Anda di halaman 1dari 29

TRAUMA HIDUNG

A. PENDAHULUAN
Trauma Hidung didefinisikan sebagai cedera pada hidung atau struktur terkait
yang dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik, penurunan kemampuan
untuk bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi gangguan penciuman. cedera
mungkin baik internal maupun eksternal.1
Hidung manusia terdiri dari tulang, jaringan lunak, dan tulang rawan yang
berfungsi sebagai jalan untuk udara mengalir dari lingkungan luar ke dalam saluran
pernapasan bagian bawah dan paru-paru. Pada saat yang sama saluran hidung juga
melembabkan udara yang masuk ke tubuh.1
Cedera Internal untuk hidung biasanya terjadi jika benda asing ditempatkan di
hidung atau ketika seseorang dengan penyalahgunaan obat (inhalansia atau kokain)
melalui hidung. cedera Eksternal untuk hidung biasanya cedera benda tumpul yang
terkait dengan bidang olahraga, kekerasan krimina, atau kecelakaan dalam
berkendara. Jenis cedera dapat menyebabkan patah tulang hidung. Tulang-tulang
hidung adalah tulang wajah yang paling sering retak karena posisi mereka pada
wajah, dan merupakan jenis yang paling umum ketiga patah tulang pada umumnya
setelah fraktur dari pergelangan tangan dan tulang selangka. Sebuah kekuatan hanya
30 g sudah cukup untuk mematahkan tulang hidung, dibandingkan dengan 70 g untuk
tulang-tulang di rahang dan 200 g untuk tonjolan tulang di atas mata. Pola fraktur
tergantung pada arah pukulan ke hidung, apakah berasal dari depan, samping, atau di
atas hidung. Meskipun biasanya tidak mengancam jiwa dengan sendirinya, hidung
retak dapat mengakibatkan kesulitan bernafas serta pengrusakan wajah.1,4,5
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang
diabsorpsinya.,4,5
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan
jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur
wajah biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan
cedera leher atau kepala.4,5

B. ANATOMI HIDUNG2
Hidung merupakan bagian yang paling menonjol pada wajah. Fungsinya
sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air condition), penyaring &
pembersih udara2, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses berbicara,
dan refleksi nasal. Hidung juga merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan
saluran air mata.
Struktur hidung luar terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1. Kubah tulang. Letaknya paling atas dan bagian hidung yang tidak bisa digerakkan.
2. Kubah kartilago (tulang rawan). Letaknya dibawah kubah tulang dan bagian
hidung yang
bisa sedikit digerakkan.
3. Lobulus hidung. Letaknya paling bawah dan bagian hidung yang paling mudah
digerakkan.
Struktur penting dari anatomi hidung :
1. Dorsum nasi (batang hidung)
2. Septum nasi
3. Kavum nasi (lubang hidung)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit,jaringan kulit,dan beberapa otot keci yang berfungsi untuk melebarkan kan
menyempitkan lubang hidung.Kerangka terdiri dari:tulang hidung(os nasal),processus
frontalis os maxilla,processus nasalis os frontal.Sedangkan tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilago nasalis latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris
inferior(kartilago ala mayor), tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung/cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang


dipisahkan,oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan
kiri.Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut koana yang menghubungkan cavum nasi dengan
nasoparing.
Bagian cavum nasi yang letakknya sesuai dengan ala nasi,tepatnya dibelkang
nares anterior disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut2 panjang yang disebut vibrise.
Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu; dinding medial, lateral, Inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.Septum nasi dibentuk oleh
tulang rawan dan tulang,dimana bagian tulangnya adalah lamina perfendikularis os
etmoid,vomer,krista nasalis os palatina,sedangkan bagian tulang rawannya adalah
kartilago septum(lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum nasi dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulangnya,sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.Dibagian depan septum
nasi terdapat daerah yang disebut little atau pleksus kleselbach yang merupakan
tempat pertemuan pembuluh darah di hidung.
Dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka,Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior,kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan
yang lebih kecil lagi ialah konka superior,sedangkan yang terkecil adalah konka
suprema(biasanya rudimenter).
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla dan
labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema adalah bagian dari
labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus.Tergantung dari letak meatus ada tiga meatus yaitu
inferior,media,dan superior.Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.Pada mestus inferior terdapat
muara(ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak diantara konka media
dan dinding lateral rongga hidung.Pada meatus medius terdapat muara sinus
frontal,sinus maxilla,sinus etmois posterior.Meatus superior terletak diantara konka
superior dan konka medis terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung .Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung.Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os
etmoid,tulang ini berlubang-lubang/spt saringan,tempat masuknya serabut serabut
saraf olfaktorius.Dibagian posterior ,atap rongga hidung terbentuk oleh os sfenoid

Vaskularisasi Rongga Hidung2


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis
anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama
yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi
bagian anterior. Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum
anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya
plexux Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior

Innervasi Rongga Hidung2


Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus nasalis anterior6 cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung
bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan
parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior
cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion
cervical superior.

Gambar : Innervasi hidung bagian lateral

Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi
sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di
ujungnya dan selaput lender meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.
Sinus Paranasalis2
Sinus paranasalis merupakan rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga udara hidung. Biasanya berjumlah 12 rongga. Fungsi sinus paranasalis antara
lain :
1. Mengurangi berat tulang wajah.
2. Memelihara kekuatan dan bentuk tulang.
3. Menambah resonansi suara.
Golongan besar sinus paranasalis :
1. Golongan anterior sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis
anterior, dan sinus frontalis.
2. Golongan posterior sinus paranasalis yaitu sinus ethmoidalis posterior, dan sinus
sfenoidalis.
Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada pada meatus nasi medius.
Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada pada meatus nasi superior. Pus
dalam meatus nasi medius akan mengalir ke dalam vestibulum nasi. Pus dalam
meatus nasi superior akan mengalir ke dalam faring.

C. ETIOLOGI6
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
1. Mendapat serangan misal dipukul.
2. injury karena olah raga
3. kecelakaan (personal accident).
4. kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya
dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury
nasal misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala;
olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke
belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan
fraktur wajah.

D. PATOGENESIS
Trauma wajah disebabkan oleh 5 hal tergantung dari kecepatan dan kekerasan
pukulan, yaitu :
1. Bukan fraktur
Disebabkan pukulan yang tidak keras.
2. Fraktur kelas 1
3. Fraktur kelas 2
4. Fraktur kelas 3
5. fraktur Le Fort tipe 2 dan 3.
Jika seseorang mendapat trauma pada muka yang disebabkan oleh banyak
faktor, dapat menimbulkan kelainan berupa obstruksi jalan nafas, syok hemoragik,
gangguan servikal, atau bahkan gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada
trauma muka harus diberika secara segera (immediate) atau pada waktu berikutnya
(delayed). Penanganan ini tergantung dari jaringan yang terkena trauma.4
Lamanya terjadi trauma serta timbulnya kelainan karena trauma muka perlu
diperhatikan. Pada semua penderita dengan kerusakan jaringan lunak yang terdapat
pada muka harus dibersihkan dari kotoran atau benda asing yang menempel pada
kulit. Laserasi atau luka sayat pada muka yang mungkin terdapat harus dijahit
secepatnya dan diusahakan kurang dari 24 jam.penderita dengan luka terbuka pada
muka sebaiknya diperiksa kemungkinan terdapatnya fraktur yang harus segera
dilakukan tindakan penanganan.3,4
Benda asing yang mungkin terdapat pada muka seperti pecahan batu, pecahan
gelas, maupun kotoran lainnya harus dibersihkan terlebih dahulu. Seandainya timbul
kerusakan pada jaringan lunak, dilakukan segera tindakan dermabrasi dari kulit untuk
mencegah timbulnya kelainan yang bersifat kosmetis.fraktur muka yang dilakukan
perbaikan yaitu reduksi atau fiksasi harus dilakukan pada waktu tidak lebih dari 2
minggu setelah trauma. Selain itu juga diberukan antibiotik untuk mencegah
timbulnya infeksi. Jika terjadi obstruksi jalan nafas harus dilakukan tindakan
trakheostomi secepatnya. Penderita harus dikonsultasikan ke bagian mata, radiologi,
gigi-mulut, bedah, atau radiologi.4
Penderita dengan trauma muka dapat timbul beberapa keluhan seperti:
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, dan laserasi), ekimosis pada
jaringan di bawah konjunctiva, periorbita, atau intraorbita; epistaksis anterior maupun
posterior; deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan;
gangguan pada mata, misalnya berkurangnya penglihatan, hilangnya penglihatan,
diplopia, pergeseran posisi bola mata, abrasi kornea, epifora, dan lain-lain; gangguan
saraf sensoris berupa anestesia atau hiperestesia dari cabang nervus kranial V;
gangguan saraf motorik berupa parese atau paralisis dari salah satu atau semua
cabang nervus kranialis VII; trismus, maloklusi; emfisema subkutis; krepitasi tulang
mandibula, maksila, atau hidung; keluarnya CSF (leakage); nyeri; terdapat tanda
infeksi jaringan lunak pada tempat hematom; terdapat fraktur gigi atau gigi terlepas;
adanya obstruksi hidung akibat hematom septum nasi, fraktur septum, atau dislokasi
septum.3,4,5
Gejala seperti yang disebutkan di atas mengharuskan kita melakukan
pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi pada bagian lain yang terkait,
penanganan obstruksi jalan nafas secepatnya, dan mencegah atau mengatasi syok. 4
Pola patah tulang hidung bervariasi tergantung pada arah gaya yang diberikan.
Gaya yang diberikan dari arah depan dapat menyebabkan cedera sesederhana
infracture margin yang lebih rendah dari tulang hidung (yang tipis dibandingkan
dengan berat, bagian atas) atau meratakan parah dari tulang hidung dan septum.
Splaying dari tulang hidung dengan hidung pelebaran lebar dapat terjadi.4
Gaya lateral hanya dapat menyebabkan depresi dari hidung ibsilateral tulang
atau mungkin juga cukup kuat untuk outfracture tulang hidung kontralateral. Ketika
memutar atau tekuk hidung hadir, yang patah tulang dan / atau fragmen kartilaginosa
sering kali saling bertautan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi karena mencapai
hasil yang memadai dengan teknik tertutup kemungkinan tidak mungkin dalam
situasi seperti ini. Septum sering retak dan mungkin terkilir dari puncak berkenaan
dengan rahang atas. Reduksi septum yang tepat sangat penting untuk mendapatkan
hasil optimal. Pola fraktur septum bervariasi menurut lokasi fraktur. Fraktur anterior
cenderung vertikal, sedangkan fraktur posterior biasanya berorientasi horisontal.3,4
Tekanan dari bawah dapat menyebabkan pola ketiga patah tulang. Dalam hal
ini, khususnya yang septum retak dan dislokasi. Tulang rawan yang berbentuk segi
empat sering terkilir dari puncak rahang atas.4
Pada fraktur os. nasal sederhana, dapat dilakukan perbaikan dengan anestesi
lokal. Namun, pada anak atau dewasa yang tidak kooperatif dapat dilakukan
penatalaksanaan dengan anestesi umum. Anestesi lokal dapat dilakukan dengan
pemasangan tampon lidocain 1-2% yang dicampur dengan epinephrine 1:1000% .3,4,5

Gambar : Anastesi local dengan pemasangan tampon


Tampon kapas yang berisi obat anestesi lokal ini dipasang masing-masing 3
buah di setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus superior,
persis di bawah tulang hidung. Tampon ke dua diletakkan antara konka media dan
septum, serta bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat dengan foramen
sfenopalatina. Tampon ke tiga ditempatkan antara konka inferior dan septum nasi.
Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadang-kadang diperlukan
penambahan penyemprotan lidocain spray beberapa kali melalui rinoskopi anterior
untuk memperoleh efek anestesi dan efek vasokonstriksi yang baik.3,4
Penggunaan teknik anestesi lokal yang baik dapat memberikan hasil yang
sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak
sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisiyang tidak normal.
Tindakan ini dikerjakan 1 – 2 jam setelah trauma, dimana pada waktu tersebut edema
yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal
masih dapat dilakukan sampai dengan 14 hari setelah trauma. Sesudah waktu tersebut
mungkin tindakan reduksi sulit dilakukan sehingga harus dilakukan tindakan lebih
lanjut.3,4
Terdapatnya perubahan tempat dari tulang hidung yang patah dapat
dikembalikan dengan tindakan yang sederhana saja menggunakan tenaga yang
minim. Kalau tulang hidung yang patah agak keras diperlukan tenaga yang lebih kuat.
Fraktur tulang hidung yang sulit dikembalikan pada posisi semula, mungkin tulang
tersebut tergeser sehingga diperlukan bantuan cunam Walsham. Pada penggunaan
cunam Walsham ini, satu sisinya dimaskkan ke dalam kavum nasi, sedangkan yang
lain di luar hidung, di atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan
manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari.3,4
Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam
Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi ke dalam rongga
hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forcep. Setelah fraktur hidung
dikembalikan ke keadaan semula, dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga
hidung, bisa ditambah dengan antibiotika. Garis intercanthal membatasi titik transisi
antara tulang hidung tebal bagian superior dan tulang tipis bagian inferior. Fraktur
tulang hidung banyak terjadi pada titik ini.3,4,5,6
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga
hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki
atau direkonstruksi pada saat tindakan.3,6
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi dan efek kosmetik yang baik. Tujuan dari tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang cocok. Tindakan segera ini
harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis kemungkinan
terjadinya infeksi.4,6
Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan nafas sehingga
mungkin dilakukan tindakan trakheostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur maksila
dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil, dilakukan pengikatan arteri maksilaris
interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.4
Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur
maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat
atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien
datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal
atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang
timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.4
Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila:
 Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi
 Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate
 Fiksasi dengan pin
Reduksi fraktur nasal ditunjukkan dalam setiap pasien dengan deformitas
kosmetik yang signifikan atau fungsional kompromi. Waktu terbaik untuk reduksi
mungkin berada dalam 3 jam pertama setelah cedera. Jika tidak, kebanyakan percaya
bahwa menunggu 3-7 hari adalah lebih baik. Hal ini memungkinkan memperbaiki
udem yang terjadi, dan memposisikan tulang dengan stabilitas yang lebih mungkin
lebih mudah karena peradangan dan fibrosis dapat membuat fragmen kurang dapat
bergerak saat itu. Jika reduksi tidak mungkin dalam 7-10 hari pertama, maka segmen
retak mulai membentuk jaringan fibrosa. Hal ini dapat membuat manipulasi cukup
sulit. 4

D. Komplikasi3
1. Deviasi hidung
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya.
2. Bleeding
3. Saddling
4. kebocoran cairan serebrospinal
5. komplikasi orbital

E. Penatalaksanaan
Reduksi tertutup3,4,6
Gunakan Boise lift atau instrumen serupa lainnya untuk mengurangi retak
segmen. Mengukur jarak dari tepi hidung ke nasion, dan memasukkan lift ke hidung
dengan jarak kurang dari 1 cm dari tepi hidung ke nasion.
Gambar : Cunam ash, Walsham, dan Boles

Terapkan gaya terkontrol dengan meninggikan ke arah berlawanan dari


fraktur. Hal ini sering dalam anterolateral arah. Segmen lateral yang salah posisi
dapat dikurangi secara eksternal dengan tekanan langsung. Sering kali, manuver ini
juga cukup mengurangi fraktur septum posisi terkait. Jika tidak, maka alat seperti
forseps Asch dapat digunakan dengan satu pisau di setiap lubang hidung atau dengan
satu di lubang hidung dan satu di luar lubang hidung. Hal ini kemudian digunakan
untuk mengurangi segmen retak. Berhati-hatilah untuk tidak menerapkan terlalu
banyak gaya dengan instrumen ini karena air mata dan perdarahan mukosa mudah
diproduksi.4,6
Pasien mungkin memiliki beberapa fraktur, dan beberapa cetak digital
mungkin diperlukan. Tidak semua reduksi fraktur nasal internal memerlukan
pembidaian. Jika diperlukan reduksi septum, maka splints silastic dapat ditempatkan
dan dijahit pada tempatnya. Tergantung pada mobilitas segmen dan jumlah
pendarahan, perban antibiotik dapat ditempatkan di setiap lubang hidung selama 1-5
hari. Stabilkan fraktur segmen yang bergerak untuk palpasi lembut dengan
pengepakan internal. Berhati-hatilah untuk tidak overpack hidung. Secara eksternal,
beri lapisan perekat bedah diikuti oleh bidai hidung yang kaku. Ini dibiarkan pada
tempatnya selama 1 minggu.6
Indikasinya adalah fraktur septum hidung kompleks yang menyimpang
kurang dari satu setengah dari lebar jembatan hidung.4

Reduksi terbuka4,6
Septum adalah struktur kunci yang dapat mencegah reduksi piramida hidung.
Pada pasien yang fragmen septumnya saling bertautan, ketidakmampuan untuk
mereduksi hasil septum di piramida tulang tersisa menyimpang. Pada pasien ini
diperlukan pendekatan terbuka. Prosedur-prosedur ini dilakukan di ruang operasi.
Mendekati septum melalui sayatan hemitransfixion. Angka
mucoperichondrial flaps. Akses dorsum insisi oleh intercartilaginous bilateral.
Penyingkiran dari beberapa septum mungkin diperlukan untuk memberikan
reduksi yang memadai. Sering kali, bagian inferior dari septum tersebut dipindahkan
dari lantai. Reduksi septum kemudian distabilkan terbaik oleh penahan jahitan dari 5-
0 polydioxanone dari septum caudal ke periosteum dari tulang belakang hidung.
Tutup Insisi mukosa dan luka robek dan yang mengangkat mucoperichondrial flaps
setelah reduksi.
Berhati-hati ketika meninggikan periosteum dari tulang hidung karena segmen
yang retak dapat menjadi tidak stabil atau hilang. Untuk alasan ini, pendekatan
konservatif piramida dibenarkan. Pengepakan dan perawatan pasca-operasi yang
sama seperti yang dijelaskan untuk reduksi tertutup.
Fraktur tulang hidung tanpa malposisi memiliki prognosis yang sangat baik,
biasanya penyembuhan tanpa cacat kosmetik atau fungsional. Pada fraktur dengan
malposisi, bahkan setelah dilakukan reduksi tertutup, sering meninggalkan kelainan
kosmetik dan deviasi septum, dan mengharuskan dilakukannya rinoplasti dan/atau
septoplasti.
Deviasi
Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty.
Selain itu seiring dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat
dilakukan rhinoplasty. Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2 macam:
a. Augmentasi rhinoplasty : penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan tidak
boleh menambahkan injeksi silicon. Yang boleh digunakan adalah bahan dari
luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari dalam tubuh sendiri misal tulang
rawan, flap kulit/dermatograft.
b. Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.

Bleeding
Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan
nasal packing atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri
sphenopalatine atau arteri ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya
diidentifikasi dan jika dari sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan
ketika arteri dibebaskan dari segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing
(balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi bleeding setelah fraktur ethmoidal maka
dilakukan ‘clip’ dengan ethmoid eksternal yang sesuai.

Saddling
Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk
meng’extract’ tulang nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang
nasal yang disebabkan fraktur laybirith ethmoidal.

Kebocoran cairan serebrospinal


Ini jarang terjadi. Ini hanya akan terjadi jika fragmen tulang menginsersi ke
dalam area dural tear (air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang
dilakukan dengan craniotomy frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa
terjadi karena komplikasi dari meningitis sehingga perlu diobservasi kondisi pasien
post trauma dan periode discharge. Penanganan dengan antibiotic prophylactic perlu
dilakukan.

Komplikasi orbital
Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Frey R, Gale T. Nasal Trauma. [online] 2006 [cited 2010 November 14];
Available from : URL : http://www.healthline.com/galecontent/nasal-trauma
2. Subarkah A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis Edisi 0.9. [pdf] hal 1-12
[cited 2010 November 14]
3. Munir M, Widiarni D, Trimatani. Trauma Muka. Dalam : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher (edisi 6). Jakarta : FKUI; 2007. Hal. 200-2.
4. Danastri N. Fraktur Os. Nasal dan Fraktur Dinding Sinus Maksila Bilateral pada
Pasien Laki-laki dengan Udem Cerebri . Temanggung : 2010
5. Wilson K.S. Trauma Rahang-Wajah. Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT
(edisi 6). Jakarta : EGC; 1994. Hal. 513.
6. Perkins S.W, Dayan S.H. Management of Nasal Trauma. Indianapolis : 202
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Memang di negara ini, kasus kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas
merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke.
Menurut data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan
mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami
luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi
40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Adapun di Sulawesi
Selatan, jumlah kecelakaan juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah
korban mencapai 1717 orang, tahun 2002 sebanyak 2.277 orang, 2003 sebanyak 2.672
orang, tahun 2004 jumlah ini meningkat menjadi 3.977 orang, tahun 2005 dari Januari
sampai September jumlah korban mencapai 3.620 orang dengan korban meninggal 903
orang.
Trauma yang terjadi kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari
organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda
tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala,
fraktur (patah tulang), dan trauma dada.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh tekanan dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi
jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur nasal adalah
jenis trauma wajah yang paling sering terjadi. Posisinya yang berada di tengah dan proyeksi
anterior pada wajah menjadi faktor predisposisi terjadinya trauma. Fraktur nasal disebabkan
oleh trauma dengan kecepatan rendah. Fraktur nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang
tinggi bisa menyebabkan fraktur wajah.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum

1.2.2 Tujuan khusus


1.2.2.1
1.2.2.2
1.2.2.3

1.3 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

1.4 Sistematika Penulisan


BAB I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis

BAB III : Penutup


Berisikan kesimpulan dan saran

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontunuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan bahkan kontraksi otot
eksterm. (Keperawatan Medikal Bedah vol. 3, Brunner dan suddarth ,2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
ruda paksa (Mansjoer et al, 2000).
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika disebabkan
oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah biasanya Le Fort
tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera leher atau kepala.
Fraktur nasal adalah fraktur pada os nasal akibat adanya ruda paksa.

2.2 Anatomi Fisiologi Hidung


Hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian ekstrnal menonjol dari wajah
dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior (lubang hidung) merupakan
ostium sebelah luar dari rngga hidung.
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung
kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing
rongga hidung dibagi menjadi tiga saluran oleh penonjolan turbinasi (juga disebut konka)
dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak
mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus
oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke
nasofaring oleh gerakan silia.
Udara yang melewati kavitas nasalis dihangatkan dan dilembapkan, sehingga udara yang
mencapai paru akan hangat dan lembap. Bakteri dan partikel dari polusi udara terperangkap
oleh mukus; silia secara berkesinambungan mendorong mukus menuju faring. Kebanyakan
mukus ini akan ditelan, dan bakteri yang ada akan dihancurkan oleh asam HCl dalam getah
lambung.
Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Hidung
bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaksi terletak dalam
mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
Sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat dalam os maksilaris, frontalis,
sfenoidalis, dan etmoidalis. Sinus ini dilapisi oleh epitel bersilia, dan mukus yang diproduksi
akan dialirkan menuju kavitas nasalis. Funsi sinus paranasalis adalah meringankan tengkorak
dan menciptakan resonansi untuk suara.

2.3 Jenis – jenis Fraktur Hidung


2.3.1 Fraktur hidung sederhana
Jika fraktur dari tulang hidung, dapat dilakukan perbaikan dari fraktur tersebut dengan
anastesi local.
2.3.2 Fraktur Tulang Hidung Terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung dan
disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
2.3.3 Fraktur Tulang Nasoetmoid
Fraktur ini merupakan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal pars maksila dan
prosesus nasal pars frontal. Fraktur tulang nasoetmoid dapat menyebabkan komplikasi
2.4 Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
2.4.1 Mendapat serangan misal dipukul,atau terjatuh
2.4.2 Injury karena olah raga
2.4.3 Kecelakaan (personal accident)
2.4.4 Kecelakaan lalu lintas

2.5 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar
dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung
2.6.2 Pada perabaan dirasakan nyeri
2.6.3 Pembengkakan jaringan lunak yang berdekatan dengan hidung
2.6.4 Epistaksis
2.6.5 Krepitasi

2.7 Komplikasi
2.7.1 Deviasi hidung
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya.
2.7.2 Bleeding
2.7.3 Saddling
2.7.4 Kebocoran cairan serebrospinal
2.7.5 Komplikasi orbital

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Oedem, hematoma, laserasi, robek atau perdarahan ( epistaksis )
2.8.2 Deformitas : cekungan atau hidung bengkok
2.8.3 Fraktur tulang (+) krepitasi ( baru )
2.8.4 Setelah 2 – 3 hari terjadi edema
2.8.5 Pemeriksaan tambahan
a. Dari pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan deformitas pada hidung, deviasi
septum nasi dan nyeri tekan hidung.
b. Dari pemeriksaan water positions, pada foto cranium anteroposterior, foto nasale
lateral, didapatkan kesan fraktur os nasal dengan aposisi et alignment baik dan tidak tampak
pembesaran chonca nasalis bilateral.

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan Penanganan Fraktur Hidung
a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d. Menjaga keutuhan rongga hidung
e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan
bentuk punggung hidung
f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung

2.9.2 Penatalaksanaan Medis


a. Deviasi
Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu
seiring dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan
rhinoplasty. Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2 macam :
§ Augmentasi rhinoplasty
Penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan tidak boleh menambahkan injeksi
silicon. Yang boleh digunakan adalah bahan dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan
dari dalam tubuh sendiri misal tulang rawan, flap kulit/dermatograft.
§ Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
b. Bleeding
Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan nasal packing
atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri sphenopalatine atau arteri
ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya diidentifikasi dan jika dari
sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan ketika arteri dibebaskan dari
segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing (balutan). Jika arteri ethmoidal masih
terjadi bleeding setelah fraktur ethmoidal maka dilakukan ‘clip’ dengan ethmoid eksternal
yang sesuai.
c. Saddling
Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk mengekstrak
tulang nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang nasal yang disebabkan
fraktur laybirith ethmoidal.
d. Kebocoran cairan serebrospinal
Ini jarang terjadi. Ini hanya akan terjadi jika fragmen tulang menginsersi ke dalam area dural
tear (air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang dilakukan dengan craniotomy
frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa terjadi karena komplikasi dari
meningitis sehingga perlu diobservasi kondisi pasien post trauma dan periode discharge.
Penanganan dengan antibiotic prophylactic perlu dilakukan.
e. Komplikasi orbital
Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.
Anamnesis + pemeriksaan fisik
· Pasca trauma
· Deformitas
· Epitaksis
· Tensi normal/turun TRAUMA TERTUTUP
· Tidak ada edema reposisi segera
· Edema reposisi setelah edema hilang
TINDAKAN SEGERA
Bebaskan jalan napas
TRAUMA HIDUNG Hentikan perdarahan
Infuse bila perlu

TRAUMA TERBUKA
Pemeriksaan penunjang eksplorasi dan reposisi
· Foto rontgen tulang hidung
· CT scan bila perlu

2.9.3 Reposisi fraktur nasal


Reposisi fraktur nasal adalah tindakan melakukan pengembalian dari fragmen tulang nasal
yang mengalami patah tulang kembali ke kedudukan semula.
Indikasi operasi : deformitas
Kontra indikasi operasi : Tidak ada kontra indikasi operasi fraktur nasal
Diagnosis banding : Fraktur naso etmoidalis kompleks
Fraktur maksila
Pemeriksaan penunjang : foto nasal, untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan
foto waters
Menjelang operasi :
a. Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan
dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan
dari penderita untuk dilakukan operasi (Informed consent).
b. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Instrumen yang
digunakan untuk reduksi tertutup adalah elevator Boies atau Ballenger, forcep Asch dan
Walsham.
c. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi .
d. Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis
menyesuaikan untuk profilaksis.

2.9.3.1 Tekhnik operasi


a. Reduksi tertutup
Pembiusan dengan anestesi umum. Posisi pasien terlentang, dikerjakan di kamar operasi
dengan anestesi general atau lokal. Disinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitan-
alkohol 70% 1:1000. Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril.
b. Reduksi Terbuka
Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang dengan kepala
sedikit ekstensi. Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane dalam alkohol 70% 1:
1000, seluruh wajah terlihat. Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril

2.9.3.2 Komplikasi operasi


Komplikasi awal :
a. Hematoma
Hematom cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya hematom septal
pada setiap kasus trauma septal karena kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga
kartilago septal hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus
dicurigai jika didapati nyeri dan pembengkakan yang menetap; komplikasi ini perlu
diperhatikan pada anak-anak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah reakumulasi
darah pada tempat hematom.
b. Epitaksis
Epistaksis biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu dikauter, tampon nasal
atau ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi arteri etmoid anterior,
cabang dari arteri optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri
etmoid posterior atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral, dan mungkin perlu
ligasi arteri maksila interna untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak
perlu terlalu banyak, karena dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang
mengalami trauma sehingga menyebabkan nekrosis.
c. Infeksi
Infeksi tidak umum terjadi, tapi antibiotik profilaksis penting untuk pasien yang mempunyai
penyakit kelemahan kronis, immuno-compromised dan dengan hematom septal.
d. Kebocoran liquor
Kebocoran liquor jarang dan disebabkan fraktur ‘cribriform plate’ atau dinding posterior
sinus frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya
terjadi penutupan spontan. Konsultasi bedah saraf.
Komplikasi lanjut :
Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas sekunder,
synechiae, hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi ini
adalah dengan mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.

2.9.3.3 Perawatan Paska bedah


a. Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari
b. Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian .
c. Analgetika diberikan kalau perlu
d. Penderita sadar betul boleh minum sedikit , sedikit
e. Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu )
f. Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
g. Rawat luka pada hari ke 2 – 3 , angkat jahitan hari ke-7.
2.10 Asuhan Keperawatan
2.10.1 Pengkajian
Hidung diperiksa ke dalam untuk menyingkirkan kemungkinan dimana cedera dapat
diperburuk oleh fraktur septum nasal dan adanya hematoma submukosa septal. Jika terjadi
hematoma dan tidak dialirkan, hematoma ini pada akhirnya akan menjadi abses yang
menghancurkan kartilago septum. Deformitas pelana hidung akan terjadi.
Segera setelah cedera biasanya terjadi perdarahan banyak dari hidung eksternal dan
internal ke dalam faring. Terdapat pembengkakan yang jelas pada jaringan lunak yang
berdekatan dengan hidung dan seringkali deformitas tertentu. Oleh karena pembengkakan
dan perdarahan, diagnosis yang akurat dapat ditegakkan hanya setelah pembengkakan
menghilang.
Cairan jernih yang mengalir dari salah satu nostril menandakan fraktur lempeng
kribrifomis dengan kebocoran cairan serebrospinal. Karena cairan serebrospinal
mengandung glukosa, cairan ini dapat dengan mudah dibedakan dari mukus hidung dengan
menggunakan dipstick. Biasanya, inspeksi dan palpasi yang cermat akan menemukan setiap
deviasi tulang atau gangguan pada kartilago hidung dan membantu menyingkirkan
perluasan fraktur ke dalam tulang tengkorak.

2.10.2 Diagnosa Keperawatan


Pre operasi :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan deformitas tulang

Post operasi :
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
3. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan injury/trauma dan pembedahan.
2.10.3 Intervensi Keperawatan
Perawat menginstruksikan klien untuk memasang kantung es pada hidung selama 20 menit
sebanyak 4 kali sehari sampai pembengkakan menghilang. Pasien yang mengalami
perdarahan dari hidung (epitaksis) karena cedera untuk alasan yang tidak jelas biasanya
ketakutan dan gelisah. Penggunaan sumbatan untuk menghentikan perdarahan biasnya
tidak nyaman; obstruksi jalan napas nasal oleh penyumbat mendorong pasien untuk
bernapas melalui mulut. Hal ini menyebabkan membran mukosa mulut menjadi kering. Bilas
mulut kan membantu melembabkan membran mukosa dan untuk mengurangi bau serta
rasa dari darah yang mengering dalam orofaring dan nasofaring

Anda mungkin juga menyukai