Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Asma Bronkial
3.1.1 Definisi
Asma berasal dari kata “ashtma” yang diambil dari bahasa yunani
yang berarti “sukar bernapas”. Asma Bronkial adalah suatu penyakit dengan
ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsang
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan
derajatnya berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan.6 Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan objektif yang
ditandai oleh spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan
obstruksi aliran udara dan penurunan ventilasi alvelolus.6
Asma adalah suatu peyakit jalan nafas obstruktif intermitten,
reversibel dimana trakea dan bronkus berespons dalam secara hiperaktif
terhadap stimulus tertentu.1 Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis
rangsangan.1
Terdapat banyak definisi asma yang di kemukakan oleh para ahli
yang terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga tidak ada definisi
baku untuk penyakit asma ini. Seperti yang telah di kemukaan beberapa ahli
di atas definisi asma tersu berkembang. GINA pada tahun 2011,
mengungkapkan bahwa asma merupakan proses inflamasi kronik saluran
pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
kronik ini menyebabkan salurna napas menjadi hiperesponsif, sehingga
memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar,
yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa wheezing, sesak napas,
dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya

10
bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa
pengobatan.7

3.1.2 Epidemiologi
Angka Kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecendrungan bahwa penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma banyak dikembangkan. WHO pada tahun
2002 dan GINA pada tahun 2011, mengungkapkan diseluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025
diperkirakan jumlah pasien asma meningkat hingga mencapai 400 juta
orang. Di Indonesia sendiri prevalensi penyakit asma berdasarkan data yang
di ambil dari RISKESDAS pada tahun 2007 cendrung tinggi yaitu sebesar
3,5 % untuk nasional dan 4,0% untuk kalimantan tengah.7

Gambar 1. Prevalensi Asma Menurut Provinsi Tahun 2007.


(Sumber : Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI)

Jika di bandingkan dengan hasil data prevalensi penyakit asma yang


diambil dari RISKESDAS pada tahun 2013 akan terlihat bahwa penyakit
asma di indonesia mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi 4,5% dan di
kalimantan tengah sebesar1,8% menjadi 5,8%.4

11
Gambar 2. Prevalensi Asma Menurut Provinsi Tahun 2013.4
(Sumber : Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI)

Hal ini membuktikan bahwa penderita penyakit asma di Indonesia


masih belum bisa teratasi dengan baik.

3.1.3 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya asma dapat di bagi 2 yaitu faktor prediposisi
yaitu yang menyebabkan berkembangnnya asma pada individu dan faktor
presipitasi yaitu yang memicu terjadinya gejala asma :2
1. Faktro Prediposisi
Genetik
a. Atopi/Alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alergi, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpapar dengan faktor pencetusnya.

12
b. Hiperaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsang alergen
maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Peria merupakan faktor risiko asma pada anak, sebelum usia 14
tahun prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibandingkan anak perempuan. Tetapi pada dewasa perbandingan
tersebut menjadi sama dan saat menopouse perempuan lebih tinggi
terkena risiko di bandingkan laki-laki.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti
leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya masih belum
diketahui secara pasti, namun terbukti bahwa penurunan berat badan
pada penderita obesitas dengan asma menurunkan derajat kekambuhan
asma pada pasien.
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis :
Inhalasi : Debu, serbuk bunga, asap rokok, polusi, bulu hewan dan
jamur.
Ingestan : Makanan dan obat-obatan
Kontaktan : Perhiasan yang di kenakan (logam, karet dan macam-
macam perhiasan lainnya)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembap dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim penghujan yang

13
menghasilkan cuaca dingin, dan musim kemarau yang menghasilkan
kabut asap dari pembakaran hutan.
c. Stres
Stres atau ganguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab
terjadinya serangan asma yaitu alergen, hal ini berkaitan dengan dimana
dia bekerja.
e. Olahraga atau aktivitas fisik
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Contohnya lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.

3.1.4 Klasifikasi Asma


Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, ekserbasi, gejala malam hari /
dini hari, pemberian obat inhalasi B-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-
obatan yang di gunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat,
serta frekuensi pemakaian obat. GINA membagi penyakit asma menjadi 4
klasifikasi yaitu intermiten, presisten ringan, presisten sedang dan presisten
berat :8

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma GINA Berdasarkan Gejala pada


Orang Dewasa8
Deraja Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
- Gejala <1x/minggu tanpa - ≤2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80% nilai
gejala diluar serangan prediksi
- Serangan singkat - APE ≥ 80% nilai
terbaik
- Variabilitas APE
<20%

14
Presisten Mingguan APE ≥80%
ringan - Gejala >1x/minggu tetapi - >2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80% nilai
<1x/hari prediksi
- Serangan dapat mengganggu - APE ≥ 80% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
- Variabilitas APE
20-30%
Presisten Harian APE 60-80%
sedang - Gejala setiap hari - >1 kali - VEP1 60-80%
- Serangan menggangu seminggu nilai prediksi
aktivitas dan tidur - APE 60-80%
- Membutuhkan bronkodilator nilai terbaik
setiap hari - Variabilitas APE
>30%
Presisten Kontinyu APE≤60%
berat - Gejala terus menerus - Sering - VEP1 ≤60% nilai
- Sering kambuh prediksi
- Aktivitas fisik terbatas - APE ≤60 % nilai
terbaik
- Variabilitas APE
>30%
(Sumber : Global Initiative fo Asthma 2015, Global Strategy for Astma
Management and Prevention)

Selain itu, GINA membuat klasifikasi pembagian derajat serangan asma


berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium.

Tabel 2. Klasifikasi Asma Menurut Derajat Serangan8


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Ringan Sedang Berat mengancam
Jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk, -
terlentang membungkuk
Cara berbicara : Satu kalimat Beberapa Kata demi kata -
kata
Kesadaran : Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi napas <20x/menit 20- >30x/menit -
30x/menit
Frekuensi nadi <100x/menit 100- >120x/menit Bradikardi
120x/menit
Otot bantu nafas - + + Torakoabdomi
dan retraksi nal paradoks
suprasternal

15
Wheezing Akhir Ekspirasi Akhir Inspirasi dan Silent chest
paksa Ekspirasi ekspirasi
APE >80% 60-80% <60% -
PaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg -
SaO2 >95% 91-95% <90% -
(Sumber : Global Initiative fo Asthma 2015, Global Strategy for Astma
Management and Prevention)

3.1.5 Patogenesis dan Patoisiologi Asma


Dasar dari patogenesis dan patofisiologi gejala asma adalah
inflamasi dan respons slauran napas yang berlebihan.2
a. Asma sbagai penyakit inflamasi
Asma dipandang sebagai penyakit inflamasi salurna napas, dimana
inflamasi ditandai dengan adanya 6 faktor yaitu : kalor (panas karena
vasodilatasi), dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudat
plasma dan edema), dolor ( rasa sakit karena rangsangan sensoris), function
laesa (fungsi yang terganggu) dan infiltrasi sel-sel radang. Ke-6 syarat
tersebut dapat ditemukan pada asma tanpa membedakan penyebab asma
tersebut.2
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non
alergik dijumpai adanya inflamasi dan Hiperaktivitas saluran napas.
Terdapat 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut yaitu jalur
imunologi dan saraf otonom. Jalur imunologi Terutama didominasi oleh
antibodi IgE, merupakan reaksi hipesensitivitas tipe I (tipe cepat contoh
pada alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.2
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecendrungan untuk
membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan
ini disebut atopi. Pada penderita asma alergi, sebelum terbentuk antibodi
IgE dalam jumlah besar mula-mula penderita akan terpapar suatu atigen
tertentu (alergen). Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2 yang berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena
sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan

16
diproduksinya IgE oleh sel B. IgE tersebut bertindak sebagai faktor
pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktifasi eosinofil.
Antibodi IgE yang telah terbentuk akan berikatan pada respter Fc
berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil (Sel mast dan
basofil telah dipersenjatai antibodi IgE). Pajanan ulang terhadap antigen
yang sama mengakibatkan pertautan silang pada antibodi IgE yang telah
teriakat sel mast dan basofil memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga
terjadi pelepasan beberapa mediator yang akan dibagi menjadi 2 yaitu
mediator primer dan mediator sekunder.11

Gambar 3. Rangkaian Peristiwa yang menimbulkan Hipersensitivitas


tipe I 11
(Sumber : Patologi Robbins 2007.)

Setelah sinyal untuk degranulasi terpacu, mediator primer


(praformasi) didalam granula sel mast berdegranulasi (dilepaskan) yang
berisi mediator primer berupa histamin, protease, dan faktor kemotaktik
(ECF, NCF) untuk memulai tahap awal reaksi hipersensitivitas tipe I.
Histamin menyebabkan meningkatnya premeabilitas vaskular, vasodilatasi
bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Setelah itu mediator

17
lain segera di lepaskan juga seperti proteae (menghasilkan kinin untuk
memecah komponen untuk menghasilkan faktor kemotaktik), adenosin
(yang menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosi)
dan faktor kemotaktik (neutrofil dan eosinofil). Maka terbentuklah respon
awal / fase cepat dari hipersensitivitas tipe I yaitu Vasodilatasi, Kebocoran
vaskular dan Spasme otot polos.11
Secara bersamaan setelah sinya untuk degranulasi terpacu, mediator
sekunder yang mencakup 2 kelompok senyawa yaitu mediator lipid dan
sitokin akan mengakibatkan reaksi fase lambat seperti : Edema paru, Sekresi
mukus, infiltrat leukosit, keruskaan peitel dan bronkospasme. Awalnya
mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fospolipase A2, yang memecah
fopolipid membran sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat.
Selanjutnya asam arakhidonat akan mensintesis 2 mediator sekunder yaitu
leukotrin (C4, D4 dan B4) dan prostaglandin (D2).11

Gambar 4. Aktivasi sel mast pada Hipersensitivitas tipe I.11


(Sumber : Patologi Robbins 2007.)

18
Leukotrin C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik
yang berperan ribuan kali lebih aktif dari histamin dalam meningkatkan
premeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sedangkan leukotrin B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil dan monosit. Prostaglandin D2 menyebabkan bronkospasme hebat
dan meningkatkan sekresi mukus.11
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergi akan menghasilkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator
inflamasi akan dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih premeabel dan memudahkan alrgen masuk kedalam sub
mukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keruskan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, mislanya hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma
terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepaskannya neuropeptida sensorik senyawa p.
Neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
tesebut meyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudat
plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.11
b. Hiperaktivitas saluran napas
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hiperativitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hiperaktivitas bronkus tersebut,
antara lain dengan uji provokasi bronkus, inhalasi udara dingin, maupun
inhalasi zat non spesifik. Hiperaktivitas saluran napas akan meyebabkan
obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang
dapat kembali secara sepontan atau dengan pengobatan. Proses patologis
utama yang mendukung obstruksi saluran napas ialah edema mukosa,
kontraksi otot polos dan produksi mukosa. Obstruksi terjadi selama

19
ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan
meyebabkan gas disaluran napas terperangkap. Bahkan pada asma yang
berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi.2

3.1.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik pada asma bronkial sama dengan gambaran klinis
asma klasik yaitu terdapat serangan episodik berupa wheezing, dispnea,
batuk-batuk , dan dada terasa berat yang sering terjadi pada malam hari atau
dini hari. Pada asma alergik biasanya juga disertai pilek dan bersin-bersin
setelah terpajan alergen, meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret
namun pada perkembangannya batuk akan disertai sekret baik yang mukoid,
putih dan kadang-kadang prulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang
gejalanya hanya batuk tanpa disertai wheezing, dikenal dengan istilah cough
varian asthma, bila cough varian asthma di curigai maka perlu dilakukan
pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator.2,7

3.1.7 Diagnosis Asma


a. Anamnesis.2
Pada anamnesis riwayat penyakit atau gejala akan dijumpai keluhan
batuk, dispnea, wheezing, dan rasa berat di dada, gejala timbul umumnya
pada malam hari atau dini hari bahkan pada saat beraktivitas fisik yang
bersifat episodik, sering reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Selain itu
riwayat terpapar alergen yaitu faktor pencetus asma juga penting di
tanyakan dalam menegakan diagnosis asma dan responsif pengobata dengan
menggunakan bronkodilator apakah membaik atau tidak sebagai mengukur
derajat keparahan penyakit.
Hal lain yang perlu ditanyakan juga adalah riwayat keluarga apakah
memiliki keturunan penderita asma atau tidak, riwayat alergi ada atau tidak,
penyakit lain yang memperberat, perkembangan penyakit dan biasanya jika

20
kambuh di berikan apa juga harus di tanyakan untuk menunjang diagnosis
asma bronkial.
b. Pemeriksan Fisik.2
Peneuman tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari
derajat obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma sering
ditemukan perubahan cara bernapas dan terjadi perubahan bentuk anatomi
thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan bibir pasien sianosis, pernapasan
cepat, hiperinflasi thoraks, serta terlihat adanya retraksi pada otot bantu
tambahan saat bernapas seperti yang dapat terlihat pada leher, abdomen dan
thoraks. pada asukultasi dapat ditemukan ekspirasi memanjang dan terdapat
wheezing pada inspirasi maupun ekspirasi namun yang utama suara
wheezing terdengar pada ekspirasi.
c. Pemeriksan Penunjang.2
Spirometri
Cara paling cepat dan sederhana adalah dengan melihat response
pengobatang dengan bronkodilator.Pemeriksaan spirometri dilaukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodiator hirup (Inhaler atau Nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥
200mL) tidak berarti bukan asma. Pemeriksaan Spirometri selain penting
untuk menegakan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi
dan efek pengobatan.
Uji Provokasi Bronkus
Jika pemeriksaan spiromentri normal menujukan adanya
hiperaktivitas bronkus dilakukan uji provikasi bronkus. Ada 3 cara
melakukan uji provokasi bronkus :1) Dengan menggunakan histamin,
metekolin, larutan garam hipertonik, dan dengan menggunakan aqua
destialta. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih di anggap bermakna. 2)
Dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat
dalam 6 menit sehingga mencapai dneyut jantung 80-90% dari maksimum.
Dianggap bermakna jika menunjukan penurunan APE paling sedikit 10%.

21
3) Dengan menggunakan alergen dilakukan pada pasien alergi, bermaka jika
muncul gejala asma.
Pemeriksaan Eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah seing meningkat pada pasien
asma dan hal ini dapat mmbantu dalam membedakan asma dari bronkitis
kronik. Pemeriksaan ini juga dapat diapaki sebagai patokan untuk
menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan untuk
penderita asma.
Skin Test
Tujuan Uji kulit adalah untuk menunjukan adanya antibodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menunjang anamnesis, karena uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula
sebaliknya.
Pemeriksaan Seputum
Seputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan
neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selian untuk melihat
adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann,
pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigatus.
Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik
Kegunaan pemerksaan ini adalah untuk penunjang adanya faktor
atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit
tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di
paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, penumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.

22
Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada penderita asma berat. Pada
fase awal serangan, terjadi hipoksemia danhipokapnia (PaCO2 <35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal
sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi
hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg) , hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

3.1.8 Diagnosis Banding


a. Brokitis Kronik
Bronkitis Kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun yang sedikitnya terjadi dalam waktu 2 tahun.
Penyebab batuk kronik seperrti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus
disingkirkan dahulu. Biasanyadidapat pada pasien >35 tahun dan seorang
perokok berat, gejala mulai dengan batuk pagi yang lama kelamaan disertai
wheezing dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium
lanjut dapat ditemukan tanda-tanda sianosis dan tanda-tanda cor pulmonal.
b. Empisema Paru
Sesak merupakan gejala utama empisema paru. Sedangkan batuk dan
wheezing jarang menyertainya.Pasien biasanya kurus, berbeda dengan
asma, pada empisema tidak perna ada masa remisi, pasien selalu sesak pada
kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kemubng,
pernajakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas
sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukan hiperinflasi.
c. Gagal Jantung kiri Akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal sebagai asma kardial, dan bila
timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnue. Pasien
tiba0tiba terbangun pada mlam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang
atau berkurang saat duduk. Pada anmnesis dijumpai hal-hal yang
memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnue,
pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.

23
d. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah
imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas,
pasien batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, kerignat dingin,
kejang dan pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnue,
takikarida, gagal jantung kanan, pleuara fraction, irama derap, sianosis dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrkardiogram menunjukan perubahan antara
lain aksis jauntung ke kanan.

3.1.9 Penatalaksanaan Asma Bronkial


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.2
1. Terapi non farmakologi.10
Mengontrol dan menghindari faktor-faktor pemicu serangan asma
melalui edukasi kepada pasien tentang tanda awal gejala asma, faktor-faktor
apa yang dapat memunculkan kekambuhan asma pada pasien dan memberi
tahukan kepada pasien bagaimana cara penanganan asma yang memerlukan
penanganan intensif maupun yang dapat di tangani pasien sendiri.
2. Terapi Farmakologi.10
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas yang tardiri dari terapi pengontrol (controller) dan terapi pelega
(reliever medication).
a. Controller medication
Controller medication adalah obat yang digunakan untuk
mengendalikan asma yang presisten. Terapi ini di berikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
presisten. Jenis Obat Pengontrol : Kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid
sistemik, sodium kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonsi beta-

24
2 long acting inhalasi dan oral, leukotrien modifiers dan anti histamin
generasi ke dua.
Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma adalah penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid
inhalasi adalah pilihan pertama bagi pengobatan asma presisten (ringan
sampai berat).

Tabel 3. Dosis Glukokortikosteroid Inhalasi Dewasa10


Obat Dosis Rendah Dosis Medium Dosis Tinggi
Beklometason 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug
Dipropionat
Budesonid 200-400 ug 400-800 ug >800 ug
Flunisolid 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Flutikason 100-250 ug 250-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
(Sumber : Farmakologi dan Terapi 2007)

Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Dalam pemberian
glukokortikosteroid sistemik harus di perhatikan efek jangak panjang dan
indikasi pemberiannya. Pemberian glokokortikosteroid sistemik jangka
panjang tidak di sarankan karena memiliki efek samping yang lebih banyak
di bandingkan dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi.
Contoh obat : Hidrokortison (short acting), prednison (intermediet acting),
dan dexametason (long acting).
Kromolin ( Sodium Kromoglikat dan nedpkromil sodium)
Bekerja dengan menghambat pelepasan histamin. Pemberiannya
secara inhalasi karena pemberian kromolin secara oral sangat buruk untuk di
absorpsi, kromolin digunakan sebagai pengontrol pada asma presisten

25
ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Metilxantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga punya efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengotrol, berbagai studi menunjukan pemberian teofilin
efektif mengotrol gejala dan memperbaiki faal paru.
Agonis Beta-2 long acting
Termasuk didalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan fermoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam).
Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan premeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil.

Tabel 4. Onset dan Durasi Inhalasi Agonis Beta-210


Durasi (Lama Kerjanya)
Onset
Singkat Lama
Fenoterol Formoterol
Prokaterol -
Cepat Salbutamol / Albuterol -
Terbutalin -
Pirbuterol -
Lambat - Salmeterol
(Sumber : Farmakologi dan Terapi 2007)

Leukotrine modifiers
Obat ini merupakan anti histamin yang reltif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal
dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergi, sulfurdioksida dan latihan
fisik. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek anti iniflamasi.

26
Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga
mudah di berikan.
Contoh obat : Zafirlukast (Antagonis reseptor leukotrien sisteinil)
b. Reliever medication
Reliever medication adalah obat yang cepat menghilangkan gejala
asma yaitu obstruksi saluran napas. Prinsipnya untuk dialtasi jalan napas
melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti wheezing, rasa
berat di dada dan batuk. Obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Jenis obat pelega : Obat Agonis beta-2 short acting, kortikosteroid
sistemik, antikolinergik, aminofilin dan adrenalin.
Agonis Beta-2 Short Acting
Mempunyai onset yang cepat, mekanisme kerja sebagai mana agonsi
beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan premeabilitas pembuluh darah dan modulasi
pelepasan mediator dari sel mast. Merupakan pilihan terapi pada serangan
akut.
Contoh obat : Salbutamol, Terbutalin, fenoterol dan prokaterol.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya dengan memberi
efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilator dengan menurunkan tonus kolnergik vegal
intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang
disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan : Ipratropium bromide dan
tiotropium bromide.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pengobatan pada sasma ekserbasi sedang
sampai berat. Pemberian secara subkutan di pertimbangkan untuk usia lanjut
dan penderita penyakit kardiovaskular.

27
3.1.10 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul :
1. Pneumothoraks2
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara didalam rongga pleura
yang dapat terjadi akibat komplikasi dari penyakit saluran pernafasan seperti
asma bronkial.9
2. Penumo mediastinum2
Penumo mediastinum dari bahasa yunani “pneuma” udara, juga
dikenal sebagai empisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana
terdapat udara di meidastinum. Kondisi ini dapat terjadi akibat taruma fisik
atau keadaan yang mengarah ke udara yang keluar paru-paru, saluran udara
atau usus ke dalam rongga dada.9
3. Atelektasis2
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat pneyumbatan dan penyempitan saluran udara (bronkus maupun
beonkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.9
4. Aspergilosis2
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh
jamur dan timbul akibat adanya gangguan pernapasan berat seperti pada
asma yang sangat berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada
organ lainnya, istilah aspergilosis dipakai untuk menunjukan adanya infeksi
Aspergillus sp.9
5. Gagal Napas2
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran O2 terhadap CO2 dalam
paru-paru tidak seimbang di mana paru-paru tidak dapat mengkompensasi
laju penggunaan oksigen dan pembentukan CO2 didalam tubuh.9
6. Bronkitis2
Bronkitis atau radang paru-paru adalah kondisi dimana lapisan
bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkiolus)
mengalami peradangan. Selain radang juga terjadi peningkatan produksi

28
mukus. Akibatnya penderita akan batuk berulang-ulang dan kesulitan untuk
bernapas.9
7. Fraktur Iga2
Akibat sesak yang di timbulkan oleh asma yang sangat berat
menimbulkan tekanan yang berlebihan pada rongga dada yang akhirnya
mengakibatkan fraktur pada Iga. Biasanya terjadi pada anak-anak.9

3.2 TB Paru
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infekis mycobacterium tuberculosis complex. Tuberkulosis merupakan
penyakit infeksi yang menular, kuman batang aerobik dan tahan asam ini
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk bakteri
ini menginfeksi manusia antara lain saluran napas, saluran pencernaan, dan
luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB meyebar melalui udara
dengan terhirupnya droplet yang mengandung organisme basil tuberkel dari
penderita tuberkulosis saat batuk.2,12

3.2.2 Pengobatan
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan
dan fase lanjut 4 atau 7 bulan.13 Obat yang di gunakan pada pengobatan TB
adalah obat anti tuberkulosis (OAT), antara lain :12,13
1. Isoniazid (INH)
Isoniazid adalah OAT yang bersifat bakterisid dan sangat efektif
terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang
berkembang dan bersifatbakteriostatik terhadap bakteri yang diam. Obat ini
efektif pada intrasel dan ekstra sel.
Efek samping yang mungkin timbul: munculnya gatal-gatal dan ruam
kemerahan di kulit, badan kekuningan atau ikterus, mula dan muntah,
hingga rasa kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki.

29
2. Rifampisin (R)
Rifampisin adalah OAT yang bersifat bakterisid pada intrasel dan
ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh bakteri semu-
dormant yang tidak dapat di bunuh INH. Obat ini diserap tubuh saat
lambung kosong.
Efek samping yang mungkin timbul: air mata, ludah, kotoran dan urin akan
menjadi merah, mual munta, tidak nafsu makan, hingga menimbulkan syok.
3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid adalah OAT yang bersifat bakterisid pada intrasel dan
saat suasana asam. Obat ini berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh
termasuk SSP, dan LCS.
Efek samping yang mungkin timbul: Kemerahan pada kulit, iritasi pada
saluran cerna, hingga meyebabkan nyeri pada persendian.
4. Etambutol (E)
Etambutol adalah obat yang berperan untuk mencegah resistensi obat
lain. Etambutol bersifat bakteriostatik dan bakterisida.
Efek samping yang mungkin timbul adalah gangguan penglihatan terutama
kebuataan pada warna merah-hijau.
5. Streptomisin (S)
Streptomisin adalah obat yang bersifat bakteriosid dan bakteriostatik
terhadap bakteri ekstraselular pada keadaan basa atau netral.
Efek samping yang mungkin timbul: gangguan keseimbangan, pusing,
hingga gangguan pendengaran.

30
Tabel 5. Dosis Obat Anti Tuberkulosis13
Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis (Mg)/ Berat badan (kg)
Dosis
(Mg/KgB Harian Intermiten
Obat Maks
B (Mg/KgBB (Mg/KgBB 28-39 40-60 >60
(mg)
/hari) /hari) /hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500
E 15-20 15 30 - 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
(Sumber : PDPI 2014)

Berikut adalah panduan pengobatan TB yang di rekomendasikan WHO :

Tabel 6. Panduan Pengobatan TB menurut WHO13


Rejimen pengobatan TB
Kategori Klasifikasi dan Tipe
Tahap Awal Tahap lanjut
Pengobatan Pasien
( Harian) (Harian/3x1minggu)
I - Pasein baru TB
dengan BTA positif
4 RH
- Pasien baru TB
4 R3H4
dengan BTA negatif 2RHZE
6 HE
- TB paru dengan lesi
6 H3E3
luas/ tidak HIV atau
tb ekstra paru berat
II - Kasus pengobatan
ulang, BTA positif 5 R3H3E3
2RHZES/
- Kasus kambuh Atau
1RHZE
- Kasus putus berobat 5 RHE
- Kasus gagal
III - Pasien baru TB
dengan BTA Negatif
(yang tidak termasuk 4 RH
kategori) 2RHZE Atau
- TB paru dengan lesi 6 HE
ekstra paru yang tidak
terlalu parah
IV - TB MDR OAT untuk TB MDR
(Sumber : PDPI 2014)

31

Anda mungkin juga menyukai