Anda di halaman 1dari 6

Sejarah dan Perkembangan Tasawuf di Indonesia

Sejarah Tasawuf di Indonesia

Tasawuf merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian islam di Indonesia,
Irak Palestina dan lain-lain. Sejak Masuknya islam ke Indonesia, unsur tasawuf telah
mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat inipun, nuansa tasawuf
masih kelihatan menjadi bagian yang tidak terhapurkan dari pengalaman keagaaan kaum
muslis di Indonesia.

Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di indonesia, aceh memainkan
peran yang sangat penting. karena aceh merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari
sejarah indonesia khususnya , umumnya dengan malaysia, thailand, brunei darussalam, dan
negara semenanjung malaya.untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di indonesia, aceh
menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan
tasawuf di indoensia secara keseluruhan. Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia,
maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study ( belajar )
ke negara Timur tengah. Diantara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia,
sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri (
wafat tahun 1658 M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al
makkasary ( 1629-1699 M ). Mereka ini belajar di kota Makkah Abdurrauf As-sinkili setelah
belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah oleh
Muhammad Al Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaanya
di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan
dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta
kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran
Thariqot sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar
sampai ke Minang kabau ( Sumatra Barat ). Salah satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang
berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin. Demikianlah jejak pemahaman yang
ditinggalkan oleh As Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan
religiusnya itu..

As-Sinkili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini
menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu
Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy,
kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi
gelar dengan Taj Al Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai
mengembangkan paham Kholwatiyah ditanah Rencong ini.

Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar-Raniri (Ar-raniri) masuk ketanah
Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar muda. Tapi Pada masa itu yang berperan sebagai
mufti kerajaan adalah Syamsudin As-Sumatrani, putra kelahiran Aceh, beliau adalah murid
hamzah Fansuri dan mendapatkan pendidikan kesufian dari hamzah Fansuri yang diberi gelar
ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya
cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu.
Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama' yang banyak
mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata ( prosa ).

Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan
Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan
ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan
disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang
ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad
Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah
Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di
beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai
nama masjid besar di Kota Banjar Masin.

Pendapat yang berkembang dikalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia bekembang
dua macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Beberapa
kelompok yang tergolong mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah,
Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banya Thariqot
mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30 macam
Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot Naqsabandiyah - Qodariyah merupakan yang
terbesar
Perkembangan Tasawuf di Indonesia

Perkembangn Tasawuf sebelum masa kemerdekaan

Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia, tasawuf bukanlah fenomena barudan asing. Sejak
awal perkembangan Islam pada abad ke13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang sejak
awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunanspiritualitas Islam yang dapat menuntun para
penuntut ilmu suluk menujupemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya
yang dikenalsebagai sufi atau lebih dikenal lagi sebagai seorang wali, guru kerohanian,
pemimpinorganisasi tariqat, pendakwah dan darwish atau faqir yang suka mengembara
sambilberniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok negeri.Para sufi
menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin,orang-orang di pinggiran
kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalanIslam. Tidak sedikit pula di antara
mereka dikenal sebagai ahli falsafah,cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial
keagamaan yang populis.Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah
menemukan bukti bahwatidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam (ta`ifa) pada
abad-abadtersebut memiliki afiliasi dengan tariqat-tariqat sufi tertentu. Dengan
memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di
seanterodunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Mekkah, Yaman,
Samarkand,Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan
lainsebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama
Islam.Seperti halnya perkembangan Islam di Indonesia yang dimulai di kota, begitu juga
dengan tasawuf yang perkembangannya dimulai di kota. Setelah itu barumenyebar ke
kawasan pinggiran kota, lalu kemudian ke wilayah pedalaman danpedesaan. Sufi-sufi awal
seperti Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulaikegiatannya di Basra, kota yang
terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan.
Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, danMansur al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad
yang merupakan pusatkekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke 8-13 M.
`Attar lahirdan besar di Nisyapur, yang pada abad ke 10-15 M merupakan pusat
keagamaan,intelektual dan perdagangan terkemuka di Iran.Rumi hidup dan mendirikan
Tariqat Maulawiyah di Konya, kota penting diAnatolia pada abad ke-11 - 17 M. Begitu juga
halnya dengan di nusantara. HamzahFansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai
barat Sumatra yangmerupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang,
seorang dariwali sangat terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke 14-
17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalahpenganjur
tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Diaseorang sufi dan
juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan IskandarMuda (1607-1636 M) di
kesultanan Aceh Darussalam.Dari contoh diatas kita dapat melihat bahwa perkembangan
tasawuf diIndonesia, selalu diawali dengan perkembangannya di kota besar. Dari kota
besar,baru berkembang ke daerah pinggiran / pedesaan.

Pesatnya perkembangan tasawuf di Indonesia pada masa lalu, banyakdipaparkan oleh


sumber-sumber sejarah lokal seperti Hikayat Aceh, Sejarah Melayu,Hikayat Maulana
Hasanuddin, Babad Tanah Jawa, Suluk Wujil, Hikayat SultanMaulana, Hikayat Banjar, dan
lain-lain. Beritanya juga ditemui dalam catatanpengembara dan sejarawan asing dari Turki,
Cina, Arab, Persia, India dan Portugis.Misalnya dalam laporan Zainuddin al-Ma`bari,
sejarawan Muslim dari Iran pada abadke-15 yang tinggal di Malabar, India. Dalam bukunya
Minhaj al-Mujahidin, Zainuddinal-Ma`bari mencatat bahwa para sufi giat berdakwah di India
dan Indonesiamenggunakan sarana budaya lokal dan juga melalui pembacaan Qasidah
Burdah.Dalam Suma Oriental, petualang Portugis abad ke-16 M Tome Pires malahmencatat
bahwa para sufi itu tidak hanya aktif mendirikan madrasah dan mengajartasawuf kepada
penduduk, tetapi juga giat mengajarkan keterampilan termasuk senikriya atau kerajinan
tangan seperti membatik, mengukir, membuat kapal dan perabotrumah tangga.

Perkembangan Tasawuf setelah masa kemerdekaan

Tasawuf kembali berkembang pada akhir 1970an dan awal 1980an yangditandai dengan
kembali bergairahnya minat terhadap tasawuf. Pertama, mulaipenerbitan buku tentang
tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besarmerupakan terjemahan karangan para
sarjana modern seperti Sayed Hossein Nasr,A. J. Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof
Schuon, Martin Lings, Sayed M. Naquib al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel,
Idries Shah dan lain-lain. Sebagianlagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam al-Ghazali,
Ibn `Arabi, Fariduddin al-`Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman al-Hujwiri, Muhammad Iqbal,
dan lain-lain.Penerbit-penerbit awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan
diBandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta.Penerjemahnya
adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Sepertiyang diketaui pada awal
1970an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualismeTimur sangat marak di Barat. Ledakan
penerbitan buku-buku kearifan Timurtermasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut.
Survey yang dibuat IKAPI(Ikatan Penerbit Indonesia) kalau tak salah pada tahun 1989
menyebutkan bahwa diantara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf.
Buku Sastra Sufi:Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985
mengalamicetak ulang sampai 7 kali.Kedua, maraknya kegiatan pembacaan puisi sufi oleh
para sastrawan di TamanIsmail Marzuki dan tempat-tempat lain. Sebelumnya, pada awal
1970an, telahbangkit gerakan sufistik dalam penulisan sastra yang dipelopori oleh pengarang
danpenyair seperti Danarto, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.
M.,Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Di antara acara penting yangdiselenggarakan
dalam lingkait ini ialah pembacaan puisi yang disebut Malam Rumi(1982), Malam Hamzah
Fansuri (1984, Malam Iqbal (1987) dan lain-lain. Sajak-sajaksufi dibacakan dalam acara
pembacaan puisi yang tidak dikhususkanmemperkenalkan sastra sufi seperti Malam Palestina
(1982), Malam Afghanistan(1984), dan lain-lain.

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistiksemakin ramai pada
tahun 1980an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlaldiselenggrakan pada tahun 1991
dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islamterbesar yang pernah diselenggarakan di
Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresiseni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan,
termasuk pameran akbar senirupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas
para sufi ialah TariSaman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari
ZapinMelayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya.Lembaran-lembaran
budaya atau sastra di surat kabar ibu kota seperti HarianBerita Buana dan Pelita berada di
garis depan dalam upaya merekamemperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi.
Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an
juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun1980an,
pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar sepertiJakarta. Misalnya
seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina.Ini tidak mengherankan oleh
karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur
atau editor Ulumul Qur’an.

Kelompok-kelompok uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting


dalammemperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul dimasjid-
masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB (InstitutPertanian
Bogor). Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an jugatidak jarang diisi
dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu jugamarak pengajian-pengajian
seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibu kota. Tariqat-
tariqat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah,Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya
tersembunyi di kawasan-kawasan pinggirankemudian merengsek keluar dan menampakkan
kegiatannya di pusat kota.Secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di
kalanganterpelajar pada tahun 1980an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang
mulaidirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota , yangsebagian
besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakandirinya berada di tengah
budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidupdan pergaulannya. Di tengah
pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya,mereka merasakan hilangnya dimensi
kerohanian yang teramat penting dalammemelihara hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai