Anda di halaman 1dari 36

Program Penanggulangan Tuberculosis Paru

Blok 26 : Ilmu Kedokteran Komunitas


William Prima Christian Kiko
10-2011-407
B6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 6 Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11470
Email: primanike@yahoo.com

Pendahuluan
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah.
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosa. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang
sedang batuk, bersin, yang kemudian terjadi droplet. Seseorang penderita TBC akan
mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia, penurunan berat-badan,
haid tidak teratur pada wanita, demam sub febris dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan, malam batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai darah, nafas bunyi crakles
(gemercik), Wheezing (mengi), keringat banyak malam hari dan kedinginan.1
Program pemberantasan dan penanggulangan masalah Tuberkulosis telah dilakukan,
pemerintah telah berupaya keras memenuhi sarana dan prasarana seperti sarana diagnosa,
sarana pengobatan, dan sarana pengawasan serta pengendalian pengobatan. Sejak tahun 1994
Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, shortcourse)
melalui pola operasional baru, dengan membentuk kelompok puskesmas pelaksana (KPP)
dan puskesmas pelaksana mandiri (PPM) meskipun demikian penderita TB tetap meningkat
dan cakupan pengobatan masih rendah.2
Skenario
Bapak M (45 tahun) memiliki seorang istri (43 tahun) dan 5 orang anak yang masing-
masing A (perempuan) 25 tahun, S (perempuan) 23 tahun, As (laki-laki) 20 tahun, Rs (laki-
laki) 10 tahun, R (perempuan) 5 tahun. Istri bapak M mendapatkan pengobatan TBC dan
sudah berjalan 3 bulan. Anak perempuannya, R saat ini sedang batuk-batuk sudah 3 minggu
tidak kunjung reda. Riwayat penurunan berat badan dan keringat malam juga ada. Berat
badan 12kg, skar BCG +. Karena tidak tahu dan tidak punya cukup uang, anak R hanya
diberi jamu-jamuan dan obat warung. Keluarga bapak M tinggal di sebidang rumah 4x11

1
meter di pemukiman padat penduduk.

Riwayat alamiah penyakit


Etiologi
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycrobacterium tuberculocis, yang masih keluarga besar genus Mycrobacterium. Dari
anggota keluarga Mycrobacterium yang diperkirakan lebih dari 30, hanya 3 yang dikenal
bermasalah dengan kesehatan masyarakat. Mereka adalah Mycrobacterium
tuberculocis, M.bovis yang terdapat pada susu sapi yang tidak dimasak, dan M.leprae yang
menyebabkan penyakit kusta. Mycrobacterium tuberculocis berbentuk batang, berukuran
panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga
disebut dengan Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak
dan lipid yang membuat lebih tahan asam. Bisa hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah
bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen terutama pada bagian apical posterior
paru-paru.1,2,3
Epidemiologi
Dalam hal mempertimbangkan kepekaan seseorang terhadap tuberkulosis, ada dua
faktor yang harus dipikirkan.
Pertama, adalah resiko mendapatkan infeksi dan yang lain adalah resiko timbulnya
penyakit klinik sesudah infeksi terjadi. Resiko mendapatkan infeksi dan timbulnya penyakit
klinik tergantung dari adanya infeksi di dalam masyarakat, kepadatan penduduk, keadaan
sosial dari populasi tersebut dari tidak tepatnya perawatan medis. Sumber penularan adalah
penderita tuberkulosis BTA positif yang dapat menularkan kepada orang yang berada di
sekelilingnya, terutama kontak erat. Resiko penularan setiap tahun (annual risk of
tuberculosis infection: ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%.
Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
tuberculosis hanya 10% yang akan terinfeksi. Hal ini dipengaruhi daya tahan tubuh yang
rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.4
WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia, kurang lebih sejumlah 2
bilyun orang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia
Tenggara, Cina, India dan Amerika Latin.3 Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati
urutan nomor tiga setelah india dan cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia,
menurut teori apabila tidak diobati, tiap satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan

2
pada sekitar 10 sampai 15 orang dan cara penularannya dipengaruhi berbagai factor.
Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress nutrisi jelek,
penuh sesak, perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan perpindahan tempat.3
Pada orang dewasa dua pertiga kasus terjadi pada laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi
tuberculosis pada wanita di masa anak-anak. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat padanya. Orang dewasa
yang terinfeksi virus HIV dengan tuberculosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis
ke anak, beberapa darinya berkembang penyakit tuberculosis, dan anak dengan infeksi HIV
bertambah resiko berkembang tuberculosis sesudah infeksi.
Cara Penularan
Dewasa ini wawasan mengenai diagnosis, gejala, pengobatan dan pencegahan TBC
sebagai suatu penyakit infeksi menular terus berkembang. Sejalan dengan itu, maka perlu
dipelajari faktor-faktor penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan perjalanan
alamiah.4
1. Periode Prepatogenesis
a. Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
Mycobacterium tuberculosis bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika
dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Pada
Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat
tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan
kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah
penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat
baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi.
Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi
kongenital yang jarang terjadi.4
b. Faktor Lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan
prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting
pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara
TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan,
lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan
industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi

3
tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat
juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan
biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang
terinfeksi adalah berbahaya.
c. Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak
kejadian dan kematian :
Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada
wanita
Puncak sedang pada usia lanjut
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku
pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau
tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa
muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak
lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi
secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi
keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga.
Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak
timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum,
tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga
berkepentingan besar.
2. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)
Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian
berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis.
Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent, Host dan
Lingkungan.
Penderita TB BTA positif merupakan sumber terjadinya penularan. Ketika batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama

4
beberapa jam. Jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, maka orang
tersebut akan terinfeksi. Selama kuman tersebut masuk dalam tubuh melalui saluran
pernafasan, ia dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya.
Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, semakin tinggi
penularan penderita tersebut. Jika hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.4,5
Puskesmas
Puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta
masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.7
Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung-jawab atas pemeliharaan kesehatan
masyarakat dalam wilayah kerjanya.

1. Wilayah Puskesmas8

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor
kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Sasaran
penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap
Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu
ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas
Pembantu dan Puskesmas Keliling.
2. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh8

Pelayanan Kesehatan yang diberikan di Puskesmas ialah pelayanan kesehatan yang


meliputi pelayanan:
 kuratif (pengobatan).
 preventif (upaya pencegahan).
 promotif (peningkatan kesehatan).
 rehabilitatif (pemulihan kesehatan)
3. Pelayanan Kesehatan Integrasi (terpadu)

Sebelum ada Puskesmas, pelayanan kesehatan di dalam satu kecamatan terdiri dari Balai
Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha Hygiene Sanitasi Lingkungan,

5
Pemberantasan Penyakit Menular dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut masing-
masing bekerja sendiri dan langsung melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan.
Dengan adanya sistem pelayanan kesehatan melalui Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), maka berbagai kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan bersama di bawah
satu koordinasi dan satu pimpinan.8
4. Upaya kesehatan puskesmas

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas, yakni terwujudnya


Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, puskesmas bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang
keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni:8
a) Upaya Kesehatan Wajib

Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan


komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi
untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus
diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya
kesehatan wajib tersebut adalah:9
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan kesehatan
untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada seseorang pasien dilakukan
oleh seorang dokter secara ilmiah berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama
anamnesis dan pemeriksaan.
2. Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang diarahkan
untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal melalui kegiatan
penyuluhan (induvidu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB di Puskesmas
yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada PUS (Pasangan Usia Subur) untuk
ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan bayi dan balita.
4. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular yaitu program
pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular penyakit
menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta).
5. Kesehatan Lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas
untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya sanitasi dasar,
pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum termasuk pengendalian pencemaran
lingkungan dengan peningkatan peran serta masyarakat.

6
6. Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan, perbaikan gizi
masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan
Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih, Peningkatan Survailans Gizi, dan
Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.9
b) Upaya Kesehatan Pengembangan

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan


berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang
disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih
dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni:9
 Upaya Kesehatan Sekolah.
 Upaya Kesehatan Olah Raga.
 Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat .
 Upaya Kesehatan Kerja.
 Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut.
 Upaya Kesehatan Jiwa.
 Upaya Kesehatan Mata.
 Upaya Kesehatan Usia Lanjut .
 Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional

Pedoman Nasional Pemberantasan TB Paru


Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB, kemitraan
global dalam penanggulangan TB mengembangkan strategi sebagai berikut: 10
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintahmaupun swasta
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset

Adapun kegiatan P2TB dilaksanakan dengan cara penemuan dan pengobatan pasien,
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, peningkatan SDM (pelatihan, supervisi), penelitian,
promosi kesehatan, dan kemitraan dengan lintas sector.

Tujuan dan Target


Tujuan P2TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance
(MDR),sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.

7
Kebijakan
a. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana)
b. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
c. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegahterjadinya MDR-TB
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh
Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan
swasta, Rumah Sakit Paru(RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik
Pengobatanlain serta Dokter Praktek Swasta (DPS)
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerjasama dan
kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam
wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB)
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu pelayanan dan jejaring
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikankepada pasien secara
cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya
i. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yangmemadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
j. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dankelompok rentan
terhadap TB
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development
Goals (MDGs)

Strategi
a. Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan
sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas
b. Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara
bertahap dan sistematis
c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melaluikegiatan advokasi,
komunikasi dan mobilisasi social
d. Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber
daya.

8
e. Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan
evaluasi yang berkesinambungan

Pendekatan Kedokteran Keluarga


Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan
primer yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan
diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis
penyakitnya.5
Sistem pelayanan dokter keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) yang perlu diatur dalam Undang-undang. Disinilah sesungguhnya
tumbuh kembangnya "the five stars doctors", sebagai "the agent of change", yang
berkemampuan dan berfungsi sebagai "care provider" (sebagai bagian dari kelurga, sebagai
pelaksana pealyanan kedokteran komprehensif, terpadu, berkesinambungan, pada pelayanan
dokter tingkat pertama; sebagai pelapis menuju ke pelayanan kedokteran tingkat kedua),
sebagai "decicion maker" (sebagai penentu pada setiap tindakan kedokteran, dengan
memperhatikan semua kondisi yang ikut mempengaruhinya), sebagai "communicator"
(sebagai pendidik, penyuluh, teman, mediator dan sebagai penasehat keluarga dalam banyak
hal dan masalah: gizi, narkoba, keluarga berencana, seks, HIV, AIDS, sters, kebersihan, pola
hidup sehat, olah raga, olah jiwa, kesehatan lingkungan), sebagai "community leader"
(membantu mengambil keputusan dalan ikhwal kemasyarakatan, utamanya kesehatan dan
kedokteran keluarga, sebagai pemantau, penelaah ikhwal kesehatan dan kedokteran
keluarga), dan sebagai "manager" (berkemampuan untuk berkolaborasi dalam kemitraan,
dalam ikhwal penanganan kesehatan dan kedokteran keluarga).
Five star doctor merupakan profil dokter ideal yang memiliki kemampuan untuk
melakukan serangkaian pelayanan kesehatan untuk memenuhi kualitas, kebutuhan, efektifitas
biaya, dan persamaan dalam dunia kesehatan. WHO menerapkan batasan bahwa dokter masa
depan wajib memenuhi kriteria lima kualitas seorang dokter, yaitu:
1. Care provider
Dalam memberikan pelayanan medis, seorang dokter hendaknya:
a. Memperlakukan pasien secara holistic
b. Memandang Individu sebagai bagian integral dari keluarga dan komunitas.
c. Memberikan pelayanan yang bermutu, menyeluruh, berkelanjutan dan manusiawi.
d. Dilandasi hubungan jangka panjang dan saling percaya.
2. Decision maker

9
Seorang dokter diharapkan memiliki:
a. Kemampuan memilih teknologi
b. Penerapan teknologi penunjang secara etik
c. Cost Effectiveness
3. Communicator
Seorang dokter, dimanapun ia berada dan bertugas, hendaknya:
a. Mampu mempromosikan gaya hidup sehat.
b. Mampu memberikan penjelasan dan edukasi yang efektif.
c. Mampu memberdayakan individu dan kelompok untuk dapat tetap sehat.
4. Community leader
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang dokter hendaknya:
a. Dapat menempatkan dirinya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.
b. Mampu menemukan kebutuhan kesehatan bersama individu serta masyarakat.
c. Mampu melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
5. Manager
Dalam hal manajerial, seorang dokter hendaknya:
a. Mampu bekerja sama secara harmonis dengan individu dan organisasi di luar dan
di dalam lingkup pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasien
dan komunitas.
b. Mampu memanfaatkan data-data kesehatan secara tepat dan berhasil guna.

Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari faktor
risiko terjadinya TBC, meliputi :

1. Kepadatan hunian kamar tidur


Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m 2/orang.
Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m 2/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit
pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum
90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri
dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga

10
langit-langit minimum tingginya 2,75 m.6
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum
20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat
dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang
diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 luks, kecuali untuk kamar tidur diperlukan
cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari
segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang
lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama. Penularan kuman TB Paru relatif tidak
tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi
udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.6
3. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya
kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humidity) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari
luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk
menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar
22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.6
4. Kondisi rumah
11
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan dinding
yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan
sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.6
5. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban
yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan
cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.6

Case Finding
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat. Strategi penemuan pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan
secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.6
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.6

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
12
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):6
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada
hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:6
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan
telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional
TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar
sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.6
Uji Tuberkulin
Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB pada anak didapat
dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.6
Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, bila terdapat gejala seperti:
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum TB.
Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:

13
2. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.
3. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan memadai.
4. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat
malam, tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas
bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
5. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
6. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
7. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan
adanya tanda-tanda cairan abdomen.
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan (yakni di dalam
kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi
yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm pada
anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.6

Diagnosis TB
Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya adalah melalui
pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang
lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak semua unit
pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki
upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB
berdasarkan pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu
pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian
pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi. Sedangkan
pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya sambil membawa
dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).6
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada
14
menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang bersangkutan
dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau
kuman TB, hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu.6
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum
luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan
penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka ulangi
pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam
pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif
menderita TB. Namun, apabila dahak negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila
hasil radiologi mendukung TB dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi
positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang
bersangkutan bukan TB.6
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang dewasa,
tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB
pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.6
Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala seperti:
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum TB.
Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.
2. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan
memadai.
3. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat malam,
tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas bagian atas
yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
4. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
5. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
6. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan adanya
tanda-tanda cairan abdomen.6
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan ( yakni di

15
dalam kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi
yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm pada
anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.6
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode
tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat,
sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan
gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.6
Pengobatan
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2 komponen, yaitu
komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen diagnosis meliputi deteksi
penderita di poliklinik dan penegakkan diagnosis secara laboratorium, sedangkan komponen
pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan tepat serta pengawasan menelan obat setiap
hari terutama pada fase awal.10
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang dipakai program sesuai dengan
rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori
terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun
perincian OAT program adalah sebagai berikut10
Regimen Terapi OAT 6,10,11,12

No. Kategori OAT Keterangan


1. I 2HRZE/4H3R3 - Penderita baru BTA (+)
- Penderita baru BTA (-)/Ro (+) yang
sakit berat
- Pendeerita ekstra paru berat
2. II 2HRZES/HRZE/ - Kambuh (relaps) BTA (+)
5H3R3E3 - Gagal (failure) BTA (+)
3. III 2HRZ/4H3R3 - Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
- Penderita ekstra paru ringan
4. IV - H seumur hidup - Penderita dengan TB kronis
- Obat yang masih - Penderita dengan MDR - TB
sensitif + Quinolon
5. Sisipan HRZE - Bila penderita oleh K I dan K II pada
akhir fase awal/intensif masih BTA (+)

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

16
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat agar dicapai
kesembuhan dan mencegah resistensi serta mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).10
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT :11,12
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3

Dosis Kategori 1

TAHAP INTENSIF TAHAP LANJUTAN


BB SELAMA 2 BULAN SELAMA 4 BULAN
Penderita TIAP HARI TIAP HARI 3 X SEMINGGU
(Kg) TABLET 4 FDC TABLET 2 FDC TABLET 2 FDC
R150+H75+Z400+E275 R150+H75 R150+H150
30 -37 2 tablet 2 tablet 2 tablet
38 -54 3 tablet 3 tablet 3 tablet
55 -70 4 tablet 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet 5 tablet

Dosis Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

TAHAP INTENSIF
BERAT SELAMA 3 BULAN TAHAP LANJUTAN 3
BADAN X SEMINGGU
TIAP HARI TIAP HARI SELAMA 5 BULAN
2 BULAN 1 BULAN
30 -37 2 tab 4 FDC 2 Tab 4 FDC 2 Tab 4 FDC
+ 2 ml Strepto
+ 2 Tab Etambutol
38 -54 3 tab 4 FDC 3 Tab 4 FDC 3 Tab 4 FDC
+ 3 ml Strepto
+ 3 Tab Etambutol
55 -70 4 tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC
+ 4 ml Strepto
+ 4 Tab Etambutol
>71 5 tab 4 FDC 5 Tab 4 FDC 5 Tab 4 FDC

17
+ 5 ml Strepto + 5 Tab Etambutol

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 10,12

Nama Obat Efek Samping


1. Isoniazid (INH) Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut kering,
nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan
methemoglobinemia
2. Rifampisin Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi imunitas
3. Etambutol Neuritis optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,
disuria, malaise dan demam
4. Pirazinamid Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,
disuria, malaise dan demam
5. Streptomisin Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Pemantauan efek samping obat dapat dilakukan dengan cara :
 Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping
 Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT.

Efek samping OAT dapat dibedakan menjadi efek samping berat dan efek samping ringan.
 Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus
ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK
spesialistik.
 Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak.
Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obatan simptomatik atau
obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama
pengobatan. Dalam hal ini pengobatan OAT dapat diteruskan.

Tabel 2.3 Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya6

18
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke
2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.6

19
Penilaian hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan kepada: sembuh,
pengobatan lengkap, gagal, defaulted (lalai berobat), meninggal, dan pindah (transfer out).6
 Sembuh : Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
follow-up sebelumnya
 Pengobatan Lengkap : Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
 Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
 Default (Putus berobat) : Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
 Meninggal : Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
 Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Pengelolaan Logistik
Pengelolaan logistik Penanggulangan Tuberkulosis merupakan serangkaian kegiatan
yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, monitoring
dan evaluasi.6
1). Jenis logistik program nasional penanggulangan tuberkulosis
Logistik penanggulangan tuberkulosis terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dan logistik lainnya. UPK dalam hal ini puskesmas menghitung
kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai dasar permintaan ke Kabupaten/Kota.6
a. Logistik OAT.6
Program menyediakan paket OAT dewasa dan anak, untuk paket OAT dewasa
terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
• OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)
terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam blister, dan tiap
blister berisi 28 tablet.
• OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan sisipan, yang
dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi efek
samping KDT.
b. Logistik non OAT 6

20
• Alat Laboratorium terdiri dari: Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna
dan pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas pembersih lensa
mikroskop, kertas saring, dan lain lain.
• Bahan diagnostik terdiri dari: Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, lysol,
tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
• Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE.

2). Pengelolaan obat anti tuberkulosis


Perencanaan Kebutuhan Obat
Rencana kebutuhan Obat Anti Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan perencanaan
dari bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan
perencanaan obat program lainnya yang berpedoman pada:6
• Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya.
• Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan.
• Buffer-stock (tiap kategori OAT).
• Sisa stock OAT yang ada.
• Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi kebutuhan
dalam kurun waktu perencanaan).

Pengawasan Menelan Obat (PMO)


Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
PMO.13
Persyaratan PMO:

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita,
seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
penderita.13
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya
Sanitarian, juru imunisasai, dll. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO
dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga.13

21
Tugas seorang PMO

Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.

Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

Mengingatkan penderita untuk pemeriksaan ulang sputum pada waktu yang
telah ditentukan.

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang memiliki
gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan
kesehatan.13
Informasi penting yang perlu disampaikan PMO untuk disampaikan adalah TB
bukanlah penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
dengan mengikuti tahap intensif dan lanjutan. Penderita juga perlu mengetahui pentingnya
berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu diawasi, serta mengenali efek samping
obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut.13

Rujukan Penderita
Indikasi seorang penderita TB untuk mendapatkan rujukan, yaitu :

Penderita yang dalam pemeriksaan dahak berkala telah menunjukkan terjadinya
konversi namun keluhan tetap ada dan keadaan umum semakin berat.

Penderita yang mengalami kegagalan pengobatan disertai dengan kekebalan
kuman terhadap salah satu atau beberapa obat anti-tuberkulosis yang pernah
dipakai.

Penderita tidak tahan terhadap obat (drug intolerance)7

Surveilans
Dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, salah satu komponen penting
dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk
diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang
dikumpulkan pada kegiatan survailans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga
memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari
pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang
baku. Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di Unit Pelayanan
Kesehatan/UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam
melaksanakan pencatatan antara lain :6
• Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).

22
• Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
• Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
• Kartu identitas pasien TB (TB.02).
• Register TB UPK (TB.03 UPK)
• Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
• Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
• Register Laboratorium TB (TB.04).
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu: Angka Penemuan
Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan
Pengobatan (Success Rate = SR).6
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut di atas, yaitu:6

• Angka Penjaringan Suspek


• Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
• Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
• Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
• Angka Notifikasi Kasus (CNR)
• Angka Konversi
• Angka Kesembuhan
• Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
sahih (valid), sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), dapat dipercaya (realiable), dapat
diukur (measureable), dapat dicapai (achievable)
Analisa dapat dilakukan dengan membandingkan data antara satu dengan yang lain
untuk melihat besarnya perbedaan, dan melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.6
Pencegahan
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari
TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :14
1. Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif,
walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar

23
kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi.14
Promosi kesehatan menghindari kemunculan dari/ adanya factor resiko (masa Pra-
Kesakitan). Dimana upaya promosi kesehatan diantaranya adalah:
Penyuluhan penduduk
Untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan. Penyuluhan
kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang
berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah
TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media.14
Penyuluhan langsung bisa dilakukan perorangan maupun kelompok. Dalam program
penanggulangan TB, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk
menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek,
penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai
sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan
kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB. Penyuluhan dengan menggunakan
bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas,
untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB-dari “suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan memalukan”, menjadi “suatu penyakit yang berbahaya, tetapi dapat
disembuhkan”. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara
pasif.14
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO,
sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh
tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sektor, termasuk kalangan media
massa.14
a. Penyuluhan Langsung Perorangan
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk berhasil dibanding
dengan cara penyuluhan melalui media. Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur
yang terpenting yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara
petugas kesehatan (dokter, perawat,dll) dengan penderita. Penyuluhan ini dapat dilakukan
di rumah, puskesmas, posyandu, dan lain-lain sesuai kesepakatan yang ada. Supaya
24
komunikasi dengan penderita bisa berhasil, petugas harus menggunakan bahasa yang
sederhana yang dapat dimengerti oleh penderita. Gunakan istilah-istilah setempat yang
sering dipakai masyarakat untuk penyakit TB dan gejala-gejalanya. Supaya komunikasi
berjalan lancar, petugas kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan bersahabat,
penuh hormat dan simpati, mendengar keluhan-keluhan mereka, serta tunjukkan perhatian
terhadap kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau
bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti.14
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama :
 Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dahulu dijelaskan tentang
penyakit apa yang dideritanya, kemudian Petugas Kesehatan berusaha
memahami perasaan penderita tentang penyakit yang diderita serta
pengobatannya.
 Petugas Kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor manusia
yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik.14
b. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TB yang ditujukan kepada sekelompok orang
(sekitar 15 orang), bisa terdiri dari penderita TB dan keluarganya. Penggunaan flip chart
(lembar balik) dan alat bantu penyuluhan lainnya sangat berguna untuk memudahkan
penderita dan keluarganya menangkap isi pesan yang disampaikan oleh petugas. Dengan
alat peraga (gambar atau symbol) maka isi pesan akan lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti gunakan alat bantu penyuluhan dengan tulisan dan atau gambar yang singkat
dan jelas.14
c. Penyuluhan Massa
Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah bagi penderita, tetapi
juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan penanggulangan TB sangat
tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pesan-pesan penyuluhan TB
melalui media massa (surat kabar, radio, dan TV) akan menjangkau masyarakat umum.
Bahan cetak berupa leaflet, poster, billboard hanya menjangkau masyarakat terbatas,
terutama pengunjung sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB perlu memperhitungkan
kesiapan unit pelayanan, misalnya tenaga sudah dilatih, obat tersedia dan sarana
laboratorium berfungsi. Hal ini perlu dipertimbangkan agar tidak mengecewakan
masyarakat yang datang untuk mendapatkan pelayanan. Penyuluhan massa yang tidak
dibarengi kesiapan UPK akan menjadi “bumerang” (counter productive).14
Penyuluhan Penderita Tuberkulosis

25

Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala
memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan mass
media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru.

Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah
dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran
penyakit.

Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau
berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.

Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.

Menganjurkan perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat.

Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang
mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru.

Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan
bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit
lain.

Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai
formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.14

Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.



Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang
dahak tidak disembarangan tempat.

Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus
diberikan vaksinasi BCG. Vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan
perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun
ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.

Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara
lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

Desinfeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian
khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, handuk, tempat tidur, pakaian), ventilasi
rumah dan sinar matahari yang cukup.

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.

Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas,
sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,
perawatan.

26

Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.14

2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan.14

a. Diagnosis TB
Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya adalah
melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan
waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak
semua unit pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu
nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan
diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya
3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai
menderita TB, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil
adalah dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita
memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan
SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).14
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya
positif.14
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu rontgen
dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada
menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang bersangkutan
dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-
tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan
basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu.14
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum luas
selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan
penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka ulangi
pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam
pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif
27
menderita TB. Namun, apabila dahak negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi.
Apabila hasil radiologi mendukung TB dianggap sebagai penderita TB dengan BTA
negatif, radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak
negatif, maka yang bersangkutan bukan TB.14
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang dewasa,
tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis
TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin. Untuk itu,
seorang anak dapat dicurigai menderita TB, bila terdapat gejala seperti:14
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum TB.

Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:


1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan tidak
naik dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.
2. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan
memadai.
3. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat malam,
tanpa sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas bagian atas yang
akut, malaria, tipus, dan lain-lain.
4. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
5. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
6. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan adanya tanda-tanda
cairan abdomen.14
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan ( yakni di
dalam kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi
yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm pada
anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.14
Jika anak balita tidak mempunyai gejala gejala seperti TBC, harus diberikan
pengobatan pencegahan dengan Isoniasid (INH) dengan dosis 5 mg per kg berat badan per
hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG perlu diberi
BCG setelah pengobatan pencegahan dengan INH selesai. Dapat pula diberikan vaksinasi
BCG. Vaksin ini merupakan suspensi mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan
28
(bakteri, virus, atau riketsia) yang diberikan untuk mencegah, meringankan, atau mengobati
penyakit yang menular. Vaksin BCG merupakan suatu attenuated vaksin yang mengandung
kultur strain Mycobacterium bovis dan digunakan sebagai agen imunisasi aktif terhadap TBC.
Walaupun telah digunakan sejak lama, akan tetapi efikasinya menunjukkan hasil yang
bervariasi yaitu antara 0 – 80% di seluruh dunia. Vaksin BCG secara signifikan mengurangi
resiko terjadinya Tuberkulosis aktif dan kematian.15
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode
tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat,
sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan
gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.14
b. Penatalaksanaan TB

Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.
Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun
dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal
terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup
efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi
HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan
pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian terapi preventif
merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS
usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi preventif, pertama kali
harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB
aktif, terutama pada orang-orang dengan imunokompromais seperti pada penderita
HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia
pada pemberian isoniasid, maka isoniasid tidak diberikan secara rutin pada
penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru
terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya
penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas
foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan TB lama, diabetes, silikosis,
pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau pengobatan lain yang
menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang menekan sistem kekebalan
tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus

29
diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya
hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk
menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar
fasilitas kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan melakukan tes
fungsi hati terlebih dahulu terhadap semua penderita; terutama terhadap yang
berusia 35 tahun atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai
pengobatan.14

Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif
dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di
AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan
Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi
sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).
Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan
pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap
OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH),
Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudian diikuti dengan
INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk
etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi di daerah
dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah
dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada
konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah
beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi.
Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak
perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada
perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak
resisten harus ada dalam regimen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu
jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat
dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan minimal selama 18
bulan setelah biakan menjadi negatif. Untuk penderita baru TBC paru dengan
BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam
obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti
dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua
pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak
30
dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi
dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek
dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang
lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan
jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC
pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit
modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita
dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu. Anak dengan limfadenopati hilus
hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC
milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli
menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak
direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga
dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC
pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan pengobatan
inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh diberikan
selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek
samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus
MDR.14

Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi
untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan
sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.14

Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum
biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit
hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis
dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan
BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan
ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung
setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita
hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang
berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil
pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi
penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada

31
pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap
pengobatan).Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa.
Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang
diberikan kepada penderita.14

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
1. Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,
Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggidengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapatdipisahkan dengan obat-
obatan ini.
2. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin, Kanamisin.14

3. Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan suatu usaha mengurangi komplikasi penyakit. Rehabilitasi
merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus
berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi
penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi
pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali
dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta
penegasan perlunya rehabilitasi.14

Imunisasi
Vaksin BCG sebaiknya digunakan pada infant dan anak-anak yang hasil uji
tuberculinnya negatif dan yang berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi
terinfeksi TBC dan tidak menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap
isoniazid atau rifampin. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG (selain bayi sampai
dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu menjalani skin test. Vaksin BCG
tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil uji tuberculinnya posistif atau telah menderita
tuberculosis aktif, karena pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah
terinfeksi TBC. Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan secara injeksi
intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas atau injeksi perkutan
sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin sulit menerima injeksi intradermal.
Dosis normal adalah 0,005 ml untuk neonates dan bayi di bawah 1 tahun dan 0,1 ml untuk
anak yang lebih besar dan orang dewasa. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG
dapat bertahan untuk 10 – 15 tahun. Sehingga re-vaksinasi pada anak-anak umumnya

32
dilakukan pada usia 12 -15 tahun. Vaksin BCG dikontra-indikasikan untuk pasien yang
mengalami gangguan pada kulit seperti dermatitis atopik, serta baru saja menerima vaksinasi
lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3 minggu). Vaksin BCG juga tidak diberikan
untuk:15

Pasien dengan gangguan imunitas (immunosuppressed) seperti pasien HIV, pasien
yang mengkonsumsi obat-obat kortikosteroid (immunosuppressan), atau baru saja
menerima transplantasi organ.

Wanita hamil dan menyusui, walaupun belum ada data yang menunjukkan efek
bahaya dari pemberian vaksin BCG terhadap wanita hamil dan menyusui.15
Beberapa adverse reaction yang mungkin terjadi setelah pemberian vaksin BCG antara
lain: nyeri pada tempat injeksi, terjadi ulcer atau keloid karena kesalahan pada saat injeksi.
Kelebihan dosis dan pemberian vaksin pada pasien dengan tuberculin positif. Dan sakit
kepala, demam, dan timbul reaksi alergi.15
Pendekatan Kedokteran Keluarga

Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan


primer yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koorddinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan
diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis
penyakitnya.16
Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang
lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap
Dokter Keluarga secara garis besarnya ialah :16
a. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga.
b. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan
kedokteran keluarga.
c. Menguasai keterampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan professional
dokter-pasien untuk:

Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan
perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga.

Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerja sama
menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan
penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan
keluarga.

Dapat bekerjasama secara professional secara harmonis dalam satu tim pada
penyelenggaran pelayanan kedokteran/ kesehatan.16

33
Karakteristik Dokter keluarga menurut IDI (1982) adalah :
a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat.
b. Pelayanan menyeluruh dan maksimal
c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya.
Tugas Dokter Keluarga, meliputi :16
a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu
guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.
b. Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.
c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan
sakit.
d. Memberikan pelayanan kedokteran kepada nidividu dan keluarganya.
e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
f. Menangani penyakit akut dan kronik.
g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.
h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau
dirawat di RS.
i. Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan
j. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.
k. Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.
l. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar
m. Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan
ilmu kedokteran keluarga secara khusus.16
Kesimpulan
TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu
problem utama epidemiologi kesehatan didunia. Agent, Host dan Lingkungan merupakan
faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi
TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat
digambarkan dalam Bagan “Segitiga Epidemiologi TBC”.
Meningkatnya angka penderita TBC disebabkan berbagai faktor diantaranya
karakteristik demografi keluarga, social ekonomi, sikap keluarga itu sendiri, seperti

34
ketidaktahuan akan akibat, komplikasi dan cara merawat anggota keluarganya yang
menderita TBC di rumah dan sikap penderita TBC. Selain itu penularan dalam keluarga
juga disebabkan kebiasaan sehari-hari keluarga yang kurang memenuhi kesehatan seperti
kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membuang dahak penderita. Faktor lain yang
berpengaruh adalah pengetahuan keluarga yang kurang tentang penyakit TBC seperti
penyebab, akibat dan komplikasinya, sehingga menyebabkan keluarga dan penderita
TBC kurang termotivasi untuk berobat yang berakibat terjadinya penularan dalam
keluarga. Akibat lebih jauh dari hal tersebut adalah terjadinya penularan penderita TBC
dalam keluarga dan masyarakat yang kemudian akan berdampak pada masalah
pembangunan kesehatan kesehatan di Indonesia karena meningkatnya angka penderita
TBC.
Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang
terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).

Daftar Pustaka
1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. 2005.

2. Wayan, I. Promosi Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan dan


Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta. 2000.
3. Timmreck TC. Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.
4. Aditama Tjandra et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke-2.
Cetakan ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
5. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis, Budiman
Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta Nirmala. – Jakarta :
EGC, 2009.
6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi II. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2008.
7. Muninjaya AG. Manajemen kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2004.h. 170-250.
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Kerja Puskesmas Jilid I. Jakarta: Bakti
Husada;1991.h.B1-6, C2-4.
9. Departemen Kesehatan RI. Kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat: keputusan
menteri kesehatan RI nomor 128/menkes/sk/II/2004. Jakarta: Bakti Husada; 2004.
h.5-31.

35
10. Depkes RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997.
11. Depkes RI. Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi. ARRIME Pedoman Manajemen
Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2002.
12. Bahar, A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Soeparman dan Sarwono, W, editor. Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.
13. Crofton, John. Tuberkulosis Klinis. Jakarta : Widya Medika, 2002.
14. Pickett G, Hanlon JJ. Kesehatan masyarakat administrasi dan praktik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
15. Cahyono JBSB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius; 2010.
16. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun Praktek Dokter Keluarga Mandiri.
Jakarta : Pengurus Besar IDI. 2006

36

Anda mungkin juga menyukai