Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rizki Ari Kurniawan

Kelas : B-IPM-5

NIM : 155120600111020

No. Absen : 10

Mata Kuliah : Lembaga Kepresidenan / Tugas 1

Pola Pertanggungjawaban Presiden

Pasca-Perubahan UUD 1945

PENDAHULUAN

Terhitung hingga saat ini sudah empat kali Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan
amandemen telah banyak substansi didalamnya yang telah diubah maupun ditambah. Salah
satunya mengenai perubahan pola pemilihan presiden dan wakil presiden dan aturan mengenai
hubungan eksekutif dan legislatif. Perubahan tersebut telah mempengaruhi pola
pertanggungjawaban presiden saat ini (reformasi). Perubahan tersebut dapat dilihat dari
amandemen ketiga UUD 1945 di tahun 2001 yang telah memberikan arti tersendiri bagi
keberadaan lembaga presiden sebagai pemegang utama kekuasaan eksekutif di Indonesia.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung atau
terwakilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dirubah menjadi Pemilihan Umum
(Pemilu) secara langsung oleh rakyat, yang sekaligus membuat hilangnya pertanggungjawaban
Presiden terhadap MPR, sekaligus mandataris Presiden terhadap MPR sudah tidak berlaku lagi
semenjak terjadinya amandemen UUD 1945 tersebut. Dimana sebelum adanya Amandemen UUD
1945 kedudukan dari MPR adalah sebagai lembaga negara tertinggi diatas Presiden, yang
membuat MPR mempunyai kuasa kuat yang didukung oleh UUD 1945 untuk membawahi lembaga
negara yang lain termasuk Presiden.

Penambahan pada pasal 7A amandemen ketiga UUD 1945, mengenai pemakzulan dan
pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dari masa jabatannya membuat pertanggungjawaban
Presiden tidak lagi secara politis melainkan dilihat secara hukum. Sehingga pertanggungjawaban
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi pada alasan-alasan yang sifatnya politis. Presiden dan
Wakil Presiden hanya bisa di makzulkan dengan sebuah alasan pelanggaran hukum. Hal ini
didasarkan untuk memperkuat posisi Presiden dan Wakil Presiden di dalam ranah ketatanegaraan
Indonesia, agar tidak mudah diberhentikan hanya dengan alasan politis. Sebelum adanya
amandemen UUD 1945, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa seorang Presiden dan Wakil Presiden
dapat dimakzulkan jika melanggar haluan negara. Pengertian dan penjabaran haluan negara dalam
penjelasan UUD 1945 tersebut mengandung makna yang multi tafsir tergantung orang yang
menafsirkan.1

Tetapi hal terpenting untuk melihat pertanggungjawaban seorang Presiden adalah dari
sistem pemerintahan yang digunakan oleh negara yang bersangkutan. Sistem pemerintahan suatu
negara menjadi hal yang sangat tidak bisa dipisahkan atas untuk melihat pola pertanggungjawaban
tersebut. Pada sistem pemerintahan parlementer contohnya yakni Perdana Menteri bertanggung
jawab kepada Parlemen, Perdana Menteri dipilih dan ditetapkan oleh Kepala Negara berdasarkan
dukungan mayoritas anggota badan parlemen.2 Sedangkan untuk sistem pemerintahn presidensial
didasarkan oleh asas pemisahan kekuasaan antar lembaga negara dan tidak adanya mandataris
eksekutif ke legisatif sehingga Presiden tidask bisa dimakzulkan.3

1
Patrialis Akbar. 2013. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm.135
2
Anwar. 2015. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang: Setara Press. Hlm.236-237
3
Chairul Anwar. 2001. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri. Hlm.37
ANALISIS

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan banyak perubahan susunan


ketatanegaraan. Salah satu perubahannya adalah mengenai sistem pemerintah yang digunakan oleh
Indonesia. Sebelum adanya amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia condong
mengarah ke ciri-ciri sistem parlementer, salah satu contohnya adalah Presiden yang dipilih oleh
parlemen (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sedangkan setelah adanya amandemen keempat
UUD 1945, sistem pemerintahan yang digunakan oleh Indonesia adalah presidensiil. Beberapa hal
yang diatur dalam amandemen UUD 1945 seperti peraturan mengani pemilihan umum (pemilu)
dan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pola pertanggungjawaban Presiden dapat dibedakan menjadi dua, yakni


pertanggungjawaban secara politis dan secara hukum.4 Poin penting mengenai perubahan UUD
1945 adalah dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat dalam pemilihan umum. Oleh karena terdapat perubahan sistem pemilu yang pada awalnya
dilakukan secara perwakilan oleh MPR menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat timbul
sebuah persoalan tentang sistem pertanggungjawaban Presiden. Hal tersebut adalah salah satu
yang menjadi persoalan mengenai pertanggungjawaban Presiden nanti kedepannya. Pemilihan
secara langsung tersebut menjadi pertanggungjawaban secara politik dari Presiden. Selama masa
jabatan menjadi Presiden (lima tahun), Presiden RI tidak memiliki tanggung jawab kepada
lembaga-lembaga negara yang ada. Dengan kata lain kedudukan Presiden tidak dapat diganggu
gugat oleh lembaga negara yang lain atau fixed executive.5

Dengan tidak adanya pertanggungjawaban kepada lembaga yang lain,


pertanggungjawaban secara politis Presiden berada kepada rakyat sebagai pemilihnya. Hal
tersebutlah yang menjadi salah satu ciri dari sistem pemerintahan presidensial dengan tidak adanya
pertanggungjawaban eksekutif. 6Pada pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen ditentukan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih

4
Jimly Asshidiqqie dalam Hendra. Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik: Pertanggung Jawaban Politik Presiden
Pasca Amandemen UUD 1945. Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 9 - 21
5
Sri Soemantri. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pandangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hlm.173
6
Ign Ismanto. 2007. Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi, analisis, dan kritiki. Jakarta: Galang
Press, Kementerian Ristek, dan CSIS. Hlm.35
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa seorang Presiden yang saat ini memimpin Indonesia dapat dipilih kembali menjadi seorang
Presiden di masa jabatan selanjutnya untuk lima tahun berikutnya. Dari pencalonan yang kedua
kali itulah akan diketahui apakah pertanggungjawaban seorang Presiden akan diterima oleh rakyat
atau tidak.7 Jika seorang Presiden dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun kedepan berarti
pertanggungjawaban diterima oleh rakyat. Sedangkan jika gagal kembali menjadi Presiden untuk
masa jabatan lima tahun berikutnya, yang bersangkutan dapat dikatakan pertanggungjawaban tidak
diterima oleh rakyat.

Tetapi pola pertanggungjawaban politik semacam itu tidak bisa dikatakan tanpa
kekurangan, meskipun secara langsung Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.
Dalam hal ini rakyat akan sulit untuk meminta haknya kepada Presiden untuk
mempertanggungjawabkan dalam sebuah hal. Ketika Presiden melaksanakan mandatnya dari
rakyat sesuai yang diharapkan, tidak ada reward yang didapatkan Presiden. Jikapun gagal
menjalankan mandatnya, Presiden juga akan tidak bisa di impeachment dengan sebuah alasan
politis. Sehingga sukses atau tidaknya Presiden menjalankan mandatnya dan
mempertanggungjawabkannya tidak akan berpengaruh terhadap masa jabatannya dan akan tetap
memimpin sampai masa jabatannya berakhir. Dalam pola seperti ini, akan ada celah bagi Presiden
untuk tidak memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan rakyat terhadapnya.

Permasalahan pertanggungjawaban Presiden seperti yang telah dijelaskan diatas adalah


permasalahan dalam praktik. Sebagai contoh, pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) beberapa kali terjadi demonstrasi massa yang dipicu oleh kenaikan bahan bakar
minyak (BBM). Rakyat yang seharusnya memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban
kepada Presiden tidak bisa melakukan pengawasan yang berarti, atau bisa dikatakan demonstrasi
yang telah dilakukan beberapa kali tidak berdampak signifikan. Meskipun pada akhirnya wakil
rakyat (DPR RI) menggunakan hak angket di tahun 2008 untuk menggugat kebijakan kenaikan
BBM, akan tetapi tidak bisa didasarkan sebagai salah satu faktor pemakzulan Presiden,8

Sedangkan untuk pertanggungjawaban Presiden secara hukum terwujud melalui prosedur


impeachment yang dikenakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembentukan Mahkamah

7
Ibid. Hlm 174
8
https://nasional.tempo.co/read/126854/urgensi-hak-angket-bbm. Diakses pada 9 Oktober 2017 pukul 19.30 WIB
Konstitusi oleh MPR adalah cara untuk memperbaiki mekanisme impeachment. Impeachment
dilakukan atas dasar sebuah tuntutan pelanggaran hukum yang sudah diatur dalam konstitusi. Pada
amandemen ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada dibawahnya seperti: peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.9 Salah satu
tujuan dibentuknya MK untuk menjadi lembaga yang berwenang memeriksa, menyelidiki dan
memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

Dasar yang dapat dijadikan sebuah alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dari masa jabatannya hanya terbatas apabila terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran berat seperti : 10

1. Pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak


pidana berat lainnya,
2. Perbuatan tercela,
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/wakil Presiden.

Proses impeachment ini berbeda dengan pengawasan politik yang dilakukan DPR kepada
Presiden dalam sehari-hari dalam jabatannya. Oleh karena itu, impeachment yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat tidak berarti membuat Presiden bertanggung jawab kepada Dewa
Perwakilan Rakyat (DPR). Prosedur impeachment pun sudah sangat berbeda dengan sebelum
amandemen UUD 1945. Dimana jika sebelumnya mekanisme yang ada terlalu sederhana karena
bisa degan menggunakan alasan politik untuk menjatuhkan Presiden, setelah adanya amandemen
UUD 1945 proses impeachment menjadi cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak
sedikit. DPR harus menari bukti-bukti yang kuat terlebih dahulu untuk selanjutnya akan diserahkan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan tindakan lebih lanjut.

9
Op Cit. hlm. 174
10
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7A amandemen ketiga
KESIMPULAN

Pola pertanggung jawaban seorang Presiden dapat dilihat dari sistem pemerintahan yang
dianut dalam suatu negara. Setiap sistem pemerintahan memiliki ciri-ciri berbeda satu dengan yang
lainnya, baik pada sistem pemerintahan presindesial maupun sistem pemerintahan parlementer.
Indonesia telah beberapa kali berubah sistem pemerintahannya dan saat ini sistem pemerintahan
yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem presidensial meskipun bukanlah presidensial secara
penuh. Salah satu ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah tidak adanya
pertanggungjawaban bersama antara Presiden dengan Parlemen. Selain itu pola pertanggung
jawaban Presiden saat ini tidak lepas dari beberapa amandemen yang telah dilakukan oleh MPR
sebagai pemegang hak mengubah UUD 1945. Amandemen UUD 1945 telah menggeser pola
pertanggungjawaban Presiden dari zaman orde baru menuju ke era reformasi.

Pola pertanggungjawaban secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua, yakni
pertanggungjawaban secara politis dan pertanggungjawaban secara hukum. Pertanggungjawaban
dalam arti politik terjadi pada waktu Presiden mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan yang
kedua. Jika tidak terpilih lagi, mengindikasikan bahwa pertanggungjawaban dari Presiden tidak
diterima. Sedangkan dalam ranah hukum terwujud melalui impeachment. Apabila DPR
berpendapat Presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang berat dalam hal ini meminta
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus apakah Presiden terbukti
bersalah atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Akbar, Patrialis. 2013. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945. Jakarta: Sinar
Grafika

Anwar. 2015. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang: Setara Press

Anwar, Chairul. 2001. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.

Ign, Ismanto. 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan
Kritik. Jakarta: Galang Press, Kementerian Ristek, dan CSIS.

Soemantri, Sri. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan Pandangan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Hlm.163-164

Jurnal

Hendra. Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik: Pertanggung Jawaban Politik Presiden Pasca
Amandemen UUD 1945. Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 9 – 21

Regulasi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Internet

https://nasional.tempo.co/read/126854/urgensi-hak-angket-bbm. Diakses pada 9 Oktober 2017


pukul 19.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai