Anda di halaman 1dari 42

Abstrak

Infertilitas merupakan masalah tersering yang dialami oleh pasien yang


menderita endometriosis. Pada saat ini, pilihan terapi dari sebagian pasien dengan
stadium lanjut akan memilih terapi yang dapat menjaga kesuburannya. Penelitian
ini dilakukan secara observational dengan melihat hasil reproduksi yang telah
dicapai oleh 825 pasien yang berusia antara 20 tahun sampai dengan 40 tahun
yang telah mengalami pengobatan penyembuhan endometriosis yang terkait
dengan infertilitas selama periode 2001-2008. 483 pasien yang menjalani operasi
sebgai pilihan utama, 262 pasien telah hamil (54,2%). Diantara pasien yang tidak
mengalami kehamilan, 144 sam pai dengan 184 pasien menjalani siklus IVF dan
56 pasien telah hamil (30,4% mengalami kehamilan secara klinis pada setial
pengambilan sampel). Perlu diketahui, sebelum mengalami pengobatan pasien
dengan endometriosis memiliki cadangan ovarium yang lebih sedikit daripada
pasien yang tidak mengalami endometriosis. Strategi yang dilakukan dengan
terapi gabungan operasi dengan menggunakan endoskopi dan IVF menyebabkan
jumlah kehamilan mencapai 318 pasien, yang merupakan gabungan terapi dengan
tingkat kehamilan mencapai 65,8%. Persentasi tersebut jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan terapi pembedahan saja (P < 0,0001) dan dibandingkan
dengan 173 pasien yang tidak dioperasi dan memilih terapi dengan menggunakan
IVF sebagai pilihan utama (P < 0,0001) sedangkan 169 pasien yang tidak
melakukan terapi angka kehamilan mencapai 20 pasien (P < 0,0001).
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penetapkan prevalensi endometriosis yang nyata masih sulit untuk
ditetapkan pada suatu populasi yang akan diteliti. Data menunjukan bahwa
sekitar 10% wanita usia subur menderita endometriosis dan angka kejadian
tersebut akan naik menjadi 40% pada pasien yang mengalami gejala
dismenorea, perdarahan intermenstrual dan dispareunia (Mueleman et al.,
2009; Practice commite of the American Society of Reproductive Medicine,
2004). Study lain mengatakan variabel lain seperti usia dan lama masa
inferilitas akan semakin sulit untuk menetapkan angka prevalensi kejadian
endometriosis (Guo dan Wang, 2006). Data epidemiologi menunjukan bahwa
hipotesis terjadinya endometriosis karena menstruasi refluks (Vigano et al.,
2004).
Hubungan antara endometriosis dengan kejadian infertilitas akan jelas
terlihat pada stadium lanjut. Alasan endometriosis dapat mengakibatkan
infertilitas disebabkan karena kelainan pada ovulasi dan kelaianan pada
natomi pangul yang terdistrosi (Gupta et al., 2008). Gangguan autoimun
merupakan patogenesis yang yang menyebabkan endometriosis (Kavvaossi et
al., 2009). Sejumlah studi menunjukkan kemungkinan kehamilan secara
spontan setelah 1 tahun melakukan perawatan dalam kasus-kasus
endometriosis ringan berkisar antara 17%-22% kasus (Practice commite of the
American Society of Reproductive Medicine, 2004) dan pada kasus
endometriosis yang berat angka kejadian kehamilan spontan tidak melebihi
angka 3%.
Laparoskopi merupakan gold standart diagnosis endometriosis (Practice
commite of the American Society of Reproductive Medicine, 2004; Royal
collage of Obstreticians and Ginekologists, 2006) meskipun pada dekade
terakhir ini USG telah memainkan peran penting dalam mendiagnosis kasus
endomeriosis (Alcazar et al., 1997). Studi lain menyatakan bahwa diagnosis
USG akurat untuk melihat keadaan kedua ovarium (Eskenazi et al., 2001;
Pacual et al., 2000) dan dapat digunakan untuk melihat lesi yang berada di
rectum, kandung kemih, dan stuktur panggul lainnya (Hudelist et al., 2009).
Laparoskopi harus dilakukan pada kasus-kasus yang memberikan gejala yang
nyata dan pada kebanyakan kasus endometriosis membutuhkan terapi dengan
cara pembedahan (Pouly et al., 2007).
Pasien dengan infertilitas yang telah mengalami terpai pembedahan atau
terpai kombinasi antara terapi medical dan terapi pembedahan pada saat ini
terapi pembedahan lebih efektif daripada yang melakukan terapi medis saja
(Pouly et al., 2007). Terpai kombinasi antara terapi bedah dengan terapi
immunomodulation dengan pentoxifyline memberikan hasil yang baik (Creus
et al., 2008).
Teknik IVF merupakan strategi terapi baru untuk pengobatan
endometriosis. Meskipun ada beberapa penelitian bahwa IVF masih dapat
memberikan hasil yang buruk untuk kasu endometriosis dibandingkan dengan
dengan terapi lainnya (Barnhart et al., 2002) ada banyak artikel dan pendataan
nasional seperti French National IVF Register (FIVNAT) dan The US
Socciety of Assisted Reproductive Technology Registery, menunjukkan hasil
yang sama pada terapi IVF untuk menyembuhan endometriosis (Poly and
Larue, 2007; SART-ASRM, 2007).
Terapi reproduksi dengan cara pembedahan bukan pengobatan yang paling
unggul dalam terapi endometriosis tetapi sebagai terapi pelengkap dalam
strategi mengurangi resiko infertilitas pada penderita endometriosis.
Berdasarkan stage penyakit, usia, dan durasi lamanya infertilitas dari pasien,
dokter harus dapat mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi setiap
kasus yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
keberhasilan untuk memperoleh kehamilan setelah mendapatkan terapi
holistik pada endometriosis karena semakin banyaknya jumlah pasien dengan
endometriosis dan infertilitas di rumah sakit swasta dan rumah sakit pusat.
B. Tujuan

Untuk mengetahui keberhasilan untuk mencapai kehamilan setelah


mendapatkan terapi holistik pada endometriosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ENDOMETRIOSIS
1. Definisi
Endometriosis adalah tumbuhnya jaringan endometrium yang berupa
kelenjar atau stroma diluar kavum uteri atau miometrium (Memardeh, 2003).

2. Etiologi
Etiologi pasti endometriosis belum diketahui, terdapat beberapa
hipotesis yang menjelaskan etiologi dari endometriosis diantaranya :
a. Menstruasi retrograd
Teori ini menjelaskan bahwa menstruasi retrograd melalui tuba
falopii akan menyebabkan penyebaran glandula endometrium dan stroma
endometrium ke tuba falopii, ovarium, dan cavum abdomen. Jaringan
endometrial di cavum peritonium, jaringan endometrial di cavum
peritonium akan melekan dan menginvasi mesothelium peritonial dan akan
mendapatkan suplai pembuluh darah yang mengakibatkan berkembangnya
jaringan endometrium di cavum peritonium, teori ini diperkuat dari
penelitian yang menemukan deposit darah dan jaringan endometrial
didalam cavum visceral pelvis wanita dengan endometriosis. Pada wanita
dengan endometriosis terjadi hiperperistaltis dan disperistaltis uterin yang
menggangu passase darah keluar traktus genitalis (Samsulhadi, 2002).
b. Penyebaran hematogen dan limfogen
Beberapa penelitian menemukan bahwa endometriosis dapat terjadi
di beberapa lokasi yang jauh dari uterus, diantaranya perineum,
regioretroperitonial (Samsulhadi, 2002).
c. Coelomic Metaplasia
Teori metaplasia coelomic menyatakan bahwa jaringan peritoneum
parietal merupakan jaringan pluripotential yang dapat mengalami
transformasi metalplasia menjadi jaringan yang menyerupai endometrium.
Secara embriologis sel progenitor dari endometrium, ovarium, duktus
mulleri berasala dari epitel coelomic yang sama seperti sel yang ditemukan
di jaringan peritonium parietalc (Memardeh, 2003).
d. Teori induksi
Teori induksi menerangkan bahwa faktor-faktor biologis dan
hormonal dapat meninduksi diferensiasi sel yang belum berdiferensiasi
menjadi jaringan endometrial. Penelitian dari matsura et al menemukan
bahwa estrogen dapat memicu transformasi jaringan menjadi jaringan
endometrial (Memardeh, 2003).
e. Pengaruh hormonal
Estrogen memiliki kontribusi terhadap pembentukan
endometriosis, Estrogen dihasilkan oleh ovarium dan beberapa jaringan
lain seperti glandula suprarenal melalui aromatisasi. Jaringan
endometriotik mengekspresikan aromatase dan 17β- hydroxysteroid
dehydrogenase tipe1, yaitu suatu enzim yang mengkonversi
androstenedione menjadi estrone, kemudian mengkonversi estrone
menjadi estradiol. Jaringan endometriosis mengalami defisiensi enzim 17
β-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 yang berperan menginaktifkan
estrogen. Kombinasi dua faktor enzimatik tersebut mengakibatkan
peningkatan jumlah produksi estrogen, penurunan aktivitas inaktivasi
estrogen sehinga mengakibatkan pertumbuhan jaringan endomteriosis.
Sebaliknya jaringan endometrium normal tidak mengkspresikan enzim
aromatase dan memiliki aktivitas dan kadar hormon 17β-hydroxysteroid
dehydrogenase tipe 2 yang tinggi, hal ini diakibatkan karena pengaruh
hormon progesteron pada fase luteal siklus mestruasi. Attia et al pada
tahun 2000 meneliti bahwa jaringan endometriosis memiliki
kecenderungan resisten terhadap hormon progesteron. Prostaglandin E2
(PGE2) adalah zat yang memiliki aktivitas induksi yang kuat terhadap
enzim aromatase pada jaringan stromal endometrium, bekerja pada EP2
reseptor. Peningkatan kadar PGE2 dapat mengakibatkan peningkatan
aktivitas aromatase (Brosens, 2005).
Gambar 1. Biosentesis Estrogen pada wanita reproduksi

3. Faktor risiko
a. Faktor keturunan
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat faktor keturunan
yang mempengaruhi terjadinya endometriosis melalui pola pewarisan
poligenik/multifaktorial. Simpson melakukan penelitian dengan hasil 5.9
% akan menderita endometriosis jika saudara perempuannya menderita
endometriosis, 8,1% jika ibu pasien menderita endometriosis. Stefansson
et al pada tahun 2002 melakukan penelitian skala besar dengan hasil
seorang wanita yang memiliki saudara perempuan yang menderita
endometriosis memiliki risiko 5,2 kali dibandingkan kelompok kontrol,
dan jika sepupu menderita endometriosis akan risiko 1,56 kali dibanding
kelompok kontrol.
b. Mutasi Genetik
Mutasi genetik sering dikaitkan dengan kejadian endometriosis,
namun beberapa penelitian membuktikan tidak terdapat mutasi pada
beberapa gen yang berkaitan dengan endometriosis seperti TP53, RASK,
N314D (Stefansson, 2002).
c. Defek anatomis
Obstruksi aliran darah menstrual pada traktus reproduktif dapat
menyebabkan berkembangnya endometriosis melalui eksaserbasi
menstruasi retrograd. Beberapa kondisi medis yang berkorelasi dengan
obstruksi aliran darah menstrual diantaranya himen imperforata, septum
vagina transversal (Memardeh, 2003).
d. Toksin
Beberapa toksin dapat memicu terjadinya endometriosis
diantaranya 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) dan senyawa
yang menyerupai dioxin (Rier, 2003). TCDD mengaktivasi reseptor aryl
hydrocarbon. Reseptor ini memiliki fungsi sebagai faktor transkripsi, yang
kemudian akan meningkatkan kadar interleukin, aktivasi enzim-enzim
cytochrome P-450 diantaranya enzim aromatase, dan perubahan dalam
remodeling jaringan, selain itu konjungsi TCDD dengan estrogen dapat
merangsang perkembangan endometriosis secara langsung (Memardeh,
2003)
4. Diagnosis klinis
a. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik
kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama
pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan
efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit
dapat diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan
karena penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko
tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal serupa.Endometriosis juga
lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada
dizigot.
b. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada
endometriosis biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
endometriosis, yang dipengaruhi hormon ovarium selama siklus haid,
berupa nyeri pada daerah pelvik, akibat dari melimpahnya darah dari
endometrium sehingga merangsang peritoneum, kontraksi uterus akibat
meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2alpha dan PGE) yang dihasilkan
oleh jaringan endometriosis itu sendiri.
Dismenore pada endometriosis umumnya bersifat sekunder atau
peningkatan dari yang primer, dimenore dan dispareuni makin mengarah
ke endometriosis jika gejala muncul bertahun-tahun dengan haid dan
senggama yang semula tanpa nyeri. Semakin lama dan berat intensitas
nyeri semakin berat stadium endometriosis pada diagnosis awal.
Endometriosis juga dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan
gejala yang tidak khas. Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum
douglas dan nyeri pinggang yang semakin berat selama haid nyeri rektum
dan saat defekasi juga dapat terjadi tergantung daeran invasi jaringan
endometriosisnya. Sering dirasakan nyeri pelvik siklik yang mungkin
berkaitan dengan nyeri traktus urinarius dan gastrointestinal. Pada
penderita endometriosis juga sering dijumpai infertilitas. Gangguan haid
berupa bercak prahaid atau hipermenore.
c. Pada pemeriksaan fisik ginekologik
Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada
kelainan. Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan
inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada
43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan
endometriosis pada penderita nyeri pelvik kronik. Paling umum, tanda
positif dijumpai pada pemeriksaan bimanual dan rektovaginal. Hasil
pemeriksaaan fisik yang normal tidak menyingkirkan diagnosis
endometriosis, pemeriksaan pelvik sebagai pendekatan non bedah untuk
diagnosis endometriosis dapat dipakai pada endometrioma ovarium. Jika
tidak tersedia pemeriksaan penunjang lain yang lebih akurat untuk
menegakkan diagnosis endometriosis, gejala, tanda fisis dan pemeriksaan
bimanual dapat digunakan.
d. Pencitraan
Pencitraan berguna untuk memeriksa penderita endometriosis
terutama bila dijumpai massa pelvis atau adnexa seperti endometrioma.
Ultrasonografi pelvis secara transabdomnial (USG-TA), transvaginal
(USG-TV) atau secara transrektal (TR), CT Scan dan pencitraan
resonansi magnetik telah digunakan secara nir-invasif untuk mengenali
implan endometriosis yang besar dan endometrioma. Tetapi hal ini tidak
dapat menilai luasnya endometriosis. Bagaimanapun, cara-cara tersebut
masih penting untuk menetapkan sisi lesi atau menilai dimensinya, yang
mungkin bermanfaat untuk menentukan pilihan teknik pembedahan yang
akan dilakukan.
e. Laparoskopi
Merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke
rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan
endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan endometrium
paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum douglasi,
kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvik yang berdekatan.
Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan
kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-
hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya.
Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih haid yang
terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal
tak berpigmen berwarna merah atau putih. Diagnosis endometriosis
secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemastian
histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvic kronik.
Endometriosis yang didapat dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara
histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan histopatologi.

B. Infertilitas
1. Definisi
Fertilitas adalah kapasitas untuk hamil dan menghasilkan keturunan.
Infertilitas adalah gagalnya pasangan usia reproduksi untuk mendapatkan
kehamilan setelah 12 bulan atau lebih usia pernikahannya dengan frekuensi
hubungan suami-istri teratur (2 atau 3 kali seminggu) tanpa perlindungan
kontrasepsi (Andriana, 2005).
2. Klasifikasi
Infertilitas ada dua macam (Sumapradja, 2007):
a. Infertilitas primer
adalah jika istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan
b. Infertilitas sekunder
adalah jika istri pernah hamil akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan
lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan
kehamilan selama 12 bulan.

3. Etiologi
Penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi tiga kelompok : satu
pertiga masalah terkait pada wanita, satu pertiga pada pria dan satu pertiga
disebabkan oleh faktor kombinasi.
1. Infertilitas pada wanita
a. Masalah vagina
Infeksi vagina seperti vaginitis, trikomonas vaginalis yang hebat
akan menyebabkan infeksi lanjut pada portio, serviks, endometrium
bahkan sampai ke tuba yang dapat menyebabkan gangguan pergerakan
dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi vital untuk
terjadinya konsepsi. Disfungsi seksual yang mencegah penetrasi penis,
atau lingkungan vagina yang sangat asam, yang secara nyata dapat
mengurangi daya hidup sperma
b. Masalah serviks
Gangguan pada setiap perubahan fisiologis yang secara normal
terjadi selama periode praovulatori dan ovulatori yang membuat
lingkungan serviks kondusif bagi daya hidup sperma misalnya
peningkatan alkalinitas dan peningkatan sekresi
c. Masalah uterus
Nidasi ovum yang telah dibuahi terjadi di endometrium.
Kejadian ini tidak dapat berlangsung apabila ada patologi di uterus.
Patologi tersebut antara lain polip endometrium, adenomiosis, mioma
uterus atau leiomioma,bekas kuretase dan abortus septik. Kelainan-
kelainan tersebut dapat mengganggu implantasi, pertumbuhan,nutrisi
serta oksigenisasi janin
d. Masalah tuba
Saluran telur mempunyai fungsi yang sangat vital dalam proses
kehamilan. Apabila terjadi masalah dalam saluran reproduksi wanita
tersebut, maka dapat menghambat pergerakan ovum ke uterus, mencegah
masuknya sperma atau menghambat implantasi ovum yang telah dibuahi.
Sumbatan di tuba fallopi merupakan salah satu dari banyak penyebab
infertilitas. Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan
tuba atau adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi (Hall
et all. 1974 ). Infertilitas yang berhubungan dengan masalah tuba ini yang
paling menonjol adalah adanya peningkatan insiden penyakit radang
panggul ( pelvic inflammatory disease –PID). PID ini menyebabkan
jaringan parut yang memblok kedua tuba fallopi.
e. Masalah ovarium
Wanita perlu memiliki siklus ovulasi yang teratur untuk menjadi
hamil, ovumnya harus normal dan tidak boleh ada hambatan dalam jalur
lintasan sperma atau implantasi ovum yang telah dibuahi. Dalam hal ini
masalah ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas yaitu kista atau
tumor ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium. Dari perspektif psikologis,
terdapat juga suatu korelasi antara hyperprolaktinemia dan tingginya
tingkat stress diantara pasangan yang mempengaruhi fungsi hormon.
2. Infertilitas pada pria
a. Faktor koitus pria
Faktor-faktor ini meliputi spermatogenesis abnormal, motilitas
abnormal, kelainan anatomi, gangguan endokrin dan disfungsi seksual.
Kelaianan anatomi yang mungkin menyebabkan infertilitas adalah tidak
adanya vasdeferens kongenital, obstruksi vasdeferens dan kelainan
kongenital system ejakulasi. Spermatogenesis abnormal dapat terjadi
akibat orkitis karena mumps, kelainan kromosom, terpajan bahan kimia,
radiasi atau varikokel
b. Masalah ejakulasi
Ejakulasian retrograde yang berhubungan dengan diabetes,
kerusakan saraf, obat-obatan atau trauma bedah.
c. Faktor lain
Adapun yang berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen
adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, stress, nutrisi
yang tidak adekuat, asupan alkohol berlebihan dan nikotin.
d. Faktor pekerjaan
Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah
temperature tubuh, Spermagenesis diperkirakan kurang efisien pada pria
dengan jenis pekerjaan tertentu, yaitu pada petugas pemadam kebakaran
dan pengemudi truk jarak jauh
3. Masalah interaktif
Berupa masalah yang berasal dari penyebab spesifik untuk setiap
pasangan meliputi frekuensi sanggama yang tidak memadai, waktu sanggama
yang buruk, perkembangan antibody terhadap sperma pasangan dan
ketidakmampuan sperma untuk melakukan penetrasi ke sel telur

Penyebab Infertilitas Sekunder


Masalah pada infertilitas sekunder sangat berhubungan dengan masalah
pada pasangan dengan infertilitas primer. Sebagian besar pasangan dengan infertilitas
sekunder menemukan penyebab masalah kemandulan sekunder tersebut, dari
kombinasi berbagai faktor meliputi :
1. Usia
Faktor usia sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita. Selama
wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti mengalami haid yang
teratur, kemungkinan masih bisa hamil. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
usia maka kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel telur akan mengalami
penurunan. Penelitian menunjukkan bahwa potensi wanita untuk hamil akan
menurun setelah usia 25 tahun dan menurun drastis setelah usia diatas 38 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Center for Health Statistics
menunjukkan bahwa wanita subur berusia dibawah 25 tahun memiliki
kemungkinan hamil 96% dalam setahun, usia 25 – 34 tahun menurun menjadi
86% dan 78% pada usia 35 – 44 tahun.
Pada pria dengan bertambahnya usia juga menyebabkan penurunan
kesuburan. Meskipun pria terus menerus memproduksi sperma sepanjang
hidupnya, akan tetapi morfologi sperma mereka mulai menurun. Penelitian
mengungkapkan hanya sepertiga pria yang berusia diatas 40 tahun mampu
menghamili isterinya dalam waktu 6 bulan dibanding pria yang berusia dibawah
25 tahun. Selain itu usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas sperma

2. Masalah reproduksi
Masalah pada system reproduksi dapat berkembang setelah kehamilan
awal bahkan, kehamilan sebelumnya kadang-kadang menyebabkan masalah
reproduksi yang benar-benar mengarah pada infertilitas sekunder, misalnya
perempuan yang melahirkan dengan operasi caesar, dapat menyebabkan jaringan
parut yang mengarah pada penyumbatan tuba. Masalah lain yang juga berperan
dalam reproduksi yaitu ovulasi tidak teratur, gangguan pada kelenjar pituitary dan
penyumbatan saluran sperma.

3. Faktor gaya hidup


Perubahan pada faktor gaya hidup juga dapat berdampak pada
kemampuan setiap pasangan untuk dapat menghamili atau hamil lagi. Wanita
dengan berat badan yang berlebihan sering mengalami gangguan ovulasi, karena
kelebihan berat badan dapat mempengaruhi estrogen dalam tubuh dan
mengurangi kemampuan untuk hamil. Pria yang berolah raga secara berlebihan
juga dapat meningkatkan suhu tubuh mereka,yang mempengaruhi perkembangan
sperma dan penggunaan celana dalam yang ketat juga mempengaruhi motilitas
sperma
C. Hubungan Endometriosis Terhadap kejadian Infertilitas
Telah dilaporkan sekitar 30-40% pasien dengan endometriosis adalah infertil
(Evers, 1996; Audebert, 1991) dan di antara pasien infertil yang mengalami
pemeriksaan laparoskopi, sekitar 60% ditemukan adanya endometriosis (Hason,
2000; Drake, 2002) dibandingkan dengan insiden 5-10% pada populasi usia
reproduktif secara umum (Straty, 2006). Walaupun demikian, banyak para ahli
yang tidak setuju bahwa ini adalah hubungan sebab akibat. Terlepas dari
kontroversi menyangkut hubungan sebab akibat antara endometriosis dan
infertilitas, di bawah ini adalah mekanisme yang diduga endometriosis mungkin
menyebabkan infertilitas
1. Faktor Mekanik
Endometriosis, khususnya yang berat, dapat menyebabkan
kerusakan pada tuba, ovarium, dan peritoneum (Thoma, 2001). Kerusakan
ini akan menyebabkan oklusi pada tuba atau fimbria. Endometriosis dapat
menyebabkan adhesi peritubal yang tebal, sehingga menghambat
kemampuan fimbria untuk menangkap sel telur yang dilepaskan ovarium.
Selain itu, endometriosis juga dapat menyebabkan adhesi periovarium yang
tebal, sehingga mengimobilisasi total ovarium. Di samping kerusakan
langsung dari jaringan ovarium akibat pembentukan kista (Bayer, 2001)
2. Gangguan Endokrinologik
Lutenized unruptured follicle syndrome (LUFS), defek fase luteal,
dan kelainan sekresi prolaktin telah diusulkan sebagai penyebab infertilitas
pada endometriosis. Pada beberapa studi tampak tingginya insiden
gangguan-gangguan endokrinologik tersebut pada penderita endometriosis.
3. Lutenized Unruptured Follicle
Lutenized unruptured follicle adalah suatu kelainan dengan folikel
tidak pecah walaupun ovulasi telah diperkirakan harus terjadi dengan
ditemukannya beberapa tanda-tanda ovulasi yang tidak langsung, seperti
temperatur badan basal bifasik, endometrium dalam masa sekresi, dan
meningginya kadar progesteron pada fase luteal. Kelainan ini
memperlihatkan suatu siklus yang normal secara endokrinologik, namun
setelah LH surge terjadi tidak disertai dengan pecahnya folikel. Hal ini
mungkin disebabkan pada endometriosis, konversi folikel dominan yang
telah matang langsung menjadi korpus luteum tanpa pelepasan sel telur
(Konickz, 2004). Diagnosis yang paling tepat adalah dengan laparoskopi
dimana tampak folikel tidak pecah dan tidak ditemukan adanya stigma
ovulasi.
Telah dilaporkan insiden LUFS pada penderita endometriosis yaitu
sekitar 20 persen dan prevalensinya lebih tinggi pada endometriosis sedang
dan berat dibandingkan pada endometriosis ringan. Walaupun demikian,
beberapa peneliti tidak menemukan adanya hubungan antara LUFS dan
infertilitas pada penderita endometriosis (Domowski, 2009)
4. Defek Fase Luteal
Seperti pada LUFS, defek pada fase luteal dalam hubungannya
dengan infertilitas pada penderita endometriosis juga belum jelas. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran abnormal temperatur badan basal dan
ditemukannya biopsi jaringan endometrium yang tidak matang pada fase
luteal. Grant yang pertama kali melaporkan kelainan fase luteal pada 43
wanita dari 96 penderita endometriosis juga telah dilaporkan rendahnya
kadar rata-rata progesteron fase midluteal pada 14 penderita endometriosis
dan peningkatan konsentrasi progesteron plasma yang lambat pada 29
penderita, dibandingkan dengan 18 kontrol (Cheesman, 2002). Peneliti lain
gagal menemukan adanya kelainan fase luteal pada endometriosis. Diduga
defisiensi fase luteal hanya terjadi pada penderita endometriosis berat
terutama jika terjadi kerusakan jaringan ovarium yang luas, karena
pembentukan endometrioma yang besar (Rock, 2000)
5. Sekresi Prolaktin
Prolaktin diperlukan pada fungsi korpus luteum yang normal,
namun jika kadarnya melebihi batas normal (hiperprolaktinemia) akan
mengganggu fisiologi siklus menstruasi melalui aksis hipotalamik hipofise-
ovarian. Musa dkk menemukan kadar prolaktin 2 kali lebih tinggi pada
wanita infertil dengan endometriosis dibandingkan wanita normal setelah
pemberian tyrotropin-releasing hormon (TRH). Hal ini membuktikan bahwa
wanita dengan endometriosis mempunyai kemampuan lebih besar untuk
mensekresi hormon prolaktin dibandingkan wanita normal (Muse, 2002)
6. Gangguan Imunologis
Beberapa laporan telah memperlihatkan kadar imunoglobulin, cell
mediated immunity dan autoantibodi yang tinggi pada penderita
endometriosis. Fenomena imunologis lain yang melibatkan sekresi cytokine,
seperti inter-leukin (IL-1,6,8) dan tumor necrosis factor-a (TNF-a) juga telah
dilaporkan memainkan peranan dalam menyebabkan infertilitas. Hal ini akan
berpengaruh negatif terhadap implantasi dan kehamilan. Walaupun demikian
sangat sulit disimpulkan apakah gangguan imunologis ini terjadi mendahului
atau sebagai akibat endometriosis (Lebovic, 2003)
7. Inflamasi Cairan Intraperitoneal
Haney et. al tahun 2001 telah melaporkan kadar lekosit yang lebih
tinggi dalam cairan peritoneal pada penderita endometriosis dibandingkan
wanita normal, dan keadaan ini akan mengaktifkan makrofag. Makrofag
akan sangat mudah melewati bagian distal tuba. Penelitian secara in vitro
memperlihatkan bahwa makrofag pada cairan peritoneal pada penderita
infertil dengan endometriosis memfagositosis lebih banyak sperma. Jika
makrofag ini memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk
antibodi terhadap sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga terjadi
infertilitas (Abdullah, 2004)
Produk sekresi makrofag meningkat pada endometriosis, seperti
enzim proteolitik, cytokines (IL-1, Il-6,dan TNF-alpha) dan growth factors
(TGF-beta dan VEGF). Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap proses
reproduksi, antara lain mengurangi pergerakan sperma, mengganggu
interaksi sperma-sel telur, kegagalan fimbria menangkap sel telur pada saat
ovulasi, dan menghambat pertumbuhan embrio. Selain itu peningkatan
ekspresi faktor-faktor pertumbuhan diatas dalam cairan pertoneum akan
menyebabkan peningkatan aktifitas angiogenik sehingga merangsang
terjadinya adesi yang luas. Data ini menunjukkan bahwa proses inflamasi
cairan peritoneal pada endometriosis bisa sebagai penyebab infertilitas
(Abdullah, 2004).
8. Metabolisme Prostaglandin
Prostaglandin juga telah diduga memainkan peranan pada
mekanisme infertilitas pada endometriosis. Prostaglandin adalah suatu
modulator poten dan mempunyai aksi fisiologis yang luas. Malekul ini
mempunyai waktu paroh yang singkat dan efeknya terbatas pada jaringan di
sekitar tempat yang diproduksi.
Konsentrasi prostaglandin pada cairan peritoneal telah dilaporkan
lebih tinggi pada penderita endometriosis dan konsentrasinya proporsional
dengan beratnya penyakit. Sumber prostaglandin ini belum diketahui dengan
jelas, namun diduga di produksi oleh makrofag, epitel peritoneum, atau
jaringan endometriotik. Jadi, belum diketahui dengan pasti apakah
prostaglandin yang tinggi ini disebabkan primer oleh endometriosis atau
sekunder oleh proses inflamasi pada cairan peritoneal. Oleh karena itu,
Thomas tahun 2005 menyimpulkan bahwa keberadaan prostaglandin pada
endometriosis belum bisa dibuktikan sebagai penyebab infertilitas.4 Namun,
tingginya kadar prostaglandin pada endometriosis mungkin mempengaruhi
fertilitas melalui tiga cara: (1) pengurangan motilitas, (2) menyebabkan
gangguan fungsi korpus luteum, dan (3) menghambat transportasi ovum
ataupun embrio pada tuba. Tetapi tidak ada eksperimen in vivo yang bisa
mendukung mekanisme ini.
D. Penatalaksanaan Pada Endometriosis Dengan Infertilitas
1. Terapi Medikamentosa
Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, observasi, terapi
hormonal dan pembedahan (Memardeh, 2003).
a. Pencegahan
Kehamilan merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya
endometriosis, hal ini diakibatkan karena kehamilan dapat memperpanjang
periode tanpa mestruasi, pengaruh hormonal progesteron saat kehamilan
dapat mengakibatkan regresi dari endometriosis (Memardeh, 2003).
b. Observasi
Penanganan endometriosis dengan hasil pada endometriosis derajat
minimal dapat dilakukan dengan observasi dan pemberian obat-obatan
simptomatik diantaranya analgetik. Pada wanita yang sudah menopause
maka observasi tidak perlu dilanjutkan karena jaringan endometriosis akan
mengalami regresi dan akan terjadi penurunan intensitas dan frekuensi
gejala (Memardeh, 2003).
Tabel 2.1. Sediaan analgetik

Nama obat Dosis Efek samping

Ibuprofen 400 mg setiap 4–6 jam Nausea; nyeri epigastrium; anorexia;


konstipasi; perdarahan gastrointestinal

Naproxen Awal: 500 mg, dilanjutkan Nausea; nyeri epigastrium; anorexia;


250 mg setiap 6–8 jam. konstipasi; perdarahan gastrointestinal

Natrium Awal: 550 mg dilanjutkan Nausea; nyeri epigastrium; anorexia;


Naproxen 275 mg setiap 6–8 jam konstipasi; perdarahan gastrointestinal

Asam Awal : 500 mg dilanjutkan Nausea; nyeri epigastrium; anorexia;


Mefenamic 250 mg setiap 6 jam konstipasi; perdarahan gastrointestinal

Ketoprofen 50 mg setiap 6–8 jam Nausea; nyeri epigastrium; anorexia;


konstipasi; perdarahan gastrointestinal

c. Terapi hormonal
Beberapa penelitan telah dilakukan untuk menilai pengaruh
hormon terhadap endometriosis diantaranya, estrogen menginduksi
terjadinya endometriosis, progesteron masih kontroversial, pada beberapa
penelitian menyebutkan bahwa progesteron meregresi dan menghambat
perkembangan endometriosis, pada penelitian lain progesteron sendiri
dapat merangsang pertumbuhan endometriosis, akan tetapi progesteron
sintetik yang memiliki efek androgenik yang menghambat pertumbuhan
endometriosis (Memardeh, 2003). Berdasarkan hal tersebut, terdapat
setidaknya dua prinsip pengobatan hormonal pada endometriosis, yaitu :
a. Menciptakan lingkungan rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen
yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan
asiklik dapat mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi
pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis.
b. Menciptakan lingkungan tinggi androgen atau tinggi progestogen
(progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi
jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen dan
progesteron juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik
karena gangguan pada pertumbuhan folikel (Memardeh, 2003).
c. Androgen
Obat : Metiltestoteron sublingual
Dosis : 5 -10 mg per hari, diberikan 10 mg per hari pada bulan
pertama dan dilanjutkan dengan 5 mg per hari selama 2-3
bulan berikutnya.
Efek samping : Maskulinisasi (>300 mg per bulan )atau terapi jangka
panjang. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena androgen
dapat membawa cacat bawaan pada janin (Samsulhadi, 2003).
Kombinasi estrogen-progesteron
Obat : Etinil estradiol dan Norgestrel
Dosis : 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg norgestrel per hari.
Bila terjadi breakthrough bleeding, dosis ditingkatkan menjadi 0,05 mg
etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg etinil
estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Diberikan selama 6-9 bulan
(Samsulhadi, 2003).
Tabel 2. 2 Jenis Kontrasepsi Oral dalam Pengobatan Endometriosis
No. Nama obat Estrogen Progestogen
1. Noriday 0,05 mg mestranol 1 mg nortisteron
2. Microgynon 30 Nordette 0,03 mg etinil estradiol 0,015 norgestrel
3. Marvelon 0,03 mg etinil estradiol 0,015 desogrestrel
4. Eugynon 0,05 mg etinil estradiol 0,05 norgestrel

Tabel 2. 3 Kelompok Progestogen


No. Progestogen Estrogenik Progestogenik Androgenik
1. Pregnan :
MPA (Provera) - ++ -
Didrogesteron - ++ -
(Duphaston)
2. Estran :
Linestrenol (Endometril) + ++ +
Norelisteron - ++ +
3. Gonan :
Norgestrel - +++ ++
Desogestrel - +++ _
Keterangan : Dosis :
medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari selama 6-9 bulan.
moretisteron asetat 30 mg per hari selama 6-9 bulan.

Danazol
Danazol adalah turunan isoksazol dari 17 alfa etiniltestoteron.
Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi dan estrogen
rendah. Kadar androgen meningkat karena pada dasarnya danazol bersifat
androgenik (agonis androgen). Kadar estrogen yang rendah dikarenakan
danazol menekan sekresi GnRH, LH dan FSH sehingga dapat mengambat
pertumbuhan folikel; danazol mengambat kerja enzim-ensim
steroidgenesis di folikel ovarium sehingga produksi estrogen menurun
(Samsulhadi, 2003).
Dosis yang dianjurkan untuk endometriosis ringan (stadium II)
atau sedang (stadium III) adalah 400 mg per hari sedangkan untuk
endometriosis berat (stadium IV) dapat diberikan dengan dosis 800 mg per
hari. Pada dosis 400-800 mg, efek samping berupa : akne, hirsutisme, kulit
berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan dan edema.
Kehamilan dan menyusui merupakan kontraindikasi absolut pemakaan
Danazol (Samsulhadi, 2003).
GnRH analog
Gn-RH analog, baik jenis agonis maupun antagonis merupakan
pengobatan yang paling efektif menekan produksi estrogen di ovarium,
sehingga angka kekambuhannya paling rendah. Kedua jenis obat ini
menekan produksi hormon estrogen di ovarium saja. Obat inimenghambat
pembentukan estrogen di ovarium, dan menghambat pembentukan
estrogen di jaringan lemak, Durasi pengobatan 6 bulan. Efek samping :
Keluhan-keluhan seperti yang dialami perempuan menopause, seperti rasa
panas di wajah dan dada, berkeringat dan nyeri tulang dan otot
(Samsulhadi, 2003).
2. Terapi Pembedahan
Adanya jaringan ovarium yang berfungsi merupakan syarat mutlak
untuk tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu pada waktu melakukan
pembedahan, harus dapat ditentukan apakah fungsi ovarium masih harus
dipertahankan atau sudah dapat dihentikan. Fungsi ovarium harus
dipertahankan pada endometriosis yang dini, tidak memberikan gejala dan
pada wanita muda yang masih ingin mempunyai anak. Sebaliknya, fungsi
ovarium dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan
yang luas dalam pelvis, khususnya pada wanita berusia lanjut. Hanya saja,
dalam praktek, pada umumnya endometriosis berada di antara kedua
macam keadaan tersebut, sehingga sulit untuk membuat keputusan.
Dengan bertambahnya pengetahuan mengenai endometriosis, didapatkan
kecenderungan untuk bertindak konservatif (Samsulhadi, 2003). Hal
tersebut didukung dengan fakta-fakta sebagai berikut.
a. Endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu
bertahun-tahun
b. Endomtriosis bukanlah penyakit ganas dan jarang sekali menjadi
ganas.
c. Endometriosis mengalami regresi pada waktu menopause.
Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada kasus berikut :
a. Bercak jaringan endometrium memiliki diameter yang lebih besar dari
3,8-5 cm
b. Perlengketan yang berarti pada perut bagian bawah atau panggul
c. Jaringan endometrium menyumbat salah satu atau kedua tuba
d. Jaringan endometrium menyebabkan nyeri perut atau panggul yang
sangat hebat, yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif, sarang-
sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan
ovarium yang sehat, dan perlekatan sedapat-dapatnya dilepaskan. Pada
kista coklat ovarium, hendaknya tidak seluruh ovarium diangkat, tetapi
ditinggalkan bagian ovarium yang kiranya masih sehat. Pembedahan
konservatif dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni laparotomi atau
laparoskopi operatif. Laparoskopi operatif mempunyai beberapa
keuntungan jika dibandingkan dengan laparotomi (Memardeh, 2003).
Tabel 2. 4 Perbandingan Laparoskopi operatif dengan laparotomi
No. Pembanding Laparoskopi operatif Laparotomi
1. Lama tinggal di 0,5 – 2 hari 5 – 5,7 hari
rumah sakit
2. Kembalinya 7-10 hari 4-6 minggu
aktivitas kerja
3. Luas dan derajat lebih sedikit (23%) lebih banyak (56%)
perlekatan setelah
tindakan

Pada saat laparoskopi, lesi endometriosis yang terlihat perlu


dikauter, dan bila ditemukan kista coklat > 4 cm, perlu dilakukan
kistektomi. Perlu diketahui, meskipun telah dilakukan kauterisasi secara
menyeluruh dan benar, lesi-lesi endometriosis tidak akan pernah 100%
hilang (Memardeh, 2003).
Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis
yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit
yang luas disertai dengan banyak keluhan. Operasi yang paling radikal
adalah histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan pengangkatan
semua sarang-sarang endometriosis yang ditemukan. Namun, pada wanita
kurang dari 40 tahun dapat dipertimbangkan untuk meninggalkan sebagian
dari jaringan ovarium yang sehat. Hal ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya gejala-gejala premenopause atau menopause dini dan
mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis (Memardeh, 2003).

3. Prinsip Penatalaksanaan Standar Pelayanan Medis (SPM) Perhimpunan ahli


Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI)
a. Endometriosis minimal ringan, aktif
Eliminasi lesi dengan koagulasi dengan kauter bipolar, atau
vaporisasi dengan laser. Namun lesi yang terletak di daerah vital,
atau tidak dapat melakukan koagulasi secara maksimal perlu
dilanjutkan dengan pengobatan hormonal. Perlu dibedakan antara
lesi aktif dan nonaktif. Lesi aktif biasanya berwarna merah,
kehitaman, kecoklatan, kuning tua. Lesi nonaktif biasanya pucat,
fibrotik, abu-abu. Secara PA: aktif banyak kelenjar, nonaktif banyak
stroma. Hanya endometriosis aktif yang memiliki respon terbaik
dengan pengobatan hormonal (Samsulhadi, 2003).
Bila lesi telah dapat di eliminasi semua, maka apakah perlu
dilanjutkan lagi dengan hormonal, masih terjadi silang pendapat.
Sebagian ahli memberikan progesteron seperti MPA 3 x 10mg/hari,
atau Danazol 3 x 200 mg/hari, selama 6 bulan. Pada wanita ingin
anak dapat dilanjutkan langsung dengan penanganan infertilitas
(tanpa perlu pengobatan dengan Progesteron) (Samsulhadi, 2003).
b. Endometriosis minimal ringan, nonaktif
Kauterisasi lesi, atau vaporisasi dengan laser, dan bila setelah
tindakan wanita mengeluh nyeri kembali, perlu diberikan
analgetika/antiprostaglandin. Progesteron juga memiliki anti
prostaglandin, namun harus diberikan dosis tinggi (2 x 50mg), selama
6 bulan. Pada wanita yang ingin anak dapat dilanjutkan lagi dengan
penanganan infertilitas (Samsulhadi, 2003).
c. Endometriosis minimal ringan, kombinasi aktif non aktif
Pengobatannya diperlakukan seperti pengobatan
endometriosis aktif(Samsulhadi, 2003).
d. Endometriosis sedang-berat, aktif
Pada saat laparoskopi, dilakukan aspirasi kista atau lesi
endometriosis dan biopsi dinding kista (terutama pada wanita
infertilitas), kemudian tindakan dihentikan. Berikan pengobatan
hormonal 6 bulan. Tujuannya untuk mengurangi proses imflamasi
dan proses vaskularisasi pada ovarium, sehingga kista tidak mudah
pecah, mudah mengupasnya, jumlah perdarahan sedikit, kerusakan
pada jaringan ovarium menjadi minimal. Jenis sedian hormonal yang
dipilih adalah Gn-RH analog, atau Danazol, lama pemberian adalah
6 bulan. Setelah pengobatan hormonal selesai, baru dilakukan
tindakan pembedahan. Setelah tindakan pembedahan dilanjutkan
lagi dengan terapi hormonal seperti semula. Atau, pada saat
laparoskopi langsung dilakukan pengangkatan kista dan baru
kemudian diberikan terapi hormonal 6 bulan. Bila dilakukan USG
dan diyakini adanya kista coklat, pada wanita infertilitas dilakukan
terlebih dahulu pengobatan hormonal 6 bulan dan baru kemudian
dilakukan tindakan operasi. Pascaoperasi dilanjutkan lagi dengan
terapi hormonal 6 bulan lagi (Samsulhadi, 2003).
Pada wanita yang tidak menginginkan anak dapat langsung
dilakukan tindakan operatif, dan setelah itu dilanjutkan dengan terapi
hormonal. Pada wanita yang ingin anak ditangani dengan cara yang
sesuai(Samsulhadi, 2003).
e. Endometriosis sedang berat, nonaktif
Tindakan operatif segera, kauterisasi, atau vaporisasi,
kistektomi. Dilanjutkan dengan pemberian analgetik, atau
progesterone (Samsulhadi, 2003).
f. Endometriosis tersembunyi
Kadang-kadang pada laparoskopi tidak terlihat lesi
endometriosis, namun wanita mengeluh nyeri haid hebat. Sebenarnya
lesi tersebut ada, tetapi tidak terlihat oleh operator, karena lesi
tersebut infiltrasi ke jaringan melebihi 10 mm. Saat laparoskopi,
semprotkan cairan metilen blue ke peritoneum, ligamentum
sekrouterina, dinding visika, kemudian cairan tersebut di isap. Lesi
endometriosis akan terlihat berupa bintik-bintik biru. Semua lesi di
kauter, atau120 vaporisasi. Setelah itu terapi hormonal 6 bulan
(progesteron, atauGn-RH analog) (Samsulhadi, 2003).
Pada wanita usia muda yang terbaik tetap dilakukan
laparoskopi. Namun kadang-kadang dapat diberikan pil kontrasepsi
kombinasi atau tablet progesterone pada wanita muda yang tidak mau
dilakukan laparoskopi. Pada lesi rektovaginal dapat diberikan terapi
dengan Gn-RH analog 6 bulan, dan baru kemudian dilakukan
tindakan operatif (laparoskopi Operatif). Prinsip Dasar Penggunaan
Gn-RH Analog :
1. Pada endometriosis berat dengan infertilitas sebaiknya Gn-RH
analog diberikan 6 bulan.
2. Selama pemberian Gn-RH analog selalu diberikan “addback
therapy” dengan estrogen + progestogen.
3. Pada pemberian Gn-RH agonis terjadi perdarahan (flare up)
beberapa hari setelah suntikan pertama.
4. Pada penggunaan Gn-RH agonis, dapat terjadi amenorea
beberapa bulan setelah suntikan terakhir (Samsulhadi, 2003).

4. Terapi IVF (In Vitro Fertilization)

Gambar 2. Cara kerja terapi IVF

Cara kerja terapi IVF pada mulanya yang dilakukan adalah


memberikan suntikan hormon gonadotropin pada pasien yang akan
dilakukan IVF untuk mengoptimalkan perkembangan folikel, perkembangan
folikel tersebut kemudian dipantau dengan menggunakan USG
(Ultrasonografi). Pada USG dilakukan untuk melihat ovarium yang
menunjukkan terbentuknya folikel antral. Kedua ovarium terlihat telah
terbentuk folikel akibat stimulasi dari hormon gonadotropin. Setelah sel
telur pada ovarium terstimulasi, maka dilakukan aspirasi cairan folikel yang
dipandu menggunaka USG transvaginal. Telur yang sudah diambil
kemudian dilakukan kultur secara in vitro dengan mempertemukan dengan
sperma yang motil dan berjumlah banyak. Sperma nantinya akan melekat
pada zona pellucida telur. Telur juga dapat dibuahi dengan cara mengijeksi
sperma dengan teknik intracytoplasmic yaitu menyuntikkan sperma ke
dalam telur dengan menggunakan pipet pada kaca tipis. Teknik IVF lebih
banyak dilakukan oleh kaus-kasus dengan laki-laki yang tidak subur.
Beberapa embrio yang dibudidayakan hingga 3 sampai dengan 5 hari
sebeum embrio dipilih dan ditransfer ke dalam rahim (Voorhis, 2007)
Resiko yang dapat diperoleh dari penggunaan terapi dengan cara IVF
diantaranya adalah : (Voorhis, 2007)
a. Kehamilan multipel
Secara umum pada terapi IVF embrio yang ditransfer ke dalam
rahim ibu lebih dari satu untuk mengurangi resiko kegagalan, sehingga
resiko terjadinya kehamilan multipel lebih tinggi. Pada kehamilan
multiple memiliki resiko mengalami kejadian kelahiran prematur,
hipertensi pada kehamilan, perdarahan postpartum dan walaupun jarang
dapat menimbulkan kematian
b. Resiko buruk terhadap perinatal
Kehamilan yang dapat dicapai dari terapi IVF memiliki resiko
untuk terjadinya kematian terhadap perinatal, berat bayi lahir rendah
(BBLR), dan kelahiran prematur dibandingkan dengan kehamilan yang
diperoleh dengan cara spontan. Resiko tambahan lain yang dapat terjadi
akibat kehamilan dari terapi IVF adalah diabetes gestasional, plasenta
previa, dan kejadian preeklampsia, semua itu juga dipengaruhi oleh usia
ibu yang menggunakan terapi IVF dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi angka keberhasilan tercapainya kehamilan setelah terapi
dengan IVF.
c. Kelahiran cacat
Beberapa penelitian mengatakan bahwa teknologi reproduktif
khususnya IVF memiliki resiko adanya kelahiran cacat. Cacat pada
kelahiran bayi yang dihasilkan dari terapi IVF lebih sering terjadi
kelianan pada jantung dan sistem muskuloskeletal. Kecacatan pada
kelahiran bayi juga dapat disebabkan karena kegagalan pada proses
pencetakan, kegagalan tersebut disebut dengan sindrom Beckwith-
Wiedemann dan sindrom Angelmans.
d. Resiko terhadap kesehatan ibu
Ovarian hyperstimulation syndrome merupakan konsekuensi
jangka pendek akibat perlakuan dari terapi IVF yaitu dengan
menyutikan hormon gonadotropin sebagai stimulasi pembentukan
folikel yang dapat mengakibatkan gangguan pada awal kehamilan.
Gejala yang muncul dari sindrome tersebut adalah terjadinya
pembesaran pada ukuran ovarium dari ukuran normal, nyeri pada
pelvic, gangguan cairan hemodinamik, dan terkadang mengakibatkan
terjadinya acites. Gangguan terjadi setelah beberapa minggu dilakukan
perlakuan dan tidak menimbulkan kematian.
Efek jangka panjang setelah dilakukan terapi IVF diduga karena
estradiol yang tinggi dan progesteron yang dihasilkan dari stimulasi
ovarium diduga mengakibatkan meningkatnya resiko terjadinya kanker
payudara dan kanker pada ginekologi.
BAB III
METODOLOGI

Metode Penelitian
Metode penilitian yang digunakan adalah studi observasional pada kasus
reproduksi dengan melihat hasil dari terapi secara holistik dengan kombinasi
pembedahan dan/atau IVF pada 825 pasien yang menderita endometriosis dengan
infertilitas, dengan usia rata-rata 35,3 ± 3,1 tahun (range 20-40) dan dengan lama
masa infertilitas antara 3,2 ± 2,3 tahun. Responden pada penelitian adalah pasien
yang telah didiagnosis endometriosis stadium III-IV dengan endometrioma kistik
dengan ukuran rata-rata 5,8 ± 2,1 cm yang dilihat dengan menggunakan USG dan
/ atau laparoskopi di departemen studi pada periode anatar tahun 2001-2005.
Endometriosis merupakan faktor terjadinya infertilitas yang terjadi pada semua
kasus pada penelitian ini. Operasi dengan menggunakan endoskopi digunakan
untuk mengobati 483 pasien (kelompok 1a), cystectomy kapanpun dapat dilakukan
untuk pengangkatan kista yang kemudian dilakukan analisis secara histopatologis
untuk mengkonfirmasi asal endometriosis terjadi. Tindak lanjut mengenai pasien
harus dilakukan hingga akhir tahun 2008. Sebagian besar pasien yang infertil
mengeluh dysmenorrhea dan / atau dyspareunia. Variabel yang dinilau adalah
kehamilan secara klinis yang diperoleh langsung setelah menjalani terapi
pembedah sebagai terapi primer dan interval waktu yang dibutuhkan untuk
mecapai kehamilan yang diinginkan, serta parameter lain yang berpengaruh
seperti pembedahan yang dilakukan sebelumnya, adanya lesi unilateral atau
bilateral serta kekambuhan dari penyakit tersebut.
Pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah melakukan terapi
pembedahan telah memilih terapi dengan menggunakan IVF (kelompok 1b). 173
pasien dengan endometriosis yang memilih tidak melaukan terapi pembedahan
dan memilih untuk dilakukannya terapi IVF (kelompok 2). Kelompok perlakuan
(kelompok 3), yaitu 169 responden yang mengalami infertilitas dan didiagnosis
menderita endometriosis serta tidak menjalani operasi apapun. Untuk melihat
cadangan ovarium pada pasien dengan endometriosis, dapat dilihat dari kelompok
kontrol pasien yang mengalami infertilitas tetapi tidak didiagnosis menderita
endometriosis tetapi infertilitas disebabkan oleh faktor yang berasal dari laki-laki.
Jumlah pasien tersebut sebanyak 334 responden yang menjalani terapi IVF,
dengan rata-rata usia adalah 34,3 ± 4 tahun dan dengan durasi masa infertilitas 2,9
± 3,2 tahun. Kelompok responden yang mendeita infertil yang disebabkan oleh
endometriosis dengan kelompok responden yang menderita infertil disebabkan
oleh faktor laki-laki sebanding dengan melihat dari usia an durasi masa
infertilitas.
Analisis Statistik
Uji statistik t-test digunakan untuk membandingan variabel kuantitatif,
sedangkan uji statistik chi-square, Pearson, dan fisher digunakan untuk
membandingkan variabel kualitatif. Analisis Kaplan-Meier digunakan untuk
mengukur kejadian kehamilan yang diukur berdasarkan rentang waktu. Tes yang
dilakukan memiliki tingkat signifikan P=0,05.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Pilihan terapi utama dengan melakukan laparoskopi pada 483 pasien
(kelompok 1a; 58,5%) dengan hasil yang dicapai untuk mengalami kehamilan
setelah dilakukan pembedahan sebesar 54,2%. Rata-rata waktu yang diperlukan
untuk mecapai kehamilan sebesar 11,2 bulan (1-66 bulan). 221 pasien yang tidak
mengalami kehamilan setelah terapi pembedahan, 144 pasien memilih terapi IVF
(kelompok 1b) dan menjalani terapi pengambilan oosit, hasil yang didapat adalah
sebanyak 56 pasien mengalami kehamilan (30,4% terjadi kehamilan secara
klinis).
Pasien dengan endometriosis yang memilih IVF sebagai terapi primer
dan menolak terapi pembedahan sebanyak 173 responden (kelompok 2), rata-rata
dari mereka didiagnosis juga menderita endometrioma dengan diameter rata
sebesar 5,4 ± 3,2 cm. Kelompok tersebut sebanding dengan 483 kelompok yang
memilih terapi laparoskopi sebagai pilihan dengan melihat usia pasien dan durasi
lamnya infertilitas. Pasien yayang memilih terapi dengan menggunakan IVF
sebesar 211 pasien yang dilakukan pengambilan oosit, 68 pasien mengalami
kehamilan (32,2% kehamilan secara klinis).
Usia pasien memiliki efek pada hasil akhir dari dua pilihan terapi.
Kelompok 1a 61,6% (229/372) pasien yang berusia kurang dari 35 tahun menjadi
hamil, dengan durasi rata-rata mencapai 12,5 bulan (1-66 bulan) dan hanya 29,7%
(33/111) pasien yang berusia 35 tahun atau lebih dapat menjadi hamil (P < 0,05),
dengan durasi mencapai kehamilan rata-rata 6,6 bulan (1-14 bulan) (Tabel 1,
Figure 1). Kelompok 2 yang memilih IVF sebagai terapi utama, pasien yang
berusia 35 tahun mengalami kehamilan sebanyak 35,7% (51/143) yang secara
signifikan lebih tinggi dari psien yang berusia 35 tahun atau lebih sebesar 25,0%
(17/168) (P< 0,05; Tabel 1).
Kelompok perlakuan kontrol (kelompok 3), yaitu pasien yang didiagnosis
endometriosis tetapi tidak menjalani terapi apapun mencapai kehamilan spontan
hanya dalami oleh 11,8% (20/169) pasien, dengan data diperoleh dari wawancara
pribadi dan telepon pada periode 2001-2008.
Pasien yang memilih gabungan terapi antara terapi pembedahan dan
terapi IVF tidak mengalami kehamilan selama 1 tahun setelah perlakuan perlu
diperhatikan, pada pasien tersebut angka kehamilan mencapai 318 pasien dari 483
pasien yaitu sebesar 65,8%, jumlah tersebut lebih besar dari anka kemilan yang
didapat dari terapi pembedahan saja yaitu sebesar 54,2% (P < 0,0001). Pasien
yang memilih IVF saja sebagai terapi primer angka kehamilan mencapai 32,2% (P
< 0,0001) dan pasien yang tidak menjalani terapi apapun angka kehamilan
mencapai 11,8% (P < 0,0001; tabel 2).
Analisis yang telah dilakukan pada pengobatan pasien endometriosis
dengan infertilitas baik itu terapi pembedahan dan/atau IVF menimbulkan
serangkaian kontroversial, oleh karena itu pada data yang diperoleh perlu
dilakukan analisa tambahan agar hasilnya lebih akurat.
Cadangan ovarium dan responnya terhadap stimulasi
Cadangan ovarium dari 825 responden yang belum menjalani pengobatan
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 334 pasien yang akan
menjalani terapi IVF tetapi faktor infertilitas berasal dari laki-laki dan disesuaikan
dengan usia. Pasien dengan endometriosis memiliki konsentrasi basal follicle-
stimulating hormone pada hari siklus 3-5 hari sebesar 8,8 ± 6,3 U/I, yang secara
signifikan lebih tinggi dari kelompok kontrol yang konsentrasi basal follicle
stimulating hormone sebesar 7,5 ± 3 U/I (P < 0,004). Konsentrasi follicle antral
pada pasien yang menjalani IVF adalah 7,3 ± 4 filikel antral, yang secara
signifikan lebih rendah dari kelompok kontrol yang konsentrasi antral fillicle
sebesar 10,2 ± 5,1 (P < 0,004).
Pada terapi IVF antar pasien dengan infertilitas dikarenakan
endometriosis dan laki-laki sebagai penyebab infertilitas (kelompok 1b, n=144;
kelompok 2, n=173; total n=317), pasien dengan endometriosis memiliki
tanggapan yang buruk terhadap stimulasi ovarium, sehingga memerlukan jumlah
hormon gonadotropin yang lebih besar dan rendahnya produksi folikel dan oosit
yang matang. Oleh karena itu, jumlah total embrio dan embrio beku pada pasien
dengan endometriosis secara signifikan lebih rendah daripada pasien dengan
kelompok kontrol (P < 0,000 dan P < 0,000 pada masing-masing kelompok).
Tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemukan pada live-birth rate antara
kelompok studi dengan kelompok kontrol (Tabel. 3).
Apakah terapi pembedahan pada pasien endometriosis memiliki efek pada
hasil akhir siklus IVF?
Hasil dari terapi infertilitas dengan menggunakan IVF pada kelompok 2
yang tidak menjalani operasi dengan kelompok 1b yang menjalani operasi
sebelumnya ditemukan bahwa pada kelompok 2 produksi folikel > 16 mm dan
jumlah oosit matang yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok 1b (P <
0,03).
Apakah terdapat perbedaan hasil IVF antara pasien yang menjalani terapi
pembedahan untuk endometriosis bilateral atau endometriosis unilateral?
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 51 pasien yang
datang untuk menjalani terapi IVF dengan endometriosis yang mengenai kedua
ovariumnya (bilateral) produksi folikel lebih sedikit > 16 mm dan jumlah oosit
matang yang lebih sedikit pula dibandingkan dengan 93 pasien yang menderita
endometriosis pada satu ovariumnya.
Dapatkan terapi IVF dilakukan pada pasien yang sebelumnya sudah
menjalani terapi pembedahan kemudian mengalami kekambuhan?
Sebanyak 144 pasien yang menjalani terapi IVF dan tidak menjalani
terapi pembedahan mengalami kehamilan, sedangkan 32 pasien mengalami
kekambuhan endometriosis. Pasien yang memiliki cadangan ovarium yang baik,
dengan konsentrasi basal fillicle-stimulating hormone sebesar 12,5 ± 5,9 U/I
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi basal follicle-stimulating
hormone pada pasien yang tidak terjadi kekambuhan pada endometriosis sebesar
7,7 ± 3,3 U/I. (P < 0,01). Angka kehamilan klinis yang diperoleh dari kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Tabel 4.1. Endometriosis dengan infertilitas; Angka Kejadian Kehamilan setelah
Terapi Pembedahan dan/atau IVF
Umur Kelompok 1a (terapi pembedahan) Kelompok 1b Kelompok 2
(n = 483) (Pembedahan (IVF sebagai
dan IVF) terapi utama)
(n = 144)a (n = 173)b
Kehamilanc Waktu (Bulan) Kehamilanc Kehamilanc
< 35 tahun 229/372 (61,6) 12,5 ± 12 (1-66) 34/99 (34,3) 51/143 (35,7)
≥ 35 tahun 33/111 (29,7) 6,6 ± 7,2 (25,9) 22/85 (25,9) 17/68 (25,0)
Jumlah 262/483 (54,2) 11,8 ± 12,1 (1-66) 56/184 (30,4) 68/211 (32,2)
Nilai total (%) dan niali rata-rata ± SD (range)
a
184 IVF cycle
b
IVF cycle
c
P < 0,05

Gambar 3. Pengaruh umur Pada Kejadian Kehamilan setelah Terapi Pembedahan


Tabel 4.2. Endometriosis dengan infertilitas; Angka Kejadian Kehamilan dengan
Terapi yang Berbeda
Kelompok 1a Kelompok 1b Kelompok Kelompok 3
(pembedahan) (Pembedahan 2 (tidak
(n = 483) dan IVF) (IVF melakukan
(n = 483) sebagai terapi)
terapi (n = 169)
utama)
(n = 173)
Kehamilan 262 262 - -
setelah terapi
pembedahan
(n)
Kehamilan - 56 68 -
setelah terapi
IVF (n)
Jumlah 262 318 68 20 (spontan)
Kehamilan
Tingkat 54,2 65,8 32,2 11,8
kehamilan
klinis yang
didapatkan (%)
Kelompok 1a dengan Kelompok 1b; P < 0,0001.
Kelompok 1a dan 1b dengan Kelompok 2; P < 0,0001
Kelompok 1a dan 1b dengan Kelompok 3; P < 0,0001
Kelompok 2 dengan Kelompok 3; P < 0,0001

Tabel 4.3. Hasil Akhir Terapi IVF Pada Pasien Infertilitas karena Endometriosis
dan Pasien Infertilitas karena Faktor Laki-Laki.
Endometriosis Infertilitas P-value
(n = 317) karena faktor
laki-laki
(n = 334)
HCG on day of estradiol (pg/ml) 1843,2 ± 1368 1889 ± 981 NS
Folikel 8,3 ± 5,8 11,2 ± 3,1 <0,001
MII oosit 6,7 ± 5,2 10,3 ± 6 <0,001
Jumlah embrio 4,0 ± 3,4 4,5 ± 3,8 <0,001
Embrio frozen 1,9 ± 3 2,7 ± 1 <0,001
Kelahiran hidup pada tiap pasien 97/317 (30,6) 112/334 (33,5)
NS
Ket :
Nilai rata-rata ± SD atau nilai total (%)
HCG :Human Chorionic Gonadotropin; MII :Metafase II; NS: Not Statistically
Significant
Pembahasan
Ada beberapa pilihan terapetik yang tersedia untuk penatalaksanaan
endometriosis yang berhubungan dengan infertilitas dan sekarang sudah terdapat
informasi yang sufisien untuk mengklarifikasi pilihan yang terbaik dalam
penatalaksanaan endometriosis. Penatalaksanaan pilihan pertama akan dibatasi
pada kasus-kasus yang sangat menyakitkan dan akan diberikan pada periode pre-
operatif. (Darai et al, 2007). Hal ini diterima bahwa operatif merupakan
penatalaksanaan yang seharusnya karena efikasinya dan juga tingkat
keamanannya. (Chapron et al.,2002; Marcoux et al., 1997; Moayeri et al., 2009;
Ouahbaet al., 2004; Pouly et al., 2007; Vercellini et al., 2009).
Indikasi operasi lebih besar jika ada pengaruh dari intestinal. Pada kasus
ini, reseksi laparoskopi pada segmen yang dipengaruhi intestinal dapat
meningkatkan performa pada reproduksi. (Darai et al., 2008; Ferrero et al., 2009;
Stepniewska et al., 2009), meskipun peningkatan tersebut tidak begitu jelas pada
pasien usia muda. (vercellini et al, 2006). Adapun untuk kekambuhan, penelitian
saat ini ditemukan tingkat kekambuhan setelah tindakan operasi adalah 22% ,
dimana sesuai dengan tingkat kekambuhan pada sebagian besar penelitian sebesar
20-30% untuk waktu 2 tahun, dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien
muda dengan kista yang lebih besar, menerima pengobatan tambahan dan tidak
hamil. (Guo 2009, Koga et al 2006). Pada kasus-kasus ini, efikasi dari IVF terlihat
lebih besar dibandingkan dengan intervensi bedah (Aboulghar et al., 2003; Fedele
et al.,2006; Vercellini et al., 2009a,b). Ada satu alternatif yang harus dipikiran
pada kasus-kasus endometrioma yang berulang, aspirasi evakuasi yang
dikombinasikan dengan skleroterapi etanol dapat berkontribusi pada kehamilan
yang spontan dan juga untuk melindungi ovarium pada upaya IVF nantinya.
(Noma and Yoshida, 2001; Pabuccu et al., 2004; Yazbecket al., 2009).
Keuntungan tambahan pada penatalaksanaan operasi adalah berasal dari
kemungkinan bahwa sebuah diagnosis dini dari pengaruh neoplastik pada ovarium
dapat disingkirkan. (Somigliana et al., 2006b,c; Viganó et al., 2006). Ada
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa endometriosis dapat menjadi faktor
risiko terjadinya kanker ovarium. (Brinton et al., 2004; Melin et al., 2006) dan
bahwa hubungan infertilitas dengan endometriosis dapat juga meningkatkan risiko
dari neoplasia lainnya seperti melanoma dan kanker tiroid (Brinton et al, 2005).
Untuk alasan ini, beberapa penulis mengusulkan bahwa sebuah diagnosis yang
tepat, adalah kunci untuk menghindari antara endometriosis yang mungkin dan
sebuah pengaruh neoplastik pada pelvis (Banz et al., 2009; Goumenou et al.,
2006), dan tata laksana operatif yang lengkap adalah hal yang fundamental untuk
mengurangi risiko neoplasia ovarium yang tampak pada pasien-pasien tersebut
(Nezhat et. al, 2008).
Pada pengobatan infertilitas, efikasi dari bedah itu sendiri adalah lebih
kecil jika dibandingkan dengan hasil yang didapat pada kombinasi dengan IVF.(
penelitian ini, coccia et al, 2008). Ada satu aspek penting yang harus diingat
adalah cadangan ovarium pada penderita endometriosis, penelitian ini telah
menunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut memiliki lebih sedikit cadangan
bahkan sebelum dilakukan tindakan operasi. Hal sama yang ditemukan yang telah
dipublikasikan pada pasien yang menunjukkan endometrioma ovarium unilateral
yang tidak menjalani operasi ovarium sebelumnya (Gupta et al., 2006; Somigliana
et al., 2006a). Perdebatan menyinggung efek dari operasi endometriosis pada
cadangan ovarium; beberapa penulis telah menunjukkan bahwa respon ovarium
pasien dengan endometriosis yang parah dan eksisi bedah lebih rendah daripada
pasien dengan endometriosis minimal atau ringan tanpa bedah ovarium (Busacca
et al., 2006; Horikawa et al., 2008; Matalliotakis et al., 2007; Yazbeck et al.,
2006). Namun penulis lainnya telah menunjukkan bahwa laparoscopic ovarian
cystectomy pada endometrioma tidak berpengaruh pada cadangan ovarium dan
berespon pada stimulasi (Marconi et al., 2002; Tsolakidis et al., in press).
Temuan yang sama telah dipublikasikan pada tinjauan sistematik saat ini dan meta
analisis dari lima penelitian yang membandingkan pembedahan dengan
endometrioma yang belum diobati sebelum IVF (Tsoumpou et al, 2009). Ada hal
yang kontroversi seperti apakah respon terhadap rangsangan setelah operasi untuk
mengobati endometrioma jadi lebih baik (Somigliana et al, 2006a), lebih buruk
(Esinler et al 2006, Somigliana et al, 2008) atau tidak berpengaruh sama sekali
(Garcia-Velasco et al, 2004). Adalah hal penting untuk menunjukkan bahwa
tampaknya endometrioma yang tidak dioperasi tidak akan berkembang dari efek
stimulasi siklus IVF (Benaglia et al, 2009).
Dengan hasil penelitian ini, IVF seharusnya disarankan sebagai pilihan
pertama hanya dalam kasus dimana ada beberapa faktor tambahan pada infertilitas
atau dimana ada beberapa kontraindikasi pada pembedahan. Seluruh penelitian
setuju bahwa IVF seharusnya direkomendasikan untuk pasien-pasien infertil yang
tidak menjadi hamil setelah operasi endometriosis. Namun hal itu tetap menjadi
pertanyaan. Dari hasil penelitian ini, jawaban bervariasi dari umur pasien. Pasien
yang lebih muda usianya dari 35 tahun bisa menunggu 1 tahun setelah operasi
untuk dilakukan tindakan IVF dan pasien yang berusia lebih tua
direkomendasikan untuk menjalani IVF setalah 6 bulan pasca operasi. dengan
memperhatikan protokol stimulasi ovarium, protokol yang biasa yang
berkombinasi gonadotrophins dan gonadotrophins releasing hormone agonis atau
antagonis mendapat respon yang baik jika cadangan ovarium normal (Zikopoulus
et al, 2004). Menerima bahwa kemungkinan respon yang lebih rendah pada
pasien-pasien ini, apakah ya atau tidak mereka telah dioperasi, siklus IVF yang
menghasilkan biasanya baik, dengan rasio kehamilan pada target yang diinginkan
dan bisa dibandingkan dengan mereka yang dicapai dalam siklus IVF yang
dilakukan diluar dari indikasi lain. Untuk pasien yang menggunakan IVF sebagai
pilihan penatalaksanaan primer dan tidak mngalami kehamilan, pembedahan
laparoskopi bisa diusulkan untuk membantu meningkatkan kesempatan mereka
untuk hamil, spontan ataupun sebelum upaya IVF dilakukan (Littman et al, 2005).
Penelitian ini sesuai dengan laporan yang lain tentang perkembangan
kehamilan dengan endometriosis tidak menimbulkan masalah yang lebih besar
dibandingkan dengan kehamilan diperoleh dengan indikasi lain (Kortelahti et al,
2003). Namun, beberapa penulis mengusulkan bahwa kehamilan pasien yang
menderita endometriosis seharusnya dipertimbangkan sebagai risiko tinggi
kelahiran preterm, perdarahan antepartum, komplikasi plasental, preeklampsi dan
section caesarean ( Omland et al, 2005, Stephansson et al, 2009).
Kesimpulannya, pasien dengan endometriosis harus menjalani pengobatan
pembedahan sebagai pilihan pertama. Pasien yang tidak menjadi hamil setelah
pembedahan harus dilakukan dengan IVF dan kemungkinan mereka untuk hamil
adalah identik dengan pasien lain yang dilakukan IVF untuk indikasi yang
lainnya. Kombinasi dari pembedahan dan IVF menawarkan kesempatan terbaik
untuk hamil pada pasien-pasien dengan kasus ini.
BAB V
KESIMPULAN

1. Angka kejadian kehamilan pada pasien endometriosis dengan infertilitas


yang melakukan terapi pembedahan dan / atau IVF diperoleh bahwa pada
usia < 35 tahun memiliki kesempatan lebih tinggi dibandingkan dengan
usia > 35 tahun.
2. Usia memiliki pengaruh terhadap pencapaian kehamilan pada pasien
endometriosis dengan infertilitas.
3. Terapi gabungan dengan pembedahan dan IVF memiliki persentase tingkat
kehamilan yang tinggi (65,8%) dibandingkan dengan yang memilih terapi
pembedahan (54,2%), terapi IVF (32,2%) dan yang tidak melakukan terapi
apapun (11,8%)
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nusratuddin. 2004. Hubungan Endometriosis dengan Infertilitas.


Volume 25 No.2. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin :
Makassar.
Barri, N. Pedro. 2010. Endometriosis- associated Infertility : surgery and IVF, a
comprehensive therapeutic approach. doi : 10. 1016/j. rbmo. 2010. 04026.
reproductive health care. Departement of Obstetric, Gynecologi and
Reproduction. Institute Universitary Dexeus Barcelona. Spain.
Bayer, S.R. and Seibel, M.M. Endometriosis: Pathophysilogy end Treatment. In:
Infertility a Comprehensive Text. USA: Apleton & Lange. 2001: 111-
128.
Cheeseman, K.L., Ben-Nun, L, Chatterton, R.T., et al. The Relationship of
Luteinizing Hormone, Pregnanediol-3- Glucoronide and Estriol-16-
Glucoronide in the Urine of Infertile Women with Endometriosis. Fertil
Steril. 2002: (38): 542-548.
Dmowski, W.P., Rao, R., Scommegna, A. The Lutenized Unruptured Follicle
Syndrome and Endometriosis. Fertil Steril. 2009: (33): 30-34.
Drake, T.S. and Grunet, G.M. The Unsuspected Pelvic Factor in the Infertility
Investigation`. Fertil Steril. 2002: (34); 27-31.
Evers J.L. Do all women have endometriosis? Reflection on patogenesis. In
Minaguchi H and Sugimoto O, Endometriosis today and and advances in
research aand practice, The proceeding of V th Congress of
endometriosis, Yokohama, Japan, October 1996
Haney, A. The Pathogenesis and Aetiology of Endometriosis. In: Modern
Approach to Endometriosis. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
2001: 3-19.
Hasson, H.M. Incidens of Endometriosis in Diagnostic Laparoscopy. Reprod
Med. 2000: (16):135-138.
JOGC. 2010. Endometriosis : Diagnosis and Management. Journal of Obstetcs
and Gynecology Canada.
Konickz, P.R., Brosens, LA., Corvelyn, V.A. A Study of Plasma Progesterone,
Oestradiol 17.., Proladin and LH Levels and of the Luteal Phase
Appearance of the Ovaries in Patients with Endometriosis and Infertility.
British / Obstet and Gynecol. 2004: (85): 246-250.
Kusuma Andriana, I Wayan Arsana W. 2003. Profil Penderita Endometriosis RS
DR Saiful Anwar Malang-Jwa Timur 2001-2003.. Jurnal Universitas
Muhamadiyah Malang.
Lebovic D.I, Mueller M.D,Hornung D,Tay;or R.N. Immunology of
endometriosis. Immunol allergy Clin North America. 2003:(22):3;573-
579.
Memardeh, S M.; Muze, K N. Jr.; Fox, M.D. 2003. Endometrosis. Dalam :
Current obstetry and gynecology diagnosa and therapy. 9th ed. Boston:
Mc Graw Hill, 707-75
Muse, K.N., Wilson, E.A., Jawad, M.A. Prolactin Hyperstimulation in Respons to
TRH in Patients with Endometriosis. Meeting of the Society
forGynecologic Investigation. Dallas Texas, March, 2002.
Norwitz, E. J, Schorge. 2006. At a Glance Obstetri & Ginekologi.Edisi Kedua.
Penerbit Erlangga, Jakarta
Rock, J.A. Endometriosis: a Current Concept. First Advanced Laparoscopic
Workshop for Gyneclogists and General Surgeion. Royal Women
Hospital, October 29-31,2000:130149.
Samsulhadi. 2002. Endometriosis dari Biomolekuler sampai Masalah Klinik.
Dalam Obstetri dan Ginekologi vol. 10 no. 1. Diterbitkan : SMF Obstetri
dan Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Stefensson. 2002. Potential involvement of the immune system in the
development of endometriosis. Reproductive Biology and Endocrinology;
5 : 1-5
Straty, LH., Molgaard, C.A., Coulam, C.B., et al. Endometriosis and Infertility: a
Laparoscopic Study of Endometriosis among Fertile and Infertile
Women•. Fertil Steril. 2006: (38): 667-672.
Sumapraja, Suradji. 2007. Infertilitas. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.
Thomas, E.J. Endometriosis, Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. 2001: 113-
150.
Voorhis, Bradley. J. 2007. In Vitro Fertilization. Devision of Endocrinologi and
Infertility, University of Lowa School of Medicine. N. Engl. J. Med
2007; 356:379-86.

Anda mungkin juga menyukai