Oleh :
FAIZAL WALIY
(113150095)
YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli adalah suatu aktifitas terpenting di dunia. Bahkan para nabi
dan rasul terdahulu juga melakukan jual beli demi mencukupi kehidupannya.
Jual beli dapat menimbulkan berbagai dampak tergantung aturan apa yang
digunakan. Islam menetapkan aturan jual beli, baik yang menyangkut syarat
transaksi jual beli, alat tukar, benda yang diperjual-belikan, maupun nota
kesepakatan, MoU atau Memorandum of Understanding, serta bentuk-bentuk
lafad atau kalimat dalam serah-terima atau aqad (Assegaf, 2005).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum jual beli dalam Islam?
2. Bagaimana rukun jual beli dalam Islam?
3. Bagaimana akhlaq dalam jual beli menurut Islam?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hukum jual beli dalam Islam.
2. Mengetahui rukun jual beli dalam Islam.
3. Mengetahui akhlaq dalam jual beli menurut Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang jual beli dalam Islam dan
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi pembaca, menambah wawasan tentang jual beli dalam Islam dan
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Bagi penjual, menambah wawasan tentang jual beli dalam Islam dan
menjadikannya pedoman dalam mengamalkan di kehidupan sehari-hari.
4. Bagi pembeli, menambah wawasan tentang jual beli dalam Islam dan
menjadikannya pedoman dalam mengamalkan di kehidupan sehari-hari.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kajian pustaka.
Kajian pustaka adalah pengkajian kembali literatur-literatur yang terkait
(review of related literature).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
B. Hukum Jual Beli
Orang yang berusaha di bidang jual beli harus mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan jual beli tersebut. Hal ini bertujuan agar dalam jual beli
tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari penjual maupun pembeli.
Sebagaimana firman Allah.
3
dimakruhkan menjualnya. Dan terkadang juga hukumnya haram, seperi
menjual barang yang haram dijual.
C. Rukun Jual Beli
Ada tiga rukun jual beli yang setidaknya harus ada dalam suatu
transaksi, yaitu shigat, ‘aqid dan Ma’qud Alaih. Pembahasannya adalah
sebagai berikut.
1. Shigat
Shighat dalam jual beli adalah segala sesuatu yang menunjukkan
adanya kerelaan dari dua belah pihak, penjual dan pembeli. Shighat terdiri
dari dua perkara, yaitu: (a). perkataan dan apa yang dapat
menggantikannya, seperti seorang utusan atau sebuah surat. Maka sahlah
akad tersebut. Tidak diampuni baginya berpisah kecuali sesuatu yang di
ampuni dalam ucapan ketika hadirnya barang yang dijual. Adapun
perkataan adalah sesuatu lafal yang menunjukkan (mengandung) arti
menjadikan sesuatu sebagai miliknya dan memiliki. (b). Serah terima,
yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu
perkataanpun. Misalnya, seseorang membeli sesuatu barang yang
harganya sudah dimaklumi, kemudian ia menerimanya dari penjual dan
menyerahkan harganya kepadanya, maka dia sudah dinyatakan memiliki
barang tersebut lantaran telah menerimanya.
Pelaksanaan ijab dan qabul harus memenuhi beberapa syarat,
antara lain: (a). Hendaknya ijab sesuai dengan qabul, baik dalam harga
yang ditetapakan, sifat, mata uang, maupun batas waktu. (b).
Ijab dan qabul diucapkan penjual dan pembeli dalam satu majlis. Apabila
dari salah satu mereka (penjual) berkata: “Saya jual kepadamu ini barang
dengan harga seribu”, kemudian mereka (penjual dan pembeli) berpisah
sebelum yang lain (pembeli) menerimanya, maka akad jual belinya tidak
sah. (c). Antara ijab dan qabul harus bersambung, tidak terpisah oleh
sesuatu yang menunjukkan berpaling dari akad jual beli. Adapun jika ada
pemisah yang sebentar yang sekiranya tidak memalingkan dari jalannya
ijab dan qabul menurut adat istiadat, maka hal tersebut tidaklah
membahayakan.
4
2. ‘Aqid
‘Aqid, yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun
pembeli. Ada beberapa syarat menyangkut ‘aqaid, antara lain: (a).
Hendaknya penjual dan pembeli tamyiz, sehingga tidak sah jual belinya
anak-anak yang belum tamyiz, demikian pula jual belinya orang gila.
Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli suatu barang yang
sudah mendapat izin dari walinya, maka jual beli tersebut sah dan harus
dilaksanakan. Walinya tidak punya hak untuk menolaknya. (b).
Hendaknya si ‘aqid itu orang yang sudah pandai (rasyidan), yaitu orang
yang mengerti tentang ketentuan hitungan. Ini adalah syarat sahnya jual
beli. Maka tidak sah jual belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz
maupun yang belum, tidak sah pula jual belinya orang gila, orang idiot
(ma’tuh) dan pemboros luar biasa, hingga tidak dapat memegang uang dan
tidak mengenal hitung (safih). (c). Hendaknya si ‘aqid dalam keadaan
tidak di paksa (mukhtar). Tidak sah jual belinya orang yang dipaksa.
3. Ma’qud Alaih
Ma’qud Alaih (yang diakadkan), baik menyangkut benda yang
dijual maupun alat untuk membelinya (uang), harus memenuhi bebrapa
syarat, antara lain: (a). Suci. Tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis,
baik benda yang dijual maupun alat untuk membeli (uang). Apabila orang
menjual benda najis atau yang kena najis yang tak dapat disucikan, maka
tidak sah jual belinya. Demikian juga tidak sah alat membeli (uang) yang
najis atau terkena najis yang tak dapat disucikan. (b). Dapat diambil
manfaatnya dan dibenarkan oleh syarah. Tidak sah memperjualbelikan
binatang, misalnya serangga yang tidak ada manfaatnya. (c). Pada saat
akad jual beli benda yang dijual adalah milik si penjual, sehingga tidak sah
memperjual belikan barang yang bukan miliknya. Kecuali akad salam
(pesanan) sah karena memperjualbelikan barang yang akan dimiliki
kemudian. (d). Dapat diserahterimakan. Tidak sah memperjualbelikan
barang yang dighasab, karena meskipun barang yang dighasab itu
miliknya, namun ia tidak dapat menyerahkan. Kecuali apabila si pembeli
mampu mengambil secara paksa dari orang yang ghasab. Tidak sah juga
5
bila barang yang digashab itu dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab),
karena barang itu bukan miliknya. (e). Benda yang dijual dapat diketahui
dan uangnya juga telah diketahui, sehingga terhindar dari persengketaan.
Memperjualbelikan benda yang tidak terang, tidak dapat diketahui dengan
jelas keadaannya yang menimbulkan percekcokan adalah tidak sah. (f).
Akad jual beli itu tidak dibatasi waktunya.
D. Khiyar
Khiyar adalah hak memilih antara dua hal, meneruskan transaksi jual
beli atau membatalkan. Dalam kaitan ini ada tiga macam khiyar, yaitu: (a).
khiyar majlis, khiyar syarat dan khiyar ‘aibi.
1. Khiyar majlis yang berarti hak pilihannya untuk meneruskan transaksi
atau membatalkan tersebut berlaku selama keduanya ada dalam satu
tempat dan belum berpisah. Selama di tempat tersebut, apabila keduanya
melakukan kesepakatan bersama, apakah itu berupa nota kesepakatan atau
MoU maupun bentuk-bentuk perjanjian lainnya yang disampaikan secara
tradisional, maka kedua belah pihak terkait untuk menjalankan
keseoakatan tersebut.
2. Khiyar syarat yakni apabila salah seorang dari penjual atau pembeli pada
waktu transaksi mengajukan persyaratan tertentu. Misalnya, si pembeli
berkata: “Aku beli barang ini dengan syarat bila tidak sesuai ukurannya
akan ditukarkan dengan yang sesuai ukuran,” lantas si penjual
mengajukan syarat: “Baik, saya setuju, tapi dengan syarat dalam batas
waktu paling lambat tiga hari. Lebih dari itu tidak dapat ditukar.” Bila
kedua belah pihak sepakat, berarti transaksi jual beli yang dilakukan tadi
menerapkan khiyar syarat.
3. Khiyar ‘aibi yakni kesepakatan kedua belah pihak untuk membatalkan,
mengembalikan atau menukarkan barang yang dibeli bila terbukti barang
tersebut mengandung cacat atau ‘aib.
6
E. Jual Beli yang Diharamkan
Rasulullah SAW melarang sejumlah jual beli, karena di dalamnya
terdapat gharar yang membuat manusia memakan harta orang lain dengan
batil dan di dalamnya terdapat unsur penipuan yang menimbulkan dengki,
konflik dan permusuhan di antara kaum muslimin.
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya.
Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya
kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu,” (HR. Muslim no. 1412). Dan
dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya,”
(HR. Bukhari).
2. Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang
naik padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain
untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang
dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang menjual di atas jualan
saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota
menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa,” (HR. Bukhari).
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian
pendapat jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa
jual beli najesy tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin
menaikkan harga barang, namun tidak bermaksud untuk membeli,
sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad. Ulama Hambali berpendapat
bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban (beda harga yang amat
jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar (pilihan)
untuk membatalkan jual beli. Sedangkan jual beli pada sistem lelang
(dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang
setiap yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy yang
cenderung merugikan pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari
tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan
menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi
rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari
tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia
menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar
7
sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan
sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama)
karena adanya pengelabuan. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab,” (HR. Muslim).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Dulu kami pernah menyambut para
pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual
beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan
berjualan di sana,” (HR. Bukhari).
Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa
yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar
tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang
terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual
beli),” (HR. Muslim). Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror
(bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli
tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak
adanya ‘illah (sebab pelarangan).
4. Jual beli pada Azan kedua hari Jum’at.
Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu atau membeli sesuatu
jika azan kedua shalat jum’at telah dikumandangkan dan khatib telah naik
mimbar, karena Allah swt. Berfirman dalam Q.S.Al-Jum’ah (62) : 9,
8
Islam. Pendek kata, kaedah 'menghindarkan segala hal yang menyusahkan'
adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang." (Ikmalul Mu'lim, 5:
161).
6. Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan
tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang
basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang
pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di
bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa
menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim). Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menipu, maka
ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan
pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban). Jual beli yang
mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli najesy yang sudah
dibahas di atas.
F. Meneladani Akhlak Rasulullah SAW dalam Jual Beli
Sangat banyak petunjuk mengenai etika jual beli yang diajarkan
Rasulullah SAW. Setidaknya penulis mengambil sebanyak dua belas poin,
yang diinspirasi dari lima poin tulisan Badrudin (2001:167-172) yaitu sebagai
berikut.
1. Kejujuran
Dalam hal ini, pedagang atau pengusaha tidak diperbolehkan
menyembunyikan kecacataan barang. Jika hal tersebut disembunyikan,
keberkahan jual beli akan hilang. Rasulullah sangat intens menganjurkan
kejujuran dalam aktivitas jual beli. Dalam tataran ini, beliau bersabda,
"Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu barang yang mempunyai
aib, kecuali ia menjelaskan aibnya" (HR Al-Quzwani). Dalam hadist lain
pun bersabda, "Siapa yang menipu kami, dia bukan kelompok kami" (HR
Muslim). Rasulullah selalu bersikap jujur dalam berjual beli.
2. Pencatatan utang piutang
Dalam dunia jual beli lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam
hubungan tersebut, Al Qur'an mengajarkan pencatatan utang piutang
untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu khilaf,
"Hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berutang-piutang dengan
janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang
penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur.
Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah
diajarkan oleh Allah kepadanya." (QS al-Baqarah [2] : 282)
9
3. Tidak melakukan sumpah palsu
Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan
bersumpah. Nabi Muhammad SAW sangat melarang melakukan sumpah
palsu dalam melakukan transaksi jual belinya. Dalam sebuah hadist
riwayat Bukhori, ia bersabda, "Dengan melakukan sumpah palsu, barang-
barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah." Dalam hadist
riwayat Abu Zar, Rasulullah SAW mengancam orang yang bersumpah
palsu dalam jual beli dengan azab yang pedih, dan Allah tidak akan
memedulikannya di hari kiamat nanti (HR Muslim). Praktik sumpah
palsu saat ini sering dilakukan karena dianggap dapat meyakinkan
pembeli dan pada gilirannya akan meningkatkan pemasaran. Namun,
harus disadari bahwa dalam keuntungan yang berlimpah tersebut,
keberkahan tidak akan menyertainya.
4. Sikap longgar, ramah-tamah, dan murah hati
Seorang pelaku jual beli harus bersifat longgar, ramah dan murah
hati. Hal itu selaras dengan sabda Rasulullah, "Allah mengasihi orang
yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR
Bukhari). Kemudian dalam hadits lain, Abu Hurairah memberitakan
bahwa Rasulullah bersabda, "Ada seorang pedagang yang memiutangi
orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam
kesempitan, dia diperintahkan kepada pembantu-pembantunya, ‘Berilah
kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan
kepada kita'. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya."
Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan, "Allah merahmati
seseorang yang ramah dan toleran dalam berjual beli" (HR Bukhari dan
Tarmizi).
5. Jujur dalam takaran dan timbangan
Allah berfirman dalam surah al-Muthafifin (83) ayat 1-3, yang
artinya sebagai berikut, "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."
Berdasarkan ayat tersebut, dalam perdagangan, timbangan yang benar
dan tepat harus benar-benar diutamakan.
6. Jual beli tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah
Hal ini sesuai dengan firman Allah, "Orang yang tidak dilalaikan
oleh jual beli lantaran mengingat Allah, serta dari mendirikan shalat dan
membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan
penglihatan menjadi goncang."
10
7. Pembayaran upah sebelum keringat karyawan kering
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Berikanlah upah kepada
karyawan, sebelum kering keringatnya," (HR. Ibnu Majah, shahih).
Hadits ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-
tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
8. Anjuran berzakat
Setiap pengusaha dianjurkan untuk menghitung dan
mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5%
sebagai salah satu cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari
hasil usaha.
9. Hanya menjual barang yang halal
Dalam salah satu hadits, Nabi SAW menyatakan bahwa jika
Allah mengharamkan sesuatu barang, haram pula harganya
(diperjualbelikan). Oleh karena itu, dalam berjual beli, pengusaha
diwajibkan untuk menjual komoditas yang suci dan halal, bukan barang
haram, seperti babi, anjing, minuman keras, dan ekstasi. Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan jual
beli miras, bangkai, babi dan ‘patung-patung'" (HR Jabir).
10. Segera melunasi utang
Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian
serius dalam pelunasan utangnya dengan sabda, "Sebaik-baik kamu
adalah orang yang paling segera membayar hutangnya" (HR Hakim)
11. Pemberian tenggang waktu apabila pengutang belum mampu membayar
Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barang siapa yang
menangguhkan orang yang kesulitan membayar utang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naungan-
Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya" (HR
Muslim).
12. Larangan riba
Jual beli yang dilaksanakan harus bersih dari unsur riba,
sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat al-Baqarah [2] : 278,
yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman". Selanjutnya, Allah menilai bahwa pelaku dan pemakan
adalah orang yang kesetanan. Oleh karena itu, Allah dan Rasul
mengumumkan perang terhadap riba.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual-beli sebagai sarana tolong-menolong antarmanusia dengan
landasan yang amat kuat. Allah berfirman dalam Al Quran yang artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS
Al Baqarah: 275). Para ulama fiqih mengambil kesimpulan bahwa jual beli
itu hukumnya mubah (boleh). Artinya, hal tersebut diperbolehkan sepanjang
suka sama suka.
Dalam pelaksanaan jual beli, minimal ada tiga rukun yang perlu
dipenuhi. Pertama adalah Shighat. Shighat dalam jual beli atau yang sering
disebut dengan ijab qabul adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya
kerelaan dari dua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli. Kedua adalah
‘Aqid, yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli.
Terakhir adalah Ma’qud Alaih (yang diakadkan), yaitu adanya benda yang
dijual maupun alat untuk membelinya (uang).
Ada beberapa akhlaq yang harus dimiliki saat melaksanakan jual beli
yang mencerminkan akhlaq orang beriman. Pertama adalah berlaku benar.
Seorang muslim dituntut untuk berlaku benar dalam berusaha seperti jual
beli. Bagi pedagang, karakter terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku
benar. Kedua adalah menepati amanah, yaitu mengembalikan apa saja kepada
pemiliknya. Pedagang harus menyampaikan ciri-ciri, kualitas dan harganya
tanpa melebih-lebihkan. Terakhir adalah jujur. Jujur adalah modal penting
dalam jual beli karena akan menghindarkan kerugian salah satu pihak.
B. Saran
1. Bagi pembaca, memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diperlukan dalam menyempurnakan penelitian selanjutnya.
2. Bagi penjual, agar lebih memahami etika jual beli dalam Islam sehingga
pembeli tidak akan dirugikan dan tidak perlu khawatir untuk membeli.
3. Bagi pembeli, agar lebih memahai tata cara saat membeli sehingga tidak
ada penjual yang merasa kesal ataupun dirugikan.
12
DAFTAR PUSTAKA