Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh dan
elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi
selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai kemih.

Gagal ginjal kronik merupakan suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible . Hal ini terjadi
apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50 ml/menit. Gagal ginjal kronik sesuai
dengan tahapannya dapat berkurang,ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (
end stage renal failure ) adalah stadium gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian
kecuali jika dilakukan terapi pengganti ( Suhardjono, 2001 ).

Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju penyaringan glumerulus (GFR),
sehingga kadar urea dalam darah meningkat, kenaikan kadar urea darah dan meningkatnya
proses penyaringan oleh nefron yang mengalami hipertropi, menyebabakan muatan solut
yang sampai ke masing masing tubulus yang masih berfungsi akan menjadi lebih besar
daripada keadaan normal (William E,2009).

Gagal ginjal atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) adalah gangguan fungsi ginjal
yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu
retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen lain dalam darah. (Smeltzer, 2002).
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi
166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus.
Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650
ribu.Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan mengalami GGK (gagal
ginjal kronis) fase awal (Djoko, 2008).
Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996, ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGK di Jepang bisa
bertahan hingga bertahun-tahun.Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan
hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGK pun bisa ditekan menjadi
10 per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di
Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di indonesia GGK menjadi penyumbang terbesar untuk kematian, sehingga penyakit
GGK pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007
menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab
kematian terbanyak.Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGK,
adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia
tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang
memiliki fakultas kedokteran.Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap
faktor penyulit GGK terabaikan. Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang
harus kita lakukan, kecuali menjaga kesehatan ginjal.Jadi, alangkah lebih baiknya kita
jangan sampai sakit ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik
secara rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa fisik
tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan darah, serta kurangi
makan garam. Pertahankan kadar gula darah yang normal bila menderita diabetes, hindari
memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein dalam jumlah sedang, mengurangi
minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman beralkohol. Minum air putih yang cukup
(dalam sehari 2-2, 5 liter). (Djoko, 2008).

Berdasarkan pada beberapa hal diatas penyusun tertarik untuk mengambil judul
“Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik” dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini kami susun berdasarkan pada pengembangan dari beberapa pokok
persoalan berikut, yaitu :
1) Apa pengertian dari gagal ginjal kronik ?
2) Bagaimana klasifikasi dari gagal ginjal kronik ?
3) Apa etiologi dari gagal ginjal kronik ?
4) Bagaimana patofisiologi dari gagal ginjal kronik ?
5) Bagaimana manifestasi dari gagal ginjal kronik ?
6) Apa pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronik ?
7) Bagaimana penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik ?
8) Apa komplikasi dari gagal ginjal kronik ?
9) Bagaimana prognosis dari gagal ginjal kronik ?
10) Bagaimana asuhan keperawatan pasien gagal ginjal kronik ?

1.3 Tujuan
Makalah ini kami susun untuk mengetahui :
1) Pengertian dari gagal ginjal kronik
2) Klasifikasi dari gagal ginjal kronik
3) Etiologi dari gagal ginjal kronik
4) Patofisiologi dari gagal ginjal kronik
5) Manifestasi dari gagal ginjal kronik
6) Pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronik
7) Penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
8) Komplikasi dari gagal ginjal kronik
9) Prognosis dari gagal ginjal kronik
10) Asuhan keperawatan pasien gagal ginjal kronik
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi ginjal


1) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang terpenting dalam mempertahankan homeostasis
cairan tubuh. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostasis dengan
mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam-basa, ekskresi sisa
metabolisme, dan sistem pengaturan hormonal dan metabolisme. Ginjal terletak dalam
rongga abdomen retroperitoneal kiri dan kanan kolumna vertebralis, dikelilingi oleh
lemak dan jaringan ikat dibelakang peritoneum. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-
11 dan ginjal kanan setinggi iga ke-12, sedangkan batas bawah setinggi vertebralis
lumbalis ke-3.
2) Struktur ginjal
Ginjal terdiri atas:
a. Medulla (bagian dalam): substansi medularis terdiri atas pyramid renalis,
jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan
apeksnya menghadap kesinus renalis.
b. Korteks (bagian luar): subtansi kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak,
dan bergranula. Subtansi tepat dibawah fibrosa, melengkung sepanjang basis
piramid yang berdekatan dengan sinus renalis. Bagian dalam diantara piramid
dinamakan kolumna renalis.
3) Pembungkus ginjal
Ginjal dibungkus oleh massa jaringan lemak yang disebut kapsula adiposa
(peritonel feet). Bagian yang paling tebal terdapat pada tepi ginjal memanjang melalui
hilus renalis. Ginjal dan kapsula adipose tertutup oleh lamina khusus dari fasia
subserosa yang disebut fasia renalis yang terdapat diantara lapisan dalam dari fasia
profunda dan stratum fasia subserosa internus. Fasia fibrosa terpecah menjadi dua.
a. Lamella anterior atau fasia prerenalis.
b. Lamella posterior atau fasia retrorenalis.
4) Struktur makroskopis ginjal
Satuan fungsional ginjal disebut juga dengan nefron, mempunyai + 1, 3 juta.
Selama 24 jam nefron dapat menyaring 170 liter darah. Arteri renalis membawa darah
murni dari aorta ke ginjal. Lubang-lubang yang terdapat pada renal piramid masing-
masing membentuk simpul yang terdiri atas satu badan malpigi yang disebut
glomerulus.
5) Bagian-bagian dari nefron
a. Glomerulus
Bagian ini merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang terletak didalam
kapsula bowman menerima darah dari arteriole aferen dan meneruskan ke sistem
vena melalui arteriol aferen. Natrium secara bebas difiltrasi ke dalam glomerulus
sesuai dengan kosentrasi dalam plasma. Kalium juga difiltrasi secara bebas,
diperkirakan 10-20% dari kalium plasma terikat oleh protein dalam keadaan
normal.
b. Tubulus proksimal konvulta
Tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan kapsula bowman dengan
panjang 15 mm dan diameter 55 .Bentuknya berkelok-kelok berjalan dari korteks
ke bagian medulla lalu kembali ke korteks, sekitar 2/3 dari natrium yang terfiltrasi
akan diabsorbsi secara isotonik bersama klorida. Proses ini melibatkan transport
aktif natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium akan mengurangi pengeluaran air dan
natrium.
c. Lengkung Henle (ansa henle)
Bentuknya lurus dan tebal diteruskan ke segmen tipis selanjutnya ke segmen
tebal, panjangnya 12 mm, total panjangnya ansa henle 2-14 mm. Klorida secara
aktif diserap kembali pada cabang asendens gelung henle dan natrium bergerak
secara pasif untuk mempertahankan kenetralan listrik.
d. Tubulus distal konvulta
Bagian ini adalah bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan letaknya jauh
dari kapsula bowman, panjangnya 5 mm. Tubulus distal dimasing-masing nefron
bermuara ke duktus kolingetis yang panjangnya 20 mm.
e. Duktus kolingetis medulla
Saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus ekskresi
natrium urin terjadi disini dengan aldosteron yang paling berperan terhadap
rearbsopsi natrium. Duktus ini memiliki kemampuan untuk mereabsorpsi dan
menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus kolingen kortikal
dan dikendalikan oleh aldosteron.
2.2 Pengertian
Gagal ginjal kronik (cronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan di tandai dengan uremia(urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau tansplantasi ginjal)
(Nursalam, 2002).
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus, glomerulonefretis kronis, pielonefretis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol,
obstuksi traktus urinarius, lesi heriditer, lingkungan dan agen berbahaya yang
mempengaruhi gagal ginjal kronis seperti timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Dialisis
atau transplantasi ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien
(Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001;
1448)

2.3 Etiologi

Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis adalah :
a. Diabetes
Merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik. Diabetes adalah penyakit
dimana tubuh kita tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang
dibutuhkan oleh tubuh atau tubuh tidak mempunyai kemampuan untuk
memanfaatkan insulin secara adekuat. Hal ini menyebabkan kadar gula dalam
darah meningkat dan apabila tidak ditangani akan menyebabkan masalah di dalam
tubuh termasuk ginjal.
b. Tekanan Darah Tinggi (hipertensi)
Merupakan penyebab kedua terbesar gagal ginjal kronik. Hipertensi juga merupaka
penyebab umum timbulnya penyakit jantung dan stroke. Hipertensi adalah keadaan
dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada dinding arteri.
c. Glomerulonephritis
Adalah penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada unit saringan terkecil
ginjal yang disebut glomeruli.
d. Ginjal Polikistik
Merupakan penyakit yang bersifat genetik (keturunan ) dimana terjadi nya kelainan
yaitu terbentuknya kista pada kedua ginjal yang berkembang secara progresif
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal.
e. Batu ginjal
Adalah terjadinya sumbatan di sepanjang saluran kemih akibat terbentuknya
semacam batu yang 80 persen terdiri dari kalsium dan beberapa bahan lainnya.
Ukuran batu ginjal ada hanya sebesar butiran pasir sampai ada yang sebesar bola
golf.
f. Infeksi saluran kencing
Timbulnya infeksi dapat disebabkan oleh adanya bakteri yang masuk ke dalam
saluran kencing yang menyebabkan rasa sakit atau panas pada saat buang air kecil
dan kecenderungan frekuensi buang air kecil yang lebih sering. Infeksi ini biasanya
akan menyebabkan masalah pada kandung kemih namun terkadang dapat
menyebar ke ginjal.
g. Obat dan racun
Mengkonsumsi obat yang berlebihan atau yang mengandung racun tertentu dapat
menimbulkan masalah pada ginjal. Selain itu penggunaan obat-obatan terlarang
seperti heroin, ganja dapat juga merusak ginjal.
2.4 Patofisiologi
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolisme protein tertimbun dalam
darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala semakin berat.
Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi
penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa clearance kreatinin urine
tampung 24 jam yang menunjukkan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum.
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibat edema, CHF, dan hipertensi. Hipotensi
dapat terjadi karena aktivitas renin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengaki- batkan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status uremik
memburuk.
Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H ) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NHз) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCOз). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik
lain terjadi.
Anemia terjadi akibat erirtropoietin yang tidak memadai memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status
uremik pasien, terutama dari saluran pencernaan. Eritropoitein yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah, dan produksi
eritropoietin menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan,
angina, dan sesak nafas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar
serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya
meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal, maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum
kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh untuk merespon normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya
perubahan tulang dan penyakit tulang. Demikian juga, vitamin D (1, 25 dihidro-
kolekalsiferol) yang dibentuk di ginjal menurun seiring perkembangan gagal ginjal.
Pathway
2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Suhardjono (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal
ginjal kronik yaitu:
1) Gangguan pada sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan metaboslime
b. protein dalam usus.
c. Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur.
d. Cegukan (hiccup)

2) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.


a. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia. Gatal dengan ekskoriasi akibat toksin
uremik.
2) Ekimosis akibat gangguan hematologis
3) Urea frost akibat kristalisasi urea
4) Bekas-bekas garukan karena gatal
5) Kulit kering bersisik
6) Kuku tipis dan rapuh
7) Rambut tipis dan kasar
b. Sistem Hematologi
1) Anemia
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
3) Gangguan fungsi leukosit
c. Sistem saraf dan otot
1) Restles leg syndrome
2) Burning feet syndrome
3) Ensefalopati metabolic
4) Miopati
d. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Akibat penimbunan cairan dan garam.
3) Nyeri dada dan sesak nafas
e. Gangguan irama jantung
1) Edema akibat penimbunan cairan.
2) Sistem Endokrin
3) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki.
4) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan gangguan sekresi
insulin
5) Gangguan metabolisme lemak.
6) Gangguan metabolisme vitamin D.

Manifestasi klinis secara umum :


1. Ketidakseimbangan cairan
a. Kelebihan cairan : edema, oliguri, hipertensi, gagal jantung kongestif
b. Penipisan volume vaskuler : poliuria, penurunan asupan cairan, dehidrasi
2. Ketidakseimbangan elektrolit
a. Hiperkalemia : gangguan irama jantung, disfungsi miokardial
b. Hipernatremia : haus, stupor, takikardia, membran kering, peningkatan refleks
tendon profunda, penurunan tingkat kesadaran
c. Hipokalemia dan hiperfosfatemia : iritabilitas, depresi, kram otot, parastesia,
psikosis, tetani
d. Hipokalemia : penurunan reflek tendon profunda, hipotonia, perubahan EKG
3. Ensefalopati dan neuropati uremik
a. Gatal gatal
b. Kram dan kelemahan otot
c. Bicara tidak jelas
d. Parastesia telapak tangan dan telapak kaki
e. Konsentrasi buruk
f. Mengantuk
g. Tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial
h. Koma
i. Kejang
4. Respirasi
Edema paru, efusi pleura, dan pleuritis.
5. Neuromuskular
Lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan muscular, neuropatiu
perifer, binggung dan koma.
6. Metabolik/ endokrin
Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormone seks menyebabkan penurunan
libido, impotent dan amnenorhoe (wanita).
7. Abnormal skeletal
Osteodistrofi ginjal meneyebabkan, osteomalasia.
8. Fungsi psikososial
Perubahan kepribadian dan perilaku serta gangguan proses kognitif.

2.6 Klasifikasi
Klasifkasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1, 73m2) = (140 – umur) x berat badan


72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0, 85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit


Derajat/ LFG (ml/mnt/1,
Penjelasan
Stadium 73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

Stadium 1:
Kerusakan ginjal dengan LFG normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal dapat
dideteksi sebelum LFG mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan
pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan GGK dan mengurangi risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah.
Stadium 2:
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada LFG (60-89). Saat fungsi ginjal
kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan GGK kita dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi risiko masalah kesehatan lain.
Stadium 3:
Penurunan lanjut pada LFG (30-59). Saat GGK sudah berlanjut pada stadium ini,
anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja sama dengan
dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini.
Stadium 4:
Penurunan berat pada LFG (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi GGK
dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-
masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita akan
membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah dalam
lengan agar siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea,
sebuah kateter harus ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta anggota
keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.

Stadium 5:
Kegagalan ginjal (LFG di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk
menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan ginjal.

Sesuai dengan test kreatinin klirens, maka GGK dapat di klasifikasikan menjadi
4, dengan pembagian sebagai berikut:
a. 100-76 ml/mnt, disebut insufisiensi ginjal berkurang.
b. 75-26 ml/mnt, disebut insufisiensi ginjal kronik.
c. 25-5 ml/mnt, disebut gagal ginjal kronik.
d. < 5 ml/mnt, disebut gagal ginjal terminal.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat dari komplikasi yang
terjadi.
b. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (batu a/ obstruksi)
Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan
tidak puasa.
c. IVP (Intra Vena Pielografi) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya : usia lanjut, DM, dan Nefropati Asam Urat.
d. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, antomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostat.
e. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, ekskresi ), serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan radiologi jantung untuk mencari kardiomegali, efusi perikardial.
g. Pemeriksaan Radiologi tulang untuk mencari osteodistrofi (terutama untuk falanks
jari), kalsifikasi metastasik.
h. Pemeriksaan radilogi paru untuk mencari uremik lung; yang terkhir ini dianggap
sebagai bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograd bila dicurigai obstruksi yang reversibel.
j. EKG untuk melihat kemungkinan :hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
k. Biopsi ginjal :
l. Pemeriksaan Laboratorium yang umumnya dianggap menunjang, kemungkinan
adanya suatu Gagal Ginjal Kronik :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin lebih kurang 20 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih.
d. Perbandingan ini berkurang : Ureum lebih kecil dari Kreatinin, pada diet
rendah protein, dan Tes Klirens Kreatinin yang menurun.
e. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
f. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
g. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis 1, 24
(OH)2 vit D3 pada GGK.
h. Fosfatase lindi meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
Isoenzim fosfatase lindi tulang.
i. Hipoalbuminemis dan Hipokolesterolemia; umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
j. Peninggian Gula Darah , akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan ferifer)
k. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan,
peninggian hiormon inslin, hormon somatotropik dan menurunnya lipoprotein
lipase.
l. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal ginjal.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik di antara nya meliputi :
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar nya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasar nya adalah sebelum terjadi nya
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20%-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk megikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
dengan penyakit gagal ginjal kronik. Factor-faktor komorbid antara lain : gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-
obatan nefrotoksik. Obat – obat Nefrotoksik seperti amino – glikosid, OAINS (obat anti
inflamasi non-steroid) dan obat-obatan yang dapat menyebabkan nefretis interstisialis
akut harus dihindari.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
d. Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai di lakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan
pembatasan asupan protein tidak selalu di anjurkan. Protein diberikan 0, 6-0.8/kg
BB/hari.
e. Pencegahan kekurangan cairan (dehidrasi)
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gagal ginjal prarenal yang
masih dapat diperbaiki.
f. Terapi farmakologis
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus, pemakaian obat anti hipertensi, di
samping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskuler juga sangat penting
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerolus dan hipertropi hlomerolus.
g. Kehamilan
Pada wanita usia produktif yang mengalami gangguan fungsi ginjal, kehamilan dapat
memperburuk fungsi ginjal.
h. Pengelolaan uremia dan komplikasinya
Pasien dengan gagal ginjal lanjut sering mengalami peningkatan jumlah cairan
ekstraseluler karena retensi cairan dan natrium. Penatalaksanaan meliputi asupan cairan
dan natrium serta pemberian terapi diuretik.
i. Asidosis Metabolik.
Penurunan kemampuan eksresi beban asam (acid load) pada GGK menyebabkan
terjadinya asidosis metabolic. Diet rendah protein membantu mengurangi kejadian
asidosis.
j. Hiperkalemia.
Kalium sering meningkat pada GGK. Hiperkalemia terjadi akibat eksresi kalium
melalui urin berkurang dari keadaan katabolik.
k. Anemia.
Transfusi darah hanya diberikan bila sangat perlu dan apabila transfusi tersebut dapat
memperbaiki keadaan klinis secara nyata. Terapi yang terbaik apabila hemoglobin < 8
g% adalah dengan pemberian eritropoietin.
l. Kalsium dan Fosfor.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor serum harus
dikendalikan dengan diet rendah fosfor (terutama daging dan susu)
m. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialysis tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya LFG sekitar 5 – 10 ml/mnt. Dialisis juga
diperlukan bila ditemukan keadaan dibawah ini :
 Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat – obatan Hiperkalemia
yang tidak dapat diatassi dengan obat – obatan.
 Overload cairan (edema paru).
 Ensefalopati uremik, penurunan kesadaran.
 Efusi kardial.
 Sindrom uremia : mual;, muntah, anoreksia, neuropati yang memburuk.

2.9 Komplikasi

a. Anemia
Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang
bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut,
tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah
adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan
rasa (baal) pada kaki dan tangan.
b. Osteodistofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme
mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi, akan terjadi
pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi
metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan
dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke
seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya
berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari anemia yang
mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik
jantung kiri (left venticular hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom
kardiorenal).
d. Disfungsi ereksi
Ketidak mampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang
diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat
gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testeron) untuk merangsang
hasrat seksual (libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Namun, penyebab utama gangguan
kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke
penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.

e. Hiperkalemia
Tingginya kandungan kalium di dalam darah. Dan tingginya kandungan kalium di
dalam darah dapat menimbulkan kematian mendadak, jika tidak ditangani dengan
serius.

2.10 Hemodialisa
Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolism
berupa larutan (ureum dan kreatini) dan air yang ada pada darah melalui membrane
semipermeable atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas, 2002).
Hemodialisa merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi
ginjal untuk menurunkan kadar racun di dalam darah. Pada proses ini zat-zat racun (toksik), air
dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit “dibersihkan” melalui
proses haemodialisis (Mursal,2008).

2.10 Adequasi Hemodialisa


Hemodialisis regular dikatakan cukup apabila dilakukan teratur, berkesinambungan,
selama 9-12 jam setiap minggu. Kondisi pasien stabil dan tidak merasakan keluhan sama sekali,
nafsu makan baik, tidak merasa sesak, tidak lemas dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari
(Suwitra,2010). Berdasarkan konsesus Pernefri (2003) menyatakan target ideal untuk pasien
yang menjalani HD 2x/minggu dengan lama HD antara 4 - 5 ja– diberikan target URR 65%.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian pertama yang
menilai AHD. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ureum merupakan pertanda yang
memadai untuk penilaian AHD dan tingkat kebersihan ureum dapat dipakai untuk prediksi
pengeluaran (Outcome) dari penderita.
Model kinetic ureum (MKU) adalah cara yang paling baik untuk menilai AHD. MKU
adalah tekhnis matematika untuk menstimulasikan kinetic ureum pada penderita AHD dengan
menghitung semua faktor yang mempengaruhi pemasukan, pengeluaran dan metabolism urea.
Faktor ini meliputi volume distribusi urea, urea generation rate, clearance dialyzer (KD),
dialyzer ultrafiltration rate, jadwal dan lama HD, residual klirensi urea, resistensi terhadap
metabolisme ureum. Dalam pengukurannya memerlukan :
1. Pemeriksaan BUN sebelum dan sesudah HD dari HD pertama, pemeriksaan BUN
sebelum HD dari HD kedua dari jadwal HD 3x seminggu.
2. Berat Badan sebelum HD dan sesudah HD dari HD pertama.
3. Lama HD sebenarnya dari HD pertama.
4. Klirens efektif dari dialyzer (bukan klirens in-fitro dari tabel).
Meskipun cara ini direkomendasikan oleh national kidney foundation dialysis outcome
quality initiative (NKF-DOQI), akan tetapi cara perhitungannya kompleks sehingga diperlukan
ketepatan pengukuran volume distribusi, klirens efektif dialyzer dan waktu HD. Akibat cara
ini tidak dapat digunakan setiap unit HD. Selain dari MKU ada cara lain yang lebih praktik dan
dapat dipergunakan secara rutin, yaitu :
1. Rumus logaritma natural K.T/V
Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah model
single-pool urea kinetic. Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan MKU,
dimana Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dialyzer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam
satuan menit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF/DOQI
adalah generasi kedua yang ditemuakan oleh Daugirdas :
Kt/V = Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W
Keterangan :
a. Ln adalah logaritma natural.
b. R adalah BUN setelah dialysis dibagi BUN sebelum dialysis
c. t adalah lama waktu dialysis dalam jam.
d. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e. W adalah berat pasien setelah dialysis dalam kg.
2. Ureum Reduction Ratio (URR)
Cara lain untuk mengukur AHD adalah dengan mengukur URR rumus yang
dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Ct adalah BUN sesudah-HD dan Co adalah BUN sebelu-HD. Cara ini paling
sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD. Banyak dipakai untuk
kepentinganepidemiologi, dan merupakan predictor terbaik untuk mortalitas penderita
NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengaan URR≥65%. Owen
dkk (1993) dakam penelitiannya menggunakan URR untuk mengukur dosis dialysis,
menunjukkan bahwa penderita yang menerima URR ≥ 60% memiliki mortalitas yang
lebih rendah dari yang menerima URR ≥50%.
Untuk melakukan perhitungan dosis adekuasi dilakukan pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan BUN. Ketepatan waktu pengambilan merupakan hal yang
sangat penting. BUN sebelum HD dan BUN sesudah HD untuk perhitungan URR
diambil pada jadwal yang sama.
a. Pengambilan sampel BUN sebelum HD
Jika penderita dengan AV-fistula atau graft, sample diambil dari jalur
arteri sebelum dihubungkan dengan blood-line. Harus dipastikan tidak terdapat
cairan lai dalam jarum arteri tersebut. Jangan mengambil sampel jika HDsudah
berjalan.
b. Pengambilan sampel BUN sesudah HD
Pengaruh resirkulasi akse-vaskuler dan resirkulasi kardiopulmonal serta
pengaruh teori double-pool sangat menentukan saat yang paling tepat
pengambilan sampel untuk pemeriksaan BUN sesudah HD. Jika menganut teori
double-pool maka saat paling tepat pengambilan sampel setelah 30-60 menit
pasca-HD, dimana telah terjadi equilibrium. Tetapi secara praktis hal ini sukar
karena pnderita selesai HD harus menunggu cukup lama. Geddes CCdkk (2000)
dalam penelitiannya setelh 4 menit berhentinya aliran dialisat tidak ada
perbedaan konsentrasi ureum antara sampel dari arteri dan vena. Cara yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
1. Setelah waktu HD berakhir hentikan pompa dialisat, turunkan UF sampai
50 ml/jam atau matikan.
2. Turunkan kecepatan pompa aliran darah sampai 50-100 ml/menit selama
15 detik.
3. Ambil sampel darah dari jalur aliran arteri.
4. Hentikan pompa darah dan kembali pada prosedur penghentian HD.
5. Cara lain menghentikan pompa aliran darah setelah dilambatkan 50
ml/menit selama 15 detik.
6. Klien pada jalur arteri dan vena, sampel diambil dari jalur arteri.

2.11 Faktor-faktor Pnedukung Adekuasi


Sebelum HD dilaksanakan perlu dibuat suatu peresepan (prescription) dosis HD
tersebut dan selanjutnya membandingkannya dengan hasil HD yang telah dilakukan untuk
menilai adekuatnya suatu tindakan HD. Peresepan hemodialisa bersifat individual, karena
setiap penderita HD berbeda dalam hal berat badan, volume distribusi ureum, jenis dialyzer
yang dipakai, kecepatan aliran darah (QB), kecepatan aliran dialisat (QD), jenis dialisat, lama
waktu HD (t) dan ultrafiltrasi yang dilakukan.
1. Akses Vaskuler
Vascular access adalah istilah yang berasal dari bahasa inggris yang berarti jalan untuk
memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluhnya untuk keperluan tertentu, dalam
kasus gagal ginjal terminal adalah untuk proses hemodialisa. Alasan Pemasangan Vaskular
Akses Pemasangan Vaskular diharapkan dapat memudahkan dokter dan perawat untuk
melakukan akses atau penusukan sehingga lebih mudah dan mengurangi resiko dari
penusukan sehingga lebih mudah dan mengurangi resiko dari penusukan yang dilakukan
pada tempat lain seperti area femoral. Ada 2 tipe tusukan vascular yaitu tusukan vascular
sementara dan permanen.
2. Akses vaskuler Permanen
Belding H. scribner dkk. Pertama kali menggunakan akses vascular permanen
berbentuk external arteriovenous (AV) shunt. Kelemahan tehnik ini sering menimbulkan
masalah: infeksi, rupture akibat trauma dan sering mengganggu aktifitas sehari-hari.
Cimino dan Brescia (1966) menganjurkan tehniik baru yaitu internal arteriovenous (AV)
shunt. konsep yang pertama kali dikembangkan u=yaitu side to side anastomosis dengan
diameter antara 6-8 mm (Sukandar, 2006).
3. Akses Vaskular Sementara
Metode ini melalui dua pembuluh darah vena yaitu vena femoral dan vena interna
jugular. Hampir semua pasien di Indonesia untuk inisiasi hemodialisa melalui akses vena
femoralis dengan jarum khusus. Kerugian dari metode ini, pasien kurang nyaman karena
tidak boleh bergerak selama proses dialysis berjalan dan kemungkinan perdarahan bila
salah sasaran tusukan (arteri femoral).
Akses vascular melalui vena jugular interna dengan menggunakan silastic twin
catheter atau double lumen chateter (CDL) merupakan metoda yang cukup memuaskan
dan nyaman untuk pasien. Tehnik ini dapat digunakan beberapa minggu hingga akses
vascular permanen siap untuk digunakan (Sukandar, 2006).

2.12 Konsep Asuhan Keperawatan pada Chronic Kidney Disease


a) Pengkajian
Menurut Muttaqin (2011), pengkajian pada klien dengan CKD adalah sebagai berikut :
1. Identitas
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70% pada pria.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi,mulai dari urine output sedikit
samapi tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mal, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum),
gatal pada kulit.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji onset penurunan output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan pada kulit, adanya napas berbau ammonia dan
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudak ke mana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapatkan pengobatan apa saja.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia dan
prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system
perkemihan yang berulang, penyakit DM, dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk di kaji mengenai
riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis
obat kemudian dokumentasikan.
5. Keadaan Umum
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat. Tingkat kesadaran menurun
sesuai dengan tingkat uremis dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat. Pada
TTV sering didapatkan adanya perubahan seperti RR meningkat. Tekanan darah
terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
6. Neurologi
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan
proses piker dan disorientasi, klien sering mengalami kejang, adanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot dan nyeri otot.
7. Integumen
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis,
dehidrasi), ptekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deficit fosfat kalsium
pada kulit, keterbatasan gerak sendi. Di dapatkan adanya kelemahan fisik secara
umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

8. Abdomen
Didapatkan adanya mual muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
9. Perkemihan
Penurunan urine output <400 ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat.
b) Diagnosa Keperawatan
Menurut (Muttaqin, 2011: Taylor dan Ralph, 2010: Wilkinson, 2011), terdapat dua
belas diagnosa keperawatan pada klien dengan CKD yaitu sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urin, retensi
cairan dan natrium, peningkatan aldosterone sekunder dari penurunan GFR.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat sekunder dari anoreksia, mual dan muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi (anemia, iskemik jaringan) dan sensai (neuropati perifer), penurunan
turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
4. Intoleran aktivitas
5. Resiko cedera
c)

Anda mungkin juga menyukai