok ulama dari kalangan tābi‘ūn
terlibat urusan politik imamah, sekaligus dan generasi penerusnya (tābi‘ al-tābi‘īn)
terpisah dari rakyat umumnya (rai‘yyah).33 yang disebut aṣḥāb al-sunnah. Para ulama
Di luar ketiga faksi tersebut, terdapat inilah yang menjadi pilar utama kelompok
sejumlah besar tokoh Quraysy Muhājirūn Ahl-al-Sunnah wa al-Jamā‘ah (Sunnī) setelah
dan Anṣār, serta elemen ra‘iyyah Muslim lolos dari sasaran mihnah (inkuisisi) di masa
khususnya kaum mawālī (non-Arab) yang Khalifah al-Ma’mūn (w. 218 H./833 M.) dari
tidak terlibat dalam perdebatan ataupun dinasti ‘Abbāsiyyah.36
kontestasi imamah, dan lebih fokus kepada Mengacu kepada perbedaan kelompok
pengembangan ilmu. Di dalam barisan ini keagamaan di atas, dapat dikatakan bahwa
terdapat ‘Abdullāh b. ‘Umar b. Khaṭṭāb, Zayd ‘perspektif Islam’ adalah pemahaman Islam
b. Tsābit, Sa‘d b. Abū Waqqāṣ, Muḥammad oleh kelompok Muslim yang bermuatan
b. Maslamah, ‘Abdullāh b. ‘Abbās (setelah ‘ideologis’ atau ‘gagasan utopis’ sebagai
mundur sebagai walī Baṣrah di masa Khalifah identitas pembeda di antara kelompok Muslim
‘Alī), ‘Abdullāh b. Amr b. ‘Āṣ, ‘Abdullāh yang saling bersaing, dalam hal ini Sunnī, atau
bin Mas‘ūd, dan Ābān b. ‘Utsmān b. ‘Affān. Sunnīsme. Menurut Ann Lambton, meskipun
Selama kekuasaan Bani Umayyah, mereka persoalan imamah telah diperdebatkan
yang menjauhi politik dan berkonsentrasi sejak muncul kelompok Khārijī dan Syī‘ī,
di dunia ilmu, yang terdiri atas sahabat pembahasan yang relatif komprehensif di
Rasul, dan generasi penerusnya (tābi‘ūn), kalangan Sunnī baru dilakukan oleh al-
melakukan kodifikasi sejumlah cabang Baqillānī (w. 403 H./1013 M.), dan lebih
ilmu, khususnya fiqh, tafsir, Ḥadīts, kalām, dielaborasi lagi oleh ‘Abd al-Qāhir al-
sejarah, biografi, dan bahasa. Pusat ilmu Baghdādī (429 H./1037 M.), dengan beberapa
berada di Madīnah dan Makkah di Ḥijāz, perbedaan di antara kedua mereka. Salah satu
Baṣrah dan Kūfah di Irak, Fusṭāṭ di Mesir,
dan hingga batas tertentu di Damaskus. 34
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, 333-5.
Penyebaran ilmu dilakukan secara individual
35
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, Studies
in Chronology, Provenance, and Authorship of Early
32
Lih. Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Hadith (Cambridge, Cambridge University Press,
Paham Negara Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet dan 1985), 34.
LaKIP, 2011), 330-1. 36
J.A. Nawas, “The Appellation Ṣāḥib Sunna in
33
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz, Chiefdom Classical Islam, How Sunnīsm Came To Be,” dalam
Madinah, 332. Islamic Law and Society, Vol. 23 (2016), 1-22.
12 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

puncak kristalisasi pemikiran tentang imamah falsafi Sunnī yang berkembang sejak proses
adalah karya al-Mawardī (w. 450 H./1058 kodifikasi ilmu keislaman pada abad-abad
M.), Al-Aḥkām al-Ṣulṭāniyyah.37 Selanjutnya, awal Hijriah, yang kemudian ditransmisikan
imamah menjadi bahasan banyak ulama Sunnī, dan dikembangkan melintasi abad-abad
seperti al-Juwaynī (w. 478 H./1085 M.), atau pertengahan, hingga menjelang abad ke-19
Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1328 M.)38 Masehi, ketika dunia Islam bersentuhan
dengan peradaban (Kristen, Eropa) Barat.
Leadership sebagai Imamah/Khilafah dalam Merujuk kepada topik-topik itu, masih
Tradisi Sunnī terdapat sejumlah persoalan kenegaraan yang
Dalam kitab Uṣūl al-Dīn, al-Baghdādī luput dari sentuhan pemikiran Sunnī, dan
menguraikan sebelas wilayah pembahasan akan mendapatkan porsi pembahasan dalam
mengenai imamah versi Sunnīsme, yaitu 1) tulisan ini.
perlunya imamah, 2) penetapan imam, 3)
jumlah imam pada setiap waktu, 4) ras dan Keperluan Imamah
kabilah imam, 5) kualifikasi imam, (6) ‘iṣmah “Bagi Muslim,” kata Ann Lambton, “lan-
(impeccability, terlindung dari perbuatan dasan semua diskusi tentang pemerintahan
dosa) dalam imamah, 7) cara-cara menetapkan dimulai dari hukum Tuhan.” Hukum ini
imam dalam posisi imamahnya, 8) penetapan adalah manifestasi kebaikan absolut, bersifat
imam sesudah Nabi, 9) pewarisan dan wasiat abadi, dan mendahului masyarakat, ataupun
dalam imamah, 10) Legitimasi imamah ‘Umar negara.41 Kesimpulan ini bermakna bahwa olah
dan ‘Utsmān, 11) imamah ‘Alī.39 Dari urutan pikir falsafi dalam konteks imamah tidaklah
topik-topik tersebut, terdapat topik yang sepenuhnya diserahkan kepada akal manusia,
sebenarnya bisa digabungkan. Oleh sebab tetapi sangat dipengaruhi oleh keberadaan
itu, guna keperluan praktis tulisan ini akan hukum Tuhan sebagai manifestasi kebaikan
menggunakan cakupan pembahasan imamah mutlak. Penempatan hukum Tuhan (syari‘at)
yang dibuat oleh Heyrettin Yucesoi, mencakup di atas masyarakat dan negara, sesuai dengan
tujuh topik: 1) perlu tidaknya imamah, 2) pandangan kaum Sunnī yang menyatakan,
penunjukan imam, 3) kualifikasi imam, 4) bahwa eksistensi imamah itu adalah wajib
otoritas religius versus otoritas temporal, (compulsory), bukan berdasarkan kemampuan
5) imamah yang benar versus kerajaan, 6) nalar manusia mengenali perlunya (necessity)
imam tunggal atau banyak, 7) tugas-tugas keberadaan imamah, melainkan berdasarkan
imam.40 Ketujuh topik ini diharapkan mampu alasan keagamaan, yaitu ijmā‘ (konsensus)
menggambarkan berbagai hasil pemikiran para sahabat Rasul akan perlunya penunjukan
seorang pengganti Rasul segera setelah
37
Ann K. Lambton, State and Government in
Medieval Islam (London, Routledge, 1996), 73-84. wafatnya. Menurut al-Jābirī,42 ijmā‘ sebagai
38
Abdul Aziz, Islam Versus Demokrasi, 216-8. ‘fakta agama’ digunakan sebagai alasan, oleh
39
‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, Uṣūl al-Dīn
(Istanbul: Maṭba‘ah al-Dawlah, 1928), 271-83. Princeton Universsity Press, 2013), 247-50. Tulisan
40
Tujuh topik ini mengikuti pola yang dibuat oleh Yucesoy menjadi sandaran utama bagi uraian topik.
Yucesoy. Lih. Hayrettin Yucesoy, “Imamate” dalam 41
Ann K. Lambton, State and Government, xiv
Gerhard Bowering, P. Crone, W. Kadi, D. Stewart, 42
Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Agama, Negara,
M. Qasim Zaman, M. Mirza (eds.) The Princeton dan Penerapan Syari’at (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Encyclopedia of Islamic Political Thought (Princeton: Baru, 2001), 26.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 13

karena alasan keagamaan untuk hal ini tidak dan sumpah setia dari masyarakat luas, walau
ditemukan baik dalam al-Qur’ān maupun simbolik sekalipun. Dengan penekanan
Ḥadīts, sehingga pengalaman historis umat kepada pemilihan imamah seperti itu, maka
Islam dijadikan sebagai rujukan. bagi Sunnī, sumber legitimasi kekuasaan
Al-Juwaynī mengakui, al-Qur’ān dan seorang imam adalah masyarakat. Imamah
Ḥadīts sedikit sekali menyebut masalah bukanlah hak warisan dinastik secara turun
imamah. Itulah sebab ajaran Islam tentang temurun, dan bukan pula hasil penunjukan
imamah tidak bersifat final, karena sebagian oleh sesuatu ‘tahta suci.’44
besar masalahnya bersifat maẓnūnah (dugaan), Masyarakat sebagai sumber legitimasi
atau wilayah ijtihadi. Baginya, khilafah adalah imamah tampak dengan gamblang dalam
suatu posisi yang mengemban dua fungsi, gagasan tentang lembaga pemilih (komisi
yaitu fungsi kenabian sebagai penjaga agama, pemilihan) sebagai bentuk perwakilan masya-
sekaligus pemimpin pemerintahan. Seorang rakat luas. Menurut al-Mawardī, keanggotaan
khalifah yang kehilangan kedua fungsi itu lembaga ini harus memenuhi setidaknya tiga
berarti ia telah kehilangan legitimasi khila- syarat. Pertama, memiliki keadilan dengan
fahnya dan harus dilimpahkan kepada orang segala aspeknya. Kedua, memiliki pengetahuan
lain yang secara nyata memiliki kemampuan yang memungkinkannya mengenali siapa
melaksanakan kedua fungsi itu.43 Artinya, di yang dipandang pantas menjadi imam dengan
dalam kewajiban eksistensi imamah melekat kriteria yang benar secara hukum (mu‘tabarah.)
persyaratan yang mengikat posisi tersebut, Ketiga, memiliki nalar dan kebijaksanaan
dan perpindahannya dimungkinkan ketika yang memungkinkannya memilih dengan
legitimasi hilang akibat kehilangan fungsi. tepat orang yang paling cocok untuk posisi
imamah, dan paling menguasai pengelolaan
Penunjukan Imam kepentingan publik. Prioritas keanggotaan
Alasan yang sama, yakni ijmā‘, juga adalah bagi mereka yang berada di daerah
digunakan dalam menetapkan seorang imam di mana imam berada (ibukota), bukan
melalui pemilihan (ikhtiyār.) Proses pemilihan karena orang dari daerah lain tidak memiliki
imam bersifat sukarela sebagaimana telah keistimewaan, melainkan karena calon yang
dicontohkan dalam pemilihan al-Khulafā’ cocok untuk posisi khilafah biasanya berada
al-Rāsyidūn. Cara pemilihan boleh saja di daerah (ibukota) ini, sehingga akan dengan
dilakukan oleh suatu lembaga pemilih cepat mengetahui keadaan, termasuk kematian
(elector, atau ahl al-‘aqd wa al-ḥall, atau ahl seorang khalifah.45 Meskipun legitimasi para
al-ikhtiyār) dengan kualifikasi tertentu, atau khalifah Umayyah dan ‘Abbāsiyyah yang
melalui penunjukan oleh imam terdahulu, dinastik diakui oleh Sunnī, setidaknya dalam
atau melalui penerimaan (approval) oleh teori, pemilihan (election) tetap dianggap
pemegang kekuasaan nyata, atau seperti sebagai bagian dari proses suksesi.
dinyatakan oleh Abū Ḥamīd al-Ghazālī
Pendapat al-Ghazālī dikutip oleh Hayrettin
bahkan melalui kudeta militer. Namun pada Yucesoy, “Imamate,” 248. Semua italik dari penulis.
akhirnya tetap harus memeroleh persetujuan 45
Abū Ḥasan ‘Alī al-Mawardī, Al-Aḥkām al-
Ṣulṭāniyyah wa al-Wilāyah al-Dīniyyah, taḥqīq oleh
43
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz dalam, Aḥmad Mubārak al-Baghdādī (Kuwait: Maktabah Dār
Islam Versus Demokrasi, 216-7. al-Quṭaybah, 1989), 4.
14 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

Kualifikasi Imam berijtihad dalam persoalan hukum maupun


Apakah seorang imam harus merupakan keadaan krisis, 3) sehat jasmani, baik indra
sosok terbaik dari generasinya? Kalangan Sunnī pendengaran, penglihatan maupun wicara, 4)
berpendapat bahwa keempat khalifah pertama tidak memunyai cacat tubuh yang mengganggu
merupakan figur-figur terbaik di generasinya pergerakan, 5) memiliki kemampuan berpikir
dan tata-khilafah mereka mencerminkan tentang politik kenegaraan, dan pengelolaan
kemampuan penataan mereka. Persoalannya kepentingan publik, 6) memiliki keberanian
tidak sekedar legitimasi keempat khalifah berperang melawan musuh, dan kepedulian
itu, melainkan juga kebutuhan menjelaskan terhadap keutuhan wilayah negerinya.47 Al-
model ideal yang harus dikembangkan Juwaynī menambahkan syarat: 7) imam harus
dalam khilafah yang bersifat historis. Sunnī seorang Muslim, 8) merdeka, bukan budak, dan
menghendaki seorang khalifah haruslah yang 9) harus laki-kali, dengan alasan perempuan
terbaik untuk posisi khilafah yang benar, memiliki keterbatasan sendiri dalam bergaul.
namun tetap membolehkah calon dengan Bagi al-Juwaynī, non-Quraysy yang berilmu
kualifikasi bukan yang terbaik menduduki tinggi dan memiliki keahlian militer yang
posisi itu berdasarkan penunjukan khalifah handal lebih diprioritaskan menjadi imam
terdahulu. Sunnī berpandangan, seorang imam daripada seorang Quraysy yang tidak memiliki
haruslah dari keturunan Quraysy, namun tetap keduanya.48 Pada akhir abad 9 dan awal abad
harus memenuhi beberapa kriteria. Dalam 10, penguasa militer menggunakan persyaratan
konteks ini, sejumlah ulama seperti Ibn ini sebagai alasan untuk menyingkirkan
Khaldūn atau Ibn Jamā‘ah, menyatakan posisi khalifah yang sedang memerintah, misalnya
khalifah tetap terbuka bagi non-Quraysy, mereka terlebih dahulu membuat khalifah
termasuk non-Arab. Al-Juwaynī mengatakan tidak bisa melihat (buta), lalu meminta hakim
hal sama, terutama ketika tidak ada calon ketua mengumumkan bahwa khalifah tersebut
yang memiliki kriteria atau memenuhi syarat tidak memenuhi syarat sehingga mereka dapat
sebagai khalifah, sebab syarat khalifah harus menempatkan penggantinya yang mereka
dari keturunan Quraysy merupakan penghor- inginkan. Sebagai tambahan atas persyaratan
matan semata kepada keluarga Rasul, dan di atas, Sunnī mensyaratkan seorang imam juga
non-Quraysy yang memenuhi persyaratan tidak boleh gaib, tetapi harus ada secara nyata,
harus diprioritaskan daripada seorang Quraysy dan hadir melaksanakan tugas.49
yang tidak memenuhinya.46 Bagi Sunnī, seorang imam tidak disyara-
Selain syarat harus berasal dari keturunan katkan memiliki kekebalan dari perbuatan
Quraysy berdasarkan alasan yang disampaikan dosa (‘iṣmah), karena kriteria itu hanya khusus
Abū Bakr ketika menolak pencalonan tokoh bagi para nabi dan rasul, dan tidak untuk
Anṣār Sa‘d b. ‘Ubādah, al-Mawardī menam- imam. Seluruh pewahyuan sudah dianggap
bahkan beberapa syarat lain bagi seorang selesai setelah Nabi wafat. Masyarakat hanya
calon imam: 1) ia harus memiliki keadilan bersandar kepada al-Qur’ān dan Ḥadīts
dalam segala bentuknya, 2) memiliki ilmu 47
Abū Ḥasan ‘Alī al-Mawardī, Al-Aḥkām al-
agama yang memungkinkannya mampu Ṣulṭāniyyah, 6.
48
Sebagaimana dikutip Abdul Aziz dalam Islam
Sebagaimana dikutip Abdul Aziz dalam, Islam
46
Versus Demokrasi, 217.
Versus Demokrasi, 217. 49
Hayrettin Yucesoy, “Imamate,” 249.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 15

sebagai warisan peninggalan Nabi, serta hasil apabila tidak dieksplorasi dan diinterpretasi.
ijtihad para ulama. Para ‘agen’ yang melakukan interpretasi
itulah yang sebenarnya selama berabad abad
Otoritas Religius versus Otoritas Temporal membangun ‘rumah hukum Tuhan,’ yaitu
Salah satu pertanyaan mendasar mengenai mereka yang digolongkan sebagai para ahli
imamah ialah: apakah otoritas (kewenangan) fiqh (fuqahā’, jurists) dan para ulama lainnya.
imamah mencakup masalah keagamaan se- Para ulama telah berhasil membangun apa
kaligus temporal (keduniaan.) Secara umum, yang disebut Hallaq dengan ‘otoritas herme-
Sunnī tidak mengizinkan seorang imam neutik dan epistemik’ keagamaan, moral,
mengutak-atik doktrin keagamaan. Banyak sosial, dan hukum, dalam suatu hierarki yang
sarjana modern yang berpendapat bahwa menyeluruh, mulai dari para imam madzhab,
khalifah hanya meneruskan otoritas temporal lalu murid, lalu murid dari murid, hingga ke
saja, karena begitu Nabi wafat, maka fungsi muqallid (masyarakat umum sebagai pengikut.)
kenabian berhenti, dan otoritas religius Pembangunan otoritas hermeneutik dan
sepenuhnya bertumpu kepada kebutuhan epistemik ini berlangsung di luar ranah politik
masyarakat sendiri. Pertanyaan tentang siapa dan terbebas dari pengaruh serta campur tangan
yang secara sah mewakili dan menyuarakan negara atau pemerintah. Meskipun terdapat
otoritas keagamaan ini, menimbulkan kom- hubungan patronase dan saling membutuhkan
petisi panjang antara khalifah dan para antara sebagian ulama dan pemerintah, hubungan
ulama, khususnya ulama fiqh dan Ḥadīts. ini tidak mampu menembus independensi
Sebagian sarjana modern lain berpandangan ulama dalam membangun otoritas yang
bahwa khilafah sejak awal pembentukannya mereka telah genggam kuat dalam waktu yang
merupakan kepemimpinan yang mengikuti sangat panjang.50
model sebagaimana dicontohkan oleh Nabi. Upaya al-Ma’mūn dan para khalifah
Itulah jenis kepemimpinan yang mengga- penggantinya untuk menyatukan otoritas
bungkan otoritas temporal dengan otoritas religius dengan otoritas temporer di tangan
religius. Menurut mereka, baru ketika muncul khalifah, dengan cara merebut otoritas
para ulama, otoritas religius khilafah menga- religius para ulama melalui pembentukan
lami kontestasi. institusi mihnah, telah gagal, dan bahkan
Pandangan kedua kubu tersebut belum berujung pada kristalisasi kelompok Muslim
menjelaskan mengapa negara, dalam hal ini Sunnī. Kegagalan ini bukan semata-mata
khalifah sebagai kepala negara dan peme- karena otoritas religius para ulama sudah
rintahannya, tidak dapat dan tidak boleh terlanjur kokoh untuk direbut melalui
mene tapkan doktrin keagamaan sebagai kekuasaan dalam waktu pendek, melainkan
bagian dari otoritas religiusnya? Bagi Wael juga karena negara khilafah memiliki
Hallaq, jawabannya harus digali melalui karakteristik yang menyulitkan penempatan
penelusuran atas hukum Islam (syari‘at.)
Hukum Islam, yang diyakini sebagai hukum
Tuhan, diwahyukan oleh Tuhan dalam bentuk Wael B. Hallaq, “Juristic Authority vs. State
50

indikasi dan sinyal-sinyal tekstual yang tidak Power: The Legal Crisis of Modern Islam,” dalam
Journal of Law and Religion, Volume 19 issue 2
akan memiliki signifikansi hukum apa-apa (2003-2004), 243-58.
16 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

dirinya sebagai pemilik otoritas hukum dan ‫ﻭﻭﺟﺪﻧﺎ ﻋﻠﻴﺎ ﻭﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻗﺪ ﺑﺎﻳﻌﺎ ﺍﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻭﺍﻧﻘﺎﺩﺍ ﻻﻣﺮﻩ ﻓﻰ‬
pembuat undang-undang.51 ‫ﻛﺎﻓﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭ ﺍﻥ ﻛﺎﻧﺎ ﻗﺪ ﺗﻮﻗﻔﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺒﻴﻌﺔ ﻟﻪ ﺍﻳﺎﻣﺎ‬
..... ‫ﻓﺈﻧﻬﻤﺎ ﺩﺧﻼ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺒﻴﻌﺔ ﻣﻊ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻣﺔ‬
‫ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻧﻜﺮ ﺍﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻭﺍﻓﺾ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻜﺮ‬
Imamah yang Benar versus Kerajaan ‫ ﻭﺯﺍﺩ ﺕ ﺍﻟﻜﺎﻣﻠﻴﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ‬.‫ﻻﻣﺎﻣﺔ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ‬
Pembedaan antara imamah yang benar dari ‫ﺗﻜﻔﻴﺮﻫﺎ ﺍﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﺗﻜﻔﻴﺮﻫﺎ ﻋﻠﻴﺎ ﻟﺘﺮﻛﻪ‬
‫ ﻭ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺑﺎﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ‬.‫ﻗﺘﺎﻝ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ ﻭ ﻋﻤﺮ‬
kerajaan (dinastik) dikenal dalam kelompok- ‫ﻧﺼﺎ ﺍﻭ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﺍ ﻗﺎﻝ ﺑﺎﻣﺎﻣﺔ ﻋﻤﺮ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﻭﺻﻴﺔ ﺍﺑﻰ‬
kelompok Muslim pada umumnya. Bagi Sunnī, ‫ ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻤﺜﺒﺘﻮﻥ ﻻﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻓﻲ‬.‫ﺑﻜﺮ ﺍﻟﻴﻪ‬
imamah yang benar adalah periode empat ‫ﺍﻣﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ‬.....‫ ﻓﺎﺛﺒﺘﻬﺎ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻣﻨﻬﻢ‬:‫ﺍﻣﺎﻣﺔ ﻋﺜﻤﺎﻥ‬
‫ﻓﻼﻥ ﺍﻣﺎﻣﺘﻪ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﻌﻘﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ ﻟﻪ ﻭ ﻫﻮ‬
khalifah yang pertama, yang kemudian diikuti ‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ‬
oleh negara khilafah yang dinastik (yang secara
Adapun alasan orang yang mendukung
substantif sama dengan kerajaan.)Ini tidak berarti
imamah Abū Bakr bahwa manusia telah
kerajaan itu salah dan para khalifah Umayyah
berbeda dalam masalah ini menjadi tiga
dan ‘Abbāsiyyah tidak sah, melainkan penegasan
kelompok: satu kelompok mendukung
bahwa imamah yang benar itu adalah mungkin
imamah Abū Bakr, satu kelompok lagi
dan faktanya ada pada masa empat khalifah
mendukung ‘Alī, dan satu kelompok lain
yang pertama, tetapi tidak berlanjut dengan
mendukung al-‘Abbās. Padahal kita melihat
langgeng. Khalifah dari kedua dinasti tersebut
‘Alī dan al-‘Abbās telah berbaiat kepada
tetap sah, meskipun tidak ideal, sebab mereka
Abū Bakr dan mereka telah mengakui
masih memenuhi standar minimum dengan
kekuasaannya atas seluruh Muslimin.
kemampuan menegakkan hukum, menjamin
Walaupun mereka telah menangguhkan baiat
kedamaian relatif bagi kaum Muslimin,
kepada (Abū Bakr) beberapa waktu, maka
memungkinkan transaksi yang sesuai aturan
sesungguhnya, setelah itu mereka telah ber-
hukum, serta menjaga keamanan perbatasan.
gabung bersama seluruh umat dalam menya-
Bagi Sunnī, dalam rangka menjaga ketertiban
takan baiat kepadanya…52
umum, bekerjasama dengan pemerintah lebih
Setiap orang yang mengingkari imamah
baik daripada menentangnya.
Abū Bakr dari kelompok Rafīḍah, dia
Terhadap anggapan bahwa imamah Abū
juga mengingkari imamah ‘Umar dan
Bakr, ‘Umar dan ‘Utsmān adalah tidak sah
‘Utsmān. Kelompok Kāmiliyyah di antara
karena mereka dinyatakan telah merampas
mereka bahkan lebih dari itu, mengafirkan
hak khilafah orang lain, atau bahwa ‘Utsmān
Abū Bakr, ‘Umar dan ‘Utsmān, seperti
dan ‘Alī tidak sah karena telah melakukan
mereka mengafirkan ‘Alī karena tidak
dosa besar, kaum Sunnī menyatakan, keempat
memerangi Abū Bakr dan ‘Umar. Setiap
khalifah itu seluruhnya sah dengan argumen
orang yang mendukung imamah Abū Bakr
sebagaimana ditunjukkan al-Baghdādī,
berdasarkan teks (naṣṣ) atau pemilihan, dia
‫ ﺇﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻓﺘﺮﻗﻮﺍ ﻓﻰ‬:‫ﻭﺩﻟﻴﻞ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺑﺈﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ‬ juga mendukung imamah ‘Umar berdasarkan
,‫ ﻓﺮﻗﺔ ﺗﻘﻮﻝ ﺑﺈﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ‬:‫ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺛﻼﺙ ﻓﺮﻕ‬
.‫ ﻭﻓﺮﻗﺔ ﺗﻘﻮﻝ ﺑﺈﻣﺎﻣﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ‬,‫ﻭﻓﺮﻗﺔ ﺗﻘﻮﻝ ﺑﺈﻣﺎﻣﺔ ﻋﻠﻰ‬
wasiat Abū Bakr baginya. Mereka yang
mendukung imamah Abū Bakr dan ‘Umar
berbeda pendapat tentang imamah ‘Utsmān,
51
Wael B. Hallaq, “Juristic Authority,” 250.
namun mayoritas (ulama) mengakuinya….
Tentang perebutan otoritas ulama oleh khalifah
melalui mihnah, lih. Abdul Aziz dalam Islam Versus
Demokrasi, 212. 52
‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, Uṣūl al-Dīn, 282.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 17

Adapun ‘Utsmān (diakui) karena imamahnya dapat disebut ‘semangat proto-nasionalisme,’


berdasarkan penetapan sebagian anggota Ahl seperti Arab, Persia, Turki, ataupun Berber.
al-Syūrā, yaitu ‘Abdurraḥmān b. ‘Awf.53 Fragmentasi khilafah dan ummah telah
terjadi sekaligus, terutama pasca kejatuhan
Imam Tunggal atau Banyak Baghdad di tangan tentara Mongol pada 656
Mayoritas ulama Sunnī berpendapat, H./1258 M. Kondisi itulah yang dihadapi
imamah/khilafah hanya boleh tunggal da- Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1328 M.) ketika
lam suatu periode yang sama, meskipun mengalihkan perhatiannya dari isu kesatuan
dalam realitas mereka menyaksikan bahwa imamah/khilafah dan ummah ke isu lain,
menjelang akhir abad 4 H./10 M. terdapat yaitu penegakan syari‘at Islam secara murni
tiga pusat kekuasaan Muslim yang menglaim sebagai landasan kesatuan politik Muslim,
diri sebagai khilafah yang sah, yaitu dinasti suatu isu yang sangat krusial ketika dunia
‘Abbāsiyyah di Baghdad, Dinasti Fāṭimiyyah Islam memasuki era negara-bangsa.54
di Kairo, dan dinasti Umayyah di Cordova.
Ulama seperti al-Baqillānī dan al-Mawardī Tugas-Tugas Imam
menolak keberadaan imamah/khilafah lebih Secara umum tugas seorang imam
dari satu. Namun al-Baghdādī dan al-Juwaynī (leader) menurut Sunnī adalah memelihara
termasuk ulama yang membolehkan ada agama dan mengurus urusan dunia. Al-
imamah lebih dari satu, dengan mengacu Mawardī merinci sepuluh tugas yang menjadi
kepada realitas kekuasaan yang ada di dunia kewajiban seorang imam,
Islam saat mereka hidup. 1. Memelihara prinsip agama yang
Realitas politik dunia Islam saat itu se- mapan dan hal-hal yang menjadi
benarnya jauh lebih terfragmentasi, ketika kesepakatan (ijmā‘) generasi awal
kekuasaan khalifah dikendalikan oleh para umat Islam.
komandan militer, seperti yang terjadi di 2. Menegakkan hukum di antara orang-orang
Baghdad ataupun Cordova. Selain itu terdapat yang berselisih paham dan menghentikan
dinasti-dinasti yang berkuasa di wilayah permusuhan di antara orang-orang yang
tertentu, ibarat negara di dalam negara, sepeti bertikai.
dinasti-dinasti Aghlabī di Afrika Utara, Ṭāhirī 3. Menjaga keamanan wilayah dan me-
di Khurasan, Samanī di Transoxania, Ṭūlūnī di mertahankannya sehingga penduduk
Mesir, Ḥamdānī di Syria, Saljuk di Nisyapur, dapat menyelenggarakan kehidupan
dan Ghaznawī di India. Masyarakat Muslim mereka dan bepergian dengan aman,
(ummah) juga mulai dihinggapi apa yang terhindar dari gangguan atas jiwa dan
harta mereka.
53
‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, Uṣūl al-Din, 286-
7. Ahl al-Syūrā adalah lembaga pemilih (elector) 4. Menegakkan hukum pidana (ḥudūd)
yang dibentuk oleh ‘Umar b. Khaṭṭāb untuk mencari guna menjaga agar larangan Allah tidak
penggantinya sebagai khalifah, beranggotakan enam terlanggar dan hak-hak hambaNya
orang yang boleh memilih dan dipilih, dan satu orang
yang hanya boleh memilih. Ahl al-Syūrā juga disebut terlindungi dari kehancuran.
Ahl al-Ikhtiyār. Mengenai teks-teks yang digunakan 5. Melindungi daerah yang rawan diserang
untuk mendukung imamah Abū Bakr, lih. Abū Ḥasan musuh dengan menempatkan kekuatan
al-Asy‘arī, Al-Ibānah ‘an Uṣūl al-Diyānah, taḥqīq oleh
Ḥusayn Maḥmūd (Kairo: Dār al-Anṣār, 1977), 251-53. 54
Lih. Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, 129-30.
18 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

deterrent (al-manī‘ah) yang dapat yang demikian besar oleh imam/khalifah.


mencegah penyerangan. Konsep leadership sebagai imamah/khilafah
6. Melakukan jihad melawan musuh Islam menunjukkan karakter leadership yang ber-
setelah sebelumnya diseru de ngan sifat individual imam/khalifah dan tidak
dakwah, hingga mereka menjadi Muslim menyentuh leadership yang bersifat holistik,
atau menjadi ahl al-dzimmah (orang yang yaitu khilafah sebagai institusi negara.
terlindungi.) Para ulama Sunnī telah memberi peluang
7. Memungut fa‘ī (harta rampasan di luar koreksi atas kebijakan dan tindakan imam
medan perang) dan sedekah yang wajib yang tidak sesuai dengan hukum Tuhan,
menurut Syari‘at atau wajib berdasarkan hingga ke tingkat pemakzulan. Namun tidak
hasil ijtihad. ada rumusan pemikiran tentang bagaimana
8. Mengatur pengeluaran harta yang ada koreksi itu seharusnya dilakukan selain
di Baitul Mal (Bayt al-Māl) secara melalui kekerasan fisik sebagaimana dialami
proporsional. oleh Khalifah ‘Utsmān, ‘Alī, dan banyak
9. Mengikuti pendapat orang-orang jujur khalifah dinastik sesudahnya, karena tidak
dan penasihat yang bijak dalam urusan ada mekanisme kontrol sistemik khilafah
pekerjaan dan pengaturan keuangan. sebagai ‘negara.’
10. Melakukan pengawasan terhadap segala Kedua, gagasan tentang rakyat sebagai
urusan dan siaga menghadapi setiap situasi sumber legitimasi imam/khalifah, dan pem-
supaya tetap sigap mengatur kehidupan bentukan lembaga pemilih (elector/ahl al-
umat dan memelihara agama.55 ikhtiyār) tidak memeroleh perhatian yang
memadai untuk dikembangkan lebih lanjut.
Krisis Leadership Rakyat umum (ummah) tidak dipandang
dan Pergeseran Paradigma sebagai agregat individual yang masing-
Warisan hasil kerja falsafi para ulama Sunnī masing memiliki keunikan dan kesanggupan
terkait imamah sebagaimana tercakup dalam menentukan pilihan. Mereka masih
tujuh topik di atas, relatif tidak mengalami diposisikan sebagai ‘stempel pengesahan’
banyak perubahan hingga negara khilafah bagi seorang imam yang telah ditetapkan
terakhir di muka bumi, yaitu Kesultanan oleh lembaga pemilih. Sementara itu bagi
Turki ‘Utsmāni dihapus pada 1924 M. Dari Khalīl ‘Abd al-Karīm, lembaga pemilih
wilayah pembahasan itu, tampaklah sejumlah ini lebih tampak sebagai transformasi dari
persoalan krusial yang luput dari sentuhan majlis qabīlah, 56 yang keanggotaannya
kerja falsafi para ulama. Dari perspektif ke- berjumlah fleksibel dan sangat mengandalkan
hidupan politik modern, setidaknya ada tiga ketokohan di lingkungan kabilah/suku, yang
masalah yang belum terjamah. Pertama, absen memilih imam/khalifah untuk seumur hidup,
gagasan kontrol secara damai dan bermartabat sebagaimana dalam pemilihan syaykh al-
atas kecenderungan pemerintahan otoritarian qabīlah (pemimpin kabilah.)
dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan Ketiga, sirkulasi elite yang tidak memiliki
model untuk dilakukan secara teratur dan
Abū Ḥasan ‘Alī al-Mawardī, Al-Aḥkām al-
55

Ṣulṭāniyyah, 22-3. Terjemahan Indonesia dikutip dari 56


Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz dalam
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, 124. Chiefdom Madinah, 127.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 19

damai. Pola pemilihan melalui ahl al-ikhtiyār paradigma negara-khilafah, imamah/khilafah


seperti dicontohkan ‘Umar, tidak dapat dilan- wajib ada bukan untuk mencapai tujuan
jut kan, sementara pola penunjukan oleh dalam dirinya, melainkan untuk pemeliharaan
khalifah terdahulu seperti dicontohkan Abū dan pelaksanaan hukum Tuhan. Kodifikasi
Bakr ketika memilih ‘Umar, justru menjadi hukum Tuhan juga telah melahirkan otoritas
landasan legitimasi khilafah yang dinastik. Hal hermeneutik dan epistemik di luar negara.
ini pun tidak menjamin sirkulasi kekuasaan Kondisi ini dibalik dalam paradigma negara-
yang damai dari satu khalifah ke khalifah lain, bangsa, di mana negara adalah pemegang
ketika terjadi rivalitas yang tajam di antara otoritas epistemik itu, dan negara menetapkan
para ‘pewaris’ imamah/khilafah, seperti antara tujuan bagi dirinya sendiri. 58 Ini berarti
dua anak khalifah ‘Abbāsiyyah Hārūn al- pelemahan otoritas ulama, sekaligus kontestasi
Rasyīd, yaitu al-Amīn dan al-Ma’mūn, yang dan campurtangan negara dalam proses-proses
harus saling bunuh untuk menjadi khalifah. legislasi dan penetapan hukum.
Bagi al-Jābirī,57 sempit wilayah perde- Dalam paradigma negara-khilafah,
batan tentang imamah/khilafah—dan dengan leadership bercorak individual, dan sangat ter-
demikian juga absen penjelasan tiga perso- pusat kepada kepala negara (imam/khalifah.)
alan mendasar di atas—tidak terlepas dari Sementara itu, dalam paradigma negara-bangsa,
konsekuensi pembatasan diskusi tentang leadership bercorak holistik, menyangkut
imamah/khilafah dengan menggunakan kepala negara, institusi pemilih, sekaligus
metode qiyās (analogi) yang menempatkan rakyat, yang tidak luput dari campurtangan
masa al-Khulafā’ al-Rāsyidūn sebagai model otoritas negara. Di sini, para ulama sebagai
rujukan, sehingga kerja-kerja falsafi ulama otoritas hermeneutik dan epistemik di masa
Sunnī terjebak dalam kerangka masa lalu. lalu, dipaksa untuk menemukan rumusan
Lenyap Turki ‘Utsmānī sebagai negara alternatif atas persoalan imamah/khilafah
khilafah terakhir pada 1924 M. merupakan sebagai ‘negara’ di tengah pelemahan posisi
perubahan drastis yang harus dijelaskan secara mereka. Dalam konteks ini, gagasan Ibn
sah dari perspektif hukum Tuhan (Syari‘at.) Taymiyyah untuk memusatkan perhatian kepada
Situasi ini telah menempatkan para ulama penerapan syari‘at Islam sebagai landasan
Sunnī khususnya dan masyarakat Muslim kesatuan politik umat Islam menjadi sumber
umumnya dalam situasi yang oleh Hallaq inspirasi bagi kerja-kerja falsafi menemukan
disebut ‘krisis legitimasi politik.’ Krisis formulasi baru menjawab tantangan perubahan
ini telah tampak gejalanya ketika banyak paradigmatik dan realitas negara-bangsa, tanpa
wilayah Muslim mengalami kolonialisasi oleh harus merasa kehilangan identitas keagamaan.
bangsa-bangsa (Eropa) Barat, dan muncul Inilah yang terjadi ketika para pemikir dan
banyak negara-bangsa di bekas wilayah praktisi Muslim Sunnī dipaksa oleh situasi
negara khilafah. Penyebab utama krisis ini untuk merumuskan konsep negara-bangsa
adalah pergeseran paradigma (paradigm yang dipandang sesuai dengan syari‘at sebagai
shift) dari semula paradigma negara-khilafah produk kodifikasi dalam lingkungan paradigma
menjadi paradigma negara-bangsa. Di dalam negara-khilafah, oleh karena seperti dikatakan
57
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz dalam Wael B. Hallaq, “Juristic Authority vs. State
58

Chiefdom Madinah, 122. Power,” 244.


20 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

Bassam Tibi,59 “Islam tanpa syari‘at adalah sebagai pengganti falsafah materialistik
tidak terbayangkan.” Tibi melihat dunia Islam di jantung demokrasi, dengan tetap
sedang dilanda apa yang disebut ‘kembalinya menerima prosedur demokrasi liberal.
yang suci’ ke dunia politik. Gejala revivalisme Maka hukum yang diputuskan parlemen
Islam dirasakan di mana-mana, termasuk misalnya dipandang sebagai ijtihad kolektif
imigran Muslim di Eropa. Terdapat upaya (ijtihād jamā‘ī) yaitu upaya derivasi syari‘at
interpretasi syari‘at guna diterapkan sebagai menjawab kebutuhan masa kini. Di Indonesia,
hukum konstitusi di negara-bangsa tertentu demokrasi diterapkan dengan pendekatan
seperti Irak atau Mesir, yang disebutnya ‘sosiologis kultural,’ yaitu menempatkan
‘shari‘atization of politics.’ Akan berhasilkah nilai-nilai universal dan kosmopolitan
upaya semacam itu? Wael Hallaq pesimis, Islam seperti kebebasan, keadilan, hak asasi
sejauh menyangkut ‘proyek’ Islamic (nation) manusia dan penegakan hukum, bersama
state (negara [nasional] Islam.) Bagi Hallaq, nilai-nilai universal dari sumber-sumber
negara (nasional) modern sekaligus Islami lainnya, sebagai landasan pembentukan
adalah mustahil dan mengandung terma yang institusi-institusi sosial baru dalam bingkai
saling bertabrakan.60 Tesis al-Jābirī tentang negara nasional yang demokratis. Dengan
ulama yang terjebak kungkungan qiyās, seolah begitu, tujuan Islam dapat dicapai melalui
menguatkan pesimisme Hallaq. pencapaian tujuan nasional, dan kepentingan
Bagaimanapun, pencarian semacam masyarakat Muslim dapat disalurkan sebagai
itu masih akan terus berlangsung selama kepentingan nasional.61
badai krisis yang dihadapi dunia Islam
belum berlalu. Dewasa ini, setidaknya tiga Simpulan
negara dengan penduduk mayoritas Muslim Penyempitan wilayah kerja falsafi kepe-
Sunnī, yaitu Sudan, Tunisia dan Indonesia mimpinan dalam perspektif Islam Sunnī di
sedang menjalani ujicoba imamah sebagai masa lalu, dan penggunaan metode derivasi
‘negara’ dengan mengadopsi jalan demokrasi hukum Tuhan (ijtihād) seperti qiyās (analogi)
sebagaimana dipahami di masing-masing yang ‘membelenggu,’ telah membuat mandeg
negara. Di Sudan, demokrasi diterapkan kerja-kerja falsafi yang diperlukan untuk
dengan pendekatan ‘ideologis frontal,’ yaitu menjawab krisis legitimasi politik Muslim
memadankan demokrasi dengan syūrā, masa kini. Upaya merumuskan leadership dari
sehingga dikenal syūrā politik, atau syūrā perspektif Islam secara baru, pada akhirnya
ekonomi dengan prosedurnya sendiri. Di akan harus menyentuh persoalan yang
Tunisia, demokrasi diterapkan melalui lebih luas dan makro, bukan hanya sekedar
pendekatan ‘falsasi fundamental,’ yaitu metodologi yang digunakan dalam kodifikasi
menempatkan moralitas transendental Islam syari‘at, melainkan juga batang tubuh syari‘at
itu sendiri, khususnya menyangkut imamah
59
Bassam Tibi, “The Return of the Sacred to Politics sebagai ‘negara.’ Persoalan makro ini harus
as a Constitutional Law: The Case of Shari‘atization of
Politics,” Theoria: A Journal of Social and Political ditemukan jawabannya sebagai landasan
Theory, Volume issue 115 (2008), 91-119. bagi pengembangan wilayah kerja falsafi
60
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam,
Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New 61
Lih. Abdul Aziz, Islam Versus Demokrasi,
York: Columbia University Press, 2013), 7. 239-52.
Abdul Aziz, Falsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Islam 21

yang lebih mikro, seperti leadership dalam Perspective” dalam Philosophical Papers , Vol.
sistem perburuhan industrial, manajemen 45, No. 1-2 (2016), 1-31.
Gleave, Robert Gleave, “Imamate” dalam Richard
perdagangan, manajemen perusahaan milik
C. Martin (ed.), Encyclopedia of Islam and the
negara, atau bahkan kelompok-kelompok Muslim World, Vol. 1. New York: Thomson-
masyarakat sipil. Gale, 2004.
Hallaq, Wael B., “Juristic Authority vs. State Power:
The Legal Crises of Modern Islam,” dalam
Journal of Law and Religion, Volume 19 issue
Pustaka Acuan
2 (2003-2004), 243-58.
al-Asy‘arī, Abū Ḥasan ‘Alī b. Ismā‘īl, Al-Ibānah ‘an -------, The Impossible State: Islam, Politics, and
Uṣūl al-Diyānah, taḥqīq oleh Ḥusayn Maḥmūd. Modernity’s Moral Predicament. New York:
Kairo: Dār al-Anṣār, 1977. Columbia University Press, 2013.
-------, Maqālah al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al- Harun, Jelani, “Bustān al-Salāṭīn, ‘The Garden of
Muṣallīn, taḥqīq oleh Muḥammad Muḥyī al- Kings’: A Universal History and Adab Work
Dīn ‘Abd al-Ḥamīd, al-Juz’ al-Awwal . Beirut: from Seventeenth-Century Aceh,” dalam
Al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1990. Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No.
Aziz, Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham 92 (2004), 21-52.
Negara Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet dan al-Jābirī, Muḥammad ‘Ābid, Agama, Negara, dan
LaKIP, 2011 Penerapan Syari’at. Yogyakarta: Fajar Pustaka
-------, Islam Versus Demokrasi: Menguak Mitos Baru, 2001.
Menemukan Solusi. Jakarta: Saadah Pustaka Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition, Studies in
Mandiri, 2016. Chronology, Provenance, and Authorship
Baalbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic- of Early Hadith. Cambridge, Cambridge
English Dictionary, Seventh Edition. Beirut: University Press, 1985.
Dar al-Ilm li al-Malayin, 1995. al-Kaylānī, Jamāl al-Dīn Fāliḥ, Tārīkh al-Falsafah
al-Baghdādī, ‘Abd al-Qāhir, Uṣūl al-Dīn. Istanbul: al-Islāmiyyah: Qirā’ah Tsāniyyah. Kairo:
Maṭba‘ah al-Dawlah, 1928. Maktabah al-Muṣṭafā li al-Nasyr, 2012.
Bolden, Richard Bolden, and Jonathan Gosling, Lambton, Ann K., State and Government in Medieval
Beverley Hawkins, Scott Taylor, Exploring Islam. London, Routledge, 1996.
Leadership: Individual, Organizational, Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik
and Societal Perspectives. Oxford: Oxford hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Univesity Press, 2011. Media, 2016.
Bowering, Gerhard, and P. Crone, W. Kadi, D. Martin, Richard C. (ed.), Encyclopedia of Islam and
Stewart, M. Qasim Zaman, M. Mirza (eds.), the Muslim World, Vol. 1. New York: Thomson-
The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Gale, 2004.
Thought. Princeton: Princeton University Press,
al-Mawardī, Abū Ḥasan ‘Alī, Al-Aḥkām al-
2013.
Ṣulṭāniyyah wa al-Wilāyah al-Dīniyyah, taḥqiq
Dakake, Maria Massi, The Charismatic Community: oleh Aḥmad Mubārak al-Baghdādī. Kuwait:
Shi’ite Identity in Early Islam. Albany: State Maktabah Dār al-Quṭaybah, 1989.
University of New York Press, 2007.
Ma‘rūf, Aḥmad Sulaymān, Qirā’ah Jadīdah
Donaldson, Dwight M., “The Shī‘ah Doctrine of fī Mawāqif al-Khawārij wa Fikrihim wa
the Imamate,” dalam The Muslim World, Vol. Ādābihim. Damaskus: Dār al-‘Aṭlaṣ, 1988.
21, No.1 (1931).
Nawas, J.A., “The Appellation Ṣāḥib Sunna in
Farsakh, Andrea M., “A Comparison of the Sunnī Classical Islam, How Sunnīsm Came To Be,”
Caliphate and the Shī‘ī Imamate,” dalam The dalam Islamic Law and Society, Vol. 23 (2016),
Muslim World, Vol. 59, Issue 1 (1969), 50-63. 1-22.
Gakis, Dimitris, “Philosophy as Paradigms: An Rost, Joseph C., Leadership for the Twenty-
Account of a Contextual Metaphilosophical FirstCentury . Westport: Praeger, 1993.
22 Ilmu Ushuluddin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2016

Syalṭūṭ, Maḥmūd, Al-Islām: ‘Aqīdah wa Syarī‘ah, Zaman, Muhammad Qasim, “Imam” dalam Richard
al-Maṭba‘ah al-Tsāminah ‘Asyrah. Kairo: Dār C. Martin (ed.), Encyclopedia of Islam and the
al-Syurūq, 2001. Muslim World, Vol. 1. New York: Thomson-
Soukhanov, Anne H. (ed.), The American Heritage Gale, 2004, 349-50.
Dictionary of the English Language, Third
Edition (Boston: Houghton Mifflin, 1992.
Jurnal, Koran, Majalah
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar
dan Aplikasinya, Cetakan ke-21. Jakarta: Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No. 92
Rajagrafindo Persada, 2011. (2004), 21-52.
Tibi, Bassam, “The Return of the Sacred to Islamic Law and Society, Vol. 23 (2016), 1-22.
Politics as a Constitutional Law: The Case of Journal of Law and Religion, Volume 19 issue 2
Shari‘atization of Politics,” Theoria: A Journal (2003-2004), 243-58.
of Social and Political Theory, Volume issue Muslim World, The, Vol. 21, No.1 (1931.)
115 (2008), 91-119. Muslim World, The, Vol. 59, Issue 1 (1969), 50-
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 63.
Jakarta: Gitamedia Press, 2012. Numen, Vol. 7 fasc. 1 (1960), 77-90.
Tysson, Ana K., and Andreas Wald, Patrick Spleth, Philosophical Papers , Vol. 45, No. 1-2 (2016),
“Leadership in Temporary Organizations: A 1-31.
review of Leadership Theories and Research
Project Management Journal, Vol .44, No.6 (2013),
Agenda,” Project Management Journal, Vol
52-67.
.44, No.6 (2013), 52-67.
Theoria: A Journal of Social and Political Theory,
Watt, von W. Montgomery, “The Conception of
Volume issue 115 (2008), 91-119.
the Charismatic Community in Islam,” dalam
Numen Vol. 7 fasc. 1 (1960), 77-90.
Yucesoy, Heyrettin, “Imamate” dalam Gerhard Website dan Internet
Bowering, P. Crone, W. Kadi, D. Stewart, M.
http://kbbi.web.id/falsafah; http://kbbi.web.id/
Qasim Zaman, M. Mirza (eds.), The Princeton
filsafat, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi
Encyclopedia of Islamic Political Thought.
Online.”
Princeton: Princeton University Press, 2013.

Anda mungkin juga menyukai