Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang bertemakan “Konstitusi” ini dengan baik. Kami
membuat makalah ini guna memenuhi tugas pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Kemudian dalam penulisan makalah ini, kami banyak mendapat
bantuan inspirasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, tak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada guru bidang studi yang telah membimbing kami.

Selanjutnya dalam penulisan makalah ini tak luput dari adanya kesalahan dan
kekurangan. Baik dari segi penulisan, pilihan kata dan juga kefektifan kalimat. Untuk
itu diharapkan pada semua pihak dapat memberikan saran dan kritik yang dapat
memberi perbaikan bagi kami untuk kedepannya agar bisa menjadi lebih baik.
Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga Allah SWT selalu
memberikan petunjuk bagi kita semua.

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................1
Daftar Isi......................................................................................................................2
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................3

Bab II Pembahasan
2.1 Sejarah Pertumbuhan Konstitusi...........................................................................4
2.2 Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar................................................6
2.3 Undang-Undang Dasar dan Konstitusionalisme....................................................8
2.4 Kedudukan dan Tujuan Undang-Undang Dasar....................................................9
2.5 Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)...............................................9
2.6 Supremasi Undang-Undang Dasar.......................................................................9
2.7 Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia........................................................11
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................................16
Daftar Pustaka...........................................................................................................17

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD,
tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu
politik istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar
semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur
bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan
pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar
tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki
sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi
menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad
UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD
Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis tentang hak-hak manusia
dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain memberikan model yang
kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk maupun
substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa dan bagaimana
UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai
negara di Eropa.
Undang-Undang Dasar berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat
dan penguasa yang selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan
kerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan
kekuasaan dalam suatu negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
disingkat UUD 1945 atauUUD '45, adalah hukum dasar
tertulis (basiclaw), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesiasaat ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik
ketatanegaraan
2. Bagaimana peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3. Seperi apa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mendeskripsikan peranan konstitusi dan Undang-Undang Dasar dalam praktik
ketatanegaraan
2. Mendeskripsikan peranan konvensi dalam praktik ketatanegaraan
3. Mendeskripsikan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pertumbuhan Konstitusi


Secara etimologis antara kata” konstitusi” ,”konstitusional”,
dan,”konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau
penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan da aturan mengenai
ketatanegaraan (Undang-undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang
Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang
maupun penguasa berupa kebijakan yang didasarkan atau tidak menyimpangi
konstitusi, berarti tindakan ( kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda
halnya dengan konstitualisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan
dan jaminan hak – hak rakyat melalui konstitusi.
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan
proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi sebagai
suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak
jaman sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum
(secara kitab hukum). Pada masa kejayaannya ( antara tahun 624-404 S.M.) Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri
berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Pemahaman awal tentang”konstitusi” pada masa itu, hanyalah merupakan
suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada
masa kekaisaran Roma, pengertian constitusionnes memperoleh tambahan arti
sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar
atau para preator. Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para
ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping undang-undang.
Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan.
Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma,
telah menjelma dalam bentuk L’Etat general di prancis, bahkan kegandrungan orang
Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham:”
demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme” . dua paham inilah merupakan cikal bakal
munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser kearah
feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai
oleh para tuan tanah. Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa
setiap orang harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi dari pada tuan tanah, menjadi tidak
mendapat tempat.
Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah. Piagam
Madinah adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik
islam, tepat nya sekitar tahun 622 M.
Di Eropa kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu
ditandai dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia,
Prusia, dan Austria pada abad ke 15. Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’Etat C’est
moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis.
Lain halnya dengan di inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat
kemenangan dan sebagai puncak kemenangannya di tandai dengan pecahnya The

4
Glorious Revolution (1688). Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini
telah menyebabkan berakhirnya absolutisme di inggris, serta munculnya parlemen
sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni inggris
mengeluarkan Declarations of Independence dan menetapkan konstitusi-
konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat yaitu tepatnya pada tahun 1776.
Deklarasi ini merupakan bentuk konkretisasi dari berbagai teori perjanjian.
Perjalanan sejarah berikutnya, pada tahun 1789 meletus revolusi dalam
monarki absolutisme di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan
dimasyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Sampai pada akhirnya,
20 juni 1789 Estats Generaux memproklamirkan dirinya konstituante, walaupun baru
pada tanggal 14 septembr 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI.
Sejak itu, sebagia besar dari negara – negara di dunia, baik monarki maupun
republik, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan atas suatu
konstitusi.
Di Prancis muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract Social karya J.J.
Rousseau. Dalam buku ini Rosseau mengatakan “ manusia itu lahir bebas dan
sederajat dalam hak-haknya “, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari
kehendak umum (rakyat). Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des
Droit de I’Homme et du Citoyen, karena deklarasi inilah yang mengilhami
pembentukan konstitusi Prancis (1791) khusus nya yang menyangkut hak-hak asasi
manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis
(modern) seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad
UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD
Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis tentang hak-hak manusia
dan warga negara 1789. Kedua dokumen tersebut selain memberikan model yang
kemudian diikuti oleh para perancng UUD yang lain, dalam hal bentuk maupun
substansi, juga memberikan berbagai wawasan mengenai mengapa dan bagaimana
UUD harus ada yang kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai
negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Nerwegia (1814),
konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di Belgia (1831), konstitusi di Itali (1848),
konstitusi di Australia (1861), dan konstitusi di Swedia (1866), sampai pada abad
XIX, tinggal Inggris, Hongaria dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara
tertulis. Tapi perlu diingat bahwa konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum
dasar yang penting.
Konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai
arti penting atau sering disebut dengan “konstitusi modern”, baru muncul bersamaan
dengan semakin berkembangnya “sistem demokrasi perwakilan dan konsep
nasionalisme” . demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat
akan kehadiran lembaga legislatif. Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-
undang untuk mengurangi serta membatasi dominasi hak-hak raja. Alasan inilah
yang mendudukan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai hukum dasar yang lebih
tinggi dari pada raja, sekaligus terkandung maksud memperkokoh Lembaga
Perwakilan Rakyat.
Pada giliran berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak
memberikan dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan
menghancurkan pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan negara-negara
baru dengan konstitusi yang berasarkan demokrasi dan nasionalisme. Upaya itu di

5
konkretkan dengan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia. Tiga
tahun kemudian muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik yang
ditandai dengan Revolusi Rusia (1917), di ikuti meletusnya fasisme di Italia, dan
pemberontakan Nazi di Jerman, sampai pada akhirnya meletus perang dunia ke II.

2.2 Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar


Istilah konstitusi berasal dari bahasa Francis (constituer) yang berarti
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD,
tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu
politik istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Sedangkan pengertian Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis
yang menjadi dasar semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara
yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang
badan-badan pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar
tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki
sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi
menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan
Berikut ini para ahli hukum yang mendukung antara yang membedakan dan
yang menyamakan pengertian konstitusi dengan UUD.
Penganut paham yang membedakan pengertian konstitusi dengan dengan
UUD antara lain sebagai berkiut:
1. Herman Heller
Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga yaitu:
1) Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat
sebagai suatu kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2) Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat.
Jadi mengandung pengertian yuridis.
3) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika
pengertian undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi,
maka artinya UUD itu baru merupakan sebagian dari konstitusi, yaitu konstitusi yang
tertulis saja. Disamping itu konstitusi tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi
mengandung pengertian logis dan poitis.
2. F. Lassalle
F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungwesen, membagi konstitusi dalam
dua pengertian, yaitu:
Pengertian sosiologis atau politis. Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan
nyata dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara
kekuatan yang terdapat dengan nyata dalm suatu negara. kekuasaan tersebut
diantaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain;
itulah konstitusi yang sesungguhnya.

6
1) Pengertian yuridis. Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Dari pengertian sosiologis dan politik, ternyata Lassale menganut paham
bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari
sekedar UUD. Namun dalam pengertian yuridis, Lassale terpengaruh pula oleh
paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan UUD.
Kelihatannya para penyusun UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis
diatas, sebab dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan: “UUD suatu negara adalah
hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. UUD adalah hukum dasar yang
tertulis , disamping UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tetulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelengaraan
negara, meskipun tidak tertulis.
Adapun penganut paham modern yang tegas-tegas menyamakan konstitusi
dengan UUD antara lain sebagai berkut:
1. C.F. Strong.
Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F Strong dalam bukunya:
Modern Poitikal Constittion menyatakan konstitusi adalah:
“ Konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang
diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetpakan:
1) Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2) Fungsi dari alat-alat perlengkapan
3) Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya
sendiri yang menyatakan bahwa konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1) Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas)
2) Hak-hak yang diperintah
3) Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut didalamnya
masalah hak asasi manusia)
2. K.C. Wheare
K.C. Wheare mengartiakn konstitusi sebagai: “keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang
membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara”.
peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki
sifat hukum (legal) dan tidak memiliki sifat hukum (nonlegal).
Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua
pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh K.C. Wheare dalam bukunya Modern
Constitusions: pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan
suatu negara dan merupakan suatu himpunan peraturan yang mendasari serta
mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem
pemerintahan didalamnya terdapat campuran tataperaturan baik yang bersifat
hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal). Kedua, pengertian
dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan
ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa
dokumen” yang terkait satu sama lain.
Berangkat dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian konstitusi
diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi

7
yang tertulis dan tidak tertulis. UUD merupakan konstitusi yang tertulis. Adapun
batasannya dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai berikut:
1) Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan
kekuasaan kepada para penguasa.
2) Suatu dokumen tentang pembagian tugasdan sekaligus petugasnya dari
suatu sistem politik.
3) Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara
4) Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.

2.3 Undang-Undang Dasar dan Konstitusionalisme


UUD sebenarnya tidak bisa dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu
konsep yang telah berkembang sebelum UUD pertama dirumuskan. Ide pokok dari
konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya, agar
penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang.Dianggap suatu UUD adalah
jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dengan
demikian timbul konsep the constitusinal state, dimana UUD dinggap sebagai
institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of the
Law atau Rechtsstaat.
Dengan demikian telah terbukti sepanjang sejarah bahwa manusia atau
golongan yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas akan menyalahgunakan atau
menyelewengkannya sehingga berakibat diinjak-injaknya hak-hak asasi manusia.
Maka dari itu tepatlah diktum yang dikemukakan oleh Lord Acton: “Manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia
yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya”.
Mulai akhir abad ke-18 muncul berbagai rumusan UUD dalam bentuknya
seperti yang kita kenal dewasa ini. UUD dianggap sebagai jaminan yang paling
efektif bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak warga negara tidak
dilanggar. Untuk itu perlu dicari suatu sistem asas pokok yang menentukan
kekuasaan itu dan hak baik bagi yang memerintah (penguasa), maupun bagi yang
diperintah (rakyat).
Dinegara-negara komunis UUD mempunyai fungsi ganda, disatu pihak
mencerminkan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai dalam perjuangan ke
arah tercapainya masyarakat komunis, sekaligus merupakan pencatatan formal dan
legal dari kemajuan yang telah dicapai.
Negara-negara yang timbul di Asia dan Afrika semuanya mempunyai UUD
sebagai salah satu atribut kenegaraan yang melambangkan kemerdekaan yang baru
diperoleh itu. Dinegara-negara itu yang menganggap UUD sebagai suatu dokumen
yang mempunyai arti yang khas (Konstitusinalisme), seperti misalnya India, Filipina,
dan juga Indonesia. Sebaliknya negara-negara komunis di Asia seperti China dan
Korea Utara menganggap UUD sebagai suatu registrasi belaka dari perkembangan
yang telah dicapai, serta rangka legal untuk masa depan, sesuai dengan anggapan
Uni Soviet.

2.4 Kedudukan dan Tujuan Undang-Undang Dasar


Undang-Undang Dasar berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat
dan penguasa yang selanjutnya ditentukan sebagai ideologi yang melandasi negara.
Sedangkan tujuan Undang-Undang Dasar adalah sebagai berikut:

8
1. Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang
maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan
berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela
Dan bisa merugikan rakyat banyak
2. Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham
orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal
melaksanakan haknya.
3. Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman
konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.

2.5 Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)


Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula negara mengadakan
perubahan sebagian dari UUD nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. UUD
biasanya memuat prosedur untuk menampung hasrat melakukan perubahan parsial
tersebut. Pada umumnya dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu mudah
diubah, oleh karena hal itu akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain
pihak hendaknya jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya
mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak
di luar UUD.
Terdapat prosedur yang berbeda-beda di antara satu negara dengan yang
lain dalam melakukan perubahan UUD, namun secara umum bisa disebutkan
sebagai berikut:
1. Melalui sidang badan legislatif, kadang-kadang dengan ditambah beberapa
syarat, misalnya dapat diterapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan
usul amandemen dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk
menerimanya (contoh: Inggris, Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia
Serikat 1949). Di Inggris, bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa
parlemenlah yang paling berwenang untuk mengubah atau tidak mengubah
UUD. Demikian pula Israel, Knessetlah yang mempunyai wewenang tersebut.
2. Referendum atau plebisit (contoh: Swiss, Australia, Denmark, Irlandia, dan
Spanyol). Di negara-negara ini referendum dilaksanakan untuk
memintakan persetujuan atas usul peubahan atau amandemen yang
diajukan oleh anggota parlemen.
3. Negara – negara bagian dalam negara federal ( contoh: Amerika
Serikat: ¾ dari lima puluh negara bagian harus menyetujui; contoh lain India).
Di Jerman, untuk mengubah BasicLawharus ada persetujuan 2/3 dari anggota
Bundesrat.
4. Musyawarah khusus (specialconvention) seperti yang diberlakukan di
beberapa negara Amerika latin.
Di Indonesia perubahan Undang-undang Dasar dapat dilakukan dengan cara:
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan rakyat
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis
dan ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

9
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaran Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

2.6 Supremasi Undang-Undang Dasar


UUD berbeda dengan undang-undang biasa. Undang-Undang Dasar dibentuk
menurut cara yang istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan
undang-undang biasa.
Demikian pula badan membuat UUD berbeda dengan badan yang membuat
undang-undang biasa. Karena dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap
sesuatu yang luhur. Ditinjau dari sudut politis, dapat dikatakan bahwa undang-
undang dasar sifatnya lebih sempurna dan lebih tinggi dari pada undang-undang
biasa.
Dengan adanya gagasan bahwa UUD adalah hukum tertinggi (Supremes
law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan negara.
Yang akan menjamin bahwa ketentuan-ketentuan UUD benar-benar
diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif
maupun oleh badan-badan pemerintahan lainnya. Di sini ada beberapa pikiran yang
berbeda.
Di inggris, parlemenlah yang diangga sebagai badan yang tertinggi
(Parliamentary supremacyatau legislative supremacy) dan oleh karena itu hanya
parlemenlah yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan
menjaga agar semua undang-undang dan peraturan sesuai dan tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan konstitusional itu. Ini berarti bahwa parlemen
merupakan satu-satunya badan yang boleh mengubah ataupun membatalkan
undang-undang yang dianggapnya tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan
UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat diwakilkan kepada
parlemen sehingga badan itu merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi. Akan
tetapi dalam perkembangannya kemudian kekuasaan yang terlalu terpusat pada
parlemen ini menuai kritik. Sebab keadaan demikian dapat menimbulkan apa yang
disebut oleh Lord Hailsham (1976) electivedictatorship, dalam arti bahwa pemerintah
dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu memegang kontrol mayoritas di
parlemen. Kritik-kritik demikian pada gilirannya mengarah ke berkembangnya
keinginan untuk merevisi struktur UUD yang lebih menjamin terdistribusinya
kekuasaan pemerintah, misalnya melalui reformasi sistem pemilihan umum; atau
dengan mengodifikasikan UUD yang lebih menjamin terlindunginya hak-hak asasi.
Berbeda halnya dengan paham yang berlaku di negara-negara yang
berbentuk federasi. Paham yang berlaku di sana adalah bahwa perlu ada satu
badan di luar badan legislatif yang berhak meneliti apakah sesuatu undang-undang
bertentangan atau tidak dengan UUD. Di Amerika Serikat, India, dan Jerman barat
wewenang itu ada ditangan Mahkamah Agung Federal. Di negara-negara itu berlaku
asas judicialsupremacy dan Mahkamah Agung dianggap sebagai pengaman UUD
(Guardian of theConstitution). Wewenang Mahkamah Agung ini antara lain
berdasarkan anggapan bahwa anggota badan legislatif terlalu mudah terpengaruh
oleh pihak lain dan kedudukanya pun terpengaruh oleh oleh fluktuasi politik,

10
sehingga lebih wajarlah wewenang ini diberikan kepada hakim-hakim Mahkamah
Agung. Mereka dianggap lebih bijak dan profesional karena pendidikan dan
pengalamannya di bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari
tekanan dan fluktuasi politik.
Di beberapa negara lain dibentuk suatu badan khusus untuk itu. Misalnya di
Prancis ada Mahkamah UUD yang terdiri dari hakim-hakim mahkamah Agung
ditambah dengan beberapa hakim lain.
Di negara yang mempunyai UUD tak tertulis (seperti di Inggris da Israel)
adalah sukar untuk membedakan antara hukum UUD dan hukum biasa, oleh karena
setiap ketentuan konstitusional – apakah berupa undang-undang biasa atau
keputusan hakim – dapat diubah atau ditinjau kembali oleh parlemen ; jadi statusnya
tidak berbeda dengan undang-undang biasa. Di negara-negara lain yang
mempunyai UUD tertulis, UUD dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih
bersifat mengikat daripada undang-undang biasa.
Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 yang di amandemen, juga telah dibentuk
satu mahkamah konstitusi. Lembaga inilah yang berwenang menguji apakah sebuah
undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.
Dasar pertimbangan supremasi Undang-Undang Dasar dalam suatu negara
adalah karena beberapa hal yaitu:
1. Undang-Undang Dasar dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang
2. Undang-Undang Dasar dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat,
kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan harus dilaksanakan langsung
kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
3. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya,
Undang-Undang Dasar diteteapkan oleh lembaga atau badan yang diakui
keabsahannya.

2.7 Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
disingkat UUD 1945 atauUUD '45, adalah hukum dasar
tertulis (basiclaw), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesiasaat ini.
A. Sejarah Awal UUD 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD
1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1
Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi
nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni1945, 38 anggota BPUPKI membentuk
Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakartayang
akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD

11
1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk
tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua
tanggal 10-17 Juli1945. Tanggal 18 Agustus1945, PPKI mengesahkan UUD 1945
sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku
tiga macam Undang-Undang Dasar (konstitusi), adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945 sampai
27 Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang berlaku antara 27 Desember
1949 sampai 17 Agustus 1950
3. Undang-Undang Dasar Sementara, yang berlaku antara 17 Agustus 1950
sampai 05 Juli 1959
4. Undang-Undang dasar 1945, yang berlaku sejak dikeluarkan Dekrit Presiden
05 Juli 1959
B. Fungsi dan Tujuan UUD 1945
Tujuan dan fungsi UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945, adalah sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
C. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang
Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri
dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4
pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah
Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
D. Amandemen UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
adalah mengklasifikasi beberapa kelemahan UUD 1945, antara lain: UUD 1945 telah
memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power), sistem check
and balances tidak diautr secara tegas diadalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak
yang tidak jelas dan multitafsir, tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak
asasi manusia, sistem kepresidenan, dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
Alasan lain yang dapat dijadikan dasar pertimbangan perlunya
mengamandemen UUD 1945, karena secara historis UUD 1945 memang didesain
oleh para pendiri negara sebagai konstitusi yang bersifat sementara dan ditetapkan
dalam suasana tergesa-gesa. Secara filosofis, ide dasar dan substansi UUD 1945
telah mencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham
integralistik. Padahal antara keduanya bertolak belakang, bahkan paham

12
integralistiklah yang memberangus demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara
yuridis, karena UUD 1945 sendiri telah mengatur prinsip dalam mekanisme
perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun dasar pertimbangan praktis-politisnya
sesuai dengan sinyalemen Mochtar Pabottinggi bahwa konstitusi/UUD 1945-nya
sudah lama tidak dijalankan secara murni dan konsekuen.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan
(staatstructuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober1999 → Perubahan Pertama
UUD 1945
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus2000 → Perubahan Kedua
UUD 1945
3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November2001 → Perubahan Ketiga
UUD 1945
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus2002 → Perubahan
Keempat UUD 194
Analisis Kritis Atas Hasl Amandemen Tahap I Dan II
Mecermati hasil kinerja Ad-Hoc Badan pekerja MPR RI berupa amandemen
tahap I (melalui sidang Umum MPR RI tertanggal 9 Oktober 1999) dan amandemen
tahap II (melalui Sidang Tahunan MPR RI tertanggal 18 Agustus 2000), terdapat sisi
kelebihan dan kelemahannya.
1. Kelebihan dari hasil amandemen (tahap I dan II) dapat diinformasikan sebagai
berikut:
1) Momentum Amandemen ini merupakakan langkah dan strategi desakralisasi
UUD 1945 yang selama ini dikeramatkan.
2) Terjadi peralihan kekuasaan legislatif dari eksekutif (Presiden) kepada
legislatif (DPR). Dalam arti kalau semula Pasal 5 ayat (1) presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang, diubah menjadi presiden
berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Sedangkan
amandemen pasal 20 ayat (1) DPR beralih sebagai pemegang kekuasaan
membentuk UU.
3) Periodisasi jabatan presiden menjadi lebih tegas yaitu masa jabatan presiden
lima tahun dan dibatasi hanya dua periode.
4) Hak prerogratif presiden sedikit diperjelas sekaligus dibatasi (dalam arti
positif). Sebagai contoh: dalam hal mengangkat duta dan menerima dua dari
negara lain presiden memperhatikan pertimbangan DPR (pasal 13), begitu
juga dalam memberikan amnesti dan abolisi perlu pertimbangan DPR (pasal
14 ayat 2). Sedangkan untuk pemberian grasi dan rehabilitasi presiden perlu
memperhatikan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1).
5) Penegasan susunan negara kasatuan RI terdiri dari pusat, propinsi,
kabupaten, dan kota atas dasar penyelenggaraan prinsip otonomi dengan

13
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah, daerah yang bersifat
khusus atau istimewa, serta menghargai/menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Meskipun dalam
implementasinya hasil amandemen pasal 18 ini masih belum seragam dan
membingungkan.
6) Terdapat atribusi langsung dari amandemen pasal 22 A akan perlunya UU
yang mengatur tentang teknik dan tata cara pembentukan Undang-undang,
yang selama ini masih diatur dengan Keppres No. 188 Tahun 1998 dan
Keppres No. 44 Tahun 1999. Harapannya kekaburan mengenai hal ini dapat
dihilangkan.
7) Ketentuan mengenai wilayah negara diatur lebih lanjut dengan UU. Hal ini
penting, karena bisa jadi jika tidak segera diatur, maka nasib pelepasan
wilayah Timor Timur dari wilayah RI akan sangat memungkinkan diikuti oleh
daerah yang lain (pasal 25E).
8) Pengaturan mengenai hak asasi manusia menjadi lebih rinci dan luas (seperti
pasal 28A- 28J dan 30), meskipun tidak ada konssistensi penggunaan istilah
anatar hak asasi, kebebasan, dan kewajiban asasi.
9) Terdapat pemisahan secara tegas mengenai posisi kelembagaan, struktur,
dan ruang lingkup anatar TNI sebagai alat negara yang bertugas
mempertahankan, memelihara, dan melindungi keutuhan dan kedaulatan
negara, dengan kepolisian Negara sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat serta unsur penegak hukum (pasal 30).
10)Penetapan atas lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa Indonesia
yang selama ini belum dimasukkan dalam konstitusi (pasal 36A- 36C).
2. Kelemahan dari proses dan hasil amandemen (tahap I dan II) kurang lebih
sebagai berikut:
1) Terlihat sekali dalam proses awal amandemen UUD 1945 ini kurang
memenuhi kaidah penyiapan dan penyusunan UUD (kaidah-kaidah legislative
drafting).
2) Misalnya pada tahap perencanaan penyusunan draf amandemen,
seyogyanya didahului dengan pembuatan naskah akademik amandemen
yang disusun atas dasar hasil penelitian yang mendalam. Pengguanan
bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah bahasa yang baku, tidak
sistematik, dan menimbulkan tumpang tindih norma, contoh ketentuan
tersendiri mengenai HAM pada Bab XA pasal 28A – 28J, utamanya pasal
28E.
3) Proses penyiapan dan pembahasan draf amandemen kurang melibatkan
rakyat (partisipasi publik) dan kalaulah panitia Ad-Hoc (PAH) I BP MPR
RI melakukan, itu hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan legitimasi
rakyat. Lebih-lebih proses pembahasannya cenderung elitis, karena
perdebatan yang sebenarnya terdiri dari MPR tidak diketahui oleh rakyat
banyak, sehingga keputusannya pun sangat elitis sifatnya.
4) Hasil amandemen (tahap I dan II) belum menyentuh beberapa persoalan
ketatanegaraan secara mendasar sehingga belum membawa kepada arah
perubahan fundamental. Contoh soal mengenai negara hukum, asas
rekomendasi, dan asas berketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas
fundmental bernegara belum terakomodasi.

14
5) Beberapa pasal yang rawan konflik (misal: tentang bentuk negara dan
pemerintahan, sistem perekonomian, kebebasan beragama dan sebagainya)
yang ditangguhkan mengamandemen hingga tahun 2002, mestinya sejak dini
dilakukan penelitian secara mendalam terebih dahulu, kemudian
disosialisasikan kepada rakyat secara arif, bijak, dan transparan. Penulis
yakin akan membawa hasil yang lebih memuaskan dan bisa diterima oleh
semua pihak.
6) Beberapa ketentuan amandemen masih banyak yang belum diikuti dengan
pembaharuan peraturan pelaksanaannya sehingga terkesan terjadi antinomi
norma hukum antara hukum dasar dengan peraturan dibawahnya. Contoh
adanya pergeseran kekuasaan bidang legislatif kepada dewan (pasal 5 dan
20 amandemen), namun dalam praktik eksekutif masih dominan (lihat
ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah).
7) Masih banyak persoalan ketatanegaraan yang belum terakomodasi oleh hasil
amandemen (tahap I dan II), sehingga menimbulkan kekosongan dan
kemadekkan konstitusi. Contoh soal mengenai hak angket DPR, proses
impeachment presiden yang sedang ramai menjadi perdebatan politik dan
opini publik dewasa ini.
8) Tentang lembaga kepresidenan, perlu dipertegas dalam UUD, meskipun
secara lebih detil akan diatur lebih lanjut dalam sebuah UU tersendiri. Banyak
hal yang bisa dikaji dan selanjutnya dinormatifkan dalam konstitusi, misalnya:
menyangkut sistem pemerintahan yang “quasi presidensial parlementer”,
pembagian tugas presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,
mengenai tugas, fungsi, dan tanggung jawab wakil prsiden, dan masalah
suksesi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) sekaligus dapat dikatakan “Abad
UUD” dimulai dengan diundangkannya UUD tertulis yang pertama yaitu UUD
Amerika Serikat pada tahun 1789 dan deklarasi francis tentang hak-hak manusia
dan warga negara 1789.
Konstitusi dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Istilah constitutin merupakan
sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis

15
maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.Sedangkan pengertian
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua
undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar
tertulis dan tidak tertulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki
sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi
menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang, dengan demikian hak warga negara akan terlindungi.

3.2 Saran
Konstitusi tertulis negara Indonesia mengamanatkan dalam dalam pembukaan
UUD 1945 sesuai dengan tujuan dan fungsi negara, oleh karena itu agar kepada
para penyelenggara negara supaya lebih menfokuskan kebijakannya sesuai dengan
amanat UUD 1945 supaya dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-
besarnya bagi rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Jazim hamidi, S.H., M.Hum, Hj. Ni’matul
huda, S.H., M.Hum. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta. PT. Rajagrafindo
Persada.
Prof. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Ikrar
Mandiri Abadi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi
http://wennduut.blogspot.com/2011/05/konstitusi-negara-indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang

16
http://indopedia.gunadarma.ac.id/content/12/127/id/undang_undang-dasar-
1945.html

17

Anda mungkin juga menyukai