BAB I
PENDAHULUAN
yang khas. Secara administratif kawasan kars ini terletak di dua kabupaten yaitu
Selatan. Bentangan perbukitan kars yang memanjang dari selatan ke utara, pada
dasarnya merupakan satu kesatuan kawasan kars, dan mengandung satu kesatuan
budaya yang tidak terpisahkan oleh batas administrasi. Secara astronomis kawasan
Maros-Pangkep terletak pada koordinat 04o 42’ 49”– 5o 06’ 42” LS dan 119o 34’
17”– 119o 55’ 13” BT. Luas kawasan kars Maros-Pangkep secara keseluruhan adalah
43.750 ha (Ramli dkk, 2011). Selain itu, kawasan kars Maros-Pangkep sangat
prasejarah dengan berbagai jenis tinggalannya seperti lukisan, artefak batu, cangkang
moluska, tulang, dan tembikar. Variasi data arkeologis yang ditemukan pada kawasan
Hal ini terbukti dengan banyaknya penelitian yang telah dilakukan pada kawasan
tersebut. Penelitian yang dilakukan pada kawasan ini tidak hanya dilakukan oleh
peneliti dalam negeri, tetapi juga dilakukan oleh peneliti dari luar negeri.
2
luas melalui publikasi yang dilakukan oleh Danes, seorang ahli Geografi. Melalui
Kongres Internasional ke –11 pada tahun 1993, yang dilaksanakan di Beijing oleh
International Union of Speleology dan para ilmuwan pemerhati kars serta gua dari ke
memiliki nilai penting bertaraf internasional. Nilai ilmiah yang dimiliki gua-gua di
kawasan kars Maros-Pangkep juga sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti asal Prancis yang terdiri atas ahli biospeleologi, menyatakan
bahwa aneka spesies binatang khas gua hanya ditemukan pada kawasan kars Maros-
Pangkep dan tidak ditemukan di tempat lain (Ko, 2011: 1-2). Selain itu, kawasan kars
Maros-Pangkep juga memiliki aneka ragam flora. Sejak tahun 1999, kawasan kars
Ha.
atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan leang, dimulai
pada tahun 1902 oleh Sarasin bersaudara, yaitu Fritz dan Paul Sarasin. Kedua
ilmuwan tersebut, menemukan sejumlah alat batu mikrolit di beberapa gua yang telah
diteliti. Selain itu, ditemukan pula sekelompok suku terasing yang tinggal di hutan-
hutan, dan sekitar kompleks gua, sehingga alat batu yang ditemukan diidentifikasi
sebagai tinggalan kebudayaan suku tersebut, yang dikenal sebagai budaya Toala
Penemuan lukisan dinding gua berupa babi rusa dan cap tangan oleh masyarakat
pada Leang Pettae, Leang Burung dan Leang Jarie di wilayah Maros, pertama kali
dikaji oleh HR van Heekeren, Miss Heeren Palm dan C.J.H Franssen pada tahun
1950. Pengkajian tersebut merupakan langkah awal dalam penelitian lukisan dinding
Maxime Aubert dkk (Peneliti Universitas Graffith), pada tahun 2014 melakukan
penelitian untuk penentuan umur atau kronologi lukisan dinding Gua Timpuseng,
Gua Jarie, Gua Bulu Bettue, Gua Lompoa, Gua Barugayya satu dan dua, Gua Jing
serta pada Gua Sampeang. Penelitian tersebut merupakan kerjasama antara Pusat
melekat pada gambar babi rusa, cap tangan, dan beberapa gambar geometris
menunjukkan bahwa lukisan cap tangan paling tua di Leang Sampeang berusia
39.900 tahun yang lalu, sedangkan untuk jenis lukisan babi rusa di Leang Timpuseng
Pangkep mulai dilakukan baik oleh lembaga penelitian, lembaga pelestari maupun
akademisi. Dari tahun ke tahun, banyak pihak yang berusaha mengungkap tentang
data-data gua prasejarah yang ada di kawasan kars Maros-Pangkep. Hal ini
Pangkep, dan gua tersebut sangat mudah dijangkau karena jaraknya dari Kota
belum banyak diteliti. Oleh karena itu, Penelitian yang dilakukan dalam penulisan
tesis ini hanya difokuskan pada kawasan Pangkep, tepatnya di kompleks situs gua
sebuah areal yang cukup luas, meliputi dua perbukitan kars, lahan persawahan, dan
utara, dan Bulu Bellang di selatan, termasuk dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung dan berfungsi sebagai Hutan Lindung. Areal pertanian dan
pemukiman secara geografis diapit oleh kedua perbukitan tersebut dan di bagian
Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan salah satu kawasan yang penting
tersebut terdapat 27 situs gua prasejarah yang tersebar di sepanjang lereng dan tebing
bukit. Disamping itu, terdapat pula satu situs terbuka, yaitu Pelataran Je’netaesa. Gua-
gua yang terdapat di Kompleks Bellae memiliki jarak yang berdekatan, sehingga
membentuk satu kawasan tersendiri. Selain itu, Kompleks Gua Prasejarah Bellae juga
berupa artefak batu, sampah dapur, maupun lukisan dinding (rock art) masih banyak
dijumpai. Temuan artefak batu seperti alat serpih dan bilah sebarannya hampir merata
5
di semua gua yang ada di Kompleks Bellae, tetapi lancipan Maros (Maros point)
dinding yang terdapat di Bellae berupa lukisan figuratif dan non-figuratif. Lukisan
figuratif antara lain lukisan cap tangan yang berwarna merah dan gambar manusia
kawasan ini. Karakteristik masyarakat petani masih dapat dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Kondisi ini masih mendukung integrasi lingkungan alam kars dan
itu, diperlukan sebuah usaha untuk menjaga kelestariannya. Usaha yang dimaksud
adalah konservasi yang berbasis masyarakat. Dalam usaha ini, masyarakat dilibatkan
lingkungan yang berakibat pada penurunan kualitas lukisan dan kerusakan lukisan
Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar (BPCB) yang lebih dikenal dengan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mulai dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya
antara lain pembuatan pagar, pengangkatan juru pelihara, studi kelayakan, pemetaan,
dan pengukuran, studi teknis, pemintakatan (zoning), deliniasi, serta kajian sosial.
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mulai diteliti sejak tahun 1977. Penelitian pertama
dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan berlanjut sampai sekarang.
Selain itu, lembaga lainnya yang secara sporadic telah melakukan hal serupa adalah
Balai Arkeologi Ujung Pandang yang sekarang berganti nama menjadi Balai
secara perorangan telah melakukan studi, baik untuk kepentingan pendidikan maupun
untuk kepentingan lain yang terkait, antara lain Driwantoro (1986), Ramli (1987),
Malessi (1987), Said (1988), Mustika (1990), Gafar (1991), Fakhriani (1991), Harun
(1992) Mulyadi (1993), Nasution (1994), Kosasih (1995, 1998), Sumantri (1996),
Kekayaan yang dimiliki kawasan ini perlu dijaga kelestariannya. Di sisi lain,
kawasan Bellae telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dan sebagai
kawasan konservasi cagar alam. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa upaya
pelestarian yang telah dilakukan, diharapkan kawasan ini akan tetap terjaga
yang ada di kawasan ini terus mengalami kerusakan dan sebagian makin
gua, pertumbuhan mikroorganisme pada bagian dinding gua dan lukisan dinding gua,
7
gua, perluasan lahan pertanian, dan pemukiman akibat pertumbuhan masyarakat yang
semakin tinggi.
Beranjak dari kondisi tersebut maka perlu adanya upaya konservasi. Upaya
diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mendorong masyarakat
merupakan subjek utama dan pengampu terdekat atau pemilik. Masyarakat sebagai
pemilik Cagar Budaya perlu diberi dorongan untuk menjaga kelestarian Cagar
Budaya.
Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki kandungan nilai penting yang sangat
tinggi, diantaranya yaitu nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, nilai
penting budaya yang sangat tinggi, hingga menjadikan kawasan ini sebagai
heritage site). Pemanfaatan sumberdaya budaya yang ada pada kawasan ini dapat
berbasis pada masyarakat. Pendekatan ini merupakan bentuk tanggung jawab moral
masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya masyarakat Bellae, agar tetap menjaga
warisan nenek moyang yang ada pada wilayah tempat tinggal mereka, sehingga
8
1.2 Permasalahan
Menurut Donald G. MacLeod 1977 dalam Tanudirjo 2005, usaha pelestarian
tidak akan berhasil tanpa melibatkan masyarkat setempat. Masyarakat adalah pihak
yang berdaulat dan memegang hak atas pelestarian sumberdaya Budaya (Tanudirjo,
2005:1). Upaya pelestarian yang selama ini dilakukan pada Kompleks Gua Prasejarah
Bellae masih dominan dilakukan oleh pemerintah, sehingga belum dapat mencapai
hasil yang maksimal. Berdasarkan kenyataan yang ada diketahui bahwa masyarakat
sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae sampai saat ini masih menggunakan gua-gua
pertanian. Perubahan dan pemanfaatan lahan pada kompleks ini merupakan gejala
masyarakat dalam satu wilayah. Namun, masyarakat secara tidak sadar dapat merusak
serta mengubah kondisi lingkungan asli kompleks gua prasejarah tersebut. Kondisi
tersebut terjadi karena tidak adanya ikatan dan rasa memiliki terhadap sumberdaya
objek penelitian. Namun, hingga saat ini mereka masih diposisikan sebagai aktor
pasif. Peranan masyarakat selama ini hanya sebatas penyedia rumah singgah
masyarakat sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae belum mengetahui nilai penting
wilayahnya sendiri. Beruntung jika nilai-nilai kearifan lokal masih terpelihara dengan
baik. Namun, bagi masyarakat yang sudah lama hidup di lingkungan transkultural,
kearifan lokal mulai runtuh, dan justru akan merespon ancaman tersebut sebagai
Maka dari itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang-
orang yang tinggal dalam wilayah Bellae, sedangkan stakeholder adalah pihak-pihak
kerusakan tersebut?
sebagai salah satu bagian dari stakeholder, sehingga dapat mencegah dan mengatasi
kerusakan yang terjadi selama ini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
pemerintah sebagai penentu kebijakan dan lembaga non pemerintah dalam menjaga
kelestarian gua-gua prasejarah yang ada di Kompleks Bellae, serta dapat diterapkan
dilakukan oleh Andi Muhammad Said pada tahun 2000, yang dituangkan dalam tesis
dan sel. Pemintakan yang dilakukan terhadap situs-situs gua prasejarah di kawasan
Pada tahun 2008 Supriadi juga melakukan penelitian pada kawasan gua
Penelitian yang dilakukan ini fokus kepada pemanfaatan gua-gua. Selain itu, Kantor
Balai Konservasi Borobudur sebagai lembaga yang bergelut dalam bidang konservasi
telah melakukan kajian kerusakan lukisan dinding gua di kawasan kars Maros dan
Pangkep pada tahun 2008, 2009, dan 2011. Hasil dari kajian tersebut menunjukkan
Beberapa penelitian yang dilakukan pada Kompleks situs Gua Prasejarah Bellae
menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang menyentuh tentang peran masyarakat
Bellae dalam menjaga kelestarian gua-gua prasejarah. Maka dari itu, perlu dilakukan
terdapat di dalamnya telah menarik minat beberapa peneliti dan instansi pemerintah
bahwa gua tersebut adalah gua prasejarah dan layak dijadikan objek studi arkeologi.
Tahun 1987 Edward Malessi melakukan penelitian di Leang Lompoa dengan sasaran
penelitiannya ialah artefak yang terdapat pada gua tersebut, dan memastikan bahwa
gua tersebut merupakan gua prasejarah. Masih pada tahun yang sama, Muhammad
menyimpulkan bahwa gua tersebut tidak pernah dijadikan sebagai tempat hunian,
penelitian dua kali di kawasan ini yakni pada tahun 1988 dan tahun 2000. Penelitian
pertama yang dilakukan oleh Said mencakup tiga gua di Kompleks Gua Prasejarah
Kesimpulannya ke-tiga gua tersebut merupakan gua hunian. Penelitian yang ke-dua
Pangkep, dan Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan salah satu wilayah yang
Pada tahun 1990, Sri Mustika melakukan penelitian di Leang Lompoa, Leang
tersebut merupakan gua hunian. Ipak Fahriani kemudian melakukan penelitian pada
tahun 1991 di Leang Sakapao, Leang Bubbuka, Leang Caddia, dan Leang
Cammingkana. Penelitian yang dilakukan oleh Ipak Fahriani untuk melihat interaksi
Prasejarah Bellae. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Unhas hanya untuk
melihat gua-gua yang kemungkinan besar dijadikan sebagai gua hunian oleh manusia
prasejarah.
Nur Mulyadi melakukan penelitian pada tahun 1993 dengan fokus penelitian di
Leang Lompoa, Leang Kassi, Leang Cammingkana, Leang Sakapao, dan Leang
Sapiria. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan tipe-tipe gua hunian. Dalam
penelitian tersebut, gua hunian selalu ditandai oleh adanya artefak batu, lukisan
dinding, dan sisa-sisa makanan. Iwan Sumantri mulai melakukan penelitian yang
Penelitian yang dilakukan oleh Sumantri berhasil mengungkap pola pemukiman gua
Prasejarah Bellae.
Lukisan dinding gua pada kompleks gua prasejarah Bellae banyak menarik
perhatian kalangan peneliti. Penelitian mengenai lukisan dinding gua pertama kali
dilakukan oleh Idamgafar pada tahun 1991. Penelitian ini dilakukan untuk
berkaitan dengan aspek religis. Nasution pada tahun 1994 melakukan penelitian di
berbentuk fauna pada dasarnya mewakili beberapa jenis fauna purba yang pernah
hidup dalam kawasan Maros-Pangkep (Fauna Toala), khususnya fauna purba yang
Penelitian yang dilakukan oleh Citra Andari tahun 1996 mengkaji tehnik
Linda melakukan penelitian dengan judul Pola penempatan motif lukisan dinding gua
yang terdapat di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, hasil penelitian ini ialah
Pangkep dalam memilih dan menempatkan motif lukisan dinding gua yang dikaitkan
dengan makna serta lingkungannya. Tahun 2010 Fardi AR juga melakukan penelitian
dalam rangka penulisan skripsi, yaitu dengan mengkaji keberadaan lukisan perahu
pada beberapa gua prasejarah dalam kawasan Maros-Pangkep. Hasil dari penelitian
tersebut menyatakan bahwa Perahu adalah peralatan yang berkaitan dengan bentuk
subsitensi yang berlangsung dalam lingkungan perairan, dan dapat dikatakan sebagai
pernah digunakan, keberadaan gambar cadas ini juga digunakan untuk menentukan
disertai metode analisis pertanggalan yang valid pada gambar yang dimaksud.
tentang pola lukisan yang ada di gua prasejarah Maros-Pangkep. Pengkajian yang
dilakukan pada penelitian ini antara lain pertama, menyangkut dengan kondisi
lingkungan dengan melakukan klasifikasi bentuk lukisan yang ada di gua prasejarah
tersebut. Lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelekatan gua pada
daerah pesisir, daerah tengah (antara pesisir dan pedalaman), dan daerah pedalaman.
15
Pengkajian yang kedua, menyangkut pembuatan peta pola sebaran lukisan dengan
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil dari pengolahan data
lukisan cap tangan tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan karena dominan
ditemukan pada gua daerah pesisir, daerah tengah (antara pesisir dan pedalaman), dan
daerah pedalaman. Lukisan lain seperti fauna (ikan), perahu, manusia, dan geometris
(garis) dilihat dari hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa lukisan tersebut
dominan berada di gua daerah pesisir, sedangkan lukisan babi rusa berada di gua
gua prasejarah ini juga dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar
menyeluruh pada gua-gua di kompleks Bellae. Hal ini bertujuan untuk merekam data
arkeologi yang masih ada dan menentukan hasil kegiatan masa prasejarah yang dapat
diselamatkan, serta dijadikan salah satu wilayah situs cagar budaya di Sulawesi
Selatan. Data ini kemudian yang dijadikan acuan untuk menentukan layak tidaknya
merekam data keletakan situs serta pengukuran luas lokasi masing-masing situs.
Kegiatan ini mencakup perekaman terhadap situasi sekitar dan letak geografis situs.
16
Hasil dari pengukuran yang digambarkan dalam bentuk peta situasi akan
pelestarian benda cagar budaya yang berada di Bellae (Timbul, 2001: 3).
Studi teknis dilakukan karena kawasan gua prasejarah Bellae memiliki potensi
arkeologi, potensi kars serta kondisi lingkungan fisik yang masih alami. Studi teknis
yang dilakukan ini meliputi tiga aspek pokok yaitu, pelestarian tinggalan budaya,
kegiatan studi teknis ini adalah menentukan arah kebijakan, baik dalam pelestarian
kompleks gua prasejarah Bellae sebagai objek wisata terpadu (Agustono 2007: 1-3) .
pengembangan dan pemanfaatan situs beserta isi dan linkungannya. Hasil yang
mintakat yang terdiri dari mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat
Pada tahun 2011 BPCB Makassar kembali melakukan delineasi serta kajian
sosial budaya. Delineasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam
tertentu yang terdapat dalam suatu kawasan tertentu pula. Batas-batas ditentukan
berdasarkan tema tertentu, dan melokalisir areal yang dibutuhkan untuk menyatakan
Dengan demikian akan terbentuk tata keruangan yang mengakomodir dari berbagai
kepentingan yang tidak saling tumpang tindih, bahkan justru saling mendukung
(Ramli, 2011: 23). Hasil delineasi yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kawasan
kawasan Biring Ere dan satuan-satuan situs yang berdiri sendiri yaitu Leang Nippong,
Di tahun yang sama BPCB Makassar juga melakukan kajian sosial budaya di
kawasan yang sama. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman baik berupa
Pada tahun 2008, 2009, dan 2011 Yudi Suhartono dkk yang merupakan staf dari
pada kawasan kars Maros-Pangkep. Hasil studi tahap pertama (2008) menunjukkan
bahwa: (1) kondisi lukisan dinding gua telah banyak mengalami kerusakan berupa
adalah pelapukan fisik (mekanik) dan pelapukan kimia; (3) Hasil evaluasi terhadap
konservasi yang pernah dilakukan pada tahun 1985 dan 1986, memperlihatkan bahwa
lukisan tersebut. Untuk itu, konservasi menggunakan bahan kimia dapat dikurangi
arkeologi; (4) Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap bahan lukisan dinding gua
prasejarah, menunjukkan bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan tidak
murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi; (5)
Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa bahan campuran hematite yang berasal
dari bahan organik yang efektif dan hasilnya relatif paling baik di antara delapan
sampel adalah menggunakan estraks tumbuhan, dalam uji ini menggunakan daun
Hasil studi tahap kedua (2009) meliputi empat hal yaitu pertama, kerusakan
lukisan yang letaknya dekat mulut gua dan lingkungannya terbuka cenderung lebih
besar daripada lukisan yang letaknya tersembunyi dan terlindungi oleh pepohonan.
Kedua, data Curah Hujan (1990 – 2008) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
curah hujan dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan penyinaran matahari makin
intensif ke bumi, sehingga menyebabkan sinar matahari lebih banyak masuk ke dalam
gua. Intensitas masuknya sinar juga semakin besar ke dalam gua dengan
pelapukan kimia, pelapukan fisik, dan pelapukan biologi. Keempat, dalam upaya
lingkungan gua. Selain itu, juga perlu dilakukan kegiatan monitoring digital secara
lukisan gua dari tahun ke tahun, dan merupakan dasar dalam melakukan tindakan
konservasi.
Hasil studi tahap ketiga (2011) menunjukkan bahwa terdapat tiga penyebab
terjadinya kerusakan lukisan dinding gua. Pertama, kerusakan lukisan dinding gua
diakibatkan oleh adanya kontak dengan atmosfer yang berbeda secara signifikan pada
musim hujan dan kemarau. Kerusakan yang terjadi berupa aliran air yang
lingkungan. ketiga, dari hasil uji laboratorium yang telah dilakukan terhadap bahan
lukisan dinding gua, diketahui bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan
tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi.
kesadaran para pakar arkeologi bahwa sumberdaya budaya tidak dapat diperbaharui
(unreniable) dan merupakan milik masyarakat luas. Dalam pergolakan ini semua
kegiatan yang berkaitan dengan sumberdaya budaya, baik penelitian, pelestarian dan
mendahului kata pemanfaatan didasarkan pada alasan bahwa sifat dari sumberdaya
arkeologi yang rapuh, lapuk dan mudah rusak karena sudah melalui perjalanan waktu
yang lama. Namun sebelum melakukan pelestarian dan pemanfaatan terlebih dahulu
harus dilakukan penelitian. Penelitian yang dimaksud yaitu baik pada bidang
sebuah tahapan yang sangat penting dan utama karena dari sinilah kebijakan
merupakan salah satu wujud apresiasi terhadap tinggalan nenek moyang kita.
ada empat aspek utama dalam sebuah warisan sumberdaya budaya yang kemudian
disebarluaskan kepada masyarakat umum, yaitu sebagai benda seni, aspek ekonomi,
pelestarian sumberdaya arkeologi (Tanudirdjo, 2005: 1). Oleh karena itu, sudah
sosial dan integrasi dalam suatu masyarakat, sehingga menciptakan adanya rasa
saling memiliki dan melestarikan. Peranan masyarakat menjadi unsur yang sangat
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya pelestarian dan pengelolaan
sumberdaya arkeologi.
Penelitian dan penulisan tesis ini akan meminjam dan menggunakan konsep
Patrizia dan Nijkam yang diterapkan dalam konservasi kawasan Cagar Budaya.
dan konservasi Cagar Budaya, serta perlu adanya strategi dan pendekatan untuk
3. Institusi yang perlu dilibatkan adalah berbagai agen atau jajaran pemerintah di
tingkat lokal, sampai Negara, sejak dari identifikasi situs, memahami tujuan
konservasi, negosiasi dengan pemilik lahan atau warisan budaya, kompensasi bagi
pemilik lahan.
Makassar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya akan dilakukan langkah kedua
dan ketiga, dengan alasan bahwa penelitian ini hanya menyajikan kerangka
mengenai identifikasi dan dokumentasi serta nilai penting yang ada pada Cagar
Budaya di kawasan Bellae akan menggunakan data dari BPCB Makassar. Namun,
Konsep yang akan digunakan ini sesuai dengan tren perkembangan konservasi
dilestarikan untuk jangka waktu selama mungkin dan diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Dengan melibatkan masyarakat, maka pelestarian akan terjamin
sampai dengan masa yang akan datang. Tetapi, jika disandarkan kepada pemerintah
saja, bisa terjadi pergantian kebijakan politik yang tidak lagi berpihak kepada
pelestarian. Hal ini terjadi karena pemerintah mungkin mengalami pergantian cara
Budaya akan terus peduli hingga generasi selanjutnya (Cahyandaru, 2010: 17).
sangat penting dalam upaya pelestarian Cagar Budaya. Hal ini mengarahkan sebuah
Chambers (1995 lihat juga Wibowo, dkk, 2003: 6) mencerminkan paradigma baru
adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang
pemberdayaan masyarakat ada hal utama yang harus dilakukan adalah menciptakan
diikuti dengan memperkuat potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif. Perkuatan ini meliputi langkah-
budaya seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab yang merupakan
bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Hal tersebut harus didukung dengan
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan setiap upaya yang akan
Konsep ini memiliki cakupan yang lebih luas, tidak hanya semata-mata untuk
ini lebih banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-
konsep pertumbuhan ekonomi. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan
praktisi untuk mencari hal-hal yang antara lain oleh Friedman (1992 dalam Wibowo,
equity”.
pengelolaan dan pelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae, baik yang terkait
1) Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui tiga cara yaitu studi pustaka,
a) Studi pustaka yang dimaksudkan adalah penelusuran dan mendapatkan data serta
informasi dari berbagai sumber baik berupa laporan, buku, makalah, tesis, skripsi,
dan artikel-artikel baik dari sumber internet maupun sumber lainnya ada kaitannya
ini dilakukan dengan membuat catatan, memotret dan menentukan waktu serta
Bellae, pengunjung, dan instansi yang memiliki keterkaitan dan hubungan dengan
lokasi dan masalah penelitian. Instansi yang dimaksud yaitu terdiri dari Balai
d) Focus Group Discussion (FGD). FGD pada dasarnya merupakan satu alternatif
yang penting dalam sebuah kajian yang bersifat kualitatif. Ada beberapa tujuan
dan sikap/respon) dari sejumlah orang (yang menjadi partisipan) di suatu tempat,
dalam suatu waktu, dan untuk suatu acara yang telah dirancang; (2) informasi itu
dan (3) di antara partisipan bukan saja bisa menyampaikan tetapi juga bisa
argumentatif. Data yang diperoleh dari hasil studi pustaka, observasi lapangan,
wawancara dan FGD akan diolah dalam bentuk narasi dan tabel.
2) Analisis Data
Analisis data meliputi analisis faktor-faktor penyebab kerusakan dan
faktor alam maupun faktor manusia. Faktor alam mengacu pada hasil analisis
klimatologi yang telah dilakukan dan faktor manusia meliputi aktivitas para
stakeholder.
Bellae, yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Dalam analisis
Kompleks Bellae yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Taman Nasional
pemangku kepentingan.