Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kawasan kars Maros-Pangkep dikenal dengan tipe kars menara (tower kars)

yang khas. Secara administratif kawasan kars ini terletak di dua kabupaten yaitu

Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi

Selatan. Bentangan perbukitan kars yang memanjang dari selatan ke utara, pada

dasarnya merupakan satu kesatuan kawasan kars, dan mengandung satu kesatuan

budaya yang tidak terpisahkan oleh batas administrasi. Secara astronomis kawasan

Maros-Pangkep terletak pada koordinat 04o 42’ 49”– 5o 06’ 42” LS dan 119o 34’

17”– 119o 55’ 13” BT. Luas kawasan kars Maros-Pangkep secara keseluruhan adalah

43.750 ha (Ramli dkk, 2011). Selain itu, kawasan kars Maros-Pangkep sangat

terkenal karena banyak menyimpan kekayaan budaya yang dapat dikategorikan

sebagai budaya tingkat internasional. Kekayaan budaya tersebut berupa gua-gua

prasejarah dengan berbagai jenis tinggalannya seperti lukisan, artefak batu, cangkang

moluska, tulang, dan tembikar. Variasi data arkeologis yang ditemukan pada kawasan

kars Maros-pangkep ini banyak menyumbangkan informasi tentang masa prasejarah.

Hal ini terbukti dengan banyaknya penelitian yang telah dilakukan pada kawasan

tersebut. Penelitian yang dilakukan pada kawasan ini tidak hanya dilakukan oleh

peneliti dalam negeri, tetapi juga dilakukan oleh peneliti dari luar negeri.
2

Kawasan kars Maros-Pangkep sebelum Perang Dunia ke 2 mulai dikenal secara

luas melalui publikasi yang dilakukan oleh Danes, seorang ahli Geografi. Melalui

Kongres Internasional ke –11 pada tahun 1993, yang dilaksanakan di Beijing oleh

International Union of Speleology dan para ilmuwan pemerhati kars serta gua dari ke

34 negara yang hadir secara aklamasi menyatakan bahwa kawasan Maros-Pangkep

memiliki nilai penting bertaraf internasional. Nilai ilmiah yang dimiliki gua-gua di

kawasan kars Maros-Pangkep juga sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti asal Prancis yang terdiri atas ahli biospeleologi, menyatakan

bahwa aneka spesies binatang khas gua hanya ditemukan pada kawasan kars Maros-

Pangkep dan tidak ditemukan di tempat lain (Ko, 2011: 1-2). Selain itu, kawasan kars

Maros-Pangkep juga memiliki aneka ragam flora. Sejak tahun 1999, kawasan kars

Maros-Pangkep telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan masuk dalam

wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dengan luas wilayah ± 3.879.771

Ha.

Penelitian pada kawasan Maros-Pangkep khususnya untuk gua-gua prasejarah

atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan leang, dimulai

pada tahun 1902 oleh Sarasin bersaudara, yaitu Fritz dan Paul Sarasin. Kedua

ilmuwan tersebut, menemukan sejumlah alat batu mikrolit di beberapa gua yang telah

diteliti. Selain itu, ditemukan pula sekelompok suku terasing yang tinggal di hutan-

hutan, dan sekitar kompleks gua, sehingga alat batu yang ditemukan diidentifikasi

sebagai tinggalan kebudayaan suku tersebut, yang dikenal sebagai budaya Toala

(Sumantri, 2004: 21-22).


3

Penemuan lukisan dinding gua berupa babi rusa dan cap tangan oleh masyarakat

pada Leang Pettae, Leang Burung dan Leang Jarie di wilayah Maros, pertama kali

dikaji oleh HR van Heekeren, Miss Heeren Palm dan C.J.H Franssen pada tahun

1950. Pengkajian tersebut merupakan langkah awal dalam penelitian lukisan dinding

gua yang ada di kawasan kars Maros-Pangkep (Hadimuljono, 1992:29-52).

Maxime Aubert dkk (Peneliti Universitas Graffith), pada tahun 2014 melakukan

penelitian untuk penentuan umur atau kronologi lukisan dinding Gua Timpuseng,

Gua Jarie, Gua Bulu Bettue, Gua Lompoa, Gua Barugayya satu dan dua, Gua Jing

serta pada Gua Sampeang. Penelitian tersebut merupakan kerjasama antara Pusat

Arkeologi Nasional Indonesia, Balai Arkeologi Makassar, Balai Pelestarian Cagar

Budaya Makassar, Universitas Wollongong, dan Universitas Griffith Australia.

Penelitian dengan metode u-series dating dengan mengambil flowerstone yang

melekat pada gambar babi rusa, cap tangan, dan beberapa gambar geometris

menunjukkan bahwa lukisan cap tangan paling tua di Leang Sampeang berusia

39.900 tahun yang lalu, sedangkan untuk jenis lukisan babi rusa di Leang Timpuseng

berusia 35.400 tahun yang lalu (Aubert dkk, 2014).

Seiring dengan berkembangnya waktu, penelitian pada kawasan kars Maros-

Pangkep mulai dilakukan baik oleh lembaga penelitian, lembaga pelestari maupun

akademisi. Dari tahun ke tahun, banyak pihak yang berusaha mengungkap tentang

data-data gua prasejarah yang ada di kawasan kars Maros-Pangkep. Hal ini

mengingat banyaknya temuan arkeologis yang tersebar di gua-gua prasejarah Maros-


4

Pangkep, dan gua tersebut sangat mudah dijangkau karena jaraknya dari Kota

Makassar relatif dekat.

Dibandingkan dengan gua-gua di wilayah Maros, gua-gua di wilayah Pangkep

belum banyak diteliti. Oleh karena itu, Penelitian yang dilakukan dalam penulisan

tesis ini hanya difokuskan pada kawasan Pangkep, tepatnya di kompleks situs gua

prasejarah Bellae. Gua-gua prasejarah ini secara administratif terletak di Kelurahan

Biraeng, Kecamatan Minasate’ne, Kabupaten Pangkep. Kompleks Bellae merupakan

sebuah areal yang cukup luas, meliputi dua perbukitan kars, lahan persawahan, dan

pemukiman penduduk. Areal perbukitan di kompleks ini yaitu Bulu Matojeng di

utara, dan Bulu Bellang di selatan, termasuk dalam kawasan Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung dan berfungsi sebagai Hutan Lindung. Areal pertanian dan

pemukiman secara geografis diapit oleh kedua perbukitan tersebut dan di bagian

timur merupakan pertemuan kedua perbukitan tersebut.

Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan salah satu kawasan yang penting

dalam perspektif arkeologi karena memiliki keunikan tersendiri. Di kompleks Bellae

tersebut terdapat 27 situs gua prasejarah yang tersebar di sepanjang lereng dan tebing

bukit. Disamping itu, terdapat pula satu situs terbuka, yaitu Pelataran Je’netaesa. Gua-

gua yang terdapat di Kompleks Bellae memiliki jarak yang berdekatan, sehingga

membentuk satu kawasan tersendiri. Selain itu, Kompleks Gua Prasejarah Bellae juga

memiliki tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai tinggalan arkeologis baik

berupa artefak batu, sampah dapur, maupun lukisan dinding (rock art) masih banyak

dijumpai. Temuan artefak batu seperti alat serpih dan bilah sebarannya hampir merata
5

di semua gua yang ada di Kompleks Bellae, tetapi lancipan Maros (Maros point)

hanya ditemukan di Leang Bubbuka dan Leang Kajuara, sedangkan mikrolit

geometris hanya ditemukan di Leang Kajuara dan Leang Cammingkana. Lukisan

dinding yang terdapat di Bellae berupa lukisan figuratif dan non-figuratif. Lukisan

figuratif antara lain lukisan cap tangan yang berwarna merah dan gambar manusia

yang berwarna hitam (Supriadi, 2008:5).

Hingga saat ini, nuansa masyarakat tradisional masih tergambar di dalam

kawasan ini. Karakteristik masyarakat petani masih dapat dijumpai dalam kehidupan

sehari-hari. Kondisi ini masih mendukung integrasi lingkungan alam kars dan

kehidupan tradisional masyarakatnya. Hal tersebut dapat menjadi dukungan bagi

sistem pengembangan Kawasan Cagar Budaya berwawasan pelestarian. Maka dari

itu, diperlukan sebuah usaha untuk menjaga kelestariannya. Usaha yang dimaksud

adalah konservasi yang berbasis masyarakat. Dalam usaha ini, masyarakat dilibatkan

dan diberikan pengetahuan tentang cara mencegah dan mengatasi kerusakan

lingkungan yang berakibat pada penurunan kualitas lukisan dan kerusakan lukisan

sebagai akibat aktivitas manusia.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar (BPCB) yang lebih dikenal dengan

nama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3) adalah Instansi

pemerintah yang bertanggungjawab terhadap pelestarian dan peninggalan purbakala.

Kompleks Gua Prasejarah Bellae mulai dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya

Makassar dalam rangka pengembangannya, sekitar awal tahun 1990-an hingga

sekarang. Dalam usaha perlindungannya, beberapa kebijakan yang telah dilakukan


6

antara lain pembuatan pagar, pengangkatan juru pelihara, studi kelayakan, pemetaan,

dan pengukuran, studi teknis, pemintakatan (zoning), deliniasi, serta kajian sosial.

Berdasarkan penelusuran data pustaka yang dapat dilakukan diketahui bahwa

Kompleks Gua Prasejarah Bellae mulai diteliti sejak tahun 1977. Penelitian pertama

dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan berlanjut sampai sekarang.

Selain itu, lembaga lainnya yang secara sporadic telah melakukan hal serupa adalah

Balai Arkeologi Ujung Pandang yang sekarang berganti nama menjadi Balai

Arkeologi Makassar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, dan Jurusan

Arkeologi Universitas Hasanuddin. Dapat pula disebutkan beberapa peneliti yang

secara perorangan telah melakukan studi, baik untuk kepentingan pendidikan maupun

untuk kepentingan lain yang terkait, antara lain Driwantoro (1986), Ramli (1987),

Malessi (1987), Said (1988), Mustika (1990), Gafar (1991), Fakhriani (1991), Harun

(1992) Mulyadi (1993), Nasution (1994), Kosasih (1995, 1998), Sumantri (1996),

Syafrullah (2000), dan Samal (2001).

Kekayaan yang dimiliki kawasan ini perlu dijaga kelestariannya. Di sisi lain,

kawasan Bellae telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dan sebagai

kawasan konservasi cagar alam. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa upaya

pelestarian yang telah dilakukan, diharapkan kawasan ini akan tetap terjaga

kelestariannya. Namun, kenyataannya sampai saat ini kondisi gua-gua prasejarah

yang ada di kawasan ini terus mengalami kerusakan dan sebagian makin

mengkhawatirkan. Contoh, terjadinya kerusakan pada bagian lapisan batuan dinding

gua, pertumbuhan mikroorganisme pada bagian dinding gua dan lukisan dinding gua,
7

serta terjadinya kerusakan lingkungan berupa penebangan pohon-pohon di sekitar

gua, perluasan lahan pertanian, dan pemukiman akibat pertumbuhan masyarakat yang

semakin tinggi.

Beranjak dari kondisi tersebut maka perlu adanya upaya konservasi. Upaya

konservasi yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah, sebaiknya beralih

menjadi konservasi yang berbasis masyarakat. Dengan strategi tersebut, kondisi

kerusakan yang terjadi dan faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan dapat

diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mendorong masyarakat

untuk berpartisipasi menjaga kelestarian Cagar Budaya. Dalam pelaksanaannya,

wawasan konservasi berbasis masyarakat perlu diperhatikan karena masyarakat

merupakan subjek utama dan pengampu terdekat atau pemilik. Masyarakat sebagai

pemilik Cagar Budaya perlu diberi dorongan untuk menjaga kelestarian Cagar

Budaya.

Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki kandungan nilai penting yang sangat

tinggi, diantaranya yaitu nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, nilai

penting budaya yang sangat tinggi, hingga menjadikan kawasan ini sebagai

kebanggaan bangsa, masyarakat, serta berpotensi menjadi kebanggaan dunia (world

heritage site). Pemanfaatan sumberdaya budaya yang ada pada kawasan ini dapat

tetap terjaga dan terkendali sebaik-baiknya dengan pendekatan konservasi yang

berbasis pada masyarakat. Pendekatan ini merupakan bentuk tanggung jawab moral

masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya masyarakat Bellae, agar tetap menjaga

warisan nenek moyang yang ada pada wilayah tempat tinggal mereka, sehingga
8

generasi-generasi berikutnya masih dapat menikmati kekayaan sumberdaya budaya

yang ada di kawasan tersebut.

1.2 Permasalahan
Menurut Donald G. MacLeod 1977 dalam Tanudirjo 2005, usaha pelestarian

tidak akan berhasil tanpa melibatkan masyarkat setempat. Masyarakat adalah pihak

yang berdaulat dan memegang hak atas pelestarian sumberdaya Budaya (Tanudirjo,

2005:1). Upaya pelestarian yang selama ini dilakukan pada Kompleks Gua Prasejarah

Bellae masih dominan dilakukan oleh pemerintah, sehingga belum dapat mencapai

hasil yang maksimal. Berdasarkan kenyataan yang ada diketahui bahwa masyarakat

sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae sampai saat ini masih menggunakan gua-gua

prasejarah dan lahan-lahan di sekitarnya untuk melakukan berbagai aktivitas.

Gua tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat penyimpanan ternak,

jerami dan bahan-bahan hasil pertanian lainnya. Masyarakat setempat juga

memanfaatkan lahan di sekitar gua-gua prasejarah sebagai lahan pemukiman dan

pertanian. Perubahan dan pemanfaatan lahan pada kompleks ini merupakan gejala

yang normal, sesuai dengan perkembangan, pengembangan, dan pertambahan

masyarakat dalam satu wilayah. Namun, masyarakat secara tidak sadar dapat merusak

serta mengubah kondisi lingkungan asli kompleks gua prasejarah tersebut. Kondisi

tersebut terjadi karena tidak adanya ikatan dan rasa memiliki terhadap sumberdaya

arkeologis tersebut dengan masyarakat Bellae.


9

Masyarakat Bellae merupakan subjek utama yang hidup berdampingan dengan

objek penelitian. Namun, hingga saat ini mereka masih diposisikan sebagai aktor

pasif. Peranan masyarakat selama ini hanya sebatas penyedia rumah singgah

(basecamp), penunjuk jalan hingga pembawa barang/porter. Sampai saat ini,

masyarakat sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae belum mengetahui nilai penting

wilayahnya sendiri. Beruntung jika nilai-nilai kearifan lokal masih terpelihara dengan

baik. Namun, bagi masyarakat yang sudah lama hidup di lingkungan transkultural,

kearifan lokal mulai runtuh, dan justru akan merespon ancaman tersebut sebagai

kesempatan untuk mengubah hidup tanpa menyadari dampaknya di masa mendatang.

Maka dari itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang-

orang yang tinggal dalam wilayah Bellae, sedangkan stakeholder adalah pihak-pihak

yang memiliki kepentingan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

Berdasarkan hasil pemaparan di atas, muncul beberapa pertanyaan penelitian

yang menarik untuk dikaji yaitu:

1. Bagaimana kondisi kerusakan gua-gua prasejarah Bellae yang terjadi dari

tahun ke tahun dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya

kerusakan tersebut?

2. Bagaimana bentuk strategi konservasi berbasis masyarakat yang dapat

dilakukan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae?


10

1.3 Tujuan Penelitian


Tulisan ini bertujuan untuk membuat strategi pencegahan kerusakan gua–gua

prasejarah di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dengan melibatkan masyarakat

sebagai salah satu bagian dari stakeholder, sehingga dapat mencegah dan mengatasi

kerusakan yang terjadi selama ini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menciptakan kelestarian gua-gua prasejarah dan lingkungannya yang beriringan

dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.

1.4 Manfaat yang Diharapkan


Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya strategi

konservasi berbasis masyarakat yang dapat diterapkan dan direkomendasikan kepada

pemerintah sebagai penentu kebijakan dan lembaga non pemerintah dalam menjaga

kelestarian gua-gua prasejarah yang ada di Kompleks Bellae, serta dapat diterapkan

pada kawasan gua-gua prasejarah untuk wilayah di luar Sulawesi.

1.5 Keaslian Penelitian


Masalah berkenaan dengan pelestarian gua-gua prasejarah Maros-Pangkep, telah

dilakukan oleh Andi Muhammad Said pada tahun 2000, yang dituangkan dalam tesis

berjudul “Pemintakatan Arkeologi Suatu Upaya Pelestarian Kawasan Gua Prasejarah

Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan”. Kajian mengenai pemintakatan pada kawasan

Maros-Pangkep tersebut dilakukan terhadap 89 gua dengan menggunakan sistem blok

dan sel. Pemintakan yang dilakukan terhadap situs-situs gua prasejarah di kawasan

Maros-Pangkep tersebut menghasilkan penentuan batas wilayah yang terdiri atas


11

wilayah inti, wilayah penyangga, dan wilayah pengembangan dengan

mempertimbangkan karakter situs beserta lingkungannya (Said, 2000:133).

Pada tahun 2008 Supriadi juga melakukan penelitian pada kawasan gua

prasejarah Bellae, dengan judul “Pemanfaatan Kawasan Gua Prasejarah Bellae”.

Penelitian yang dilakukan ini fokus kepada pemanfaatan gua-gua. Selain itu, Kantor

Balai Konservasi Borobudur sebagai lembaga yang bergelut dalam bidang konservasi

telah melakukan kajian kerusakan lukisan dinding gua di kawasan kars Maros dan

Pangkep pada tahun 2008, 2009, dan 2011. Hasil dari kajian tersebut menunjukkan

bahwa kerusakan lukisan gua-gua prasejarah yang terjadi karena kerusakan

lingkungan baik secara mikro, makro maupun fisik.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada Kompleks situs Gua Prasejarah Bellae

menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang menyentuh tentang peran masyarakat

Bellae dalam menjaga kelestarian gua-gua prasejarah. Maka dari itu, perlu dilakukan

penelitian terfokus pada “Konservasi berbasis masyarakat sebagai suatu upaya

pencegahan kerusakan gua-gua prasejarah di Kompleks Bellae”. Disamping itu,

kompleks ini sangat rentan terhadap kerusakan.

1.6 Tinjauan Pustaka


Kompleks Gua Prasejarah Bellae dengan kekayaan tinggalan arkeologis yang

terdapat di dalamnya telah menarik minat beberapa peneliti dan instansi pemerintah

untuk melakukan penelitian. Penelitian pertama dilakukan oleh Dubel Driwantoro

pada tahun 1986 di Leang Kajuara. Hasil penelitiannya berhasil mengidentifikasi


12

bahwa gua tersebut adalah gua prasejarah dan layak dijadikan objek studi arkeologi.

Tahun 1987 Edward Malessi melakukan penelitian di Leang Lompoa dengan sasaran

penelitiannya ialah artefak yang terdapat pada gua tersebut, dan memastikan bahwa

gua tersebut merupakan gua prasejarah. Masih pada tahun yang sama, Muhammad

Ramli melakukan penelitian di Leang Sakapao. Hasil penelitiannya kemudian

menyimpulkan bahwa gua tersebut tidak pernah dijadikan sebagai tempat hunian,

tetapi sebagai tempat pemujaan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Said yang melakukan

penelitian dua kali di kawasan ini yakni pada tahun 1988 dan tahun 2000. Penelitian

pertama yang dilakukan oleh Said mencakup tiga gua di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae yakni, Leang Kassi, Leang Cammingkana, dan Leang Bubbuka.

Kesimpulannya ke-tiga gua tersebut merupakan gua hunian. Penelitian yang ke-dua

yakni pemintakatan gua-gua yang terdapat di Kabupaten Maros, dan Kabupaten

Pangkep, dan Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan salah satu wilayah yang

menjadi sasaran penelitiannya.

Pada tahun 1990, Sri Mustika melakukan penelitian di Leang Lompoa, Leang

Bubbuka, Leang Kassi, dan Leang Cammingkana. Hasil penelitian yang

menggunakan moluska sebagai data penelitian menyimpulkan bahwa ke-empat gua

tersebut merupakan gua hunian. Ipak Fahriani kemudian melakukan penelitian pada

tahun 1991 di Leang Sakapao, Leang Bubbuka, Leang Caddia, dan Leang

Cammingkana. Penelitian yang dilakukan oleh Ipak Fahriani untuk melihat interaksi

manusia prasejarah dengan lingkungannya. Tahun 1992, tim peneliti Jurusan


13

Arkeologi Universitas Hasanuddin (UNHAS) melakukan penelitian di Kompleks Gua

Prasejarah Bellae. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Unhas hanya untuk

melihat gua-gua yang kemungkinan besar dijadikan sebagai gua hunian oleh manusia

prasejarah.

Nur Mulyadi melakukan penelitian pada tahun 1993 dengan fokus penelitian di

Leang Lompoa, Leang Kassi, Leang Cammingkana, Leang Sakapao, dan Leang

Sapiria. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan tipe-tipe gua hunian. Dalam

penelitian tersebut, gua hunian selalu ditandai oleh adanya artefak batu, lukisan

dinding, dan sisa-sisa makanan. Iwan Sumantri mulai melakukan penelitian yang

mencakup keseluruhan gua yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

Penelitian yang dilakukan oleh Sumantri berhasil mengungkap pola pemukiman gua

prasejarah di Sulawesi Selatan dengan melihat pola pemukiman di Kompleks Gua

Prasejarah Bellae.

Lukisan dinding gua pada kompleks gua prasejarah Bellae banyak menarik

perhatian kalangan peneliti. Penelitian mengenai lukisan dinding gua pertama kali

dilakukan oleh Idamgafar pada tahun 1991. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui makna lukisan. Idamgafar secara umum menyimpulkan makna lukisan

berkaitan dengan aspek religis. Nasution pada tahun 1994 melakukan penelitian di

Kecamatan Minasatene, hasil penelitiannya mengatakan bahwa gambar cadas yang

berbentuk fauna pada dasarnya mewakili beberapa jenis fauna purba yang pernah

hidup dalam kawasan Maros-Pangkep (Fauna Toala), khususnya fauna purba yang

hidup pada Kala Holosen awal.


14

Penelitian yang dilakukan oleh Citra Andari tahun 1996 mengkaji tehnik

pembuatan lukisan dengan menggunakan experimental archaeology. Tahun 2005

Linda melakukan penelitian dengan judul Pola penempatan motif lukisan dinding gua

yang terdapat di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, hasil penelitian ini ialah

mengetahui kecenderungan pendukung lukisan dinding gua di kawasan Maros-

Pangkep dalam memilih dan menempatkan motif lukisan dinding gua yang dikaitkan

dengan makna serta lingkungannya. Tahun 2010 Fardi AR juga melakukan penelitian

dalam rangka penulisan skripsi, yaitu dengan mengkaji keberadaan lukisan perahu

pada beberapa gua prasejarah dalam kawasan Maros-Pangkep. Hasil dari penelitian

tersebut menyatakan bahwa Perahu adalah peralatan yang berkaitan dengan bentuk

subsitensi yang berlangsung dalam lingkungan perairan, dan dapat dikatakan sebagai

indikator kemajuan stategi adaptasi yang dijalankan oleh manusia pendukung

kebudayaan prasejarah. Selain dapat mengungkap mengenai bentuk perahu yang

pernah digunakan, keberadaan gambar cadas ini juga digunakan untuk menentukan

aspek temporal kapan bentuk aktivitas tersebut berlangsung. Tentunya dengan

disertai metode analisis pertanggalan yang valid pada gambar yang dimaksud.

Tahun 2012 Hamrullah juga melakukan penelitian dengan mencoba mengkaji

tentang pola lukisan yang ada di gua prasejarah Maros-Pangkep. Pengkajian yang

dilakukan pada penelitian ini antara lain pertama, menyangkut dengan kondisi

lingkungan dengan melakukan klasifikasi bentuk lukisan yang ada di gua prasejarah

tersebut. Lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelekatan gua pada

daerah pesisir, daerah tengah (antara pesisir dan pedalaman), dan daerah pedalaman.
15

Pengkajian yang kedua, menyangkut pembuatan peta pola sebaran lukisan dengan

menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil dari pengolahan data

lukisan menyimpulkan bahwa di antara sekian banyak lukisan di gua prasejarah,

lukisan cap tangan tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan karena dominan

ditemukan pada gua daerah pesisir, daerah tengah (antara pesisir dan pedalaman), dan

daerah pedalaman. Lukisan lain seperti fauna (ikan), perahu, manusia, dan geometris

(garis) dilihat dari hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa lukisan tersebut

dominan berada di gua daerah pesisir, sedangkan lukisan babi rusa berada di gua

daerah tengah (antara pesisir dan pedalaman), dan daerah pedalaman.

Selain penelitian yang dilakukan secara perorangan, penelitian pada kompleks

gua prasejarah ini juga dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar

berupa Studi Kelayakan yang meliputi pengumpulan data arkeologi secara

menyeluruh pada gua-gua di kompleks Bellae. Hal ini bertujuan untuk merekam data

arkeologi yang masih ada dan menentukan hasil kegiatan masa prasejarah yang dapat

diselamatkan, serta dijadikan salah satu wilayah situs cagar budaya di Sulawesi

Selatan. Data ini kemudian yang dijadikan acuan untuk menentukan layak tidaknya

kawasan gua prasejarah Bellae dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip

pelestarian, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk untuk berbagai kepentingan

seperti pendidikan dan wisata (Timbul, 1999: 3).

Pemetaan dan Pengukuran dilaksanakan pada tahun 2001 dengan maksud

merekam data keletakan situs serta pengukuran luas lokasi masing-masing situs.

Kegiatan ini mencakup perekaman terhadap situasi sekitar dan letak geografis situs.
16

Hasil dari pengukuran yang digambarkan dalam bentuk peta situasi akan

dimanfaatkan untuk kepentingan yang berhubungan dengan upaya perlindungan dan

pelestarian benda cagar budaya yang berada di Bellae (Timbul, 2001: 3).

Studi teknis dilakukan karena kawasan gua prasejarah Bellae memiliki potensi

arkeologi, potensi kars serta kondisi lingkungan fisik yang masih alami. Studi teknis

yang dilakukan ini meliputi tiga aspek pokok yaitu, pelestarian tinggalan budaya,

pengembangan lingkungan, dan pengembangan penduduk. Maksud dan tujuan dari

kegiatan studi teknis ini adalah menentukan arah kebijakan, baik dalam pelestarian

tinggalan budaya, pengembangan lingkungan, maupun pemberdayaan masyarakat di

kompleks gua prasejarah Bellae sebagai objek wisata terpadu (Agustono 2007: 1-3) .

Pemintakatan dilakukan pada tahun 2007 dengan tujuan mengamankan,

melindungi, dan mencegah terjadinya kerusakan sekaligus mendukung

pengembangan dan pemanfaatan situs beserta isi dan linkungannya. Hasil yang

diharap dari pelaksanaan pemintakatan ini adalah adanya penetapan batas-batas

mintakat yang terdiri dari mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat

pengembangan. Selain itu, pemintakatan (zoning) yang dilakukan terhadap Kompleks

Situs Gua-gua Prasejarah Bellae bertujuan untuk menetapkan ketentuan yang

mengatur perlakuan situs beserta lingkungan keruangannya dalam rangka

pemanfaatan dengan tetap berpedoman pada prinsip pelestarian. Dengan demikian,

diharapkan situs-situs tersebut dapat dimanfaatkan secara nyata dan berkelanjutan

untuk berbagai kepentingan, terutama pada lingkungan keruangan untuk

meminimalisir gangguan yang dapat merusak bahkan memusnahkan berbagai


17

tinggalan arkeologis maupun nilai-nilai yang dikandungnya. Usaha pengaturan ini

merupakan wujud kompromi antara kepentingan pelestarian di satu sisi dan

kepentingan ekonomi pada sisi yang lain (Alimuddin, 2007: 54).

Pada tahun 2011 BPCB Makassar kembali melakukan delineasi serta kajian

sosial budaya. Delineasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam

rangka menentukan batas-batas areal/wilayah cagar budaya untuk kepentingan

tertentu yang terdapat dalam suatu kawasan tertentu pula. Batas-batas ditentukan

berdasarkan tema tertentu, dan melokalisir areal yang dibutuhkan untuk menyatakan

eksistensi kepentingan tersebut. Pertimbangannya adalah dukungan keruangan untuk

tema kepentingan dan dikaitkan dengan kepentingan lain di kawasan tersebut.

Dengan demikian akan terbentuk tata keruangan yang mengakomodir dari berbagai

kepentingan yang tidak saling tumpang tindih, bahkan justru saling mendukung

(Ramli, 2011: 23). Hasil delineasi yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kawasan

Pangkep terdiri dari sub-kawasan Bulu Sippong, sub-kawasan Balocci, sub-kawasan

Bellae, sub-kawasan Siloro, sub-kawasan Leangnge, sub-kawasan Labbakang, sub-

kawasan Biring Ere dan satuan-satuan situs yang berdiri sendiri yaitu Leang Nippong,

Leang Pising-pising dan Leang Kahu.

Di tahun yang sama BPCB Makassar juga melakukan kajian sosial budaya di

kawasan yang sama. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman baik berupa

kehidupan sosial budaya masyarakat maupun karakteristik dari masyarakat yang

bermukim di kawasan karst gua-gua prasejarah, sehingga memberikan pemahaman


18

tetang bagaimana masyarakat sekitar memperlakukan dan memahami keberadaan gua

prasejarah yang ada di wilayah tempat mereka bermukim.

Pada tahun 2008, 2009, dan 2011 Yudi Suhartono dkk yang merupakan staf dari

Kantor Balai Konservasi Borobudur, melakukan penelitian berupa studi konservasi

pada kawasan kars Maros-Pangkep. Hasil studi tahap pertama (2008) menunjukkan

bahwa: (1) kondisi lukisan dinding gua telah banyak mengalami kerusakan berupa

pudar/lunturnya bahan/cat yang digunakan, terjadinya pengelupasan pada bagian

permukaan batuan, tumbuhnya ganggang di permukaan lukisan; (2) Berdasarkan hasil

analisis, kerusakan lukisan dinding disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya

adalah pelapukan fisik (mekanik) dan pelapukan kimia; (3) Hasil evaluasi terhadap

konservasi yang pernah dilakukan pada tahun 1985 dan 1986, memperlihatkan bahwa

konservasi menggunakan bahan kimia menyebabkan kondisi lukisan yang

dikonservasi mengalami perubahan, sehingga dapat mengurangi nilai arkeologis dari

lukisan tersebut. Untuk itu, konservasi menggunakan bahan kimia dapat dikurangi

seminimal mungkin, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya

arkeologi; (4) Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap bahan lukisan dinding gua

prasejarah, menunjukkan bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan tidak

murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi; (5)

Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa bahan campuran hematite yang berasal

dari bahan organik yang efektif dan hasilnya relatif paling baik di antara delapan

sampel adalah menggunakan estraks tumbuhan, dalam uji ini menggunakan daun

sirih dan buah pinang.


19

Hasil studi tahap kedua (2009) meliputi empat hal yaitu pertama, kerusakan

lukisan yang letaknya dekat mulut gua dan lingkungannya terbuka cenderung lebih

besar daripada lukisan yang letaknya tersembunyi dan terlindungi oleh pepohonan.

Kedua, data Curah Hujan (1990 – 2008) menunjukkan bahwa terjadi penurunan

curah hujan dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan penyinaran matahari makin

intensif ke bumi, sehingga menyebabkan sinar matahari lebih banyak masuk ke dalam

gua. Intensitas masuknya sinar juga semakin besar ke dalam gua dengan

berkurangnya pepohonan di sekitar mulut gua. Ketiga, berdasarkan hasil analisis,

kerusakan lukisan dinding disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah

pelapukan kimia, pelapukan fisik, dan pelapukan biologi. Keempat, dalam upaya

mengantisipasi kerusakan lukisan gua, perlu dilakukan penghijauan di sekitar

lingkungan gua. Selain itu, juga perlu dilakukan kegiatan monitoring digital secara

periodik, yang bertujuan untuk memantau perkembangan kerusakan dan pelapukan

lukisan gua dari tahun ke tahun, dan merupakan dasar dalam melakukan tindakan

konservasi.

Hasil studi tahap ketiga (2011) menunjukkan bahwa terdapat tiga penyebab

terjadinya kerusakan lukisan dinding gua. Pertama, kerusakan lukisan dinding gua

diakibatkan oleh adanya kontak dengan atmosfer yang berbeda secara signifikan pada

musim hujan dan kemarau. Kerusakan yang terjadi berupa aliran air yang

mengandung garam terlarut melewati lukisan. kedua, untuk memperlambat kerusakan

lukisan dinding gua, perlu dilakukan upaya-upaya penanganan meliputi konsolidasi

lukisan dinding gua, penanganan terhadap mikroorganisme dan konservasi


20

lingkungan. ketiga, dari hasil uji laboratorium yang telah dilakukan terhadap bahan

lukisan dinding gua, diketahui bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan

tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi.

1.7 Landasan Teori

Pelestarian lingkungan hidup menjadi bahan perbincangan sekitar tiga dasawarsa

lalu, memberikan dampak munculnya gerakan arkeologi yang memfokuskan

perhatiannya pada pelestarian (konservasi). Hal tersebut ditandai dengan munculnya

kesadaran para pakar arkeologi bahwa sumberdaya budaya tidak dapat diperbaharui

(unreniable) dan merupakan milik masyarakat luas. Dalam pergolakan ini semua

kegiatan yang berkaitan dengan sumberdaya budaya, baik penelitian, pelestarian dan

pemanfaatannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas (McGimsey dan

Davis, 1977; Mcleod, 1997; Cleere, 1990).

Manajemen sumberdaya arkeologi (archaeological resources management atau

ARM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk mencapai tujuan

tertentu yaitu pelestarian dan pemanfaatan (Atmosudiro, 2004:1). Kata pelestarian

mendahului kata pemanfaatan didasarkan pada alasan bahwa sifat dari sumberdaya

arkeologi yang rapuh, lapuk dan mudah rusak karena sudah melalui perjalanan waktu

yang lama. Namun sebelum melakukan pelestarian dan pemanfaatan terlebih dahulu

harus dilakukan penelitian. Penelitian yang dimaksud yaitu baik pada bidang

arkeologi murni maupun bidang manajemen sumberdaya arkeologi merupakan


21

sebuah tahapan yang sangat penting dan utama karena dari sinilah kebijakan

mengenai pelestarian dan pemanfaatan mengambil sebuah inspirasi.

Penelitian dalam bidang manajemen sumberdaya arkeologi merupakan penelitian

yang menghasilkan suatu penjelasan tentang pentingnya aspek pelestarian dan

pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Upaya pelestarian sumberdaya budaya

merupakan salah satu wujud apresiasi terhadap tinggalan nenek moyang kita.

Pelestarian tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan hidup kita sekarang, setidaknya

ada empat aspek utama dalam sebuah warisan sumberdaya budaya yang kemudian

disebarluaskan kepada masyarakat umum, yaitu sebagai benda seni, aspek ekonomi,

sumber ilmu pengetahuan dan nilai sosial (Price, 1990).

Donald G. MacLeod dalam Tanudirdjo (2005) mengatakan bahwa upaya

pelestarian sumberdaya arkeologi tidak akan maksimal apabila tidak melibatkan

akademisi, pemerintah dan masyarakat. Mengingat bahwa akademisi memiliki

kekuatan dalam melakukan kajian ilmiah dan mengungkap hubungan-hubungan

sumberdaya arkeologi dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan.

Pemerintah memiliki kekuasaan dan dana untuk melaksanakan pelestarian

sumberdaya arkeologi, sedangkan masyarakat memiliki peranan besar dalam

pelestarian sumberdaya arkeologi (Tanudirdjo, 2005: 1). Oleh karena itu, sudah

seharusnya keberadaan sumberdaya arkeologi dapat mewujudkan bentuk solidaritas

sosial dan integrasi dalam suatu masyarakat, sehingga menciptakan adanya rasa

saling memiliki dan melestarikan. Peranan masyarakat menjadi unsur yang sangat

penting dalam pelestarian sumberdaya arkeologi, karena masyarakat merupakan


22

bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya pelestarian dan pengelolaan

sumberdaya arkeologi.

Penelitian dan penulisan tesis ini akan meminjam dan menggunakan konsep

Patrizia dan Nijkam yang diterapkan dalam konservasi kawasan Cagar Budaya.

Patrizia dan Nijkam (2004) menawarkan adanya keseimbangan antara pembangunan

dan konservasi Cagar Budaya, serta perlu adanya strategi dan pendekatan untuk

menyeimbangkan berbagai kepentingan. Langkah-langkah dalam melakukan

konservasi kawasan Cagar Budaya adalah:

1. Mengidentifikasi situs-situs cagar budaya dalam suatu kawasan yang bernilai/

berharga untuk dilindungi.

2. Community based conservation yaitu mendidik masyarakat untuk mengenal

ancaman terhadap warisan budaya dan perlunya melakukan preservasi

(pelindungan) terhadap warisan budaya tersebut.

3. Institusi yang perlu dilibatkan adalah berbagai agen atau jajaran pemerintah di

tingkat lokal, sampai Negara, sejak dari identifikasi situs, memahami tujuan

konservasi, negosiasi dengan pemilik lahan atau warisan budaya, kompensasi bagi

pemilik lahan.

Langkah pertama sudah dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya

Makassar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya akan dilakukan langkah kedua

dan ketiga, dengan alasan bahwa penelitian ini hanya menyajikan kerangka

konseptual tentang konservasi berbasis masyarakat. Dalam penelitian ini data


23

mengenai identifikasi dan dokumentasi serta nilai penting yang ada pada Cagar

Budaya di kawasan Bellae akan menggunakan data dari BPCB Makassar. Namun,

untuk dokumentasi kondisi sekarang akan tetap dilakukan.

Konsep yang akan digunakan ini sesuai dengan tren perkembangan konservasi

saat ini, salah satunya adalah pelibatan masyarakat (Community Involvement).

Pelibatan masyarakat sebelumnya menjadi kebijakan UNESCO terhadap situs-situs

warisan dunia. Pertimbangan yang digunakan adalah bahwa warisan dunia

dilestarikan untuk jangka waktu selama mungkin dan diwariskan kepada generasi

yang akan datang. Dengan melibatkan masyarakat, maka pelestarian akan terjamin

sampai dengan masa yang akan datang. Tetapi, jika disandarkan kepada pemerintah

saja, bisa terjadi pergantian kebijakan politik yang tidak lagi berpihak kepada

pelestarian. Hal ini terjadi karena pemerintah mungkin mengalami pergantian cara

pandang dan kebijakan politik yang tidak selalu menguntungkan pelestarian,

sedangkan masyarakat apabila sudah memiliki keterikatan emosional dengan Cagar

Budaya akan terus peduli hingga generasi selanjutnya (Cahyandaru, 2010: 17).

Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa masyarakat adalah elemen yang

sangat penting dalam upaya pelestarian Cagar Budaya. Hal ini mengarahkan sebuah

upaya pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian yang di dalamnya terkandung

prinsip-prinsip perencanaan, seperti pendekatan sistem untuk mengembangkan

interaksi sinergi antar stakeholder. Pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang

sedang trend dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep


24

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini menurut

Chambers (1995 lihat juga Wibowo, dkk, 2003: 6) mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yaitu yang bersifat“people-centered, participatory, empowering, dan

sustainable”. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian Cagar Budaya

adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang

tinggal di sekitar cagar budaya. Pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan

masyarakat melalui upaya-upaya pelestarian Cagar Budaya. Dalam upaya

pemberdayaan masyarakat ada hal utama yang harus dilakukan adalah menciptakan

suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya pada

pengenalan bahwa setiap manusia, masyarakat memiliki potensi yang dapat

dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya yang tepat

untuk mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya itu harus

diikuti dengan memperkuat potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam

rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif. Perkuatan ini meliputi langkah-

langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta

pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunieties) yang akan membuat

masyarakat menjadi makin berdaya. Pemberdayaan ini bukan hanya meliputi

penguatan individu masyarakat, tetapi juga pranata-pranata. Menanamkan nilai-nilai

budaya seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab yang merupakan

bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Hal tersebut harus didukung dengan

pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasian ke dalam kegiatan


25

pelestarian Cagar Budaya serta peranan masyarakat di dalamnya. Peningkatan

partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan setiap upaya yang akan

dilakukan merupakan unsur yang penting.

Konsep ini memiliki cakupan yang lebih luas, tidak hanya semata-mata untuk

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk

mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safetynet), yang pemikirannya belakangan

ini lebih banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-

konsep pertumbuhan ekonomi. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan

praktisi untuk mencari hal-hal yang antara lain oleh Friedman (1992 dalam Wibowo,

dkk, 2003: 7) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive

democracy, appropriate economic growth, gender equality, and intergenerational

equity”.

1.8 Metode Penelitian


Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data dengan sebanyak-banyaknya

yang terkait dengan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah dilakukan, jenis

kerusakan lukisan dan peran stakeholder. Stakeholder yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah individu/perorangan atau kelompok yang berkepentingan dengan

pengelolaan dan pelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae, baik yang terkait

secara langsung maupun yang tidak langsung.


26

1) Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui tiga cara yaitu studi pustaka,

observasi, wawancara dan Fokus Group Discussion (FGD).

a) Studi pustaka yang dimaksudkan adalah penelusuran dan mendapatkan data serta

informasi dari berbagai sumber baik berupa laporan, buku, makalah, tesis, skripsi,

dan artikel-artikel baik dari sumber internet maupun sumber lainnya ada kaitannya

dengan penelitian yang dilakukan.

b) Observasi atau pengamatan dilakukan dengan melakukan pengamatan pada

Kawasan Gua-Gua Prasejarah Bellae, dan mengumpulkan semua data yang

berkaitan dengan keterancaman Kawasan dan Gua-guanya. Pengamatan baik

berupa aktivitas penduduk, pengujung, kondisi gua dan lingkungannya. Obesrvasi

ini dilakukan dengan membuat catatan, memotret dan menentukan waktu serta

tempat untuk pelaksanaan Fokus Group Discussion (FGD).

c) Wawancara dilaksanakan untuk mendapatkan data yang belum terhimpun dalam

pengamatan. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, cenderung tidak

formal, bersifat mendalam, dan dapat dikembangkan oleh peneliti sendiri.

Wawancara ini dilakukan terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan

Bellae, pengunjung, dan instansi yang memiliki keterkaitan dan hubungan dengan

lokasi dan masalah penelitian. Instansi yang dimaksud yaitu terdiri dari Balai

Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Balai Arkeologi Makassar, Akademisi

(arkeologi Universitas Hasanuddin), Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,


27

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Kehutanan

Kabupaten Pangkep, kelompok pecinta alam (Edelweis), dan perangkat desa.

d) Focus Group Discussion (FGD). FGD pada dasarnya merupakan satu alternatif

yang penting dalam sebuah kajian yang bersifat kualitatif. Ada beberapa tujuan

penting FGD yaitu (1) menyerap beberapa informasi (pengetahuan, pandangan,

dan sikap/respon) dari sejumlah orang (yang menjadi partisipan) di suatu tempat,

dalam suatu waktu, dan untuk suatu acara yang telah dirancang; (2) informasi itu

diharapkan sangat bervariasi sehingga menjadi pengkayaan bagi para pengkaji,

dan (3) di antara partisipan bukan saja bisa menyampaikan tetapi juga bisa

mengkritisi pandangan, sikap, dan pengetahuan partisipan lain secara

argumentatif. Data yang diperoleh dari hasil studi pustaka, observasi lapangan,

wawancara dan FGD akan diolah dalam bentuk narasi dan tabel.

2) Analisis Data
Analisis data meliputi analisis faktor-faktor penyebab kerusakan dan

kepentingan stakeholder. Pada analisis dilakukan identifikasi faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya kerusakan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, baik

faktor alam maupun faktor manusia. Faktor alam mengacu pada hasil analisis

klimatologi yang telah dilakukan dan faktor manusia meliputi aktivitas para

stakeholder.

Stakeholder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu/perorangan

atau kelompok yang berkepentingan dengan pelestarian Kompleks Gua Prasejarah


28

Bellae, yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Dalam analisis

stakeholder hal utama yang dilakukan adalah melakukan identifikasi beragam

individu/perorangan, kelompok dan institusi yang terkait dengan kelestarian dan

pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Stakeholder yang telah

diidentifikasi kemudian diklasifikasi berdasarkan posisi, kepentingan, dan

kebutuhannya. Stakeholder yang memiliki posisi, kepentingan, dan kebutuhan

yang sama sebagai instansi yang memiliki wewenang terhadap pelestarian

Kompleks Bellae yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung (TN. BABUL), Dinas Kehutanan Kabupaten Pangkep,

dan Pemerintah Setempat (Kelurahan). Stakeholder yang memiliki posisi,

kepentingan, dan kebutuhan untuk pemanfaatan yaitu lembaga peneliti seperti

Balai Arkeologi Makassar (BALAR) dan akademisi (Arkeologi UNHAS), Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan Kabupaten

Pangkep, Pecinta alam (Edelweis), masyarakat lokal, dan pengunjung.

3) Perumusan Bentuk konservasi yang Berbasis Masyarakat


Tahapan terakhir adalah perumusan bentuk keterlibatan masyarakat dalam

kegiatan konservasi. Berdasarkan perolehan data tentang apresiasi dan posisi,

kepentingan dan keinginan masyarakat, maka dapat dirumuskan bentuk

konservasi berbasis masyarakat yang mengedepankan masyarakat sebagai

pemangku kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai