Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Susunan syaraf pusat dan selaput pembungkusnya yang terlindungi


dengan baik oleh tulang tengkorak dan tulang belakang oleh sebab tertentu
dapat mengalami inflamasi sehingga menyebabkan berbagai macam
manifestasi klinis. Inflamasi yang terjadi pada selaput otak dan sumsung
tulang belakang atau meninges disebut meningitis. Pada umumnya meningitis
disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges melalui
pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa,
fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan
bakteri.
Meningitis menyebabkan berbagai macam gejala klinis dari ringan
sampai berat seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit
kepala, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis lain yang
dapat berlangsung lama atau menetap dan bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat
dilaporkan ras kulit hitam lebih banyak menderita meningitis
dibandingkan ras kulit putih. Pada sebagian besar kasus, sekitar 70%
kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan orang tua
diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat bakteri di Amerika
Serikat mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan karena
virus di Amerika Serikat 10 per 100.000 penduduk pertahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka
kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh
kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian
tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7
atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular.
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus
menjadi perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh

1
karena itu pemahaman yang baik tentang etiologi dan patofisiologi
meningitis merupakan bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga
medis lainnya dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang
sesuai.

BAB II
LAPORAN KASUS

2
IDENTITAS

Nama : An. NA
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 6 bulan
Alamat : Palaran
Anak ke :1
MRS A. W Sjahranie : 12 September 2010

ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ayah dan ibu kandung pasien)
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengalami demam selama dua hari sebelum kejang, demam
disertai menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas, tapi tidak ada
perubahan dan selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Lalu pasien
sempat kejang 1 kali 1 jam sebelum masuk rumah sakit RSU AW Sjahranie
Samarinda. Kejang terjadi selama 5 menit, kejang seluruh tubuh dengan mata
keatas. tanpa disertai muntah, Setelah kejang pasien tetap sadar (menangis / rewel)
sampai MRS. Lalu pasien kejang lagi 1 kali selama 5 menit saat sampai di rumah
sakit. Riwayat kejang sebelumnya (-), riwayat trauma (-), BAB (+), BAK (+)
normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit kejang.

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 3000 gr

3
Panjang badan lahir : 49 cm
Berat badan sekarang : 7,2 kg (saat MRS, 10 januari 2010)
Tinggi badan sekarang : 66 cm
Gigi keluar :-
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 5 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk :-
Merangkak :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Berbicara 2 suku kata :-
Makan Minum anak :
ASI :-
Dihentikan :-
Susu sapi/buatan : 0 - sekarang, SGM, 6x120 cc
Buah : 6 bulan
Bubur susu : 6 bulan
Tim saring : 6 bulan
Makanan padat dan lauknya :-
Pemeliharaan Prenatal : 3x selama hamil
Periksa di : Bidan
Penyakit kehamilan : sakit kepala, muntah-muntah
Obat-obatan yang sering diminum : obat sakit kepala
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Klinik bersalin, ditolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan 11 hari
Jenis partus : Spontan, bayi langsung menangis
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : tidak pernah (alasan jauh dari puskesmas)
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana :Ya

4
Memakai sistem : Suntik tiap 3 bulan
Sikap dan kepercayaan : Baik
IMUNISASI

Imunisasi Usia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster


II

BCG - //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio - - - - - -

Campak - - //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT - - - //////////// - -

Hepatitis B - - - ////////// - -

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 11 Januari 2010
Berat badan : 7,5 kg
Panjang Badan : 66 cm
Tanda Vital
Nadi : 136 kali/menit
Suhu badan : 38oC
Frekuensi nafas : 36 kali/menit
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kepala
Rambut : Hitam
Lingkar kepala : 40 cm
Ubun-ubun besar : tegang
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (2mm/2mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)

5
Mulut : Lidah bersih, Faring Hiperemis (-), mukosa bibir
basah, pembesaran Tonsil (-/-), sekret (+)
Leher
Pembesaran Kelenjar : (-)
Dada
Inspeksi : Gerakan simetris
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
S1/S2 tunggal reguler
Bising : (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat
Palpasi : Soefl, Nyeri tekan sulit dievaluasi,
Hepar/ lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-)
Lain-lain : Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Kernig (-)
Tonus klonus (-)
Refleks patologis :
Babinski (+)
Chadock (-)
Openheim (-)
Gordon (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

6
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 10-01-2010)
Leukosit : 15.400 / mm3
Hb : 10,2 gr/dl
Ht : 25,7 %
Trombosit : 337.000/ mm3
Na : 141
K : 4,1
Cl : 109
Ureum : 49,2
Creatinin : 0,8
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 13-09-2010)
Leukosit : 25.100 / mm3
Hb : 10,7 gr/dl
Ht : 31,0 %
Trombosit : 489.000/ mm3
SGOT : 69
SGPT : 74
Ureum : 46,9
Creatinin : 1,4
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 13-09-2010)
APTT : - Kontrol : 30,5 detik
- Pasien : 24,5 detik
PT : - Kontrol : 12,6 detik
- Pasien : 15,5 detik
Urine Lengkap :
BJ : 1030
Warna : Kuning
Kejernihan : keruh
pH : 5
Sel epitel : +
Leukosit : 2-3
Eritrosit : 0-1

7
Kristal : Uric acid (+)
Feces Lengkap :
Warna : hitam
Konsistensi : lembek
Darah : (-)
Lender : (-)
Eritrosit : 1-2
Leukosit : 1-2
Amuba: (-)
Kista : (-)
Telur cacing : (-)
Pemeriksaan cairan otak: (tanggal 14-09-2010 di Laboratorium A. W. Sjahranie)
A. Makroskopis
- Kejernihan : Agak keruh
- Warna : Putih kekuningan
B. Mikroskopis
a. Hitung sel : 58 sel (normal: 0-6/mm3, abnormal: 10 sel /mm3
untuk orang dewasa)
b. Hitung jenis
- Mononuklear : 30%
- Polinuklear : 70%
C. Protein
- Test Busa : (+) positif
- Test Pandy : (+) positif
- Test Nonne/Apelt : (+) positif
Glukosa : 61 mg/dl
Protein : 122 mg/dl

Diagnosis Kerja Sementara :


Suspect Meningitis
PENATALAKSANAAN :
O2 1-2L/Menit

8
IVFD KAEN4A 8gtt/menit
Cefotaxim 3x250 mg iv
Dexamethason 3 mg iv (bolus) kemudian setelah 12 jam 3x1 mg iv
Phenytoin 2x17,5 mg iv
Farmadol 100mg / 6jam atau Dumin rectal 125mg
Bila kejang, diazepam 2mg iv
Ranitidin 3x7mg iv
Transamin 3x70mg iv
Nootropil 3x100 mg iv
Puasa, pasang NGT
Prognosa :
Dubia et malam

Resume Masuk Rumah Sakit


Pasien NA, umur 6 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan kejang. Dari
hasil anamnesa didapatkan kejang dialami pasien sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit A. W. Sjahranie Samarinda. Kejang terjadi selama 5 menit, kejang
seluruh tubuh dengan mata keatas, tanpa disertai muntah. Pasien kejang lagi
selang waktu 2 jam setelah kejang pertama selama 5 menit. Sebelumnya Pasien
mengalami demam tinggi selama dua hari sebelum kejang, demam disertai
menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas, tapi tidak ada perubahan dan
selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Riwayat kejang sebelumnya
(-), riwayat trauma (-), BAB (+), BAK (+) normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran E2M3V1, tanda vital: nadi 140
kali/menit, suhu badan 40,2 ºC, frekuensi nafas 40 kali/menit. Refleks cahaya (+/
+), pupil isokor (2mm/2mm). Pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas
normal. Sedangkan pada ekstremitas, spastik ekstensi pada ekstremitas atas dextra
et sinistra dan spastik pada ektremitas bawah dextra et sinistra, serta tidak di
dapatkan adanya refleks patologis dan tanda rangsangan meningeal.
Pada pemeriksaan laboratorium yaitu darah lengkap, ditemukan peningkatan
dari jumlah leukosit, yang menandakan terjadinya proses infeksi. Pada pasien ini
juga telah dilakukan pemeriksaan cairan lumbal dan CT scan kepala.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

10
A. Definisi Meningitis
Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula
spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur)
tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau
kondisi lainnya.
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak dan
sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini
terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang
mirip sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak
yang mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges.
Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh
darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.
B. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya meningitis :
1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt
C. Etiologi dan Klasifikasi Meningitis
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan

11
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman
mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu :
1. Meningtis virus
2. Meningitis bakteri
3. Meningitis spiroketa
4. Meningitis fungus
5. Meningitis protozoa dan
6. Meningitis metazoa
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal
dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri
lebih berat. Agen infeksi meningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus
paling banyak disebabkan oleh Escherichia Coli, Streptococcus beta
haemolyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5
tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan
Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus
Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan
Listeria. Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan
oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan
bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus,
sedangkan Herpes simplex, Herpes zoster, dan enterovirus jarang
menjadi penyebab meningitis aseptik (viral).
D. Epidemiologi
1. Orang/Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya
meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.

12
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di
negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan,
sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus
influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus
meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens
Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun
penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.
2. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp
tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis
banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan
pada negara maju.
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the
African Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari
Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit
ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000
penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.11 Di
daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.
3. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana
kasus- kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan
Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada
musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara
puncaknya terjadi pada musim panas.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika
sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih
sering terpapar agen pengantar virus.

13
4. Agen Infeksi
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus.
Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae
sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosa dan virus.
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan
jemaah haji dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh
Neisseria meningitidis serogrup A, B, C, X, Y, Z dan W 135. Grup
A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan
Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama
sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A.
Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi
selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64%
merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup A. Hal ini
merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di
dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi
serogrup A, B, dan C paling banyak menimbulkan penyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya
mirip sakit flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri.
Pada waktu terjadi KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai
penyebab dari 25 % kasus meningitis aseptik pada orang yang
tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan penyebab
dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus
merupakan penyebab dari 50% kasus.
E. Anatomi dan Fisiologi
1. Meninges
Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan
ikat yang membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun atas 3 lapis
yaitu :

14
Gambar 1. Struktur Meninges
a. Dura Mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura
mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari
periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura
mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang
subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya
pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya
dari mesenkim.
b. Arachnoid
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak
dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang
menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini

15
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari
trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak.
Arachnoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.
Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura
mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada
beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura
mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.
c. Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung
banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan
jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di
antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-
cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk
barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. pia
mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui
torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia
mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi
kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.

16
Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya
2. Sawar Darah Otak
Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah
masuknya beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan
toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini
terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah
jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini
secara sempurna merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma
sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel
pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang melingkari
kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya.
Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan
otak. Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler
jaringan, pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa
daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat
berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah
otak pada umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida,
oksigen, dan sebagian besar zat larut lipid, seperti alkohol dan zat
anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti natrium, klorida,

17
dan kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap protein plasma dan
banyak molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid.

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak


Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa
lumen kapiler darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh :
a. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell),
disatukan oleh tight juction.
b. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit
c. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding
kapiler.

Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak


3. Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal

18
Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap
ventrikel ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel
lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang terbuat dari
kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan
ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau
silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion.
Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal,
yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh
ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subarachnoid, dan
ruang perivasikular. Ia penting untuk metabolisme susunan saraf pusat
dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang
subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008
gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat
beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter.
Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki
ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk
absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena.
Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan
aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala
dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.

19
Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal

F. Patofisiologi
1. Meningeal Invasion
Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum
diketahui sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan pejamu, agen
infeksi dan faktor lingkungan. Pada bayi yang belum menghasilkan
antibody spesifik dapat mudah terkena meningitis oleh bakteri gram
negatif, sedangkan pada bayi yang agak besar telah kehilangan IgG
yang diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi
meningokokus dan H. Influenzae. Pada orang dewasa dengan
gangguan sistem imun seperti pada keganasan sistem
retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan syaraf pusat.

20
Konsentrasi kuman yang tinggi didalam darah akibat suatu infeksi
dibagian lain tubuh atau karena proses transmisi kuman karena kontak
antar individu dapat menyebabkan invasi kuman pada meninges. Virus
setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu dapat
bereplikasi dan menyebar yang kemudian menyebabkan destruksi sel
pejamu.
Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran
penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri
menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada
penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di
dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis,
Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau
komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS
(Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses
inflamasi melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor
necrosis factor-α (TNF-α), interferon, prostaglandin, nitrit oksida,
platelet activation factor (PAF) dan mediator lainnya. Mula-mula
pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit
dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam
terdapat makrofag.
3. Perubahan Sawar Darah Otak

21
Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang
datang dari lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan
terjadinya perubahan permeabilitas dari kapiler otak yang sebelumnya
kedap dan selektif terhadap berbagai macam zat, menjadi permeabel
sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan kuman
masuk kedalam cairan serebrospinal dan ruang subarachnoid. Dengan
demikian peradangan akan terus terjadi tidak hanya pada pembuluh
darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di korteks
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuron- neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang
fibrino-purulen menyebabkan kelainan kranialis. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial
Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi
trombosis atau perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang
berperan dalam absorbsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan
hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang berfungsi untuk
memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan
meningkatkan produksinya sehingga timbul hidrosefalus komunikans.
Jika terus berlanjut akan menyebabkan edema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial sehingga terjadi kompresi pada otak dan
pembuluh darah, menurunkan aliran suplai nutrisi dan oksigen. Jika
proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi jaringan otak, defisit
neurologis, berupa parese nervus kranialis dan hemiparese, penurunan
kesadaran dan bahkan kematian.

22
Bagan 1. Patofisiologi Meningitis

Gambar 6. Gambaran Kapiler pada Edema Otak


G. Manifestasi Klinis
Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita
meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut :
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.

23
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot,
fotofobia, mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan
kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang
disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,
kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah
dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku
kuduk, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan
dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut
dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu
makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan
fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak
dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus
pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus.
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi,
nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal
tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa
demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun,
mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan

24
kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat,
gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-
anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus
kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat
tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah
dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita
dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.
H. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang
dan penurunan kesadaran. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan

25
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring ,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

26
e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua
ibu jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+)
bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.
g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam
keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan
sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60°
pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein
normal, kultur negatif.
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari
1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+)
beberapa jenis bakteri.
Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen
infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

27
Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology
Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific pathogen
meningitis >80% PMNs demonstrated in 60%
of Gram stains and
80% of cultures
Viral 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR
meningitis lymphocytes reduced in may be assays
LCM and slightly
mumps elevated
Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, < Elevated, Acid-fast bacillus
meningitis lymphocytes 40 >100 stain, culture, PCR
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,
meningitis lymphocytes cryptococcal antigen,
culture
Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal but Negative findings on
meningitis lymphocytes may be workup
slightly
elevated
Normal values 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on
lymphocytes workup
LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =
polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi
b. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan
lumbal pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu

28
sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil
dari :
1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae,
S. Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan
diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan
adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan
berarti meningitis dapat disingkirkan.
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America
(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum
dilakukan lumbal pungsi yaitu :
1) Dalam keadaan Immunocompromised
2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke,
infeksi fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat
pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

29
Gambar 7. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal
enhancement dan ventrikulitis

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced,


didapatkan leptomeningeal enhancement
I. Penatalaksanaan

30
Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan
suportif.
1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri.
Penatalaksanaan umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti
pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi.
Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan
imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun
dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis
disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis.
Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun
karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur
CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis
induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis
maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi
karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat
memberikan hasil yang baik.
Age or Predisposing Feature Antibiotics
Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime or
an aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or
cefotaxime plus vancomycin*
Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime
or meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or
CSF shunt meropenem

31
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri


a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/
12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).
c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB
IV/ 12 jam
Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak,
20 mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika
dicurigai infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/
6 jam).
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

32
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12
jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB
IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime
(2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan
kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6
jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih
kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,
tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa

33
tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang


Dewasa
3. Meningitis Sifilitika
Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua
dengan dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering
pula diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta
unit. Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta
unit/hari IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14
hari, diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta
unit. Pasien dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat diberikan

34
yang serupa. Oleh karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien
dengan alergi penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah
dilakukan pengobatan, pemeriksaan cairan serebrospinal harus
dilakukan secara teratur setiap 6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan
untuk melihat keberhasilan terapi.

4. Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial
amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan
Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar dalam
serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi,
sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula
diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan
itrakonazol.
5. Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama
dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai
berikut :
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis


Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah
mendapat obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan

35
tergantung kategori. Pemberian kortikosteroid diindikasikan pada
meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada
proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih
dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara
bertahap selama 6 minggu.
6. Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti
analgesia yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan
antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic
dapat menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah gejala klinis
dan bahkan menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan
hebat yang merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing.
Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah
fatal. Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau
mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.
J. Diagnosis Banding
Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini :
1. Abses serebral
2. Ensefalitis
3. Neoplasma serebral
4. Perdarahan Subarachnoid
K. Komplikasi Meningitis
Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental,
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi
subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis
atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia,
abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang menurun dan lain sebagainya.
Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik, disseminated
intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi
endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
L. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis
meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia

36
neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek,
yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle
(akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan
seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental,
dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya
tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC
dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan.
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang
lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki
prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu
dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.
M. Pencegahan Meningitis
1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor
resiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko
dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin
yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib),
Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine

(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate


vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,
Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari
kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada
bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi

37
7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan,
anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak
dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum
dapat membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau
11
hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah
jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi
BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over
2
crowded (luas lantai > 4,5 m /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas
lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda
dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan
dan setelah dari toilet.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak
awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal
dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini
juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta
keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang

meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru . Selain itu
juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk
menemukan penderita secara dini.

38
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah
kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit
berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan
kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak
diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan

untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk


mencegah dan mengurangi cacat.

BAB IV
ANALISA KASUS

Pembahasan

39
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien
ini di dapatkan diagnosis meningitis purulenta dengan gizi baik.
Dalam teori, meningitis mempunyai pelbagai penyebab, namun gejala klinis
meningitis lebih kurang sama dan khas, sehingga gejala tersebut dapat digunakan
sebagai diagnosis awal. Gejala ini bisa diperoleh dari anamnesa yaitu: suhu tubuh
mendadak naik; seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran dengan cepat
menurun, pada anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala sebelum
kesadarannya menurun, ada kejang yang dapat bersifat umum, fokal, atau hanya
twitching saja.
Pada meningitis biasanya gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung
dari usia si penderita serta apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum
adalah demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu
biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan
kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Gejala pada bayi yang terkena
meningitis, biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan
lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi
gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan. Tanda-
tanda neurologis setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami stagnasi atau
gangguan perkembangan. Hal ini sesuai dengan yang dialami pasien yaitu demam
tinggi selama dua hari sebelum kejang, demam disertai menggigil, pasien sempat
diberi obat penurun panas, tapi tidak ada perubahan dan selama demam pasien
rewel dan tidak mau menyusu. Dan tanda-tanda rangsangan meningeal tidak
didapatkan serta refleks patologis sulit dievaluasi.
Untuk menentukan diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium. Tes ini
memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Cairan sumsum tulang
belakang diambil dengan proses yang disebut pungsi lumbal ( lumbar puncture
atau spinal tap). Sebuah jarum ditusukkan pada pertengahan tulang belakang, pas
di atas pinggul. Jarum menyedap contoh cairan sumsum tulang belakang. Tekanan
cairan sumsum tulang belakang juga dapat diukur. Bila tekanan terlalu tinggi,
sebagian cairan tersebut dapat disedot. Tes ini aman dan biasanya tidak terlalu
menyakitkan. Namun setelah pungsi lumbal beberapa orang mengalami sakit
kepala, yang dapat berlangsung beberapa hari.

40
Pemeriksaan penunjang dengan CT/MRI dengan kontras dapat menentukan
adanya dan luasnya kelainan di daerah basal. Serta adanya dan luasnya
hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-Scan/MRI kepala pada pasien meningitis
adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran
yang sering ditemukan adalah kelainan di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. 6,8,12 sedangkan pada pasien ini, gambaran CT-Scan kepalanya normal.
Pengobatan meningitis dapat diobati,tetapi tergantung dari penyebabnya.
Pengobatan meningitis dapat dilakukan terapi. Terapi tersebut bertujuan untuk
memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suportif . Selain itu
harus dilakukan pemberian obat sesuai anjuran dokter.
Pada Meningitis Purulenta :
1. Kombinasi ampisilin 12 – 18 gram, kloramfenikol 4 gram, intravena
dalam dosis terbagi 4 kali per hari.
2. Dapat ditambahkan campuran trimetoprim 80 mg, sulfametoksazol 400
mg intravena.
3. Dapat pula ditambahkan seftriakson 4 – 6 gram intravena.
4. Cairan intravena
5. Koreksigangguan asaam-basa dan elektrolit
6. Kortikosteroid . Berikan deksametason 0,6 mg/kgBB/hari selama 14
hari,15-20 menit sebelum pemberian antibiotik
Antibiotik. Terdiri dari 2 fase, yaitu empiric dan setelah ada hasil biarkan
dan uji resistensi. Pengobatan empiric pada neonatus adalah kombinasi ampisilin
dan aminoglikosida atau ampisilin dan sefotaksim.Pada umur 3 bulan sampai 10
tahun kombinasi ampisilin dan kloramfenikol atau sefuroksim / Sefotaksim /
Seftriakson. Pada usia lebih dari 10 tahun digunakan penisilin. Pada Neonatus
pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan anak 10-14 hari.

Antibiotik yang digunakan untuk Meningitis Bakterial


Kuman Antibiotik
H.influenzae Ampisilin, kloramfenikol, seftriakson, sefotaksim
S.pneumoniae Penisilin, kloramfenikol, sefuroksim, seftriakson ,
vankomisin
N.meningitidis Penisilin, kloramfenikol, sefuroksim, seftriakson

41
Stafilokok Nafsilin, vankomisin, rifampisin
Gram negative Sefotaksim, seftazidim, seftriakson, amikasin

Dosis yang diberikan Untuk Meningitis Bakterial


Antibiotik Dosis
Ampisilin 200-300mg/kgBB/hari(tunggal 400mg)
Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari;Neonatus :50mg/kgBB/hari
Sefuroksim 250mg/kgBB/hari
Sefotaksim 200mg/kgBB/hari; Neonatus 0-7 hari:100mg/kgBB/hari
Seftriakson 100mg/kgBB/hari
Seftazidim 150mg/kgBB/hari; Neonatus :60-90mg/kgBB/hari
Gentamisin Neonatus 0-7hari :5mg/kgBB/hari
7-28hari:7,5mg/kgBB/hari
Amikasin 10-15mg/kgBB/hari

Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 1-2


mg/kgBB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 4-6 minggu,
setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6
minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pemberian kortikosteroid
seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan. Indikasi kortikosteroid antara lain tekanan
intrakranial yang meningkat, adanya defisit neurologis, mencegah perlekatan
araknoidea pada jaringan otak.
Dari alloanamnesa ditemukan kejang pada pasien ini, dimana sebelumnya
didahului dengan demam tinggi selama 2 hari tanpa penyebab yang jelas dan
setelah panas hari ke-2, pasien mengalami kejang yang bersifat umum (seluruh
tubuh), lama kejang ± 5 menit, sebanyak 2 kali selang waktu 2 jam, sebelumnya
belum pernah kejang. Kejang yang berulang pada pasien ini mungkin disebabkan
nilai ambang yang rendah terhadap setiap peningkatan suhu tubuh 10C (proses
ekstrakranial) atau mungkin dapat disebabkan suatu proses intrakranial akibat
infeksi di otak dan ini diperkuat keluhan pasien yang rewel serta tangisannya yang
cukup keras.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penurunan kesadaran, refleks cahaya (+/
+), pupil isokor (2mm/2mm), Ubun-ubun besar tegang, refleks patologis (+), kaku
kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-), kernig (-).
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, mengarah pada kecurigaan
meningitis, sehingga diganosa meningitis dapat ditegakkan. Namun, berdasarkan

42
literatur yang diperoleh pada pasien ini tidak disertai dengan tanda rangsang
meningeal, hal ini disebabkan karena tanda rangsang meningeal belum muncul
atau sulit didapatkan pada anak usia dibawah satu tahun.
Setelah diagnosa meningitis ditegakkan, maka untuk memastikan jenis dan
penyebab meningitisnya, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lumbal punksi.
Pada pasien ini, cairan lumbal yang diperiksa di laboratorium RSU A.W. Sjahranie
adalah: cairannya agak keruh berwarna putih kekuningan, jumlah sel 58 sel/mm3,
PMN 70%, MN 30%,. protein: test Busa (+) positif, test Pandy (+) positif, test
Nonne/Apel (+) positif, glukosa 61 mg/dl, protein 122 mg/dl. Dari hasil
peneriksaan cairan lumbal, dapat disimpulkan jenis meningitisnya adalah
meningitis purulenta, yang didasarkan dengan cairannya yang keruh, peningkatan
sel PMN 70%, none pandy test positif, dan peningkatan jumlah protein
dibandingkan glukosanya. Namun belum bisa dipastikan penyebabnya, oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tambahan berupa kultur cairan lumbal
apakah ada pertumbuhan kuman atau tidak.
Pada pasien ini tidak dilakukan uji tuberkulin (Mantoux test). Namun tidak
menyingkirkan kemungkinan diagnosa bisa kearah meningitis TB, karena pada
pasien ini memiliki riwayat belum pernah imunisasi BCG, dibuktikan dari
anamnesa pada orang tua pasien, dan pemeriksaan fisik dengan tidak
ditemukannya scarr ( jaringan parut ) pada lengan kanan atas pasien, tapi tidak
ditemukan adanya pembesaran KGB yang mendukung diagnosa menderita
penyakit TB. Pasien ini juga telah dilakukan pemeriksaan CT scan kepala, dan
dari hasilnya diperoleh kesimpulan gambaran yang masih dalam batas normal.
Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda klinis kurang gizi yaitu
seperti pasien kurus, kulit kering, dan berat badan pasien saat MRS adalah 7,2 kg
dan tinggi badannya adalah 66 cm. Status gizi pasien ini dapat ditentukan
menggunakan Z-score WHO. Berdasarkan Z-score WHO maka status gizi pasien
termasuk gizi baik.
Saat masuk rumah sakit, berat badan pasien adalah 7,2 kg dan setelah
menjalani perawatan di rumah sakit, berat badan pasien menjadi 7,5 kg. Hal ini
menunjukkan bahwa ada peningkatan berat badan setelah di rawat di rumah sakit.
Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi kita bahwa, sangat penting untuk

43
memperhatikan kebutuhan gizi pasien terutama yang dirawat dalam jangka waktu
yang lama. Sehingga pada pasien ini diberikan ASI/PASI 2x75cc melalui selang
NGT, hasilnya pasien mengalami perbaikan gizi ditandai dengan peningkatan
berat badan 0,3 kg selama perawatan di RSU A.W Sjahranie.
Dengan demikian berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang ditandai dengan cairan lumbal yang keruh,
peningkatan sel PMN 70%, none pandy test positif, dan peningkatan jumlah
protein dibandingkan glukosanya, dan peningkatan leukosit darah dari
15.400/mm3 menjadi 25.100/mm3 sehingga dapat disimpulkan diagnosa penyebab
meningitis purulenta.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah: O2 1-2L/Menit, IVFD
KAEN4A 8gtt/menit, Cefotaxim 3x250 mg iv, Dexamethason 3 mg iv (bolus)
kemudian setelah 12 jam 3x1 mg iv, Phenytoin 2x17,5 mg iv, Farmadol 100mg / 6
jam atau Dumin rectal 125mg, Bila kejang berikan diazepam 2mg iv, dipuasakan,
dipasang NGT, Ranitidin 3x7mg iv, Transamin 3x70mg iv.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah memenuhi standar pengobatan,
dimana selain memperbaiki keadaan umum dan nutrisinya, juga diberikan
pengobatan berdasarkan penyebabnya dengan pemberian antibiotik dan
Pemberian kortikosteroid (deksamethasone 2x2,5 mg iv) untuk mencegah
perlekatan araknoidea pada jaringan otak, tekanan intrakranial yang meningkat,
dan adanya defisit neurologis.
Prognosis pada pasien ini berbanding lurus dengan tahapan klinis saat
pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya , semakin buruk
prognosisnya. Adanya hidrosefalus disertai kelainan (enhacement) daerah basal
pada pemeriksaan CT-scan menunjukan tahap lanjut penyakit dengan prognosis
yang buruk.

44
BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi
pada selaput otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya
faktor resiko tertentu seperti pada usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih
dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit sistemik
atau penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis,
atau adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian
meningitis berhubungan dengan suatu wilayah dan musim tertentu.
Misalnya pada afrika ada suatu istilah yang disebut the african meningitis
belt, yang menunjukkan kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah
tertentu.
Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena
infeksi berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi
terbanyak adalah virus dan bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat
sembuh dengan sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat
gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan
diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat
menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen
penyebab infeksi dan respon pengobatan.

45
Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah
terjadinya meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan
penyakit dengan pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk
mengurangi komplikasi dan gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien
dapat tetap menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya
pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup
yang luas, kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan
secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
3. Swierzewski, S., 2002. Meningitis, Insidens and
Prevalence. Available at
http://www.healthcommunities.com/meningitis/incidence.shtml
4. Laporan Nasional, 2007. Riset Kesehatan Dasar.
5. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://www.who.int/topics/meningitis/en/
6. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara,
Jakarta.
7. Jellife, D., 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi Keempat. Bumi
Aksara, Jakarta.
8. Japardi, I. 2002. Meningitis Meningococcus. Journal. FK USU Digital
Library. Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar
%20japardi23.pdf
9. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
10. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.
11. Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika,
Jakarta.
12. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of
Bacterial Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58,
No.11, Hal 438-443, Jakarta.

46
13. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection. Article.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199
14. Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi
Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta
15. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada
University Press, Yogyakarta.
16. Handayani, S., 2006. Karier Meningitis Meningokok Pada Jemaah
Haji Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.34, No.1, Hal 30-36,
Jakarta.
17. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition.
McGraw-Hill Companies, New York.
18. Junqueira, dkk., 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC, Jakarta.
19. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.
20. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC,
Jakarta.
21. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal
Kedokteran. Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
22. Mackenna & Callander, 1997. Ilustrated Physiology. Sixth Edition. Churchill
Livingstone.
23. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
24. Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Edisi Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
25. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
26. Japardi, 2002. Sawar Darah Otak. Journal. FK USU Digital Library.
Available at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-
iskandar54.pdf
27. Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat Neurologi.
Widya Medika, Jakarta.
28. Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at
http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi.html
29. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
30. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial
Meningitis. Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).

47
31. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
32. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In
tech. Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
33. Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran EGC, Jakarta.
34. Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah
Infomedika, Jakarta.
35. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
36. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
37. Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang
Mempengaruhi Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital
Library. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6245/1/anak-nofareni.pdf
38. Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
39. Mansjoer, A.,dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media
Aesculapius, Jakarta.

48

Anda mungkin juga menyukai