Anda di halaman 1dari 11

Menyelami Papua

Berhadapan langsung dengan sang raksasa Gurano


Bintang di Teluk Cenderawasih

Rona senja di Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua Barat. Taman Nasional seluas
1.453.500 hektare ini adalah rumah bagi 456 spesies karang, 877 spesies ikan karang,
dan juga hiu paus. Hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih
adalah perairan laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Tak jauh dari desa yang terletak di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih,
hiu paus kerap menyambangi bagan nelayan untuk melahap ikan puri sisa tangkapan
yang dibuang kembali ke laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Daud dengan lincah memanjat pohon kelapa yang condong ke laut di Desa Kwatisore.
(Yunaidi/National Geographic Indonesia)


Perahu bermesin ganda dengan laju membelah perairan sebening kaca menuju
Kwatisore. Desa ini bisa ditempuh melalui jalur darat dan laut dari Kota Nabire,
namun pengunjung biasanya lebih memilih menggunakan perahu membelah laut
dengan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan untuk mencapainya.
(Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Dengan panjang mencapai empat meter, seekor hiu paus berenang tak jauh dari bagan
nalayan di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Tak berbatas musim dan
peruntungan, perairan ini telah menjadi rumah, laboratorium, serta jendela untuk
mengenal hiu paus lebih dekat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Pondok kayu di atas pohon yang condong ke laut ini menjadi tempat terbaik untuk
meresapi kedamaian Kali Lemon sembari memandang lautan luas yang berbatasan
langsung dengan Samudra Pasifik. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nelayan dari Maros bersantai sembari menunggu senja di atas bagan.


(Yunaidi/National Geographic Indonesia)


Menyelam adalah salah satu cara terbaik untuk melihat hiu paus. Para pengunjung
akan ditemani oleh para pemandu selam berpengalaman yang merupakan penduduk
asli Desa Kwatisore. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Rona senja di Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua Barat. Taman Nasional seluas
1.453.500 hektare ini adalah rumah bagi 456 spesies karang, 877 spesies ikan karang,
dan juga hiu paus. Hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih
adalah perairan laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Tak jauh dari desa yang terletak di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih,
hiu paus kerap menyambangi bagan nelayan untuk melahap ikan puri sisa tangkapan
yang dibuang kembali ke laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)


1. 1
2. 2
3. 3
4. 4
5. 5
6. 6
7. 7
8. 8

Oleh Yunaidi

Sosok besar itu tiba-tiba menyelinap secara perlahan dalam laut biru nan gelap. Saya terdiam
sejenak sembari menahan agar tak mengeluarkan gelembung udara. Tiba-tiba saya
terperangah, dia tidak sendiri. Bersama dua kawannya, tubuh sepanjang empat meter ini
meliuk-liuk memecah keheningan laut Kwatisore. Bagaikan tawanan yang sudah dikepung,
saya terus bersiaga memperhatikan pergerakannya yang lamban. Sesekali kepalanya
mendongak ke permukaan dan mulutnya menganga lebar.
Saya berdiam dan berusaha tenang sembari membiarkan tubuh saya mengambang di dalam
laut. Saat melihat ke bawah, yang ada hanya lautan biru pekat nan dalam. Saya terus
memperhatikan gerak-gerik kawanan ini, hingga akhirnya kehadiran mereka tak lagi
menakutkan, melainkan menyenangkan.

Ini pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan si raksasa penunggu Teluk
Cenderawasih. Pola totol-totol putih dan garis di kulit yang berwarna keabu-abuan, kepalanya
lebar namun gepeng, mulutnya akan terbuka lebar saat melahap plankton ataupun ikan kecil,
serta garis insang dan sirip punggung pertama yang besar telah menjadi ciri khas ikan
terbesar di planet ini.

“Sejauh ini belum ada hiu paus yang menyerang manusia,” ujar Evi Nurul Ihsan, pemuda
yang bekerja di World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. “Meskipun begitu, usahakan
agar tetap menjaga jarak dan jangan menyentuh hiu paus,” demikian tambahnya mewanti-
wanti.

“Sejauh ini belum ada hiu paus yang menyerang manusia,” ujar Evi Nurul Ihsan, pemuda
yang bekerja di WWF Indonesia.

Kawasan yang masuk ke dalam Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini menerapkan
peraturan yang ketat bagi setiap orang yang akan berkunjung dan beraktivitas di kawasan ini.
Tujuannya agar kawasan ini tetap lestari, serta memastikan wisatawan yang berkunjung tetap
aman dalam melakukan setiap kegiatan.

Abraham Maruanaya melepas keberangkatan kami dari bibir pantai di Kota Nabire. “Saya
tidak bisa bergabung ke Kali Lemon kali ini,” ujarnya ramah. Pria yang akrab disapa Bram
ini telah bersentuhan dengan kawasan Teluk Cenderawasih sejak belasan tahun lalu.

"Tahun 2004, saya menemani tim dari National Geographic saat melakukan penyelaman di
Teluk Cenderawasih. Saat itu belum ada warga lokal di Kwatisore yang menjadi pemandu
bagi para wisatawan ataupun peneliti yang akan masuk ke kawasan Teluk Cenderawasih,”
jelasnya. “Dari pengalaman itu tercetuslah ide bagaimana kehadiran para wisatawan maupun
peneliti di kawasan ini bisa memberikan dampak positif bagi warga lokal.”

Tahun 2008, upaya Bram itu dimulai dengan mendirikan Papua Pro, sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang mengusung misi konservasi melalui kegiatan pendampingan dan
pelatihan ekowisata. Bersama-sama dengan warga Kwatisore, Bram membangun sebuah
homestay yang saat ini telah menjelma menjadi Kali Lemon Dive Resort.

Kali Lemon Dive Resort menjadi rumah singgah bagi para wisatawan ataupun penyelam
yang ingin melihat hiu paus lebih dekat. “Yero akan menemani kawan-kawan selama di
sana,” ujar Bram sembari memperkenalkan Yero.

“Tunggu ombak agak besar, barulah kita dorong perahu ini menuju laut,” teriak Daud. Kami
menggiring perahu itu menuju laut dengan bantuan ombak yang menghempas tepian pantai.
Saat ombak datang, “Ayo dorong,” teriaknya.

Saya buru-buru meloncat saat posisi perahu sudah berada pada posisi aman untuk dinaiki.
Siang itu gelombang laut cukup tinggi, namun kondisi tersebut masih aman untuk diarungi.
Daud, juru kemudi kapal ini meyakinkan kami, “Nanti kalau sudah di tengah laut, ombaknya
biasanya tak setinggi ini,” teriaknya di antara lengkingan dua mesin kapal yang masing-
masing berkekuatan 40 PK.

Kali Lemon terlalu mahal untuk disia-siakan. Tempat ini jauh dari ingar-bingar kendaraan
yang memekakkan telinga.

Caranya mengemudikan perahu berhasil mengocok perut, memacu adrenalin, dan sukses
membuat kami berteriak karena manuver yang nekat. Dua jam perjalanan laut dari Nabire ke
Kali Lemon sungguh sangat menyenangkan.

Laut sedang pasang sore itu. Hempasan gelombang menghantam keras tepian pantai tempat
perahu kami akan bersandar. Kami datang di saat bulan sedang penuh. “Saat purnama
gelombangnya memang tinggi seperti ini,” ujar Yance, warga Kwatisore yang bertanggung
jawab mengelola Kali Lemon Dive Resort.

Saat menginjakkan kaki di Kali Lemon, saya mulai terasing dari dunia luar. Satu-satunya cara
kami agar tetap tersambung dengan orang-orang adalah menggunakan radio. “Tak ada sinyal
telepon seluler di sini,” ujar Yance.

“Tak apa-apa. Hidup lebih tenang dan menyenangkan tanpa sinyal,” saya mensyukuri apa
yang Yance ucapkan.

Kali Lemon terlalu mahal untuk disia-siakan. Tempat ini jauh dari ingar-bingar kendaraan
yang memekakkan telinga. Alih-alih mendengar desingan knalpot, kuping saya malah
dimanjakan oleh hempasan ombak yang pecah di tepian pantai. Udara disini sangat sempurna
dibandingkan dengan udara jalanan Jakarta yang penuh dengan racun. Bagi pencari
ketenangan dan kedamaian, sepertinya tempat ini boleh diletakkan di urutan teratas setelah
Tanah Suci.

Saya melepas penat sembari berbaring di kursi kayu. Di hadapan saya, laut luas yang
berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik menyisakan pemandangan garis tepi bumi.

Sebagai taman nasional laut terluas di Indonesia, hampir 90 persen kawasan Taman Nasional
Teluk Cenderawasih adalah perairan laut.

Nabire menjadi salah satu gerbang masuk ke kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Taman Nasional seluas 1.453.500 hektare ini memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat
endemisitas yang tinggi. Sedikitnya ada 456 spesies karang dan 877 spesies ikan karang di
kawasan ini. Sekitar 42 satwa berstatus dilindungi. Sebagai taman nasional laut terluas di
Indonesia, hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah perairan
laut.

Perairan Kwatisore di Distrik Yaur merupakan satu dari segelintir tempat di dunia yang bisa
melihat hiu paus dari dekat. “Hampir sepanjang tahun hiu paus hadir di sini,” ujar Evi Nurul
Ihsan. “Saat bulan purnama, hiu paus jarang muncul. Tapi berdoa saja, kadang keberuntungan
berbanding terbalik dengan purnama,” tambahnya.

Hiniotanibre adalah sebutan bagi hiu paus dalam Bahasa Yaur, atau warga lokal di Kwatisore
biasa menyebutnya dengan gurano bintang karena totol-totol putih pada kulitnya nan gelap
bak bintang-bintang di malam hari. Masyarakat lokal menganggap hiu paus sebagai hantu
laut.

Sebelum pariwisata marak di Kwatisore, masyarakat lokal sangat takut dengan hiu paus. Tak
jarang mereka mematikan mesin perahu atau berdiam saat berpapasan dengan hiu paus di
tengah laut. Kearifan lokal berhasil melindungi hiu paus (Rhicodon typus) yang masuk ke
dalam daftar merah untuk spesies terancam oleh International Union for Conservation of
Nature (IUCN) dengan status rentan. Di Indonesia sendiri, hiu paus ini telah dilindungi sejak
tahun 2013 sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga populasinya di perairan
Indonesia.

Ukuran hiu paus yang hadir di Teluk Cenderawasih pun beragam. Namun dari total 121 hiu
paus yang sudah dicatat oleh WWF Indonesia, mayoritas yang hidup di Taman Nasional
Teluk Cenderawasih adalah jantan dengan panjang rata-rata 4,4 meter.

“Hiu paus ini biasanya mencapai usia matang gonad pada umur 30 tahun. Ukuran jantan pada
usia matang biasanya berkisar antara 8-9 meter, sedangkan betina biasanya diatas 10 meter,”
ujar Evi menjelaskan. “Namun mereka bisa hidup hingga umur 100 tahun,” tambahnya.

Saya melepaskan udara yang tersimpan dalam Bouyancy Compensator Device (BCD).
Perlahan-lahan tubuh saya tenggelam semakin menjauh dari gerombolan hiu paus yang
sedang berebut ikan puri dari bagan milik nelayan. Meskipun bertubuh tambun, hiu paus
hanya memakan plankton, cumi-cumi kecil, dan ikan kecil.

Kebiasaan nelayan yang membuang sebagian hasil tangkapannya ke laut telah mengundang
hiu paus untuk mendekati bagan untuk mencari makan. Kondisi ini menjadi salah satu faktor
kenapa hiu paus mudah ditemukan di perairan Kwatisore.

Dari kedalaman 12 meter, saya melihat siluet hiu paus nan indah. Kedalaman yang sempurna
untuk melihat hiu paus secara utuh. Saya mempertahankan kedalaman itu selama beberapa
saat sebelum kembali ke permukaan.

Buddy diver saya, yang sedari tadi berenang liar, mengacungkan jempol ke atas, pertanda
penyelaman sudah harus diakhiri. Namun, saya masih berhutang padanya, sebuah foto dari
kedalaman yang menampilkan dirinya dan hiu paus gagal saya abadikan dengan baik.

Alih-alih mengabadikan fotonya bersama hiu paus, saya lebih memilih menikmati suasana
nan sempurna di kedalaman laut. Perjumpaan yang mahal ini kadang tak harus diabadikan
dalam bingkai foto. Dalam momen tertentu saya hanya ingin menyimpannya dalam ingatan.

Upaya pelestarian dan ekowisata yang berwawasan lingkungan dengan melibatkan seluruh
pihak untuk saling bekerja sama bisa menjadi salah satu cara agar hiu paus serta kawasan
Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini tetap lestari. Setidaknya, generasi setelah kita tidak
hanya mengenangnya lewat bingkai foto, tetapi dari pengalaman langsung yang membekas
dalam ingatan.

Semoga!

Anda mungkin juga menyukai