Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekonomi Syariah

Dalam pandangan Islam, ekonomi atau iqtishad berasal dari kata qosdum

yang berarti keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (equally balanced).

(Fauzia dan Abdul, 2014: 3)

Pada intinya Ekonomi Syariah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan

permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islam di sini adalah

cara-cara yang mendasarkan atas ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan

Sunnah Nabi. Dengan pengertian seperti ini maka istilah yang juga sering

digunakan adalah Ekonomi Syariah. (P3EI, 2012 : 17)

Beberapa ekonom memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari

Ekonomi Syariah adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim sendiri.

Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara

Muslim dimana nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan. Untuk memberikan

pengertian yang lebih jelas maka berikut disampaikan definisi Ekonomi

Syariah dari beberapa ekonom Muslim terkemuka saat ini:

1. Ekonomi Syariah merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari ajaran

Al-Qur’an dan Sunnah. Segala bentuk pemikiran ataupun praktik

ekonomi yang tidak bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat

dipandang sebagai Ekonomi Syariah. Untuk dapat menjawab

Universitas Sumatera Utara


permasalahan kekinian yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan

Sunnah, digunakan metode fiqh untuk menjelaskan apakah fenomena

tersebut bersesuaian dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah ataukah tidak.

Dalam hal ini, Ekonomi Syariah dianggap tidak memiliki kelemahan dan

selalu dianggap benar. Kegagalan dalam memecahkan masalah ekonomi

empiris dipandang bukan sebagai kelemahan Ekonomi Syariah,

melainkan kegagalan ekonom dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Beberapa ekonom Muslim yang cendrung menggunakan definisi dan

pendekatan ini adalah Hazanuzzaman dan Metwally dalam (P3EI, 2012:

18)

2. Ekonomi Syariah merupakan implementasi sistem etika Islam dalam

kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk pengembangan moral

masyarakat. Dalam hal ini, Ekonomi Syariah bukanlah sekadar

memberikan justifikasi hukum terhadap fenomena ekonomi yang ada,

namun lebih menekankan pada pentingnya spirit Islam dalam

mengidentifikasi spirit dasar Islam yan terkait dengan ekonomi. Spirit

inilah yang kemudian menjadi dasar penurunan ilmu ekonomi. Beberapa

ekonom yang mengunakan pendekatan ini adalah Mannan, Ahmad, dan

Khan dalam (P3EI, 2012: 18)

3. Ekonomi Syariah merupakan representasi perilaku ekonomi umat Muslim

untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh. Dalam hal ini,

Ekonomi Syariah tidak lain merupakan penafsiran dan praktik ekonomi

yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak bebas dari kesalahan dan

Universitas Sumatera Utara


kelemahan. Analisis ekonomi setidaknya dilakukan dalam tiga aspek,

yaitu norma dan nilai-nilai dasar Islam, batasan ekonomi dan status

hukum, dan aplikasi dan analisis sejarah. Beberapa ekonomi yang

mengunakan pendekatan ini adalah Siddiqie dan Naqvi dalam (P3EI,

2012: 18)

4. Beberapa ekonom Muslim mencoba mendefinisikan ekonomi Islam lebih

komprehensif ataupun menggabungkan antara definisi-definisi yang telah

ada. Seperti diungkapkan oleh Chapra dan Choudury dalam (P3EI, 2012:

18) bahwa berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mewujudkan

Ekonomi Syariah, baik pendekatan historis, empiris ataupun teoretis.

Namun demikian, pendekatan ini di maksudkan untuk mewujudkan

kesejahteraan manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Islam, yaitu

falah, yang bermaknakan kelangsungan hidup, kemandirian, dan kekuatan

untuk hidup.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Syariah

bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh

individu dan komunitas Muslim yang ada, namun juga merupakan

perwujudan perilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Ia

mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalisis, dan

mengajukan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi

Syariah merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran Islam secara

menyeluruh dalam aspek ekonomi. (Ibid:19)

10

Universitas Sumatera Utara


Kebutuhan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam industri

keuangan syariah umumnya dan industri perbankan Syariah pada khusunya,

merupakan kebutuhan mendesak. Kebutuhan ini pula yang membuat dunia

pendidikan nasional khususnya di perguruan-perguruan tinggi, mulai secara

luas membuka mata kuliah atau program-program studi yang mempelajari

pengetahuan serta keahlian tentang ekonomi, keuangan, dan perbankan

syariah. Untuk itulah penyediaan literature seperti buku teks Ekonomi Islam

menjadi sebuah kebutuhan yang paling pokok dalam proses pembentukan

SDM yang unggul di perguruan-perguruan tinggi. (P3EI: 2012)

2.2 Karakteristik Sistem Ekonomi Syariah

1. Tujuan Ekonomi Syariah

Tujuan akhir Ekonomi Syariah adalah sebagaimana tujuan dari syariat

Islam itu sendiri (maqashid asy syari’ah). Yaitu mencapai kebahagiaan di

dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan

terhormat (hayyah thayyibah). Tujuan falah yang ingin dicapai oleh

Ekonomi Syariah meliputi aspek mikro ataupun makro, mencakup horizon

waktu dunia ataupun akhirat. (P3EI, 2012: 54)

Ekonomi Syariah tidak sekedar berorientasi untuk pembangunan fisik

material dari individu, masyarakat dan negara saja, tetapi juga

memperhatikan pembangunan aspek lain yang juga merupakan elemen

penting bagi kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Pembangunan

keimanan merupakan prakondisi yang diperlukan dalam Ekonomi Syariah,

11

Universitas Sumatera Utara


sebab keimanan merupakan fondasi bagi seluruh perilaku individu dan

masyarakat untuk kemaslahatan. (Ibid)

2. Moral sebagai Pilar Ekonomi Syariah

Moral menempati posisi penting dalam ajaran Islam, sebab terbentuknnya

pribadi yang memilik moral baik (akhlaqul karimah) merupakan tujuan

puncak dari seluruh ajaran Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad

SAW. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

Moralitas Islam dibangun atas suatu postulat ibadah (rukun Islam), artinya

bahwa moral ini lahir sebagai konsekuensi dari rukun iman dan rukun

Islam. (Ibid: 56)

3. Nilai-nilai Dasar Ekonomi Syariah

Moral Islam sebagai pilar Ekonomi Syariah perlu dijabarkan lebih lanjut

menjadi nilai-nilai yang lebih terinci sehingga pada akhirnya dapat

menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku ekonomi. Nilai-nilai ini

merupakan sisi normatif dari Ekonomi Syariah yang berfungsi mewarnai

atau menjamin kualiatas perilaku ekonomi setiap individu. Keberadaan

nilai semata pada perilaku ekonomi dapat menghasilkan suatu

perekonomian yang normatif, tidak akan bisa berjalan secara dinamis.

Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama

didasarkan atas prinsip-prinsip Ekonomi Syariah. (Ibid:58)

12

Universitas Sumatera Utara


4. Prinsip-Prinsip Ekonomi Dalam Islam

Menurut Rahman (1995: 8-10) Prinsip dasar sistem Ekonomi Syariah

antara lain:

a. Kebebasan individu

Individu mempunyai hak kebebasan sepenuhnnya untuk berpendapat

atau membuat suatu keputusan yang dianggap perlu dalam dalam

sebuah negara Islam. Karena tanpa kebebasan tersebut individu

Muslim tidak dapat melaksanakan kewajiban mendasar dan penting

dalam menikmati kesejahteraan dan menghindari terjadinya kekacauan

dalam masyarakat.

b. Hak terhadap harta

Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta walaupun begitu ia

memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan

kepentingan masyarakat umum.

c. Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar

Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi di antara orang

perorang tetapi tidak membiarkannya menjadi bertambah luas, ia

mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam batas-batas yang

wajar, adil dan tidak berlebihan.

d. Kesamaan sosial

Islam tidak mengajurkan kesamaan ekonomi tetapi ia mendukung dan

menggalakkan kesamaan sosial sehingga sampai tahap bahwa

kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya dinikmati oleh sekelompok

13

Universitas Sumatera Utara


tertentu masyarakat saja. Disamping itu amat penting setiap individu

dalam sebuah negara (Islam) mempunyai peluang yang sama untuk

berusaha mendapatkan pekerjaan atau menjalankan berbagai aktivitas

ekonomi.

e. Jaminan sosial

Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara

Islam, dan setiap warga negara dijamin untuk memproleh kebutuhan

pokoknya masing-masing. Memang menjadi tugas dan tanggungjawab

utama bagi sebuah negara Islam untuk menjamin setiap warga negara,

dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan prinsip “hak untuk

hidup”. Dan terdapat persamaan sepenuhnya di antara warga negara

apabila kebutuhan pokoknya telah terpenuhi.

f. Distribusi kekayaan secara meluas

Islam mencegah penumpukkan kekayaan pada kelompok kecil tertentu

orang dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada semua lapisan

masyarakat.

g. Larangan menumpuk kekayaan

Sistem ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan harta

kekayaan secara berlebihan dan mengambil langkah-langkah yang

perlu untuk mencegah perbuatan yang tidak baik tersebut supaya tidak

terjadi dalam negara.

14

Universitas Sumatera Utara


h. Larangan terhadap organisasi anti sosial

Sistem ekonomi Islam melarang semua praktek yang merusak dan

antisosial yang terdapat dalam masyarakat, misalnya berjudi, minum

arak, riba, menumpuk harta, pasar gelap dan sebagainya.

i. Kesejahteraan individu dan masyarakat

Islam mengakui kesejateraan individu dan kesejahteraan sosial

masyarakat yang saling melengkapi satu dengan yang lain, bukannya

saling bersaing dan bententangan antar mereka. Maka Sistem

Ekonomi Islam mencoba meredakan konflik ini sehingga terwujud

kemanfaatan bersama.

5. Basis Kebijakan Ekonomi Syariah

a. Penghapusan Riba

Islam telah melarang segala bentuk riba karenanya ia harus

dihapuskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Arti riba secara bahasa

adalah ziyadah yang berarti tambahan, pertumbuhan, kenaikan,

membengkak, dan bertambah, akan tetapi, tidak semua tambahan atau

pertumbuhan dikatagorikan riba. Secara fiqh, riba diartinya sebagai

setiap tambahan dari harta pokok yang bukan merupakan kompensasi,

hasil usaha ataupun hadiah. Namun, pengertian riba secara teknis

adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara

batil perbuatan ketidakadilan (zalim), baik dalam utang-piutang

maupun jual beli. Dengan demikian, esensi dari pelarangan riba

15

Universitas Sumatera Utara


adalah pengahapusaan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam

ekonomi. (P3EI, 2012: 70)

Menurut Rahman (1995: 85) riba adalah pembayaran yang dikenakan

terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu

berlaku di mana modal pinjaman tersebut digunakan. Riba

mengandung tiga unsur, yaitu Viz, yang ditambahkan pada pokok

pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktunya, dan

jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah

disepakati. Semua transaksi yang mengandung ke tiga unsur tersebut

dalam katagori riba.

b. Pelembagaan Zakat

Zakat pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk

menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih

baik. Ia merupakan sistem yang akan menjaga keseimbangan dan

harmoni sosial di antara kelompok kaya (muzzaki) dan kelompok

miskin (mustahik). Dalam praktiknya pada masa awal Islam, zakat

dikelola oleh sebuah komite tetap dari pemerintahan dan menjadi

bagian integral dari keuangan negara. Karenanya, kebijakan

pengumpulan zakat maupun penyalurannya senantiasa terkait dengan

kebijakan pembangunan negara secara keseluruhan. (P3EI, 2012: 71)

Implementasi pengelolaan zakat tidak terbatas pada suatu komunitas

Muslim kecil, namun melingkupi suatu negara. Pengelolaan zakat

16

Universitas Sumatera Utara


pada era sekarang sebaiknya mengacu pada strategi pelembagaan

tetapi kondisinya tidak memungkinkan, pelembagaan zakat ini harus

dipahami sebagai upaya untuk profesionalisasi pengelolaan zakat

sebagai sebuah sistem distribusi pendapatan yang nyata. Menciptakan

suatu sistem distibusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan

permanen. Langkah ini merupakan wujud nyata yang lain dari upaya

menciptakan keadilan sosial, zakat mencerminkan komitmen sosial

dari ekonomi Islam. (Ibid)

c. Pelarangan Gharar

Ajaran Islam melarang aktivitas ekonomi yang mengandung gharar.

Dari segi bahasa, gharar berarti resiko, atau juga ketidakpastian.

Menurut Ibnu Taimiyah (dalam P3EI, 2012:72) gharar adalah sesuatu

dengan karakter tidak diketahui sehingga menjual hal ini adalah

seperti perjudian. Dengan kata lain, gharar terjadi karena seseorang

sama sekali tidak dapat mengetahui kemungkinan kejadian sesuatu

sehingga bersifat spekulatif. Islam juga melarang usaha spekulatif

menurut mannan (1997: 292) yang masksudnya adalah bentuk usaha

yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk membeli sesuatu

dengan harga yang murah pada suatu waktu dan menjual barang yang

sama dengan harga yang mahal pada waktu lain. Menurut Rahman

(1995: 121) spekulasi adalah suatu bentuk perjudian komersil yang

dimainkan tanpa adanya pertukaran uang atau barang-barang, dan

17

Universitas Sumatera Utara


permainan ini berperan dalam memanipulasi kenaikan dan penurunan

harga stok barang di pasaran nasional dan internasional.

d. Pelarangan Yang Haram

Dalam Ekonomi Syariah segala sesuatu yang dilakukan harus halalan

thayyibah, yaitu benar secara hukum Islam dan baik dari perspektif

nilai dan moralitas Islam. Kebalikan dari halalan thayyibah adalah

haram, yaitu sesuatu yang jika dilakukan akan menimbulkan dosa.

Meninggalkan yang haram adalah mutlak kewajibannya dan

sebaiknya melaksanakan yang halal adalah mutlak kewajibannya.

Haram dalam hal ini bisa terkait dengan zat maupun prosesnya (P3EI,

2012: 72)

2.3 Prinsip Dasar Produksi Ekonomi Syariah

Al-Ghazali (dalam Fauziah dan Aabdul, 2014: 116) menyebutkan bahwa

produksi adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw

material) oleh sumber daya manusia, agar menjadi barang yang bermanfaat

bagi manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan yang moderat

menimbulkan dua implikasi yaitu:

1. Produsen hanya menghasilkan barang/jasa yang menjadi kebutuhan

(needs), meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen.

Barang/jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan

yang Islami, bukan sekedar memberi kepuasan maksimum bagi

konsumen.

18

Universitas Sumatera Utara


2. Kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas

kebutuhan yang wajar. Prosuksi barang/jasa secara berlebihan tidak saja

menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubaziran

(wastage), tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi

ini secara cepat. Islam menganjurkan umatnya untuk memproduksi dan

berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi: pertanian,

perkebunan, perikanan, perindustrian, dan perdagangan. Islam

memberkahi pekerjaan dunia dan menjadikannya bagian dari ibadah dan

jihad. Dari Jabir, diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Rasulullah SAW.

Bersabda: “kejahatan yang paling bahaya di muka bumi ini ialah

pengagguran.” Karena pada dasarnya pekerjaan duniawi tidak hanya

bermanfaat bagi individu pelakunya, tetapi juga penting untuk mencapai

kemaslahatan masyarakat secara umum. (Fauziah dan Abdul, 2014: 117)

Menurut Fauziah dan Abdul (2014: 119) Faktor-faktor produksi dalam

Islam meliputi:

1. Tanah

Tanah telah menjadi suatu faktor produksi terpenting sejak dahulu

kala. Penekanan pada penggunaan tanah-tanah mati (ihya al mawat)

menunjukkan perhatian Rasulullah SAW. Dalam pengunaan sumber

daya bagi kemakmuran rakyat. Islam mempunyai komitmen untuk

melaksanakan keadilan dalam hal pertahanan. Islam mengakui

adanya kepemilikan atas sumber daya alam yang ada, dengan selalu

19

Universitas Sumatera Utara


mengupayakan pengunaan dan pemeliharaan yang baik atas sumber

daya tersebut.

2. Tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan human capital bagi suatu perusahaan. Di

berbagai macam jenis produksi, tenaga kerja merupakan modal bagi

keberhasilan suatu perusahaan. Kesuksesan suatu produksi terletak

pada kinerja sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Tenaga

kerja yang miliki skill dan intergritas yang baik merupakan modal

utama bagi suatu perusahaan, di lain modal-modal yang lainnya.

Karena secara umum, banyak di antara ahli ekonomi yang

menyatakan bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya produsen, dan

pangkal produktivitas dari semua faktor produksi yang lainnya.

Tanah, modal, mesin, manajerial yang baik tidak akan bisa

menghasilkan suatu barang/jasa tanpa adanya tenaga kerja.

3. Modal

Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu produksi.

Modal adalah sejumlah kekayaan yang bisa saja berupa assets

ataupun intangible assets, yang bisa digunakan untuk menghasilakan

suatu kekayaan. Dalam Islam, modal suatu usaha haruslah bebas

dari riba. Dalam beberapa cara perolehan modal, Islam mengatur

suatu sistem yang lebih baik, dengan cara kerja sama mudharabah

atau musharakah. Hal ini untuk menjaga hak produsen dan juga hak

pemilik modal, agar tercapai suatu kebaikan dalam suatu aktivitas

20

Universitas Sumatera Utara


produksi, yang akhirnya akan berimplikasi pada adanya suatu

mashlahah dalam suatu kerjasama yang dilakukan oleh masing-

masing pihak.

4. Manajemen Produksi

Beberapa faktor produksi di atas tidak akan menghasilkan suatu

profit yang baik ketika tidak ada manajemen yang baik. Karena

tanah, tenaga kerja, modal, dan lain sebagainya tidak akan bisa

berdiri dengan sendirinya. Semuanya memerlukan suatu pengaturan

yang baik, berupa suatu organisasi, ataupun suatu manajemen yang

bisa menerbitkan, mengatur, ataupun suatu manajemen yang bisa

menerbitkan, mengatur, merencanakan, dan mengevaluasi segala

kinerja yang akan dan telah dihasilkan oleh masing-masing divisi.

Di dalam Al-Qur’an, kata-kata yang berkaitan dengan manajerial

diungkapkan dalam beberapa bentuk yaitu yudabbiru, yatadabbarun,

yatadabbar, dan al-mudabbirat.

5. Teknologi

Di era kemajuan produksi yang ada pada saat ini, teknologi

mempunyai peranan yang sangat besar dalam sektor ini. Berapa

banyak produsen yang kemudian tidak bisa survive karena adanya

competitor lainnya dan lebih banyak yang bisa menghasilkan

barang/jasa jauh lebih baik, karena didukung oleh faktor teknologi.

21

Universitas Sumatera Utara


6. Bahan Baku

Bahan baku terbagi menjadi dua macam, adakalanya bahan baku

tersebut merupakan sesuatu yang harus didapat ataupun dihasilkan

oleh alam, tanpa ada penggantinya. Ada juga yang memang dari

alam akan tetapi, bisa dicarikan bahan lain untuk mengganti bahan

yang telah ada. Ketika seseorang produsen akan memproduksi suatu

barang/jasa, maka salah satu hal yang harus dipikirkan yaitu bahan

baku. Kerena jikalau bahan baku tersedia dengan baik, maka

produksi akan berjalan dengan lancar, dan sebaliknya, maka akan

mengahambat jalannya suatu produksi.

2.4 Prinsip Dasar Konsumsi Ekonomi Syariah

Pemanfaatan (konsumsi) merupakan bagian akhir dan sangat penting dalam

pengelolahan kekayaan, dengan kata lain, pemanfaatan adalah akhir dari

keseluruhan proses produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk

dikonsumsi, kekayaan yang dihasilkan hari ini akan digunakan untuk hari

esok. Oleh karena itu konsumsi (pemanfaatan) berperan sebagai bagian

yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi seseorang maupun negara.

(rahman, 1995: 17)

Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan Ekonomi Syariah dalam hal

konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan

seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari

pola konsumsi modern. (mannan, 1997: 44)

22

Universitas Sumatera Utara


Memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan yaitu

tujuan dari aktivitas Ekonomi Syariah, dan usaha untuk pencapaian tujuan

tersebut merupakan salah satu kewajiban dalam beragama. Siddiqi (dalam

fauzia dan Abdul,2014: 163) menyatakan, bahwa tujuan aktivitas ekonomi

yang sempurna menurut Islam antara lain: (1) memenuhi kebutuhan hidup

seseorang secara sederhana, (2) memenuhi kebutuhan keluarga, (3)

memenuhi kebutuhan jangka panjang, (4) menyediakan kebutuhan keluarga

yang ditinggalkan, dan (5) memberikan bantuan sosial dan sumbangan

menurut jalan Allah.

Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai tujuan

untuk memproleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Dalam

Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan.

Pencapaian mashlahah tersebut merupakan tujuan dari maqashid al-syariah.

Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan

kepuasan atau (wants), dan konsep mashlahah relatif lebih objektif karena

bertolak pada pemenuhan kebutuhan (needs). Mashlahah dipenuhi

berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada criteria

yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah

ataupun tidak. (Ibid: 166)

Menurut Ibn Sina, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh

manusia, yaitu income (pencarian rezeki/ kasab) dan expenditure

(pengeluaran). Ketika seseorang menginginkan berkahan, maka ia harus

23

Universitas Sumatera Utara


memulai untuk meraih berkahan tersebut jauh sebelum konsumsi dilakukan.

(Ibid: 169)

Income dan expenditure haruslah diatur oleh suatu anggaran dengan

perhitungan yang cermat. Perolehan income sudah diatur dengan jelas

dalam Islam, sehingga nantinya berimplikasi pada label halal ataupun haram

dalam income tersebut. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW.

Yang maknanya adalah: “Ambillah apa yang halal dan tinggalkanlah apa

yang haram.” Adapun expenditure, Ibn sina mengklasifikasikannya menjadi

pengeluaran wajib dan tidak wajib. Pengeluaran wajib terkait dengan

nafkah sehari-hari dan amal kebajikan untuk orang lain. Adapun

pengeluaran yang tidak wajib adalah simpanan, karena menurut Ibn Sina

manusia harus berpikir cerdas untuk perubahan peristiwa yang akan

dilaluinya di masa datang. Jadi seseorang harus melakukan saving dan

investasi untuk masa depannya. (Ibid: 170-171)

Selain pengeluaran untuk konsumsi dan simpanan, Islam juga selalu

memotivasi umatnya untuk menginvestasikan harta yang dimiliki olehnya.

Satu alasan mendasar ketika seorang Muslim diwajibkan untuk

mengeluarkan zakat adalah agar ia senantiasa menginvestasikan hartanya.

Kewajiban zakat juga mendorong umat manusia untuk bekerja dan

mempunyai banyak harta. (Ibid: 171)

24

Universitas Sumatera Utara


Ada lima karakter ataupun standar dalam menilai proyek investasi, seperti

yang telah disebutkan dalam mawsuah al-ilmiyah wa al-amaliyah al-

Islamiyah, yaitu:

1. Proyek yang baik menurut Islam

2. Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyrakat

3. Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan dan kekayaan

4. Memelihara dan menumbuh kembangkan harta

5. Melindungi kepentingan anggota masyarakat.

Adiwarman Azhar Karim (dalam Fauzia dan Abdul, 2014: 172)

menjelaskan bahwa ekonomi konvensional suatu bahasan tentang konsumsi

intertemporal. Yaitu konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa

sekarang dan masa datang. Dalam ekonomi konvensional, pendapatan

adalah penjumlahan konsumsi, dan tabungan. Atau secara matematis ditulis:

Y= C + S

Dimana: Y = pendapatan

C = konsumsi

S = tabungan

Adapun konsumsi intertemporal dalam Islam seperti yang telah dijelaskan

dalam Hadits Rasulullah SAW. Yang maknanya adalah: “Harta yang kamu

miliki adalah apa yang kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.”

Oleh karena itu, persamaan pendapatan menjadi:

Y = (C + infak) + S

25

Universitas Sumatera Utara


Secara grafis, hal ini seharusnya digambarkan dengan tiga dimensi, namun

untuk kemudahan penyajian grafis, yaitu dengan dua dimensi, maka

persamaan ini disederhanakan menjadi:

Y = FS + S

Dimana: FS = C + Infak

FS adalah final spending di jalan Allah

Penyederhanaan ini memungkinkan kita untuk mengunakan alat analisis

grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yaitu memaksimalkan

fungsi utilitas (utility function) dengan garis pendapatan tertentu (budget

line), atau meminimalkan budget line dengan utility function tertentu.

(Ibid:173)

2.5 Prinsip Dasar Distribusi Ekonomi Syariah

Pembahasan tentang distribusi menjelaskan bagaimana pembagian kekayaan

ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Berkaitan

erat dengan faktor-faktor produksi seperti tanah, modal, tenaga kerja, dan

manajemen. Kaitan distribusi dengan tanah adalah bagaimana alokasi dana

untuk menyewa tanah sebagai tempat berkembangnya suatu aktivitas

produksi. (Fauzia dan Abdul, 2014: 139)

Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur, dan merata Islam

menetapkan tindakan-tindakan yang positif fan prohibitif. Tindakan positif

melalui zakat, hukum pewarisan, dan kontribusi lainnya, baik bersifat wajib

maupun sukarela (sedekah). Tindakan prohibitif mencakup dilarangnya

26

Universitas Sumatera Utara


bunga, menimbun, minum minuman keras, judi, dan perolehan harta dengan

cara tidak baik dan tidak halal. (Ibid:142)

2.6 Peran Pemerintah Dalam Perekonomian Syariah

Pemerintah adalah pemegang amanah Allah untuk menjalankan tugas-tugas

kolektif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (al adh wal insan)

serta tata kehidupan yang baik (hayyah thayyibah) bagib seluruh umat, jadi

manusia adalah agen dari Tuhan. (P3E1, 2012 : 446)

Dalam menjalankan perannya, pemerintah memiliki instrument kebijakan,

antara lain:

a. Manajemen produksi dan ketenagakerjaan di sektor publik pemerintah

dapat berperan efektif dalam mengelola kekayaan publik (di mana

masyrakat gagal mengelolanya). Mengatur produksi dan

ketenagakerjaan secara menyeluruh.

b. Instrumen yang berkaitan dengan upaya mendorong kegiatan sektor

swasta, misalnya menetapkan regulasi bagi sektor swasta, melakukan

redistribusi faktor produksi (iqta’, kharaj), al-hisbah, perlindungan bagi

masyarakat lemah (fakir, miskin, yatim).

c. Pricing policy, dimana negara meregulasi harga dengan cara intervensi

pasar, penetapan harga, atau mendorong kebijakan diskriminasi harga

untuk kelompok masyarakat, daerah, atau sektor tertentu yang

dipandang merupakan kepentingan publik. Pricing policy ini juga perlu

27

Universitas Sumatera Utara


dilakukan ketika pasar tidak dapat bersaing sempurna sehingga harga

yang dihasilkan tidak merugikan masyarakat.

d. Kebijakan fiskal, yaitu pengelolaan APBN disesuaikan dengan prinsip-

prinsip publik Islam

e. Kebijakan kredit dan moneter

f. Investasi kekayaan dan surplus sektor publik

2.7 Persepsi Dalam Islam

Persepsi merupakan perangkat yang dapat digunakan oleh seluruh makhluk.

Namun, Allah SWT memberikan perangkat persepsi lain yang dapat

membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu akal. Dengan akal,

manusia dapat berpikir tentang makna-makna yang tersirat (seperti kebaikan

dan keburukan, keistimewaan dan kekurangan, serta kebenaran dan

kebatilan), memberikan hukum dan pradigma umum yang dilakukan melalui

riset dan eksperimen, serta membuktikan keberadaan dan kekuasaan Allah

SWT sebagai pencipta melalui kesimpulan yang ditariknya dari penciptaan-

Nya terhadap alam semesta dan manusia. (Najati, 2006: 119)

Kemampuan akal manusia terhadap persepsi sangat terbatas dan mesti dikuti

dengan tindakan pembuktian. Oleh karena itu Allah SWT mengutus para

nabi dan rasul kepada manusia serta menurunkan beberapa kitab suci, guna

membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran. Allah SWT

berfirman: “sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami

kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang

28

Universitas Sumatera Utara


membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan

mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah), serta

mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah

(2): 151).

Ardhani (2014: 87) menyatakan manusia yang dikaruniai hati dan akal untuk

menimbang segala yang ada di dalam diri juga di luar diri tentunya kita tak

lepas dari apa yang disebut dengan prasangka. Ia selalu hadir mengiringi

setiap gerak kita selaku makhluk yang berketuhanan dan berhubungan

antarsesama. Untuk itu prasangka senantiasa menghiasi berbagai hal

berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, dimana terdapat prasangka baik

(husnuzhan) yaitu cara pandang seseorang yang membuatnya melihat segala

sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnuzan akan

mepertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya

bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya. Rasulullah SAW

bersabda: “Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran

membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kesurga. Selama

seseorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat disisi Allah SWT.

Sebagai seorang yang benar (jujur). Berhati-hatilah terhadap dusta,

sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa

kepada neraka. Selama seseorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat

di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari)

29

Universitas Sumatera Utara


Dan prasangka buruk (su’uzhan) yaitu selalu akan memandang segala

sesuatu jelek, seolah-olah tidak ada sedikit pun kebaikan dalam pandanganya,

pikirannya telah dikungkung oleh sikap yang menganggap orang lain lebih

rendah dari pada dirinya. Sikap buruk sangka identik dengan rasa curiga,

cemas, amarah dan benci padahal kecurigaan, kecemasan, kemarahan dan

kebencian itu hanyalah perasaan semata yang tidak jelas penyebabnya,

terkadang apa yang ditakutkan bakal terjadi pada dirinya atau orang lain sama

sekali tak terbukti. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,

jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari

purbasangka itu dosa. Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah

seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah

mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada

Allah. Sesungguhnya, Allah maha menerima tobat lagi Maha Penyayang.”

(QS. Al-Hujurat: 12) dan Rasulullah SAW bersabda: “jauhilah prasangka itu

sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta.” (HR. Muttafaqun

‘alaih). (Ibid: 89)

Menurut Gilbert Harrel (dalam Morissan, 2010 : 96) Persepsi adalah proses

yang digunakan individu untuk memilih, mengorganisasi dan

menginterpretasikan masukan-masukan informasi guna menciptakan

gambaran dunia yang memiliki arti.

Persepsi adalah suatu proses individual yang sangat bergantung pada faktor-

faktor internal, seperti kepercayaan, pengalaman, kebutuhan, suasana hati

30

Universitas Sumatera Utara


(mood), serta harapan. Proses persepsi juga dipengaruhi oleh karakteristik

stimulus (ukuran, warna, dan intensitas) serta konteks di mana stimulus itu

dilihat dan didengar. (morissan, 2010 : 96).

2.8 Penelitian Terdahulu

Nur Kholis (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Penegakkan Syariat

Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi)” hasil penelitian menunjukkan

lembaga yang berbasisis Ekonomi Syariah di Indonesia menunjukkan

perkembangan pesat. masyarakat mendukungan dan optimis untuk

mengembangkan lebih banyak di masa depan. Terlebih lagi kinerja perbankan

syariah semua Muslim di Indonesia untuk mendukung dan berpartisipasi

dalam mengembangkan Ekonomi Syariah penegakkan hukum dimasa depan,

terutama dibidang zakat, wakaf, asuransi syariah.

Dian Ariani (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Persepsi Masyarakat

Umum Terhadap Bank Syariah Di Medan” hasil penelitian menunjukkan

perkembangan perbankan di Medan masih kurang mengembirakan masih

sedikitnya bank syariah di Medan dan persepsi msayarakat terhadap

perbankan syariah mengingat pertumbuhan dan perkembangan bank syariah

masih dipandang sinis oleh beberapa kalangan dan bahkan kalangan umat

Islam itu sendiri.

Siti Zulaikha (2013) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Globalisasi

Ekonomi Terhadap Ekonomi Islam di Indonesia” hasil penelitian

menunjukkan pengembangan sistem perekonomian syariah yang telah teruji

31

Universitas Sumatera Utara


cukup tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini disebabkan sistem

perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat bunga

perbankan yang mendorong timbulnya inflasi. Bahkan sejumah lembaga

keuangan bank dan non-bank berbasis nilai syariat telah berkembang dengan

cukup pesat di kota-kota bisnis terkemuka seperti London, New York, dan

Geneva.

2.9 Kerangka Konseptual

Adapun kerangka pemikiran penulis yang menjadi pijakan dalam penulisan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Islam

Akidah Syariah Akhlak

Ekonomi Syariah

Ekonomi Syariah di negara yang


mayoritas penduduk Muslim

Ekonomi Syariah di Sumatera Utara

Persepsi masyarakat (Mahasiswa


FEB USU terhadap Sistem Ekonomi
Syariah)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual


(dibuat oleh peneliti)

32

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai