Anda di halaman 1dari 9

ADAT vs AGAMA :

Masalah Klasik Masyarakat Minang Selama 500 Tahun !

.
Masyarakat Minang mungkin adalah Sub etnik bangsa Melayu yang unik dibanding rumpun
melayu lain pada umumnya. Kami adalah Sub Etnik Melayu yang mempunyai sistem
Kekerabatan Matrilineal (Garis Keluarga mengikuti Jalur Ibu). Sementara saudara saudara Kami
yang lain, orang melayu pada umumnya memakai sistem Kekerabatan ( Nasab ) seperti semua
peradaban Manusia di Dunia, keturunan di tentukan dari Garis Ayah. Sistem Unik dan aneh
inilah terutama pembeda antara kami, orang Minang dengan saudara saudara kami orang Melayu
yang lain. Sehingga tidak aneh, sebagian dari kami orang minang kadang tidak mau kalau
disebut sebagai orang Melayu. Bahkan tidak ingin disebut sebagai bagian dari Rumpun melayu,
karena kami unik dan berbeda. Dan tidak aneh pula, kadang banyak orang orang dari rumpun
Melayu lain juga setuju dengan itu dan ikut mengamini, kalau orang Minang memang bukan
bagian dari Rumpun Melayu.

Statement diatas ada benar dan ada salahnya,..

Karena menurut standar peradaban Manusia, sebuah Etnik adalah orang orang yang
senasab ( garis Ayah ). Maka secara genetik sangat mungkin terjadi bahwa sebagian dari orang
orang minang tersebut memang bukan Melayu Secara Genetik. Ada yang keturunan Arab,
keturunan India, keturunan Eropa, keturunan Cina, keturunan Jawa, Bugis, Batak dan lain lain
…tapi terlahir dari Ibu seorang Minang, ..maka secara adat mereka telah menjadi orang Minang.
Dan anak keturunan mereka, selagi tetap konsisten menikah hanya dengan perempuan penganut
Adat Minang maka akan tetap menjadi Orang Minang. Walaupun, kenyataan sebenarnya
mereka secara genetik tetaplah orang Arab, Eropa, India, Cina, Jawa, Bugis dan lainnya. Tapi
menurut Adat Minang, orang orang tersebut Orang Minang. Inilah yang boleh disebut, mereka
orang Minang tapi bukan Melayu Secara Genetis. Statement, bahwa Orang Minang bukan
Melayu untuk kasus seperti ini ada benarnya.
Pada Kasus sebaliknya, seorang laki laki minang yang mempunyai Genetis asli Melayu,
namun menikah dengan orang orang yang tidak menganut Adat Minang maka anak anak
Keturunan mereka, tidak akan pernah menjadi orang Minang. Di karenakan Suku Minang
lebih merupakan suatu Suku yang mempunyai kesamaan Tradisi dan Adat dibanding persamaan
Nasab dan keturunan. Anak keturunan mereka tentu saja tetap seorang Melayu tetapi bukanlah
orang Minang. Mereka bisa saja disebut secara Genetik sebagai Keturunan Minang. Tapi
mereka secara Adat telah terlepas dari Tradisi Matrilineal Minang, dan kembali kekerabatan
manusia pada umumnya yang Patrilineal, sebagaimana Orang melayu pada umumnya, dan
sebagaimana semua perdaban manusia yang seharusnya.

Cukup unik dan runyam jika melanjutkan penjelasan tentang itu, karena pola kekerabatan
dan tradisi yang diciptalan leluhur kami itu unik dan aneh, maka akan sulit di mengerti oleh
setiap manusia di dunia , terlebih yang tidak pernah mengenal secara dekat bagaimana dan apa
itu Minang.

1
Entah Sejak kapan Adat Minang ini diciptakan, tidak ada yang tahu. Sebagian besar dari
kami sebenarnya memang tidak mau tau. Yang jelas, Adat Unik ini sudah dibuat sejak dulu
sekali, sebelum Islam menjadi Agama yang dianut oleh Orang Minang. Pembuat Adat ini
adalah para Leluhur Matrilineal kami yang masih menyembah Berhala. Tidak tahu Berhala
berbentuk apa yang mereka sembah, entah Kayu besar, Batu besar , atau Gunung. Tapi Saya
Pribadi sebenarnya mencurigai Gunung, mereka menyembah Gunung. Mengacu dari cerita
cerita dan Hikayat lisan turun temurun yang kami sebut sebagai Tambo, kentara sekali kalau
Nenek Moyang kami itu sangat memuja Gunung. Entahlah, yang pasti pencipta Adat Kami
yang Unik ini adalah Kaum Penyembah Berhala. Dan Kaum Penyembah Berhala itu adalah
Leluhur bagi kami secara Matrlineal.

Dalam Masyarakat Minang sebuah Keluarga ( klan ) adalah sekelompok orang orang
yang seketurunan di garis Perempuan ( Matrilineal). Nasab atau silsilah seorang anak bisa di
tarik dengan jelas mengikuti garis perempuan dari ibunya, ibu – ibu dari ibu ( nenek ), ibu dari
nenek – nenek dari nenek , - demikian seterusnya keatas. Kami adalah satu satunya Sub-
Etnik Melayu yang ber Nasab ke Ibu, ciri khas unik yang membedakan Kami dari Sub-Etnik
melayu yang lain.

Seorang laki laki Minang mempunyai Hak adat terhadap Saudara saudara perempuan dan
para keponakannya ( anak anak dari saudara perempuan). Para keponakan dan saudara
perempuan tersebut merupakan kaumnya (keluarga intinya), Mereka jugalah yang akan
menjadi Wali adat atas para kemenakannya, termasuk dalam hal pesta dan upacara pernikahan
para keponakan tersebut. Sementara di keluarga istrinya sendiri mereka hanyalah orang yang
menumpang. Di keluarga istrinya, Saudara laki laki istrinya lah yang lebih berkuasa.

Dalam Tradisi Minang yang asli, jika seseorang berniat menikahi seorang perempuan dari
sebuah Klan keluarga Minang, maka Mamaknya ( saudara laki laki ibunya) adalah pihak yang
harus dimintai persetujuan, bukan ayahnya. Seorang Ayah hanya mensetujui saja jika sang
Mamak sudah setuju. Dapat terkadang kejadian, sang Ayah tidak berkenan, namun sang
Mamak bersikeras, dan biasanya sang Ayah tidak berdaya menghadapi keluarga istrinya tersebut.

Demikianlah sekilas, tradisi kekerabatan Maternalistik yang dianut oleh Orang Minang.
Laki laki ( suami atau Ayah ) dalam sebuah Klan Minang Sejati hanyalah diibaratkan ‘ Abu di
atas Tunggul’, kekuasaan mereka lemah terhadap anak dan istrinya. Keluarga dari garis ibu lah
sebagai keluarga Inti yang menentukan Hitam atau putihnya nasib anak kaumnya.

Demikianlah Nuansa Adat Matrilineal Orang Minang di masa masa sebelum Islam. . .

Setelah Masa islam…

Hal ini menjadi Masalah dan ambiquitas. Setelah masyarakat Minang yang Maternalistik
menerima Islam sebagai agama mereka, terjadi kerancuan antara Agama dan Adat. Terkadang
Sulit untuk menyelaraskan Tradisi Matrilineal buatan para Leluhur yang tidak beragama, dengan
tuntunan Syariat Islam yang merupakan Aturan Allah swt.

2
Mesti begitu, Orang orang Minang berkeras mempertahankan Adat Matrilinealnya, Adat
adalah hal suci yang telah diturunkan turun temurun, tidak mungkin di gantikan oleh Islam yang
baru datang terkemudian. Jadilah, masyarakat Minang menjadi Masyrakat yang Ambigu,
menerima sebagian syariat Islam yang tidak bertentangan dengan Adat Leluhur dan disaat yang
sama berusaha mengakali sebagian syariat Islam yang lain yang tidak sesuai dengan Tradisi
Leluhur. Adat Leluhur dijadikan Filter dan tolok Ukur dalam menerima dan menjalankan
Syariat Agama.
Proses Perwalian atas perempuan Minang menjadi salah satu yang menjadi sasaran
Modifikasi Adat. Karena dalam islam wali Nikah seorang Perempuan adalah Ayah Kandung
dari perempuan tersebut, maka secara Agama akan tidak sah sebuah pernikahan jika tetap sang
Mamak yang menjadi Wali Nikah. Untuk mengakali Kerancuan ini, maka kekuasaan untuk
menikahkan anak perempuan oleh Mamak ( saudara Ibu ) terpaksa di berikan kepada Ayah. Tapi
tetap saja peran Sang Mamak lebih dominan, dia yang berkuasa menentukan setuju dan tidak
setuju, dan dia juga yang berkuasa mengatur segala hal seremonial pernikahan ini, termasuk
memberi gelar kepada mempelai Pria ( NB : Setiap Lelaki Minang yang sudah menikah diberi
Gelar, baik oleh keluarga ibunya maupun oleh Keluarga Ibu Istrinya), sementara Sang Ayah
hanya di hadirkan sebagai pelengkap pada saat momen pembacaan Ijab qabul. Sebelum dan
sesudah itu, tetap lah sang Mamak yang menjadi wali adat dan berkuasa.

Sistem Kekeluargaan yang Matrilineal, sistem perwalian Adat Pernikahan, Sistem Waris,
kedudukan seorang Ayah dalam keluarga, kedudukan seorang Mamak dalam keluarga, hanyalah
beberapa contoh dari Hukum Adat Minang. Adat Minang adalah seperangkat panduan hidup
yang lumayan komplit untuk mengatur kehidupan sehari hari sebuah kelompok masyarakat
sederhana yang Matrilineal. Namun dari Hari ke hari, dengan berkembangnya Zaman, Adat
yang diciptakan ratusan tahun yang lalu oleh Para Leluhur ini mulai Keteteran untuk mengatur
pola kehidupan masyarakat. Apalagi sejak masuknya Agama Islam Ke Ranah Minang.

Agama Islam mulai menyebar di Ranah Minang diperkirakan sejak Abad ke – 15 M.

Adat yang awalnya di ciptakan oleh Kaum Penyembah berhala untuk mengatur pola
Hidup sekelompok masyarakat Pagan yang sederhana, sekarang di tantang untuk tetap mampu
mengatur sebuah masyarakat yang semakin kompleks dan sudah mulai berpindah ke Agama
Islam.

Ujian yang berat !

Sebagian seperangkat aturan hidup, Adat Minang mulai menjadi Rancu. Mulai lah
masyarakat Minang keteteran menghadapi masalah Ambiquitas antara Hukum Islam vs Hukum
Adat. Masalah baru, yang dahulu tidak pernah melanda para leluhur.
Akhirnya, mau tidak mau , sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak disengaja, mulailah
Syariat Islam tersebut menjadi bumbu dan pelengkap dari Adat Leluhur yang sudah ada.
Semua Hukum dan Syariat Islam yang tidak bertentangan dengan Adat Tradisi leluhur di adopsi
menjadi bagian Adat minang itu sendiri. Untuk beberapa Syariat Islam lain, yang tidak bisa
diselaraskan dengan Adat, di akal akali sedemikian rupa , di cocok cocokkan.

3
Tahun demi tahun berlalu, pemahaman Islam semakin membaik pada masyarakat
Minang. Kemudian beberapa Tokoh Islam Minang merasakan bahwa Adat Minang yang Pagan
itu sebenarnya banyak berbenturan dengan Syariat Islam. Terlebih setelah beberapa Tokoh
Minang memperluas Ilmu dan wawasan keislamannya ke Tanah Suci ( Arabia ). Golongan ini,
yang kemudian dikenal sebagai golongan para Tuanku mulai menyerukan agar Masyarakat
Minang merombak kembali Adatnya, agar lebih dapat berasimilasi dengan syariat Islam yang
benar.

Semangat untuk Merombak Adat Minang ini terjadi 200 tahun yang lalu, sekitar pada
awal abad ke-19…

Sebagian masyarakat Minang menerima dengan baik seruan para Ulama ini.
Masyarakat Minang generasi baru ini menjadikan Agama sebagai Filter dan Tolok ukur untuk
menilai Adat mana yang pantas dipertahankan, mana yang harus disempurnakan dan yang mana
harus di buang. Mereka berkeputusan, Syariat Islamlah yang lebih utama dan lebih pantas
menjadi Penilai dari Adat. Islam adalah Ketetapan Tuhan yang Universil, berlaku benar di
setiap masa dan keadaan, sementara Adat hanyalah Seperangkat Aturan yang dibuat oleh
Manusia biasa yang bisa saja di ubah atau di buang sama sekali jika memang diperlukan.
Ajaran baru ini mendapat penentangan dari sebagian pemuka Adat yang mempunyai
pendapat bahwa Adat lebih Penting dari Agama. Adat ini suci, tidak main main, ini adalah
Warisan para Leluhur yang harus di junjung tinggi.
Terbelah lah masyarakat Minang menjadi 2 Front Utama, Kaum Putih vs Kaum Hitam.
Kaum Putih ( Golongan Islam) yang memandang Islam adalah yang utama, sehingga Adat harus
mengikuti Agama. Dan Kaum Hitam ( Golongan Adat) yang berprinsip sebaliknya, bahwa
Adat yang utama sehingga Syariat Islamlah yang harus disesuaikan sedemikian rupa agar cocok
dan sejalan dengan Adat Leluhur. Dua arus yang bertolak belakang ini sangat sulit didamaikan,
kedua belah pihak sama sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah.
Perselisihan paham ini akhirnya memicu perselisihan Politik. Nagari nagari di Minang
mulai terpecah belah. Ada Nagari yang Pro-terhadap golongan Putih dan ada Nagari yang Pro-
terhadap Golongan Hitam. Untuk membedakan antara paham yang mereka anut, Kaum Putih
(Kaum Islam) mencirikan diri mereka dengan berpakain Putih Putih. Sementara Kaum Hitam
(Kaum Adat) mencirikan diri mereka dengan Pakaian Hitam Hitam. Permusuhan yang semakin
meruncing pecah menjadi konflik terbuka antara kedua golongan. Perang saudara mulai terjadi
diRanah Minang. Kampung kampung Kaum Putih berperang melawan Kampung Kampung
Kaum Hitam.
Perang yang awalnya semrawut dan kacau balau ini semakin mengkristal. Kampung
kampung sesama pendukung Golongan Hitam mulai bersatu dan berkoordinasi , menyatukan
Komando untuk menghadapi Golongan Putih yang juga sudah mulai bersatu dan berkoordinasi
dengan sesama kampung kampung berpaham Putih. Perang kecil kecil yang awalnya hanya
perang antar kampung, menjelma menjadi Perang Kolosal ! . . ..

Peristiwa ini kemudian di sebut dalam Sejarah sebagai ‘PERANG PADERI Jilid I ‘.
diperkirakan bermula diantara tahun 1800 dan 1810 M , dan dianggap selesai sekitar tahun
1820.
Perbedaan cara pandang tentang Adat dan Agama dalam Masyarakat Minang, akhirnya
menyebabkan perpecahan dan perang sesama mereka. Sungguh Miris Sejarah Pertentangan Adat

4
dan Agama didalam masyarakat Minang ini. Pelajaran Moral yang dapat ditarik dari sini adalah
Air dan Minyak memang Kodratnya tidak mungkin tercampur. Hukum Islam yang dibawa oleh
Utusan Allah sungguh sulit untuk di cocok- cocokkan dengan Hukum Adat yang dibuat oleh
Leluhur yang masih menyembah Berhala.

Peristiwa ini seperti mengulangi Peristiwa di waktu lampau di tempat yang jauh…
kejadian 12 abad lalu di Tanah Arabia. Peristiwa Perang saudara ketika Islam baru saja di
sebarkan Oleh Rasulullah saw di Tanah Arab. Seakan akan Perang Mekah ( Kaum Berhala)
Vs Madinah ( Kaum Muslimin ) berpindah dan dari tanah Arab ke Ranah Minang, tempat dan
Tokoh tokoh nya saja yang berbeda, isu dan penyebabnya nyaris identik …. Mempertahankan
Tradisi Leluhur Melawan Syariat Allah ! . ..
Namun akhir kedua Perang Saudara yang berbeda waktu dan tempat ini hasilnya ternyata
juga berbeda, jika dulu Kaum Muslimin Madinah berhasil mengalahkan Kaum Mekah Pemuja
Berhala , sebaliknya di Ranah Minang Kaum Agamalah yang akhirnya di kalahkan oleh Kaum
Berhala.

Untuk mempertahankan dan melestarikan ‘Adat dan Budaya’ dari Gerusan ‘ Syariat
Islam’, Kaum Hitam ( Golongan Adat) mengundang Kafir Belanda untuk berperang membantu
mereka. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Belanda menerima kedatangan Kaum Adat ini
dengan tangan terbuka dan hati gembira. Mereka bersedia untuk membantu Kaum Hitam untuk
berperang bersama saling bahu membahu menghadapi Golongan Islam.

Pada Tahun 1821 M, pasukan Kafir Belanda masuk ke Ranah Minang membantu
Perjuangan Golongan Adat yang Mempertahankan Kelestarian Adat dari ancaman Syariat.
Peristiwa bergabungnya Kafir Belanda dalam perang ini menandai berakhirnya babak
‘PARANG PADERI Jilid I ‘ dan dimulailah babak berikutnya ‘ PERANG PADERI Jilid II ‘
yang berlangsung sejak tahun 1821 sd 1838 M .

Koalisi Kaum Adat dan Kafir Belanda ini terlalu kuat bagi Kaum Putih… mereka
semakin terdesak, satu demi satu kampung -kampung Kaum Putih jatuh ketangan Pasukan
Koalisi. Tidak lama kemudian Hampir seluruh Garis Pertahanan Kaum Putih jatuh ketangan
Pasukan Koalisi Adat – Kafir Belanda.

Dimasa masa Sulit tersebut, Imam Besar Kaum Muslimin Masyarakat Minang ‘ Tuanku
Nan Renceh’ berpulang ke Rahmatullah. Saat itu Seluruh Wilayah Kaum Putih di ranah Minang
nyaris seluruhnya telah di Kuasai Oleh Koalisi Adat - Kafir Belanda. Tinggal hanya Wilayah
Lintau Saja, yang masih bertahan. Pertahanan Kaum Muslimin di Ranah Minang terakhir ini di
pimpin oleh Seorang Jenderal tangguh ‘ Tuanku Lintau ‘. Kritisnya kondisi Umat islam dalam
menghadapi Koalisi Kaum Adat-Kafir Belanda memaksa Kaum Muslimin untuk memindahkan
pusat perlawanan keluar dari Ranah Minang. Bonjol, sebuah wilayah perbatasan antara Ranah
Minang- Tanah Mandailing dijadikan Basis baru dalam menghadapi Koalisi Kaum Adat - Kafir
Belanda. Muhammad Shahab, pimpinan Kaum Muslimin di sana dibaiat menjadi Imam Besar
Kaum Muslimin. Sebagai Imam ( pemimpin ) seluruh kaum Putih, beliau dipanggil dengan
sebutan Tuanku Imam. Dan karena Basis nya ada Di Benteng Bonjol, dia lebih dikenal
kemudian sebagai ‘Tuanku Imam Bonjol‘.

5
Walau berhasil membangun Basis yang kuat di Bonjol, namun itu tidak banyak
membantu kedudukan kaum muslimin yang terkepung di pedalaman Ranah Minang. Benteng
Lintau, Pertahanan Islam Terakhir di Ranah Minang terisolir dari seluruh Wilayah lain. Bantuan
dari Bonjol ke Lintau terhambat oleh Jauhnya jarak, dan Rapatnya Blokade pasukan Koalisi.
Pertempuran demi pertempuran untuk mempertahankan Lintau dari pasukan Koalisi Adat- Kafir
Belanda semakin lama semakin payah. Minusnya bantuan, dan semakin berkurangnya Logistik
di Pihak kaum Muslimin yang terkepung di Lintau, makin memperparah kondisi mereka.
Sementara dari Hari ke Hari pasukan Koalisi Adat-Kafir Belanda terus mengalir dan semakin
memperkuat kedudukan mereka. Akirnya, dalam sebuah Serangan Umum yang berdarah darah,
Lintau berhasil di taklukkan oleh pasukan Koalisi. Perjuangan Kaum Muslimin di Ranah
Minang kandas.

Kaum Adat yang memenangkan perang ternyata tidak bisa bergembira terlalu lama.
Mereka memang berhasil memenangkan perang saudara. Berhasil mempertahankan dan
melestarikan Adatnya dari gerusan ‘ Syariat Islam’. Namun itu tidak dibayar dengan murah ,
apalagi Gratis. Kafir-Belanda bukanlah sekelompok LSM Relawan Sosial pembela Adat tanpa
pamrih. Mereka adalah kaum Kapitalis yang senantiasa menghitung untung rugi setiap keping
Gulden yang mereka keluarkan dalam perang, memperhitungkan setiap nyawa serdadu mereka
yang tewas di setiap medan laga. Untuk itu, Belanda menuntut Kompensasi kepada Kaum
Adat yang telah mereka bantu. Harganya ternyata sangat mahal, tidak terfikirkan sebelumnya
oleh golongan Adat bahwa mereka tidak akan pernah mampu membayar bantuan dari Kafir –
Belanda itu sampai kapanpun. Disinilah beberapa orang pimpinan Kaum Adat mulai menyesali
semua yang telah terjadi . . .Perjuangan untuk mempertahankan Kelestarian Adat Leluhur tidak
semurah yang mereka kira. Mereka harus menggantinya dengan Kemerdekaan diri mereka
sendiri ! . .

Beberapa Kaum Adat yang mulai insyaf ini mulai berfikir bahwa Nilai kemerdekaan diri
dan tanah air ternyata jauh lebih penting dibanding mempertahankan Seperangkat Adat yang
sudah Usang. Antara mereka dan Kaum Putih sebenarnya lebih banyak kesamaan dibanding
antara mereka dengan Kafir belanda. Walau berbeda prinsip dalam memandang Adat dan Syariat
Islam, tapi setidaknya dengan golongan Putih sebenarnya mereka masih sama sama Islam , dan
sama sama orang Melayu. Sementara dengan Kafir Belanda, mereka berbeda bangsa dan
berbeda Agama. Di kuasai oleh Kaum Putih yang akan Mengacak acak Adat mereka, sekarang
terlihat sebagai pilihan yang lebih realistis dibandingkan dengan menyerahkan kemerdekaan dan
tanah air mereka ke Tangan Kapitalis Belanda yang serakah.

Beberapa orang pimpinan Kaum Adat menemui Pimpinan pimpinan Kaum Muslimin,
menyatakan penyesalan mereka dan menawarkan ajakan perdamaian. Kaum Muslimin
menyambut mereka dengan Tangan terbuka, perdamaian terjadi antara beberapa Klan Golongan
Hitam ( Kaum Adat) dan Golongan Putih ( Kaum Agama).

6
Perdamaian antara Kaum Adat dan Kaum Islam ini dilaksanakan diatas sebuah bukit
yang bersejarah. Di puncak ’ Bukit Marapalam’ Perjanjian damai antara Agama – Adat ini di
Ikrarkan. Peristiwa inilah yang dikenal dalam sejarah sebagai ‘ Sumpah Sakti Bukit
Marapalam’, melahirkan sebuah Ikrar Fenomenal ‘ Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi
Kitabullah’ . ( Adat berdasarkan Syara’ Syara’ Berdasarkan Kitabullah –Al Quran ).

Sumpah Sakti Bukit Marapalam yang menghasilkan Konsensus ‘Adat Basandi Syara’
Syara’ basandi Kitabullah’ mempunyai arti bahwa pemuka pemuka Adat siap dan bersedia
merombak ‘ Adat dan Tradisi Berhala’ yang mereka wariskan dari Leluhur dengan Syariat
Islam. Mencampakkan semua Tradisi dan Adat yang tidak sesuai dengan Syariat islam,
menggantinya dengan Adat baru , dimana Islam adalah Spirit Utamanya.

Yup, nampaknya semua telah sukses ,..tapi tentu saja tidak semudah itu. Merombak
sebuah Adat kuno yang telah berakar Ratusan tahun, yang telah dijadikan Nilai nilai Kebenaran
oleh Kaum yang fanatik dalam waktu yang panjang tidak semudah membalik telapak tangan.
Apalagi Adat ini adalah hasil Produk dari Zaman berhala, yang banyak bertikai dan
berseberangan dengan Syariat Islam. Merombaknya agar mengikuti Hukum dan Syariat islam
akan membutuhkan Kerja keras semua kalangan dalam waktu yang tidak sebentar. Tapi
setidaknya keinginan itu sudah ada, Ikrar sudah diucapkan, Batu pertama Pembaharuan Adat
Istiadat Minang yang Paganik telah di mulai ! . . .

Sayangnya, mereka tidak punya waktu selonggar dan selama itu. Belanda tidak memberi
tenggat waktu bagi Kaum Agama dan Kaum Adat untuk duduk berlama lama melakukan
perombakan adat dan sosial di Ranah Minang. Belanda punya targetnya sendiri, sesegera
mungkin menjajah semua wilayah, memperbudak setiap Pribumi dan mengeruk semua
kekayaan yang bisa mereka keruk.

Sumpah Sakti Bukit Marapalam ini juga tidak terlalu representatif bagi semua pihak
golongan adat, hanya segelitir pemuka adat yang menghadiri konsensus bersejarah ini.
Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui atau sudah terlambat untuk mengetahui
perubahan alur sejarah tersebut. Mereka masih belum sadar, bahwa sebagian kolega kolega
mereka telah menjadikan Islam yang semula lawan sebagai kawan dan menjadikan Kafir
belanda yang semula adalah kawan Sebagai lawan. Yang terjadi kemudian semakin miris,
Kekuatan kaum Adat terpecah belah. Sebagian berkoalisi dengan kaum Putih, sebagian yang
lain masih berkoalisi dengan Kafir Belanda. Terjadilah perperangan aneh, Koalisi Golongan
Islam – Adat vs Koalisi Kafir Belanda-Adat.

Dengan Pengkhianatan sebagian Kaum Adat ini, ( Dalam Versi Belanda), maka mereka
mendapat alasan untuk tidak lagi mematuhi apapun dari perjanjian awal mereka dengan kaum
Adat. Jika diawal perang, Belanda masuk sebagai Mitra yang setara dengan Kaum Adat,
sekarang tidak lagi. Sisa sisa Kaum Adat yang masih bersama mereka tidak lagi dianggap
sebagai Mitra yang setara. Mereka hanya dianggap Sekelompok Pasukan Pribumi bawahan

7
Belanda, sama dengan pasukan pasukan pribumi dari daerah lain yang telah didatangkan
membantu Belanda ke Ranah Minang dalam perang ini.

Cengkeraman Belanda terhadap Ranah Minang semakin Kuat. Koalisi yang terlambat
antara Golongan Putih ( islam ) dan sebagian Golongan Hitam ( Adat) tidak lagi banyak
menentukan. Semua posisi strategis sudah dikuasai belanda. Seluruh Komponen Ranah Minang
diperas oleh Belanda untuk memodali perang besar menghancurkan Kaum Putih yang masih
bertahan di perbatasan. Kekuasaan Kaum islam sudah terbatas sekali ruang geraknya disekitar
wilayah Bonjol. Apalagi setelah Belanda memperkuat Posisinya di pantai pantai Timur Sumatra,
praktis semua jalur perhubungan Kaum Islam yang bertahan di Bonjol terputus dari dunia luar.

Sumpah Sakti Bukit Marapalam, tetap menjadi semboyan dan semangat orang Minang
untuk Menerapkan Syariat Islam demi menggantikan Adat Paganik para leluhur. Ikrar suci ‘
Adat Basyandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah ‘ ( Al Quran ) tetap membara di sebagian dada
Masyarakat Islam di Ranah Minang. Tapi mereka tidak punya waktu untuk itu. Belanda tidak
memberi waktu untuk itu. Semua perjuangan mereka, di berangus. Dalam sebuah serangan masif
yang berlangsung siang malam tanpa henti, pertahanan kaum Muslimin di Bonjol hancur luluh
lantak.

Dengan Hancurnya Kekuatan Islam diseluruh Tanah Minang, Semboyan suci ‘ Adat
Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah’ tetaplah hanya menjadi sebuah semboyan, menjadi
Semangat yang terpendam. Belanda sebagai Penguasa Ranah Minang, lebih Suka untuk
mengembalikan Adat Paganik Lama untuk mengatur tata kehidupan Masyarakat Jajahannya itu.
Sesuai dengan semangat Kolonialisme Bangsa Eropah ‘ Gold, Gospel, Glory’ mereka datang
adalah untuk Kekayaan, Agama dan Kejayaan. Menghancurkan Syariat Islam adalah salah satu
target Utama mereka. Di bawah Kangkangan Penjajah Belanda yang menjadikan ‘Gold,
Gospel,Glory’ Sebagai semangat utama , maka Adat Minang yang Paganik menjadi Pilihan
yang logis bagi belanda untuk dilestarikan , dijaga dan di hidupkan kembali.

Demikianlah Proses Islamisasi Adat Pagan orang Minang yang baru saja dimulai itu
di-Cancelled ditengah Jalan. Belanda berkepentingan untuk kembali menertibkan masyarakat
jajahan ini, dan mengembalikan salah satu yang masyarakat banyak inginkan, “ADAT
MINANG’. Sebagai bayaran atas jasa Belanda yang menjaga dan melestarikan Adat ini , maka
Ranah minang harus membayarnya selama 120 tahun dalam kangkangan Penjajah Balanda.

Walaupun begitu, tidak ada yang sia sia. Apa yang telah dimulai oleh Para Leluhur di
peristiwa Sumpah Sakti Marapalam tidak akan pernah mati. Hingga hari ini, masyarakat
minang diam diam sebenarnya tetap terbelah dalam 2 Golongan Utama. Golongan Hitam ( Kaum
Pemuja Adat Lama) dan Golongan Putih ( yang selalu berkeinginan untuk melanjutkan apa yang
telah dimulai di Bukit Marapalam). Nampaknya, pergulatan Adat Vs Agama di Ranah Minang
ini akan masih berlangsung terus di masa depan. Golongan Hitam vs Golongan Putih sekarang
tidak lagi saling berperang di medan laga, kini mereka menggeser perperangan mereka menjadi

8
perangan pemikiran, . . .di forum forum, koran , majalah, Buku buku, situs situs Dunia Maya,
…. Perang antara Golongan Hitam ( Adat ) Vs Golongan Putih ( Agama) terus berlangsung,
tidak pernah mengendur, semakin lama semakin gencar ! . . . Kalau zaman Dahulu Kaum Adat
dibantu oleh Bedil dan Meriam Kafir Belanda, . .. dimasa sekarang Kaum Adat berkoalisi
dengan . . . . . .???? . . .

Siapa yang akan menang ?? . .

Curhat dari Abu Salman–Putra Pilliang

Seorang Keturunan Minang Secara Nasab

Anda mungkin juga menyukai