Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
Saat ini, masih banyak populasi di dunia mempercayai bahwa kanker merupakan
masalah yang hanya ditemukan di negara maju, sedangkan penyakit infeksi merupakan
masalah utama di negara berkembang. Kesalahpahaman dunia ini diakibatkan karena
eratnya hubungan antara negara berkembang dengan kebiasaan hidup tidak sehat, rokok
dan diet berlemak. Padahal, kanker merupakan suatu masalah global dengan angka
kematian mencapai 13% populasi di dunia, mendekati angka kematian 7 juta populasi
akibat dari HIV/AIDS, TB dan malaria. Menurut World Health Organization (WHO),
pada tahun 2008 terdapat 12,7 juta kasus kanker baru, dan 7 juta diantaranya ditemukan
di negara berkembang.1
Kanker esofagus, termasuk didalamnya karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma merupakan salah satu keganasan serius yang mengarahkan pada
prognosis dan outcome yang buruk pada sebagian besar kasus. Karsinoma esophagus
terjadi pada 450.000 populasi didunia dan secara cepat meningkat tiap tahunnya. Saat ini,
kanker esofagus merupakan kanker nomor delapan yang paling sering didunia
dikarenakan agresivitas penyakit dan survival rate yang buruk.2
Keganasan pada esofagus dapat berdampak pada beberapa komplikasi, seperti
anemia dan malnutrisi. Anemia dapat terjadi pada penderita penyakit kegaganasan
(kanker). Angka kejadian anemia pada penyakit keganasan bervariasi bergantung pada
jenis penyakit keganasan, stadium dan lamanya penyakit yang diderita, regimen terapi
yang dipakai ,dan ada tidaknya infeksi. Anemia pada pasien kanker dapat terjadi baik
sebelum maupun setelah mendapat terapi antikanker. Kejadian anemia berhubungan
dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Hipoksia tumor dan radio-resistance pada
pasien kanker disebabkan oleh anemia. Penelitian di Belgia, melaporkan 79% pasien
dengan penyakit keganasan mengalami anemia, dan membuktikan bahwa anemia setelah
kemoterapi terjadi pada 90% pasien leukemia dan 69% pasien tumor padat. 3

Malnutrisi yang berkaitan dengan kanker memiliki beberapa konsekuensi,


diantaranya meningkatkan risiko komplikasi, penurunan respon dan toleransi terhadap

1
pengobatan, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya pengobatan. Risiko
malnutrisi juga dipengaruhi tipe tumor, stadium, dan terapi antikanker yang diberikan.
Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker berkisar antara 31-87%. Kadar Hb yang rendah
atau biasa disebut dengan anemia secara signifikan berhubungan dengan parameter
malnutrisi. 4

2
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien wanita berusia 56 tahun datang ke IGD dengan keluhan kesulitan
menelan makanan dan minuman sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini
pertama kali dirasakan pasien sejak 9 bulan sebelum masuk rumah sakit, namun tidak
seberat saat ini. Keluhan kesulitan makan awalnya berupa rasa ada yang mengganjal pada
leher saat pasien menelan. Semakin lama keluhan tersebut memberat, mulai dari pasien
kesulitan menelan makanan padat, hingga saat ini pasien kesulitan untuk menelan
makanan padat maupun cair. Apabila pasien tetap memaksa untuk menelan, maka
makanan atau minuman tersebut akan keluar kembali melewati hidung. Pasien kesulitan
makan dan hanya dapat menelan sari-sari dari makanan yang ia kunyah, sedangkan
sisanya dibuang. Keluhan ini disertai dengan penurunan berat badan pasien, dalam 2
bulan terakhir berat badan pasien turun dari 57 kg ke 31 kg. Pasien juga mengeluhkan
lemas seluruh tubuh yang membuat pasien kesulitan untuk beraktivitas sehari-hari. Tidak
ditemukan keluhan lain yang bermakna pada sistem organ lainnya. Tidak ada riwayat
sakit lambung, muntah-muntah, batuk-batuk yang lama atau penyakit gondok pada
pasien. Tidak ada riwayat penyakit kronik pada keluarga pasien. Pasien juga tidak
merokok maupun sering terpapar asap rokok.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, tanda-tanda vital pasien dalam batas
normal, Index massa tubuh (IMT) pasien adalah 11,48 dan pasien terlihat sangat kurus.
Didapatkan kedua konjungtiva pasien tampak pucat, ada oral thrush dan bercak putih
pada mulut pasien, dan adanya penebalan pada jaringan pada leher, sehingga leher teraba
seperti pipa yang tebal dan keras. Trakea letak di tengah dan tidak didapatkan pembesaran
kelenjar getah bening pada leher.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan


laboratorium dan pemeriksaan pencitraan radiografi. Pemeriksaan laboratorium
menunjukan kadar hemoglobin yang menurun yakni 10,0 g/dL dengan kadar MCV 67,4
fL dan MCH 20,1 pg. Terdapat sedikit peningkatan kadar leukosit yakni 10,34 x103/uL
dengan kadar neutrofil sebanyak 84,4 %. Pada pemeriksaan kimia darah, ditemukan

3
peningkatan kadar ureum darah, yakni sebesar 85,60 mg/dL, namun kadar kreatinin masih
dalam batas normal, yakni 0,82 mg/dL. Pasien dicurigai ke arah keganasan, yakni
kemungkinan ke arah kanker esofagus, sehingga dilakukan pemeriksaan tumor marker
untuk kanker pada saluran pencernaan, yakni CEA (Carcinoembryonic Antigen), dan
hasil yang didapat adalah peningkatan kadar CEA, yakni 6,89 ng/mL (normal: <2,3
ng/mL untuk non perokok). Dilakukan pemeriksaan radiografi pada pasien, yakni foto
polos Cervical AP-lateral, foto polos thorax AP dan CT-Scan leher tanpa kontras. Pada
foto polos Cervical AP-lateral (Gambar 1), ditemukan adanya penekanan pada trakea ke
arah depan, yakni terlihat adanya penyempitan pada segmen trakea setinggi Vertebra C7-
T1. Posisi trakea tidak bergeser ke arah lateral pada foto polos Cervical AP-lateral dan
foto polos thorax AP (Gambar 2). Hasil pemeriksaan CT-Scan leher tanpa kontras
memperlihatkan adanya massa pada esofagus segmen cervical dengan differensial
diagnosis ke arah massa retrotracheal (Gambar 3) yang mendesak dan menyebabkan
penyempitan pada esophagus.

Gambar 1. (kiri) foto X-ray Cervical AP-lateral memperlihatkan gambaran massa pada
jaringan dibelakang trakea yang mendorong trakea ke arah depan. Gambar 2. (tengah)
foto X-ray thorax AP memperlihatkan gambaran trakea pada posisi ditengah,
menyimpulkan bahwa tidak ada penekanan massa dari arah lateral. Gambar 3. (Kanan)
foto CT-Scan Cervical tanpa kontras, memperlihatkan gambaran massa pada aera
retrotracheal dan lumen esofagus yang melebar secara irreguler esofagus dibawah segmen
Th1.

Pasien didiagnosis sebagai massa esophagus dengan komplikasi malnutrisi, anemia


ringan dan gagal ginjal akut. Terapi yang diberikan berupa terapi suportif dengan

4
memberikan nutrisi parenteral berupa cairan infus Clinnimix 1000 cc dengan cairan infus
Aminofluid 500 cc per 24 jam. Pasien juga mendapat injeksi Ranitidin 2x1 ampul,
selanjutnya diganti dengan sirup Sucralfat 3x1 sendok teh.

Dilakukan pemasangan gastrostomi pada pasien setelah dua minggu perawatan


untuk menunjang nutrisi per enteral. Pemasangan gastrostomi ditunda hingga 2 minggu
dikarenakan masih menunggu persetujuan keluarga untuk dipasang selang gastrostomi,
selain itu karena kondisi pasien yang sempat turun sebelum dilakukannya operasi, yakni
kadar hemoglobin pasien menurun hingga 9,0 g/dL, sehingga masih dibutuhkan waktu
untuk menaikkan kadar hemoglobin dengan pemberian transfusi Packed Red Cell (PRC).

5
BAB III
PEMBAHASAN
Karsinoma esofagus yang tidak dapat dilakukan reseksi mempunyai prognosis yang
buruk. Menurut American Cancer Society, angka kemungkinan bertahan hidup untuk 5
tahun kedepan pada pasien dengan kanker esofagus hanya 21%. Penegakan diagnosis
yang tepat pada karsinoma esofagus diperlukan pemeriksaan yang teliti, mulai dari
anamnesis mengenai riwayat penyakit serta faktor risiko pada pasien, serta pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat.5 Pada laporan kasus ini, diambil pasien
wanita berusia 56 tahun dengan keluhan dirinya kesulitan untuk menelan yang dialami
sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan hasil survey Cancer Institute
(Cancer.gov) pada tahun 2012, didapatkan bahwa laki-laki mempunyai kemungkinan
risiko terkena kanker esofagus empat kali lebih sering dibandingkan pada wanita.
Sebanyak 17460 pasien kanker esofagus didunia, 13950 pasien merupakan pasien laki-
laki dan 3510 pasien wanita, dengan rata-rata usia pasien adalah 67 tahun. Hal ini
dikaitkan dengan kebiasaan diet yang buruk pada laki-laki, kebiasaan merokok dan
minum alkohol. Hal tersebut meningkatkan faktor risiko laki-laki lebih sering terkena
kanker esofagus dibandingkan wanita.2

Keluhan yang dirasakan pasien muncul pertama kali hanya seperti perasaan ada
yang mengganjal di leher pasien saat pasien menelan, yang sudah dialami pasien sejak 9
bulan sebelum masuk rumah sakit. Semakin lama, pasien merasa semakin sulit untuk
menelan, yakni sudah mulai kesulitan makan makanan padat, dan pada akhirnya, pada 2
bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien juga kesulitan untuk menelan makanan yang
berbentuk cair, ketika dipaksakan, maka makanan tersebut akan keluar melewati hidung
pasien. Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan
gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke
lambung. Hal ini dapat terjadi akibat dari beberapa faktor, yakni fungsi menelan yang
terganggu akibat dari kerusakan saraf untuk menelan, atau akibat adanya obstruksi yang
menghambat jalur masuknya makanan dari mulut ke lambung, yakni pada esofagus.6

6
Pada kasus ini didapatkan bahwa kesulitan menelan dimulai dari perasaan mengganjal
pada leher saat menelan makanan, berlanjut pada kesulitan menelan makanan padat dan
akhirnya kesulitan untuk menelan makanan cair, yang berarti terdapat progresivitas
hambatan untuk menelan. Hal ini dapat dikaitkan dengan disfagia mekanik yang bersifat
progresif dan perlahan menyebabkan obstruksi yang persisten, dan akhirnya
menyebabkan obstruksi berat, yakni dibuktikan dengan pasien pun kesulitan untuk
menelan makanan cair atau air. Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen
esophagus oleh massa tumor dan benda asing. Penyebab lainnya adalah akibat
peradangan mukosa esophagus, striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen
esophagus dari luar, misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar
getah bening di mediastinum, pembesaran jantung, elongasi aorta dan massa. Disfagia
mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus. Pada keadaan normal lumen
esophagus orang dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai muncul
bila dilatasi ini tidak mencapai diameter 2,5 cm.6

Pada pemeriksaan fisik untuk leher, tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar
getah bening maupun pembesaran kelenjar getah bening, namun terdapat salah satu
pemeriksaan yang bermakna yakni teraba leher seperti pipa yang tebal dan keras yang
terletak di tengah, pada belakang trakea, dan tidak nyeri saat penekanan. Selain itu juga
ditemukan bahwa posis trakea masih ditengah. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya
massa atau hipertrofi dari jaringan di belakang trakea, dikarenakan teraba seperti massa
yang keras dan tebal pada daerah belakang trakea. Selain itu dikarenakan posisi trakea
yang masih ditengah, dapat disimpulkan bahwa massa tidak berasal dari arah lateral kiri
maupun kanan trakea. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada kasus keganasan pada
leher, dan lebih spesifiknya pada esofagus, maka pada pemeriksaan fisik biasanya tidak
ditemukan adanya massa yang bermakna, namun dapat dipikirkan adanya proses
metastasis apabila ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening regional.7

Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan bahwa pasien mengalami anemia ringan


yang ditandai dengan kadar hemoglobin pasien 10,0 g/dL dan selama perawatan turun
hingga 9,0 g/dL. Indeks eritrosit yakni MCV dan MCH yang selalu dibawah normal

7
mengindikasikan bahwa pasien mengalami anemia mikrositik hipokrom, yakni sesuai
dengan teori bahwa dikatakan anemia dengan morfologi hipokromik mikrositer, bila
MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg.3 Anemia merupakan suatu kondisi klinik yang sering
ditemukan pada pasien dengan kanker. Berdasarkan hasil survey European Cancer
Anemia pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 39% pasien kanker mengalami anemia
sebelum dilakukan kemoterapi, dan sebanyak 90% pasien mengalami anemia setelah
kemoterapi. Terdapat beberapa patogenesis penyebab anemia akibat kanker, yakni sel
kanker yang menginvasi sumsum tulang sehingga mendepresi fungsi sumsum tulang,
efek dari pengobatan berupa radiasi maupun kemoterapi, atau inflamasi kronik yang
mengakibatkan anemia defisiensi besi.8 Pada kasus ini, dapat diduga bahwa penyebab
anemia adalah dari inflamasi kronik akibat keganasan yang ada pada lumen esofagus,
atau dapat diakibatkan oleh karena intake zat besi yang kurang. Anemia pada penyakit
kronik, salah satu penyebabnya adalah keganasan. Keadaan inflamasi kronik akan
menyebabkan stimulasi pengeluaran dan aktivasi dari makrofag, sebagai respon tubuh
terhadap proses inflamasi. Aktivasi makrofag akan berdampak pada pengeluaran sitokin-
sitokin proinflamasi, antara lain adalah interleukin-6 (IL-6), yakni sitokin yang salah satu
fungsinya berperan sebagai regulator produksi hepcidin dari hepatosit. Hepcidin-25
merupakan suatu senyawa protein yang bekerja untuk regulasi besi pada pembentukan
hemoglobin. Pada keadaan normal hepcidin akan diproduksi saat kadar besi dalam serum
meningkat, karena fungsi hepcidin adalah menghambat absorbsi besi dari duodenum dan
mengambat transfer besi di plasma menuju penyimpanan besi di hepar, serta menghambat
pengeluaran besi dari makrofag dengan cara memblok ferroportin, yakni pintu keluar zat
besi dari sel makrofag ke dalam plasma, agar tidak terjadi kelebihan zat besi dalam tubuh.
Namun terjadi kegagalan regulasi zat besi pada saat inflamasi yang disebabkan oleh
produksi hepcidin-25 yang berlebih, dan menyebabkan absorbsi zat besi menurun dan
gangguan transfer besi dari cadangan besi (ferritin), sehingga gangguan pembentukan
hemoglobin akibat dari kadar besi dalam serum yang rendah.9 Pasien dengan inflamasi
kronis akan didapatkan kadar ferritin yang normal atau meningkat diakibatkan oleh
penggunaan zat besi yang tidak adekuat.10 Hal ini yang akan membedakan keadaan
anemia pada inflamasi kronik dengan anemia akibat defisiensi zat besi, yakni kadar

8
ferritin yang rendah pada anemia defisiensi zat besi dan kadar ferritin yang tinggi pada
anemia akibat inflamasi kronis.

Selain pemeriksaan darah lengkap, pasien juga dilakukan pemeriksaan tumor


marker yakni CEA (Carcioembryonic Antigen), yakni suatu senyawa glycoprotein yang
terbentuk dari sel tumor atau sel kanker, yang beredar dalam darah. Secara normal CEA
juga diproduksi oleh sel-sel sehat, namun kadarnya tidak terlalu banyak dibandingkan
pada pasien dengan kanker atau tumor. CEA merupakan suatu tumor marker yang
berguna untuk mendeteksi dini adanya kanker yang asimptomatik atau sulit ditemukan
menggunakan pemeriksaan pencitraan radiografi. Pemeriksaan CEA sering meningkat
pada keadaan keganasan atau tumor jinak, terutama tumor atau keganasan pada saluran
pencernaan, colon rectum, payudara dan paru-paru, salah satunya adalah keganasan atau
tumor pada esofagus.11,12 Pada pasien ini didapatkan kadar CEA meningkat, yakni 6,89
ng/ml. Hasil yang didapat berguna untuk mendeteksi dini kemungkinan adanya
keganasan atau tumor, dan ditunjang dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat
diperkirakan adanya tumor pada saluran cerna dan mengarah pada esofagus. Namun
kadar CEA yang tinggi tidak menjamin bahwa mutlak telah terjadi proses tumor atau
keganasan, dikarenakan sensitivitas dan spesivitas pemeriksaan ini rendah, maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk konfirmasi diagnosis tumor esofagus.

Pasien juga dilakukan pemeriksaan pencitraan radiografi, yakni foto rontgen leher
AP-lateral dan CT-Scan leher dan dada tanpa kontras. Pada pemeriksaan rontgen leher
AP-lateral, dikonfirmasi bahwa letak trakea tetap ditengah, namun yang menjadi
perhatian adalah, ditemukannya massa retrotrakeal yang mendorong bagian posterior
trakea ke depan sehingga terdapat gambaran trakea menyempit ke arah anterior (pada foto
rontgen posisi lateral).

9
10
Pemeriksaan radiografi selanjutnya adalah pemeriksaan CT-scan leher-dada tanpa
kontras. Pada pemeriksaan ini didapatkan kesimpulan terdapat massa pada esophagus
cervical DD/ massa retrotracheal yang mendesak dan menyebabkan penyempitan
esophagus. Terlihat gambaran lumen esofagus yang menyempit pada esofagus setinggi
vertebra thoracal 1 dan lumennya melebar secara iregular setelah segmen tersebut. Secara
normal, sphincter esofagus terbentuk oleh otot cricopharyngeus, yang berada setinggi
segmen C5/6 pada orang dewasa, yakni letak lumen pertama dari jalur esofagus. Pada
pasien ini didapatkan lumen baru muncul pada segmen vertebra thoracal 1, dan melebar
secara iregular dibawahnya. Hal ini menandakan adanya pendesakkan pada jaringan
esofagus di atas segmen th 1 sehingga muncul gambaran lumen terlihat pada segmen th1.
Selanjutnya terdapat lumen yang melebar pada daerah dibawah dari th 1 secara ireguler.
Hal ini menggambarkan adanya jaringan lumen esofagus yang terjadi obstruksi parsial
diakibatkan oleh proses patologi di jaringan esofagus.

Temuan pasti untuk membedakan apakah pada pasien ini merupakan proses
keganasan atau tidak, dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan CT-Scan

11
dengan kontras untuk melihat neovaskularisasi yang muncul akibat dari pemberian
kontras. Gambaran khas pada jaringan kanker pada pemeriksaan CT-Scan dengan kontras
adalah munculnya contrast-enhancement, yakni timbulnya gambaran hiperdens pada
mikrovaskular yang muncul akibat dari neovaskularisasi sel kanker.13 Namun pada pasien
tidak disarankan diberikan kontras dikarenakan terdapat gangguan fungsi ginjal yakni
gagal ginjal akut (GGA), karena ditakutkan dapat berdampak buruk terhadap fungsional
ginjal.

Penegakkan diagnosis yang paling sensitif untuk kanker esofagus adalah


menggunakan endoskopi. Kanker esofagus dapat didiagnosis dengan menggunakan
endoskopi proximal dan dilanjutkan dengan biopsi mukosa. Sensitivitas untuk biopsi
mukosa untuk mendeteksi karsinoma esofagus mencapai 96% ketika sampel yang
dibutuhkan mencukupi. Penggunaan forsep biopsi berkapasitas besar tidak memperbaiki
sensitivitasnya. Adanya sumbatan atau stricture dapat mengurangi visualisasi dan
pengambilan sampel pada jaringan kanker. Endoskopi ultrathin transoral atau transnasal
dapat digunakan pada kasus keganasan yang hampir obstruksi total, guna meningkatkan
visualisasi dan memperkirakan luas dan panjang tumor esofagus.14 Kekurangan pada
kasus ini adalah tidak dilakukannya endoskopi, dikarenakan fasilitas yang terbatas, serta
pasien yang menolak dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih lanjut.

Kanker esofagus bisa diklasifikasikan menurut temuan histopatologis menjadi


karsinoma sel skuamosa (SCC) dan adenokarsinoma. Karsinoma sel skuamosa berasal
dari epitel berlapis skuamosa tidak berkeratin, karakteristik dari mukosa normal pada
esofagus. Ini adalah Jenis histologis yang paling umum, terjadi lebih sering pada pria dari
usia 50 dan terutama terjadi pada esofagus bagian tengah segmen yang lebih rendah (lebih
dari 80% kasus). Adenokarsinoma esofagus terjadi pada esofagus bagian distal, paling
sering muncul dari metaplasia dari epitel gaster (Barrett's esofagus), dan penyebab
sekunder akibat refluks gastro esophageal (GERD) yang kronis. Kanker ini berkembang
dari displasia epitel kolumnar, terutama pada esofagus segmen cardiak dan
esofagogastrik. Varian adenokarsinoma yang jarang terjadi meliputi karsinoma
mucoepidermoid dan karsinoma kistik adenoid.15

12
Pada pemeriksaan status gizi, ditemukan bahwa pasien saat ini mengalami
malnutrisi berat dengan tipe marasmik. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mulai
mengalami berat badan menurun sejak 2 bulan SMRS atau saat pertama kali pasien
kesulitan untuk menelan makanan cair. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan
bahwa IMT pasien berada di bawah nilai 18,5 kg/m2, yakni dikatakan sebagai
underweight.

Keadaan malnutrisi pada pasien ini dapat disebabkan oleh kurangnya intake akibat
dari kesulitan dalam menelan sehingga nutrisi tidak dapat masuk, dan dapat dicurigai
kearah keganasan, yakni akibat dari peran sitokin yang menyebabkan anoreksia dan
perubahan metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat. Sitokin yang berperan dapat
diproduksi dari tubuh (IL-l,IL-6, TNFα, IFNγ) dan dapat berasal dari sel kanker (PIF/
proteolysis-inducing factor, LMF / lipid mobilizing factor). Selain itu, pasien yang
mengalami keganasan dapat mengarah pada hilangnya nafsu makan atau anoreksia,
namun pada pasien ini tidak terdapat keluhan nafsu makan menurun, namun kapasitas
nutrisi yang masuk yang terhambat akibat dari kesulitan menelan yang dialami oleh
pasien.16 Pasien mendapatkan nutrisi dari makan makanan padat yang sudah dikunyah
berulang-ulang hingga halus dan selanjutnya sari makanan tadi ditelan sedikit-sedikit,
sedangkan sisa makanan yang sudah dikunyah tadi dibuang, karena dikatakan pasien
kesulitan untuk menelan makanan dalam bentuk lunak tersebut. Pasien juga mendapatkan
nutrisi berupa nutrisi parenteral yakni diberikan larutan Clinimix 1000 cc dan Aminofluid
500 cc untuk menambah nutrisi pasien. Clinimix 1000 cc mengandung 4,25% asam
amino, yakni gabungan asam amino essensial dan non essensial, yang dilarutkan dalam
cairan glukosa 10%. Pemberian asam amino dan glukosa pada pasien malnutrisi bertujuan
untuk mempertahankan tubuh agar tidak kekurangan energi akibat dari proses
katabolisme glukosa untuk metabolisme sel, namun tidak diikuti dengan ketersediaan
energi tersebut, sehingga terjadi glukoneogenesis dari komponen-komponen non
karbohidrat lainnya, terutama pada lemak dan protein. Pemberian asam amino dan
glukosa diharapkan dapat mengganti energi yang terpakai sehingga tidak terjadi
pemecahan berlebih pada bahan non karbohidrat.

13
Terapi definitif untuk pasien dengan kanker esofagus bergantung pada stadium saat
ditemukannya kanker. Penentuan stadium akan sangat berguna untuk pemilihan terapi
pada pasien dengan kanker esofagus. Pada stadium dini (stadium 0 dan 1A), terutama
pada tumor dengan ukuran <2 cm, pilihan utama terapi adalah reseksi mukosa dengan
menggunakan endoskopi. Terapi endoskopi mempunyai tingkat invasif yang lebih rendah
dibandingkan dengan operasi reseksi esofagus, dengan tingkat kesembuhan dan survival
rate yang sama pada kedua metode. Pada stadium 1B disarankan untuk reseksi esofagus
atau esophagektomi dan limfedenektomi. Pada kasus tumor dengan stadium menengah
atau tidak didapatkan gambaran metastasis pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan
esofagektomi radikal dengan neoadjuvant kemoradioterapi sebelum dilakukan reseksi
guna menurunkan ukuran dan menstabilkan proliferasi sel kanker. Sayangnya, pada kasus
keganasan pada stadium ini mempunyai tingkat kekambuhan yang tinggi dan angka
kemungkinan hidup 5 tahun kedepan yang rendah (5-34%). 17

Pada kanker esofagus stadium lanjut tidak dapat dilakukan reseksi dikarenakan
proses invasif sel tumor sudah mencapai jaringan sekitar hingga metastasis pada organ
lain. Pilihan terapi yang berguna pada stadium ini adalah terapi paliatif, yakni mengurangi
gejala dan meningkatkan angka kualitas hidup dari pasien. Terdapat beberapa pilihan
terapi seperti pemasangan stent esofagus menggunakan endoskopi, atau penggunaan
brachyterapi dosis tinggi. Brachyterapi merupakan terapi radiasi dengan menaruh sumber
radiasi pada lokasi kanker agar fokus terapi hanya pada jaringan tempat bahan radiasi
ditaruh dan tidak terlalu merusak jaringan sehat sekitar. Pilihan lain untuk terapi pada
stadium ini adalah menggunakan paliatif kemoterapi. Pilihan obat kemoterapi yang sering
digunakan adalah kombinasi obat Cisplatin atau Oxaplatin dengan obat Florouracil atau
Capecitabine. Kerugian dari pemberian kemoterapi tersering adalah tingkat toxisitas yang
tinggi.17

Setelah menjalani perawatan selama 2 minggu, pasien kemudian menjalani


operasi pemasangan gastrostomi. Gastrostomi merupakan salah satu pilihan pemberian
makanan dan nutrisi yang dapat menunjang status gizi pasien yang mengalami gangguan
fungsi pencernaan dan membutuhkan nutrisi enteral yang lama. Gastrostomi sering

14
digunakan pada pasien dengan yang tidak mendapat makanan peroral yang adekuat yang
diakibatkan oleh karena adanya penyumbatan pada traktus gastrointestinal bagian atas.
Lebih dari 40% pasien dengan kanker wajah dan leher serta pasien dengan kanker
esofagus dapat terjadi komplikasi kearah malnutrisi. Pada pasien ini, kebutuhan nutrisi
tidak dapat sepenuhnya dipenuhi dengan menggunakan nutrisi parenteral, serta kondisi
puasa yang lama dapat merusak epitel-epitel organ pencernaan sehingga dipikirkan untuk
dilakukan gastrostomi. Setelah pemasangan gastrostomi, terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan pada perawatan stoma dan tube gastrostomi. Pemberian makanan per
enteral sebaiknya ditunda hingga keesokan harinya untuk menghindari risiko komplikasi
kebocoran pada peritoneum. Waktu paling optimal untuk diberikan makan pada pasien
post pemasangan gastrostomi adalah 4 hari setelah pemasangan gastrostomi.16 Saat
memberikan nutrisi enteral hendaknya pasien dalam keadaan elevasi 30 - 45 derajat (%
duduk). Pada metode bolus, kebutuhan nutrisi dibagi menjadi 6 kali pemberian 250 - 350
ml (tiap 3 - 5 jam).16 Pemberian makanan cair ini dilakukan selama 15 menit. Sebelum
dan sesudah pemberian makanan, pipa nasogastrik dibilas dengan air 20 - 30 ml.
Pemberian air setelah pemberian bertujuan mencegah dehidrasi hipertonik dan mencegah
koagulasi protein pada pipa nasogastrik. Pada metode kontinu kecepatan pemberian dapat
mencapai 150 m/jam. Stoma (tempat insersi selang enteral), harus selalu diperiksa dan
dibersihkan setiap hari.17 Setelah pasien sudah dapat diberikan makan lewat tube,
sebaiknya tube selalu dibilas dengan air bersih agar tidak terjadi penyumbatan di selang
dan harus selalu dilakukan setelah habis makan. Penyumbatan dapat terjadi akibat dari
makanan enteral yang kental atau obat-obatan yang tidak hancur sempurna.17

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien post pemasangan
gastrostomi. Walaupun gastrostomi merupakan prosedur yang aman, namun dapat terjadi
beberapa komplikasi. Komplikasi gastrostomi dibagi menjadi dua yakni komplikasi
mayor dan komplikasi minor. Prosedur gastrostomi merupakan prosedur yang rendah
mortalitas, namun tingkat mortalitas dapat bertambah dengan adanya penyakit komorbid.

15
BAB IV
KESIMPULAN
Laporan kasus ini membahas mengenai pasien dengan disfagia dengan kecurigaan
kearah keganasan pada esofagus, disertai dengan komplikasi malnutrisi, anemia dan gagal
ginjal akut. Pendekatan diagnosis yang teliti, dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dapat mengarahkan kepada diagnosis yang tepat. Pada pasien
ini telah dilakukan pendekatan diagnosis ke arah karsinoma esofagus, namun kesulitan
dalam hal fasilitas, yakni tidak adanya ketersediaan endoskopi, membuat diagnosis pasti
pasien ini tidak bisa ditegakkan. Untuk dapat ditegakkan diagnosis, pasien sebaiknya
dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas endoskopi. Penatalaksanaan pada pasien
seperti pada kasus diatas lebih diutamakan pada terapi suportif, agar tidak menambah
perburukan penyakit serta memunculkan komplikasi lain, dengan cara mengatasi masalah
malnutrisi. Salah satu cara yang sudah dilakukan adalah pemasangan gastrostomi sebagai
jalur pemberian makan enteral.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Gomez L. M, dkk. Cancer In Developing Countries: the Next Most


Preventable Pandemic. The Global Problem of Cancer. Elsevier Journal. 2013
2. Zhang Y. Epidemiology of Esophageal Cancer. World Journal of
Gastroenterology. 2013
3. Bakta MI. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
4. Syam AF. Malnutrisi. Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
5. Mak L. Y. Elderly Man Presenting with Dysphagia and Weight Loss: A Case
Report. iMedPub Journal. 2016
6. Soepardi AE, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ed 7 th. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2011
7. Massab M, dkk. Esophageal Cancer: Clinical Manifestation. Medscape
Journal. 2017
8. Chaturvedi S. Cancer-Related Anemia. Hospital Physician Hematology Board
Review Manual. 2015
9. D’Angelo G. Role of Hepcidin in the Pathophysiology and Diagnosis of
Anemia. Korean Society of Hematology. 2013
10. Zupanic K. D. Anemia of Chronic Disease: Illness or Adaptive Mechanism.
Sveti Duh University Hospital. 2014
11. United Health Care. Carcinoembryonic Antigen (CEA). United Health Care
Service. 2017
12. Zhang J, dkk. Diagnostic Value of Multiple Tumor Markers for Patient with
Esophageal Carcinoma. PONE Journal. 2015
13. Lyer R, DuBrow R, Imaging of Esophageal Cancer, International Cancer
Imaging Society. 2004

17
14. American Society For Gastrointestinal Endoscopy. Guidelines: The Role Of
Endoscopy In The Assesment And Treatment of Esophageal Cancer,
GIEJournal. 2013. Available on: www.giejournal.com
15. Tercioti V. Adenocarcinoma Versus Squamous Cell Carcinoma: Analysis of
306 Patient in University Hospital. Digestive System and Gastrocentro
Department of Surgery and Department of Clinical Oncology University of
Campinas. 2011
16. Syam AF. Malnutrisi. Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing;
2014.
17. Ingelfinger J. Esophageal Carcinoma. New England Journal of Medicine,
2014
18. Rahnemaiazar A, dkk. Percutaneus endoscopic gastrostomy: indication,
technique, complication and management. World Journal of
Gastroenterology. 2014

18

Anda mungkin juga menyukai