Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FILSAFAT DAN SEJARAH PEMIKIRAN MIPA

EPISTEMOLOGI: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG


BENAR

Dosen : Dra. Sumaryati, M.Pd


Kelas : MIPA Ie
Disusun oleh Kelompok 4 :
1. Rani Rahmahdini (20177270211)
2. Nisha Tristianti (20177270218)
3. Pengkuh Waqidhah Safitri (20177270233)
4. Rahmat Satria Bahari (20177270235)
5. Hastoro Wahyu Nurcahyono (20177270287)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Epistemologi: Cara
Mendapatkan Pengetahuan yang Benar”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat dan Sejarah Pemikiran MIPA yang dibimbing oleh Ibu
Dra. Sumaryati, M.Pd. Namun, tanpa adanya bantuan serta motivasi dari berbagai
pihak, makalah ini tidak akan bisa terselesaikan. Pada kesempatan ini kami
selaku penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:

1. Bapak Dr. H. Suparman Ibrahim Abdullah, M.Sc selaku Dekan Fakultas


Pascasarjana Universitas Indraprasta PGRI yang telah banyak memberikan
kemudahan berupa tersedianya sarana dan prasarana.
2. Ibu Dr. Sudi Lestari selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan MIPA
Universitas Indraprasta PGRI yang telah memilihkan paket mata kuliah
selama satu semester.
3. Ibu Dra. Sumaryati, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat dan
Sejarah Pemikiran MIPA yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat
bermanfaat kepada kami selama ini.
5. Teman-teman dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

i
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi kelengkapan dan sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa
khususnya dan seluruh pembaca pada umumnya, dan semoga segala bantuan
dan bimbingan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha
Esa. Aamiin.

Jakarta, Oktober 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi........................................................... 3
B. Jarum Sejarah Pengetahuan.................................................... 4
C. Jenis-jenis Epistemologi............................................................ 6
D. Objek yang Dikaji dalam Epistemologi...................................... 7
E. Pengetahuan............................................................................. 7
F. Proses dan Cara Mendapatkan Pengetahuan.......................... 10
G. Cara Mengukur Kebenaran Pengetahuan................................ 14
H. Metode Ilmiah............................................................................ 16
I. Struktur Pengetahuan Ilmiah..................................................... 18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................ 20
B. Saran......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran.


Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu
mencari-cari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk
mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga
tidak selalu memuaskan manusia.
Manusia hidup di dunia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok
saja. Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui
keadaan di lingkungan sekitar. Dalam upaya untuk memperoleh informasi,
manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang
bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah
pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia
karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan. Sukar untuk
dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu
tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada
dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab
itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara
maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa
diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu
kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus
kita ajukan. (Suriasumantri, 2007: 104-105)
Jadi, pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan
bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbul
masalah, bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar. Masalah
inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi dan landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.
Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena
mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan
ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan fondasi
segala ilmu dan pengetahuan.
Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari
filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau
permasalahan- permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada
sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan
merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan
ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan
begitu saja. Oleh sebab itu, perlu diketahui hal yang menjadi dasar-dasar
pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk mengembangkan diri
dalam mengikuti perkembangan informasi yang pesat.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses cara mendapatkan ilmu?
2. Bagaimana cara mengukur kebenaran ilmu?
3. Bagaimana tahapan pengetahuan menjadi ilmu?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui hakikat dari epistemologi
2. Mengetahui proses cara mendapatkan ilmu
3. Mengetahui cara mengukur kebenaran ilmu
4. Mengetahui struktur pengetahuan ilmiah
5. Mengetahui tahapan pengetahuan menjadi ilmu

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi
Menurut Dwi Hamlyn yang dikutip oleh Bakhtiar, Epistemologi
berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos
berarti ilmu. Epistemologi adalah cabang filsafat yang berfokus pada sifat
dan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan
adalah cabang filsafat yang berurusan hakikat dan lingkungan
pengetahuan, pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung-
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana
mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber pengetahuan? Apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin ditangkap manusia (William S. Sahakian dan
Mabel Lewis Sahakian, 1965 dalam Suriasumantri, 2007: 119).
Menurut Surajiyo (2010: 26), epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan
kesahihan pengetahuan. Menurut Pidarta (2009: 77) epistemologi ialah
filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran.
Menurut Sudarsono epistemologi adalah bagian filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian
pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan epistemology adalah
terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah dan
aliran-aliran teori pengetahuan. Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan dengan bahasa sederhana epistemologi merupakan cara
mendapatkan pengetahuan yang benar.

3
B. Jarum Sejarah Pengetahuan
Pada awalnya, berbagai pengetahuan tidak memiliki pembedaan
yang jelas. Pengetahuan hanya didasarkan pada kriteria kesamaan
sebagai konsep dasarnya, bukan pembedaan atau diferensiasi antara
pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. Semuanya menyatu dalam
kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang (Suriasumantri
2007: 101). Sejarah pengetahuan sejalan dengan perkembangan
pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan, kita
akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk memperoleh
pengetahuan yang benar nantinya. Secara garis besar, sejarah
pengetahuan terbagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Pengetahuan abad primitif
Pada abad primitif, manusia sudah mulai mengenal dengan
yang namanya pengetahuan. Mereka memfungsikan pengetahuan
tersebut sebagai alat dan cara untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi disekitar. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih
berupa satu kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian
antara suatu pengetahuan tertentu dengan pengetahuan yang
lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang yang dianggap mampu
dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang
pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang
pemimpin pada masa itu adalah mereka yang ahli atau pakar dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berada dibawah
kepemimpinanya.
2. Pengetahuan abad penalaran (the age of reason, pertengahan
abad 17)
Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan
pemikiran yang cukup pesat setelah terlewatnya masa-masa
pemikiran primitif. Pada abad ini manusia mulai melakukan
pembedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang
lainnya. Mereka membedakan pengetahuan tersebut dalam wadah

4
yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing-masing untuk
dikaji. Tidak ada hubungan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya dalam rangka menyelesaikan suatu
masalah. Metode yang berkembang antara satu pengetahuan
dengan pengetahuan lainnya sangat berbeda. Intinya, pengetahuan
mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing
tanpa berhubungan atau terkait dengan pengetahuan lainnya.
Pengetahuan mulai dibedakan paling tidak berdasarkan:
(a) apa yang diketahui
(b) bagaimana cara mengetahui
(c) untuk apa pengetahuan itu digunakan
3. Pengetahuan abad modern
Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan yang masih
berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan antara
metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa
penalaran. Dengan penggabungan dua cara tersebut, munculah
metode inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti metode
yang dipergunakan pada masa penalaran, pada masa ini,
pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu rangkaian
penyelesaian masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan
dengan pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu
pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan
untuk kajian telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia,
pengetahuan memiliki semacam ikatan yang erat antara satu
wilayah kajian keilmuan dengan yang lain.
Demikianlah jarum sejarah perjalanan pengetahuan dalam
perannya sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.

5
C. Jenis-jenis Epistemologi
Epistemologi dapat dibedakan berdasarkan :
1. Metode Pendekatan
a. Epistemologi metafisis
Epistemologi metafisis merupakan epistemologi yang
mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari
pengandaian metafisika tertentu. Epistemologi ini berangkat dari
suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang
bagaimana manusia mengetahui kenyataan itu. Kelemahan
epistemologi metafisis adalah:
(1) epistemolog secara tidak kritis begitu saja mengandaikan
bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada, dialami dan
dipikirkan
(2) hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang seperti apa
pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh
(3) metafisika atau pandangan dasar tentang kenyataan secara
menyeluruh yang diandaikan oleh epistemolog metafisis
sebagai titik tolak, merupakan pengetahuan yang kontroversial
b. Epistemologi skeptis
Jenis epistemologi yang mempunyai pendekatan dengan
membuktikan terlebih dahulu apa yang kita ketahui sebagai sesuatu
yang sungguh nyata atau benar-benar tidak dapat diragukan lagi
dengan menganggap tidak nyata segala sesuatu yang
kebenarannya masih dapat diragukan. Kelemahannya adalah
bersifat skeptis yaitu kurang percaya atau ragu-ragu.
c. Epistemologi kritis
Epistemologi ini berangkat dari asumsi, prosedur dan
kesimpulan pemikiran akal sehat atau kesimpulan pemikiran ilmiah
sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu dicoba untuk
ditanggapi secara kritis akan asumsi, prosedur dan kesimpulan
tersebut.

6
D. Objek yang Dikaji dalam Epistemologi
Objek yang dikaji dalam epistemologi meliputi hal sebagai berikut:
1. Epistemologi individual
Epistemologi ini mengkaji struktur pemikiran (status kognitif,
proses pemerolehan) manusia sebagai individu yang bekerja dalam
proses mengetahui.
2. Epistemologi sosial
Epistemologi sosial merupakan kajian filosofis terhadap
pengetahuan sebagai data sosiologis. Hubungan sosial,
kepentingan sosial dan lembaga sosial merupakan faktor yang
menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan
pengetahuan.
Konsep ini baru mengalami perkembangan pada Abad
Penalaran (The Age of Reason, pertengahan abad 17) yang
konsekuensinya mengubah pengetahuan dengan konsep dasar
kesamaan menjadi pembedaan, kemudian melahirkan berbagai
spesialisasi pekerjaan yang merubah struktur kemasyarakatan.

E. Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menuturkan hasil pengalaman seseorang tentang sesuatu. Dalam
tindakan mengetahui selalu kita temukan dua unsur utama yaitu subjek
yang mengetahui dan objek atau sesuatu yang diketahui. Ahmad tafsir
dalam Filsafat Ilmu (2007: 5) mengatakan bahwa pengetahuan
merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. Sementara Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya (2007: 104) mengatakan bahwa
pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita.
Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan dari masa
ke masa, metode epistemologi juga berkembang seiring dengan

7
berkembangnya cara berpikir manusia. Dimulai dengan nenek moyang
kita yang hidup di masa-masa purba yang mana masih sangat primitif.
Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar terutama
dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa-
dewa pada setiap gejala yang terjadi di alam ini. Hujan deras yang
merusak, pertanda bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan bad mood.
Entah itu karena manusia yang lupa memberikannya sesajen atau dia
sedang ada masalah dengan dewa lainnya.
Tahap selanjutnya adalah masa dimana manusia mulai berusaha
untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam yang mereka
rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemologi
common sense (akal sehat) dan trial-and-error (metode mencoba-coba).
Pertama dengan menggunakan common sense atau akal sehat
untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu mitos yang diwariskan
generasi sebelumnya. Karakteristik akal sehat diantaranya adalah
1. Karena landasannya berdasarkan adat dan tradisi, maka akal sehat
cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan
2. Karena landasannya yang berakar kurang kuat, maka maka akal
sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar
3. Kesimpulan yang ditarik sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji
lebih lanjut. Dengan demikian amat masuk akal jika setelah
beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk
menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi.
Kedua adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktik lapangan
dengan mencoba-coba. Artinya sebelum mengkaji tentang tentang
sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang hal
tersebut, yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk
mencoba-coba. Akibatnya sistem epistemologi seperti ini tidaklah
mendatangkan sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji.
Contohnya ketika Copernicus mengatakan bahwa bumilah yang
mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak mempercayainya.

8
Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi bumi.
Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Akan
tetapi, epistemologi seperti ini berperan penting dalam usaha manusia
untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme untuk merontokkan dasar-
dasar pikiran yang masih bersifat mitos. Lalu, karena adanya beberapa
kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah empirisme. Sama
seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah-celah dalam metode
penemuan kebenarannya.
Selanjutnya, muncul metode eksperimen yang menengahi antara
merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Yaitu dengan mengadakan penjelasan-
penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian
pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode
eksperimen yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme.
Konsep epistemologi ini dikembangkan para sarjana muslim ketika
masa keemasan Islam dan dimasyarakatkan oleh Francis Bacon. Dari
metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang
menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif.
Jenis-jenis pengetahuan berdasarkan cara kerja yang dipakai
dalam memperoleh dan mempertanggungjawabkan kebenarannya serta
berdasarkan perbedaan objek yang yang menjadi bahan kajiannya,
pengetahuan dibedakan menjadi:
a. Pengetahuan ilmiah/ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dan
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan
menerapkan cara kerja ilmiah atau metode ilmiah.
b. Pengetahuan moral. Dalam pengetahuan ini, tidak ada klaim kebenaran
yang absah. Penilaian dan putusan moral pada dasarnya berakar pada
latar belakang budaya seseorang. Terdapat dua penilaian kebenaran
dalam pengetahuan moral; 1) Relativisme, penerimaan kebenaran
penilaian dan putusan moral yang bersifat relatif terhadap kebudayaan

9
tempat penilaian dan putusan moral itu dibuat; 2) Non-kognitivisme,
penilian dan putusan moral tidak termasuk wacana yang mau
menegaskan benar-salah, tetapi bermaksud mengungkapkan perasaan
atau sikap penilai maupun pendengar terhadap kebudayaan tempat
orang lahir dan dibesarkan
c. Pengetahuan Religius yaitu pengetahuan yang kebenarannya tidak
dapat ditentukan benar-salahnya baik secara apriori (pengetahuan pra
pengalaman) berdasarkan penalaran logis maupun secara aposteriori
(pengetahuan purna pengalaman) berdasarakan pengalaman.
Kebenaran pengetahuan ini diluar lingkup pengetahuan manusia.

F. Proses dan Cara Mendapatkan Pengetahuan


1. Objek Pengetahuan
Objek pengetahuan sains adalah semua objek yang empiris,
Jujun menyatakan bahwa objek kajian sains hanyalah objek yang
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud
pengalaman adalah pengalaman indera
2. Asal usul memperoleh pengetahuan
a. Rasionalisme adalah aliran berpikir yang berpendapat bahwa
pengetahuan yang benar mengandalkan akal yang menjadi
dasar pengetahuan ilmiah. Salah satu tokoh adalah Leibniz.
b. Empirisme yaitu sumber pengetahuan berasal dari pengalaman
dan pengamatan inderawi. Data dan fakta yang ditangkap oleh
panca indera adalah sumber pengetahuan. Salah satu tokohnya
adalah John Locke.
c. Kritisme yaitu untuk bisa menangkap sesuatu sudah diandaikan
bahwa kita memiliki konsep atau pemahaman tertentu, juga tidak
benar bahwa sejak kelahiran seorang manusia sudah memiliki
pengetahuan dalam benaknya. Ia justru tahu tentang benda
melalui pengalaman dan pengajaran dari orang lain. Salah satu
tokohnya adalah Kant.

10
d. Postivisme selalu berpangkal pada apa yang telah diketahui,
yang faktual dan positif. Semua yang diketahui secara positif
adalah semua gejala atau sesuatu yang tampak, karena itu
mereka menolak metafisika. Yang paling penting adalah
pengetahuan tentang kenyataan dan menyelidiki hubungan-
hubungan antar kenyataan untuk bisa memprediksi apa yang
akan terjadi dikemudian hari, dan bukannya mempelajari hakikat
atau makna dari semua kenyataan itu.
3. Terjadinya Pengetahuan
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang
sangat urgen untuk dibahas di dalam epistemologi, sebab orang
akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan.
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut
John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical
Analysis mengemukakan ada enam hal, diantaranya:
(a) Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang sering merasa penginderaan merupakan alat
yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman
indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat
untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan
indera. Kesalahan akan terjadi apabila ada ketidaknormalan
antara alat-alat itu. Dengan demikian bahwa indra merupakan
sumber pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak
disangsikan.
(b) Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan
menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud
untuk mendapatkan pengetahuan baru.
(c) Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh
seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi

11
salah satu sumber pengetahuan karena kelompoknya memiliki
pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan
dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari
otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi, karena orang yang telah
menyampaikannya mempunyai kewibaan tertentu.
(d) Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia
berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus
mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat
dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena
pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih
dahulu.
(e) Wahyu (Revelation)
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa
wahyu merupakan sumber ilmu, karena diyakini bahwa wahyu
itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha
Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan
kepada nabi-Nya untuk kepentingan ummatnya. Kita
mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada
kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu
dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan,
karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.
(f) Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri
manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun
keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat
dan cocok untuk kepercayaannya.
4. Kebenaran Pengetahuan
Menurut ahli epistemologi dan filsafat, pada umumnya untuk
membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang

12
menganalisis terlebih dahulu cara, sikap dan sarana yang digunakan
untuk membangun suatu pengetahuan. Ada beberapa yang
menjelaskan tentang kebenaran (Surajino, 2005) yaitu:
a. The correspondence theory of truth (teori kebenaran saling
berkesinambungan). Berdasarkan teori pengetahuan Aristoteles
yang menyatakan bahwa kebenaran itu berupa kesesuaian antara
arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa sungguh
merupakan halnya atau faktanya.
b. The semantic theory of truth (teori kebenaran berdasarkan arti).
Berdasarkan teori kebenaran sematiknya Bertrand Russell, bahwa
kebenaran itu ditinjau dari arti segi atau maknanya.
c. The consistence theory of truth (teori kebenaran berdasarkan
konsisten). Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar
bila pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
d. The pragmatic theory of truth (teori kebenaran berdasarkan
pragmatik) ialah benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil atau teori
semata-mata bergantung kepada berfaedahnya ucapan, dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
e. The coherence theory of truth (teori kebenaran berdasarkan
koheren). Berdasarkan teori koherennya Kattsoff (1986) dalam
bukunya Element of Philosopy bahwa suatu prosisis itu benar,
apabila berhubungan dengan ide-ide dari proposisi terdahulu yang
telah dan benar.
f. The logical superfluity of truth (teori kebenaran logis yang
berlebihan). Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Ayer,
bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa
saja dan bersifat pemborosan, karena pada dasarnya apa yang
hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat yang sama yang
sama-sama saling melingkupi.

13
g. Teori skeptivisme yaitu suatu kebenaran dicari ilmiah dan tidak
ada kebenaran yang lengkap.
h. Teori kebenaran nondeskripsi. Teori yang dikembangkan oleh
penganut filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa suatu
pernyataan mempunyai nilai benar amat tergantung peran dan
fungsi daripada pernyataan itu.
Kebenaran dapat dibuktikan secara:
1) radikal (individu)
2) rasional (objektif)
3) sistematik (ilmiah)
4) semesta (universal)
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagaimana yang
diuraikan oleh Anshari ada empat tingkatan kebenaran:
1) Kebenaran wahyu
2) Kebenaran spekulatif filsafat
3) Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4) Kebenaran pengetahuan biasa

G. Cara Mengukur Kebenaran Pengetahuan


Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar pada dasarnya
ada dua cara yang dapat ditempuh oleh manusia yaitu dengan cara non
ilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat pengetahuan yang benar pada
mulanya diperoleh melalui cara non-ilmiah dibanding dengan cara ilmiah,
hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya pikir manusia.
Pendekatan ilmiah menuntut dilakukan cara-cara atau langkah-
langkah tertentu dengan perurutan tertentu pula agar dapat dicapai
pengetahuan yang benar. Namun, tidak semua orang suka melewati tata
tertib pendekatan ilmiah itu untuk sampai pada pengetahuan yang benar
mengenai hal yang dipertanyakannya. Bahkan di kalangan masyarakat
awam untuk memperoleh pengetahuan yang benar lebih baik suka
menggunakan pendekatan non-ilmiah.

14
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk
memperoleh kebenaran melalui cara non-ilmiah, di antaranya adalah:
1. Akal sehat;
2. Prasangka;
3. Pendekatan intuisi;
4. Penemuan kebetulan dan coba-coba;
5. Pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis.
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita
mengukur kebenaran teori, karena isi dari ilmu adalah teori-teori. Pada
awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara
logika, contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat
Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”.
Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),
hipotesis ini lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak
yang berkesempatan untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji
logika, momentum idul fitri akan meningkatkan harga-harga kebutuhan
pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke pasar-pasar dan
tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan harga-
harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan
menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar
adanya, kemudian menjadi teori. Jika demikian terjadi pada setiap momen
idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan hendaknya telah
mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya tinggal
kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan.
Hipotesis ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi
belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah
merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis itu benar, bila logis.
Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Kelogisan suatu
hipotesis juga teori lebih penting daripada bukti empirisnya (Tafsir, 36).

15
Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika
sesutau teori selalu benar, yaitu jika teori itu naik tingkat keberadaannya
maka menjadi hukum atau aksioma.

H. Metode Ilmiah
Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata
depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos
(jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian,
metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut
ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya
harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah
(Suriasumantri, 2007:119). Alur berpikir yang tercakup dalam metode
ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan
tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri
dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empiris
yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor
yang terkait di dalamnya;
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan;

16
3. Perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan;
4. Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis
yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam pengujian
terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis
itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak
tedapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis itu
ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan
yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya
bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan
sebaliknya.
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya
dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Menurut Jafar (2011) sikap
ilmiah yang dimaksud adalah:
a. Rasa ingin tahu
b. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
c. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan
pribadi)
d. Tekun (tidak putus asa)
e. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
f. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)
Metode ilmiah ini tidak dapat digunakan pada pengetahuan yang
tidak termasuk ke dalam kelompok ilmu. Contohnya matematika dan
bahasa tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan

17
pengetahuannya, karena matematika hanyalah pengetahuan yang
menjadi sarana dalam berfikir ilmiah. Begitu juga halnya dengan bidang
sastra yang termasuk kedalam humaniora yang jelas tidak
mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahunnya.

I. Struktur Pengetahuan Ilmiah


Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan. Dengan demikian
dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu pada dasarnya
merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai
gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian
tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang
ada.
Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang
akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya
untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi
pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni
deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik (Ernest
Nagel, 1961, dalam Suriasumantri, 2007:142):
1. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam
menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis
dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya;
2. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara
induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan
kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang
bersifat peluang seperti “kemungkinan”, kemungkinan besar” atau
“hampir dapat dipastikan”;
3. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang
meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara

18
keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan
tertentu;
4. Penjelasan genetik menggunakan faktor-faktor yang timbul
sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.

Struktur pengetahuan ilmiah terdiri dari:


a. Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan;
b. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan
hubungan antara dua variabel atau lebih dalam kaitan sebab akibat;
c. Prinsip atau azas sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi
sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian
yang terjadi, seumpama hukum sebab akibat sebuah gejala;
d. Postulat atau asumsi merupakan anggapan dasar yang kebenarannya
kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Bila postulat dalam
pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal
ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah
argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang
kebenarannya secara empiris dapat diuji.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan makalah epistemologi adalah:
1. Epistemologi adalah cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu,
cara mengukur kebenarannya dan cara kerja metode ilmiah.
2. Objek pengetahuan sains adalah semua obyek yang empiris.
3. Pengetahuan adalah semua hal yang didapat berdasarkan:
pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas
(authority), intuisi (intuition), wahyu (revelation), keyakinan (faith).
4. Pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu setelah mengalami
metode ilmiah yang terdiri dari merumuskan masalah,
mengumpulkan data, menyusun hipotesis, menguji hipotesis,
mengolah data, menguji kesimpulan.
5. Pengetahuan dapat dikatan sebagai ilmu apabila mempunyai
karakteristik mempunyai objek, mempunyai metode dan sistematik.
6. Untuk menguji kebenaran pengetahuan, maka yang harus
dilakukan adalah pengujian hipotesis, hipotesis terbukti, dan
terbentuk teori. Jika suatu teori selalu benar yaitu jika teori itu naik
tingkat keberadaannya maka menjadi hukum atau aksioma.

B. Saran
1.
2.
DAFTAR PUSTAKA

Amsal, Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Hoppers, John. An Introduction to Philosophical Analysis. Terjemahan oleh
Dr. Sukirman, M.Psi, Bandung. Diakses dari
http://digilib/ITB.id.158392 (Selasa 24 Oktober 2017, 20.00 WIB).
Jafar, Zulkarnaen. 2011. Epistemologi Ilmu Pengetahuan. Diakses dari
http://zulkarnaenjafar.blogspot.com/2011/10/epistemologi-ilmu-
pengetahuan.html (Selasa 24 Oktober 2017, 20.20 WIB).
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dan Hakikat Menuju Nilai. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Surajiyo. 2009. Ilmu filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai