Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Review Article
Somatoform Disorders in Children and Adolescents
Oleh:
Karina Winda Besufi 21504101016
Triari Nizuar 21504101025
Rista Eka Suciwulansari 21504101026
Angga Wahyu Pratama 21504101041
Hilda Nur Ainia 21504101049
Pembimbing:
dr. Anna Purnamasari, Sp.KJ.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
kepada penyusun sehinggaJournal Reading yang berjudul “Somatoform Disorders in
Children and Adolescents” ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang diharapkan.
Tujuan penyusunan makalah journal reading ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan
penyakit pada bidang ilmu jiwa khususnya gangguan somatoform pada anak-anak dan
remaja. Penyusun menyampaikan terima kasih kepada pembimbing kami,dr. Ana
Purnamasari,Sp.KJ. atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada kami
selama proses pembuatan journal reading ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan journal reading ini belumlah sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini.
Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga journal reading ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan
lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar .................................................................................................1
Daftar Isi ..........................................................................................................2
BAB I : ISI JURNAL
1.1 Judul.........................................................................................................3
1.2 Abstrak.....................................................................................................3
1.3 Pendahuluan.............................................................................................3
1.4 Klasifikasi ................................................................................................4
1.5 Epidemiologi ...........................................................................................5
1.6 Gambaran Klinis ......................................................................................5
1.6.1 Gangguan Somatisasi .....................................................................6
1.6.2 Gangguan Rasa Sakit Somatoform Persisten .................................6
1.6.3 Gangguan Somatoform yang Tidak Berdeferensiasi ......................7
1.6.4 Hipokondriasis ................................................................................7
1.6.5 Gangguan Tubuh Dismorfik ...........................................................8
1.7 Skrining ...................................................................................................8
1.8 Komorbiditas ...........................................................................................9
1.9 Penatalaksanaan .......................................................................................9
1.9.1 Strategi Manajemen Umum ............................................................9
1.9.2 Strategi Manajemen Khusus .........................................................10
1.10 Penatalaksanaan ....................................................................................13
BAB II : TELAAH JURNAL .........................................................................14
BAB III: TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................20
Daftar Pustaka .................................................................................................40
Lampiran Jurnal
2
JOURNAL READING
BAB I
ISI JURNAL
1.1. Judul
Gangguan Somatoform pada Anak-Anak dan Remaja.
1.2. Abstrak
Kelainan somatoform adalah salah satu kelainan psikiatri yang bisa terjadi
pada anak-anak dan remaja. Gangguan somatoform pada anak- anak dan remaja
menyebabkan gangguan fungsi pendidikan dan sosial dan menghasilkan banyak
gangguan psikososial lainnya. Pasien dengan kelainan ini datang berobat ke
bagian medis umum daripada ke bagian psikiatri. Rujukan awal pada bagian
kesehatan mental sangat diperlukan untuk menghindari penundaan ataupun
pemeriksaan lainnya yang tidak perlu untuk mendiagnosis somatoform pada anak.
1.3. Pendahuluan
Sampai saat ini etiologi somatoform belum diketahui. Gejala fisik medis pada
anak-anak dan remaja yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terjadi 50% pada
pasien rawat jalan. Anak-anak dan remaja kebanyakan sulit untuk
mengungkapkan perasaan dan emosi mereka melalui bahasa sehingga apabila ada
tekanan psikologis kebanyakan di munculkan sebagai gejala pada fisik (gejala
somatik). 2%-10% anak mengeluhkan sakit dan nyeri (misalnya: sakit perut, nyeri
sendi, sakit kepala) yang cenderung secara medis tidak jelas penyebabnya.
Gangguan somatoform ditandai dengan banyak gejala (gastrointestinal, nyeri,
seksual, pseudo neurolokal). Gejala tersebut berulang namun tidak dapat
dijelaskan secara medis ataupun akibat suatu zat. Kerusakan fungsional dapat
3
terjadi pada anak-anak dengan gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan pada
usia berapapun dan pada berbagai tingkat keparahan, maupun dari segi gejalanya
hal ini cenderung berhubungan dengan masalah psikologis. Ada yang mengatakan
bahwa pada anak- anak yang masih sangat muda (usia sekolah) yang sering
mengalami gejala somatik lebih beresiko dibandingkan dengan anak- anak yang
tidak bergejala terutama yang memiliki masalah perilaku dan emosional. Anak-
anak yang seperti ini kemungkinan juga bisa mengalami gejala fisik lebih lanjut
dan kesulitan psikologis pada masa anak-anak maupun remaja. Pasien dengan
gejala seperti itu akan menjadi beban pada sistem pengiriman layanan kesehatan,
menjadi sering rawat inap berulang, sering konsultasi pada spesialis yang
berbeda-beda sehingga menjadi tidak efektif untuk pemeriksaan dan
penatalaksanaannya.
1.4. Klasifikasi
Kriteria diagnostik untuk gangguan somatoform sebenarnya digunakan untuk
pasien dewasa namun diterapkan pada anak-anak karena masih kurangnya Basis
Penelitian dan Perkembangan khusus anak. Perbedaan bentuk kelainan
somatoform yang ditemukan pada anak- anak dan remaja bermacam-macam dan
namun gejala klinisnya masih mirip pada penderita dewasa. ICD-10 membagi
kelainan ini dalam gangguan somatisasi, gangguan somatoform yang tidak
berdiferensiasi, gangguan hypokondriakal, somatoform fungsional disorder,
gangguan nyeri somatoform persisten dan bentuk gangguan somatoform.
Gangguan lainnya yang memiliki somatisasi yaitu gangguan disosiatif (conversion
disorder pada DSM-IV-TR) dan neurastenia (Fatigue sindrom) dikategorikan
secara terpisah dalam ICD 10. Dari semua gangguan somatoform ini yang paling
sering terihat pada anak-anak dan remaja adalah gangguan nyeri somatoform
persisten. Baru-baru ini DSM-V (American Psychiatric Association 2013)
menyatakan kelainan somatoform sekarang disebut gejala somatik dan gangguan
terkait. Diagnosis ganguan somatisasi, hipokondriasis, gangguan nyeri dan
somatoform yang tidak berdiferensiasi telah dihapus dalam DSM-V. Di DSM-V
orang- orang dengan nyeri kronis bisa didiagnosis dengan gejala somatik dengan
predominan nyeri atau faktor psikologis afek lainnya. Gangguan somatisasi dan
4
somatoform yang berbeda bergabung menjadi kelainan gejala somatik, sebuah
diagnosis yang tidak termasuk dalam sebuah gejala spesifik somatik.
1.5. Epidemiologi
Prevalensi atau kejadian somatoform secara tepat sedikit sekali diketahui.
Gangguan somatoform pada anak-anak dan remaja berbeda. Namun epidemiologi
keluhan somatik pada umumnya, karena faktor psikosomatik dan gejala medis
yang tidak dapat dijelaskan. Dalam studi rawat jalan anak-anak psikiatri tingkat
keluhan somatik berkisar antara 1,3% hingga 5%. Dalam sebuah studi populasi
umum,keluhan somatik ditemukan pada 11% anak perempuan dan 4% anak laki-
laki.
Kebanyakan rasa sakit dan gangguan yang tidak berdiferensiasi dimulai pada
masa anak-anak atau awal masa remaja. Gejala abdomen meningkat ferkuensinya
dari usia 3 sampai 9 tahun dan cenderung meningkat saat remaja. Sakit kepala
pada usia pre sekolah lebih sering terjadi pada anak yang usianya lebih tua atau
remaja. Pada perempuan, nyeri terjadi pada onset umur 11-19 tahun, dimana jika
pada laki-laki onset terjadinya dibawah usia 13 tahun. Prevalensi gejala dengan
somatisasi pada populasi pediatrik adalah tinggi. Sakit perut 5% dari pediatrik,
dan sakit kepala terjadi 20% hingga 55% pada semua anak, dengan 10% remaja
yang dilaporkan mengalami sakit kepala, nyeri dada,mual dan lemah.
Gejala somatik dan kelainan somatoform umumnya terjadi lebih sering pada
wanita daripada laki-laki dengan rasio perbandingan 5:1. Studi pada anak
prapubertas melaporkan rasio laki-laki dan perempuan seimbang; pada post
pubertas, wanita lebih sering. Pada mayoritas kasus perempuan ditemukan gejala
meningkat saat remaja awal, sementara tingkat resiko pada anak laki-laki usia ini
rendah. Karena itu dengan bertambahnya usia kejadian pada anak laki-laki akan
meningkat. Dan dilaporkan lebih sedikit gejala fisik. Populasi yang modern atau
kurang pendidikan mempunyai resiko lebih rendah.
5
somatik yang paling umum adalah nyeri perut berulang, nyeri muskuloskeletal
dan sakit kepala, namun banyak gejala lain yang dapat menyertai.
6
banyak terjadi pada anak perempuan, dan menyumbang 2-4% kunjungan ke
dokter anak (Dufton et al., 2009). Ada hubungan yang kuat antara nyeri perut
berulang dan kecemasan pada anak-anak. Prevalensi seumur hidup gangguan
kecemasan pada anak-anak dengan nyeri perut berulang secara subtil lebih tinggi
daripada harapan pada populasi umum. Studi menunjukkan bahwa orang tua yang
berurusan dengan sakit perut recuurent menilai anak-anak mereka secara
signifikan lebih tinggi daripada anak-anak yang sehat dengan ukuran kecemasan,
masalah afektif, dan gejala somatik.
1.6.4. Hipokondriasis
Keasyikan dengan ketakutan memiliki atau gagasan bahwa seseorang
memiliki penyakit serius berdasarkan salah tafsir terhadap gejala tubuh.
Keasyikan ini tetap ada meski ada evaluasi medis dan kepastian yang tepat.
Hipokondriasis dibedakan dengan seperangkat keyakinan dan sikap tentang
penyakit. Ada literatur pendukung buruk untuk hypochondriasis sebagai kelainan
masa kecil, dan ini lebih sering terlihat pada masa remaja dan dewasa. Pasien
dengan hypochondriasis telah ditemukan memiliki korelasi tinggi dengan gejala
depresi, kecemasan, dan somatik. OCD komorbid adalah umum, dengan
prevalensi OCD 8% seumur hidup pada orang dengan hypochondriasis
(dibandingkan dengan 2% pada populasi umum). Individu dengan gangguan ini
sering menjadi pengguna layanan medis namun sering melaporkan ketidakpuasan
dengan perawatan yang mereka terima.
7
1.6.5. Gangguan Tubuh Dismorfik
Kelainan tubuh dismorfik didefinisikan sebagai keasyikan dengan cacat yang
dibayangkan dalam penampilan atau kekhawatiran berlebihan terhadap anomali
fisik sedikit. Preoccuation yang menekan mungkin melibatkan bagian tubuh
manapun, namun paling sering melibatkan bayangan wajah atau kepala seperti
jerawat, bekas luka, rambut yang menipis, asimetri wajah, atau rambut wajah
yang berlebihan. Ada sedikit tulisan mengenai hal ini. Gangguan pada anak dan
remaja karena sebagian besar pasien bersekongkol mengenai gejala mereka dan
enggan mencari pengobatan psikiatri. Onset sering terjadi selama masa remaja,
dengan rasio laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak seperti banyak
gangguan somatoform lainnya. Banyak dari pasien ini telah melakukan konsultasi
dengan ahli bedah dan dokter kulit dan sering mencari operasi kosmetik namun
mereka adalah kandidat yang buruk karena mereka tidak mungkin puas dengan
keputusan resulst. Sebagian besar individu dengan gangguan dismorfik tubuh
melaporkan riwayat penganiayaan anak-anak, termasuk pelecehan fisik, seksual,
dan emosional dan kelalaian fisik. Gangguan kejiwaan komorbid meliputi tetapi
tidak terbatas pada depresi, gangguan obsesif kompulsif (OCD), fobia sosial,
gangguan delusional, anoreksia nervosa, gangguan identitas gender. BDD juga
dikaitkan dengan tingkat keinginan dan usaha bunuh diri yang tinggi, dengan 24-
28% telah mencoba bunuh diri.;lk
1.7. Skrining
Wawancara psikiatri merupakan kunci untuk mendiagnosis gangguan ini.
Beberapa skala penilaian untuk anak-anak telah dikembangkan untuk membantu
dalam penilaian kelompok gejala fisik dan somatisasi. Children Somatization
Inventory (CSI) adalah pengukuran 35 jenis dilapokan sendiri dengan versi orang
tua dan anak. Skrining ini memberikan informasi tentang gejala somatik pediatrik
selama 2 minggu sebelum pemeriksaan dan dapat digunakan pada anak – anak
berusia 7 tahun. Functional Disability Inventory (FDI) dapat digunakan bersama
dengan CSI untuk menilai keparahan gejala.Illnes Attitude Scale dan Soma
Assessment Interview (SAI) adalah kuesioner wawancara orang tua.
8
1.8. Komorbiditas
Komorbid gangguan kejiawaan dapat mendahului perkembangan gejala
somatik, tetapi sering berkembang selama gangguan somatoform. Diantara anak –
anak yang menghadiri layanan, sepertiga sampai setengah memiliki komorbid
gangguan kejiwaan. Pada anak usia sekolah, kegelisaan dan depresi merupakan
komorbiditas paling umum. Komorbid Attention Defisit Hyperactivity Disorder
(ADHD) dan Oppositional Defiant Disorder (ODD) juga sering terjadi, terutama
pada anak laki-laki. Gangguan somatik terjadi dua kali lebih banyak pada anak–
anak dan remaja yang memenuhi kriteria pada DSM-IV untuk depresi dibanding
subyek kontrol, dengan gejala somatik yang timbul selama 4 tahun setelah onset
depresi. Gangguan kecemasan (contohnya, separation anxiety, gangguan stress
post-trauma) dapat bersamaan dengan keluhan somatik (contohnya, sakit kepala,
sakit perut, mual, muntah). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan gangguan
kejiwaan (misalnya, kecemasan, depresi) pada pasien anak–anak dengan gejala
medis yang tidak dapat dijelaskan.
1.9. Penatalaksanaan
1.9.1. Strategi Manajemen Umum
Beberapa strategi yang dapat membantu :
- Berusahalah untuk memberikan pengertian keluarga tentang penyakit yang
diderita, pengertian tentang penyebab fisik, dan pandangan tentang
rujukan dan perawatan kesehatan mental.
- Jangan mempertanyakan realitas gejalanya.
- Menyatakan dengan jelas bahwa pasien yang memiliki penyakit mental
akan mempengaruhi kehidupan mereka dan berdampak pada keluarga
- Belajar lebih luas dalam hal penjelasan alternatif untuk gejalanya.
- Lebih banyak mendiskusikan masalah fisik yang menenangkan keluarga
dan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
- Diskusikan sepenuhnya mekanisme fisiologis yang berkontribusi terhadap
gejala,
- Jangan menyampaikan sesuatu yang membuat malu keluarga saat
berbicara mengenai diagnosa gangguan somatoform atau diagnosis
psikiatri lainnya.
9
- Tekankan bahwa mungkin perlu waktu untuk pemulihan, tetapi pada
remaja berjalan sangat baik.
- Bantu keluarga dan anak mengembangkan cara mengatasi gejala dan
mengurangi gangguan fungsional.
10
somatisasi. Jadi MBCT layak dijadikan sebagai salah satu pilihan yang bisa
dipakai pasien dengan perawatan medis persisten yang tidak bisa dijelaskan di
pelayanan primer.
Intervensi psikoterapi dibandingkan CBT (seperti: terapi interpersonal, terapi
pemecahan masalah, terapi psikodinamik) merupakan terapi yang sama baiknya
dengan terapi yang dianggap tradisional “psikologis” (seperti: optimalisasi
analgetik, pemakaian program self-manajemen nyeri) stufi lanjutan yang pantas
digunakan untuk gangguan somatoform.
Beberapa percobaan kontrol menilai efikasi beberapa antidepresan pada
gangguan somatoform dewasa yang telah dilakukan. Selama 12 minggu, studi
multicenter, randomized, dan double blind mengevaluasi efikasi dan toleransi
perpanjangan pelepasan venlafaxine (venlafaxine ER) pada perawatan awal
pasien dewasa dengan gangguan multisomatoform (MSD) dan faktor komorbid
gangguan depresi, gangguan kecemasan umum, atau gangguan depresi sosial
(kriteria DSM-IV). Studi ini menunjukkan venlafaxine ER efektive mengurangi
gejala fisik somatik, mengurangi nyeri pada pasien depresi dan atau gangguan
cemas.
Selama 8 minggu, studi acak double blind dengan placebo kontrol, fluoxetine
merupakan analgetik yang lebih baik daripada plasebo dalam mengamati
somatoform persisten dengan gangguan nyeri, dan menunjukkan terapi yang
aman, analgetik mungkin berhubungan dengan efek antidpresan.
Secara acak, 12 minggu, percobaan tanpa label fluoxetine (10-60 mg/d) dan
sertraline (25-350 mg/d) pada pasien dengan gangguan somatoform yang tidak
terdefinisi (USD) menujukkan kedua agen sama sama memiliki peran yang
potensial dri USD dan keduanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memiliki
efek samping yang serius. Pada percobaan double blind, placebo-controlled trial
dan atau studi perbandingan secara langsung dengan sampel yang lebih besar
menunjukkan kesimpulan yang lebih baik.
Studi multicenter, secara acak selama 6 minggu, dengan percobaan klinis
plasebo terkontrol menjukkan jumlah total 200 pasien menderita gangguan
somatoform menurut ICD-10. Opipramol (200 mg/hari) secara statistik lebih
11
efektif daripada plasebo. Hasil dari studi awal plasebo terkontrol pada gangguan
somatoform menujukkan efikasi opipramol tetapi tidak membutuhkan replikasi.
Studi di atas menunjukkan bahwa beberapa antidpresan berguna pada
gangguan somatoform, namun meskipun efek mediasi dapat mengurangi depresi
dan kecemasan atau efek spesifik pada gejala somatik masih membutuhkan
kepastian yang lebih baik.
Terapi spesifik pada anak dan remaja mungkin melibatkan psikologis
individu, bantuan keluarga, kerjasama dengan sekolah dan lingkungan sosial.
Tujuan terapi harus dikembangkan dengan keterlibatan kerjasama anak, keluarga
dan semua profesional termasuk guru. Strategi khusus akan bergantung dengan
kondisi gangguan somatoform.
Terapi psikologi khusus dan frekuensi kontak bergantung dengan asal
gangguan. Intervensi meibatkan hal hal berikut ini:
- Dukungan pada penurunan nilai
- Teknik motivasi disesuaikan untuk menstimulasi ambivalent anak
- Kolaborasi untuk menemukan jalan yang lebih baik yang dapat diterima
anak.
- Penggunaan diari sebagai variasi pengawasan gejala, penurunan fungsi
dan prgress. Pada hal ini memotivasi pasien dan keluarga untuk terapi
yang selanjutnya.
- Ketidaktahuan terapi mungkin akan memperburuk gejala dan konsentrasi
disekitar lingkungan
- Perkembangan teknik dengan gejala spesifik dan penurunan nilai (seperti
distraksi, relaksasi otot pada kepala, problem latihan otot fisik dan nyeri
kepala)
- Perkembangan keaktifan, fokus masalah, strategi coping dan attitude
- Nasehat sleep hygiene dan diet
- Intervensi psikologis, seperti terapi tingkah laku kognitive untuk
gangguan emosi komorbid
- Secara bertahap beban kemungkinan akan bergeser dari klinisi ke orangtua
dan pasien
12
- Penggunaan kerjasama keluarga merupakan salah satu faktor keluarga
yang berkontribusi dengan gejala atau interfensi dengan resolusi mereka.
1.10. Kesimpulan
Gangguan somatoform pada anak dan remaja menyebabkan penurunan fungsi
pendidikan dan sosial serta merupakan penyebab stress psikososial. Mendiagnosis
gangguan ini kompleks terlihat dari fakta kondisi medis. Pasien dengan gangguan
tipikal saat ini lebih menuju ke bagian kesehatan umum dibandingkan ke bagian
kesehatan mental. Sebagai permulaan, arahan spesialis gangguan jiwa untuk
mencegah investigasi yang tidak perlu dan kelambatan diagnosis dari gangguan
somatoform relatif kurang, penelitian selanjutnya mengenai terapi diperlukan
untuk anak dengan gangguan somatoform dan keluraga pasien.
13
JOURNAL READING
BAB II
TELAAH JURNAL
1. JUDUL
Syarat-syarat judul yang baik :
a) Spesifik
b) Efektif, judul tidak boleh lebih dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10
kata untuk Bahasa Inggris.
c) Singkat, Menurut Day (1993), judul yang baik adalah yang menggunakan
kata-kata sesedikit mungkin tetapi cukup menjelaskan isi paper. Namun,
judul tidak boleh terlalu pendek sehingga menimbulkan cakupan penelitian
yang terlalu luas yang menyebabkan pembaca bingung.
d) Menarik
e) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam
jurnal dalam sekali baca.
Judul jurnal ini adalah :
Somatoform Disorders in Children and Adolescents
Kritik terhadap judul jurnal tersebut :
1) Judul Spesifik, tidak membingungkan pembaca.
2) Efektif, karena judul kurang dari 10 kata.
3) Singkat dan sudah cukup menjelaskan isi paper.
4) Menarik, karena apabila gangguan ini tidak ditangani dengan tepat
dapat menyebabkan gangguan psikososial sehingga membuat pembaca
tertarik untuk mengetahuinya.
5) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam
jurnal dalam sekali baca.
2. NAMA PENULIS
Syarat-syarat penulisan nama penulis jurnal :
a. Tanpa gelar akademik/ professional.
14
b. Jika > 3 orang yang dicantumkan boleh hanya penulis utama, dilengkapi
dengan dkk; nama penulis lain dimuat di catatan kaki atau catatan akhir.
c. Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti.
d. Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja.
e. Jikapenulisan paper dalamtim,
penulisannamadiurutkansesuaikontibusipenulis. Penulisutama:penggagas,
pencetuside, perencanadanpenanggungjawabutamakegiatan. Penuliskedua:
kontributor kedua, dst.
Penulis jurnal ini adalah :
Satyakam Mohapatra, Sardar J. K. Deo, Ashirbad Satapathy, and Neelmadhav Rath
3. ABSTRAK
Abstrakmerupakanringkasansuatu paperyang mengandungsemuainformasi
yang diperlukanpembacauntukmenyimpulkanapatujuandaripenelitian yang
dilakukan, bagaimanametode/pelaksanaanpenelitian yang dilakukan, apahasil-
hasil yang
diperolehdanapasignifikansi/nilaimanfaatsertakesimpulandaripenelitiantersebu
t.
Abstrak yang baikharusmencakuptentangpermasalahan, objekpenelitian,
tujuandanlingkuppenelitian, pemecahanmasalah, metodepenelitian,
15
hasilutama, sertakesimpulan yang dicapai.Selainjudul,
umumnyapembacajurnal-jurnalilmiahhanyamembacaabstraksajadari paper-
paper yang dipublikasidanhanyamembacasecarautuh paper-paper yang paling
menarikbagimereka.Berdasarkanpenelitianabstrakdibaca 10 sampai 500 kali
lebihseringdaripadapapernyasendiri.
Cara penulisannya :
Tersusuntidaklebihdari 200 – 250 kata. Namunada pula yang
membatasiabstraknyatidakbolehlebihdari 300 kata.
Karenaituuntukpenulisanabstrakcermatiketentuan yang dimintaredaksi.
Ditulisdalambahasa Indonesia
danInggris.DiawalibahasaInggrisjikapenulisankeseluruhantubuh paper
dalambahasaInggris, diawalibahasa Indonesia
jikapenulisankeseluruhantubuh paper dalam bahasa Indonesia.
Berdirisendirisatualinea (ada yang menentukanlebihdarisatualinea).
Untukjenis paper hasilpenelitian: Penulisanabtraknyatanpatabel,
tanparumus, tanpagambar, dantanpaacuanpustaka.
Jaditidakbolehmengutippendapat orang lain, harusmenggunakan data-data
danhasilpenelitiansertaargumen yang didapatdaripenelitiansendiri.
Untukjenis paper hasil review:
Penulisanabstrakbolehmengutiphasilpenelitian orang laindariacuanpustaka
atausumber yang diacu.
Di bawahabstrakditulis kata kunci, paling sedikitterdiridaritiga kata yang
relevandan paling mewakiliisikaryatulis. Demikianjuga di bawah abstract
ditulis paling sedikittigakey words yang sesuaidengan kata
kuncipadaabstrak (Bahasa Indonesia). Kata kunci, tidakselaluterdiri 3 kata,
adajuga yang menentukan kata kunciditulisdalam 4-6 kata
(tergantungredaksi, jadiperhatikanketentuan yang diminta).
Padajurnaliniabstraknyaadalah :
Somatoform disorders remain one of the most neglected areas in child and
adolescent psychiatry. Somatoform disorders among children and adolescents
cause impairment in educational and social functioning and generate a great
deal of psychosocial distress. Patients with these disorders typically present to
general medical settings rather than to mental health settings. Early referral to
mental health professional is required to avoid unnecessary investigations and
16
delay in diagnosis of somatoform disorders in children (German J Psychiatry
2014; 17(1): 19-24).
4. INTRODUKSI
Bagian ini mengandung isi sebagai pengantar yang berisi justifikasi
penelitian, hipotesis dan tujuan penelitian. Jika artikel berupa tinjauan pustaka,
maka pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya
“permasalahan” tersebut diangkat, hipotesis (jika ada) dan tujuan penulisan
artikel. Pada bagian ini pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling
penting. Perlu diperhatikan metode penulisan pustaka rujukan sesuai dengan
contoh artikel atau ketentuan dalam Instruction for authors. Jumlah kata
dalam bagian ini juga kadang dibatasi jumlah katanya. Ada juga jurnal yang
membatasi jumlah referensi yang dapat disitir pada pendahuluan, tidak lebih
dari tiga pustaka. Tidak dibenarkan membahas secara luas pustaka yang
relevan pada pendahuluan.
Pada jurnal ini introduksinya adalah :
Somatoform disorders remain one of the most neglected areas in child and adolescent
psychiatry. Physical symp- toms or painful complaints of unknown aetiology
arefairlycommoninchildrenandadolescents(Kellyetal.,2010). These medically unexplained physical
symptoms in children and adolescents account for as many as 50% of new medical outpatient
17
visits. Children and adolescents find it difficult to express their feelings and emotions through
language. Be- causeofthis,psychologicaldistressmaybeexpressedasphys- ical (somatic) symptoms.
2%-10% of children in the general population complain of aches and pains (e.g., stomach aches,
joint pains, headaches) that are likely to be medically unex- plained, but these complaints are
usually transient and donot affectthechild'soverallfunctioning(Garralda,2010).Theso- matoform
disorders represent the severe end of a continuum of somaticsymptoms.
Somatoform disorders are characterized by multiple physical symptoms (gastrointestinal, painful,
sexual, pseudo neurolog- ical) as well as recurrent ones that cannot be explained by a medical
problem or by the effect of a substance (Garralda, 1992). They are not intentionally produced or
feigned and they are believed to be associated to psychological factors. Functional impairment
can occur in children with medicallyunexplained somatic symptoms at any age and at various
lev- els of severity, and the symptoms, especially when multiple, tend to be associated with
psychological problems. There is evidence that, even in very young children who are of school
age, those who present with frequent somatic symptoms are significantly more likely than
children without symptoms to have associated behavioural and emotional problems (Domenech
et al., 2004). These children may also be at in- creased risk of experiencing further physical
symptoms and psychological difficulties later in childhood or adolescence. Patients with such
symptoms can place significant burden on the healthcare delivery system, with heavy utilization
of re- sourcesthroughrepeatedhospitalizations,consultationsfrom different specialists, and
ineffective investigations and treat- ments (Sumathipala et al.,2008).
18
b. Apakah studi-studi yang dilibatkan dalam review menggunakan
19
Apakah validitas artikel ini baik? Ya ( ) Tidak ( √ )
relevansinya.8
B. Menilai hasil8,9,10
1. Apakah hasil yang diinginkan konsisten antar studi-studi yang
dilibatkan?
Komentar:
Tidak dapat dievaluasi.
2. Apa hasil keseluruhan dari metaanalisis?
Komentar:
Tidak dapat dievaluasi.
3. Seberapa signifikan dan presisihasilnya?
Komentar:
Tidak dapat dievaluasi.
C. Menilai relevansi
komorbid dankontraindikasi.8,9
b. Keuntungan dan kerugian: pertimbangkan keuntungan yang diraih
apabila evidence yang diperoleh diterapkan pada pasien dan
20
c. Pilihan pasien: terkait dengan keputusan pasien dankeluarganya.8,9
d. Ketersediaan: pertimbangkan aspek geografis, teknologi, sosial,
dankultural.8,9
e. Biaya: pertimbangkan efektifitas biaya berdasarkan keuntungan dan
2) SUMMARY/CONCLUSION
Pada jurnal ini, kesimpulannya adalah :
Somatoform disorders among children and adolescentscause
impairmentineducationalandsocialfunctioningandgenerate a great deal of psychosocial distress.
The diagnosis of such disorders is complex due to the fact that they may appear as
medicalconditions.Patientswiththesedisorderstypicallypre- sent to general medical settings rather
than to mental health settings. Early referral to mental health professional is re- quired to avoid
unnecessary investigations and delay in diag- nosis of somatoform disorders in children. Sound
empirical research on treatment of somatoform disorders is relatively lacking, further research is
needed regarding treatment for children with a somatoform disorder and theirfamilies.
3) REFERENCES
Kritik terhadap daftar pustaka pada jurnal ini :
Literatur yang digunakan sudah tepat.
Semuabahanacuandalambentukjurnalataupunnaskahilmiah yang
digunakansebagaireferensi atau acuanditulispadabagianini.
21
JOURNAL READING
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2. Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya.
Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2%
pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan laki-
laki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30
tahun dan berawal mula pada masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio
22
perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan
pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. Para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90& pasien
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan psikotik4.
3.3. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa
konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat
ditemukan pada transmisi gangguan ini. Selain itu, gangguan somatoform juga dapat
dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di
lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia5.
Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik (biasanya
pada gangguan somatisasi)
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit”
yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari
situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan
sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan
dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang
diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatanatau
kerusakan fisik yang dipersepsikan.
23
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda dari
adanya penyakit serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-
impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik
(gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan
suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).
3.4. Patofisiologi
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache6.
3.5. Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan
somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:
1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
24
4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan
somatoform, yaitu:
a. Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak
termasuk pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan
atau lebih.
b. Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise
specified) adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi
diagnosis gangguan somatoform yang disebutkan salah satu diatas3
25
3.5.1. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquet’s Syndrome dicirikan
dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel), berulang dan sering
berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Gejala-gejala fisik tersebut umumnya telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien
datang ke psikiater. Keluhan yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ
seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri4.
Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna,
sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta adanya perilaku mencari
pertolongan medis yang berlebihan.
3.5.1.1. Etiologi
Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk
komunikasi sosial yang bertujuan menghindarkan diri dari kewajiban,
mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi
dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara
26
laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot
10%7.
3.5.1.2. Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik yang panjang
dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara lain4:
Mual
Muntah
Sulit menelan
Sakit pada lengan dan tungkai
Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)
Amnesia
Komplikasi kehamilan dan menstruasi
Retensi urin
Penglihatan kabur, dll.
Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi khusus.
Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang terjadi.
Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan emosi yang berlebihan dan dramatis.
Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, serta manipulatif.
3.5.1.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala
diawali sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR4:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
27
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya
empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung,
sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
(gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya
kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau
efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan
atau pura-pura).
Sedangkan menurut PPDGJ III, diagnosis pasti dari gangguan somatisasi memerlukan
semua hal berikut2:
A. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas
adanya dasar kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
B. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan kelainan-kelainannya.
28
C. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan keluhan keluhan nya dan dampak dari perilakunya.
3.5.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dengan
diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal dari gangguan ini
terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah menstruasi pada remaja
perempuan.Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada gangguan ini biasanya disebabkan
oleh masalah yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga pasangan suami istri.
Periode keluhan yang ringan berlangsung 9 hingga 12 bulan lamanya, sedangkan
gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6 sampai
9 bulan. Kebanyakan pasien akan mulai mencari pertolongan medis sebelum gejala
berlangsung hingga 1 tahun. Eksaserbasi dari gejala-gejala somatik pada gangguan
somatisasi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan tekanan kehidupan4.
3.5.1.5. Terapi
Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja. Hal
ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien dengan gangguan
somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan lebih sedikit kesempatan
untuk mengungkapkan keluhan somatiknya. Pertemuan sebaiknya dilaksanakan dengan
reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun
akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap
keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis. Oleh karena itu, dokter
pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi
secara medis dengan keluhan yang tidak.
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan
gangguan somatisasi.Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi
yang disarankan agar pasien dapat mengatasi gejala-gejala yang dialaminya,
mengekspresikan emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternative untuk
mengungkapkan perasaannya.
Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain (komorbid)
seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian psikofarmaka harus disertai dengan
pengawasan ketat terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat-obatan secara irrasional dan berganti-ganti7.
29
3.5.2. Gangguan Konversi
Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan
ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah
diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun
stressor-stresor kehidupan lainnya.Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria,
reaksi konversi atau reaksi disosiatif.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan laki-
laki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi.Gangguan ini banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan.Gangguan ini
juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya
meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga4.
3.5.2.1. Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik
intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.
Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi
pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai
pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi
terhadap orang lain.
Teori Pembelajaran
Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku
yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami
pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi
sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.
Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah
hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang non-
dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer otak dan
berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
30
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.
3.5.2.2. Gambaran Klinis
Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan
mutisme.Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas, dengan
resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri.Gangguan konversi umumnya berkaitan dengan
gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.
a. Gejala Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas.
Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang
melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel
vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun
pupil yang bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia),
kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi.
Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan
gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:
Keuntungan primer: pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan
menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit,
bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.
La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang
31
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar
penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.
Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien7.
3.5.2.3. Pedoman Diagnosis
Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran4
Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi
adalah sebagai berikut:
A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44.
B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.
32
C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien)2.
3.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam
waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan.Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami
gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat mengalami
tekanan.Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin buruk juga
prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis ataupun
kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian harinya.
Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara neurologis
pada saat diagnosis ditegakkan.
3.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan.Pasien dengan
gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi
perilaku.Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa
kasus.Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh
riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.
Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien
menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit7.
3.5.3. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius.Pasien memiliki interpretasi yang tidak
realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan
penyebab medis.Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri
dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal
dan pekerjaan.Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien
medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara
usia 20-30 tahun.
33
3.5.3.1.Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik.Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.
Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk
mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat
diselesaikannya. Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari
gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik,
dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke
dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan
kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa
bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di
masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa4.
3.5.3.2. Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang
belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu,
keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.
Meskipun DSM IV-TR menyatakan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung
selama 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah sdanya tekanan yang
berat seperti kematian atau penyakit serius yang diderita oleh orang yang bermakna bagi
pasien.Keadaan ini harus didiagnosisi sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan7.
3.5.3.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.
B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.
C. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan
delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.
34
E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain4.
Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua hal
dibawah ini harus ada :
A. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang
tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan penampakan fisik nya (tidak
sampai waham);
B. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhan
nya2.
3.5.3.4. Perjalanan Penyakit
Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik, dimana setiap
episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode
tenang yang sama lamanya. Kurang lebih sepertiga hingga setengah dari pasien
hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna.
3.5.3.5. Terapi
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok
bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi
sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga dapat bermanfaat. Pemeriksaan fisik yang
terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak
meninggalkannya dan menangani keluhannyaa dengan serius. Farmakoterapi diberikan
apabila pasien juga memiliki gangguan cemas atau depresi7.
35
mengunjungi psikiater melainkan dermatologis atau dokter bedah plastik. Pasien biasanya
berumur 15-30 tahun dan tidak menikah.
3.5.4.1. Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan
depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh
dismorfik.
3.5.4.2. Gambaran Klinis
Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan pada wajah
khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata. Selain itu, rambut, buah
dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain yang sering diprihatinkan. Pada pria
biasanya yang menjadi pusat pikirannya adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini
sering merasa orang lain memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering
bercermin, atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan
adanya usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas
dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien, seperti
penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri kepribadian obsesif-
kompulsif, schizoid, dan narsisistik.
3.5.4.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut:
A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit
anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)7
Sementara, berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnostik pasti harus dipenuhi kedua hal
berikut ini:
A. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang tidak menujnang adanya alas an fisik yang memadai, ataupun adanya
preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan
bentuk/penampakan.
36
B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan
dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya2.
3.5.4.4. Perjalanan Penyakit
Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap. Kepedulian penderita
gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi
sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini
bersifat kronik.
3.5.4.5. Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya. Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan klomipramin dapat
mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang
menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan7.
37
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk memastikan
kesetiaan anggota keluarga, dsb.
4. Faktor biologis
Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang.
3.5.5.2. Gambaran Klinis
Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang
bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri lainnya yang dapat
terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau muskulaoskeletal. Pasien
biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan pembedahan yang panjang.Gejala depresi
berat terjadi pada 25-50% dari pasien gangguan nyeri.
3.5.5.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR:
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut:
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut.
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun
medis untuk yang bersangkutan2.
38
3.5.5.4. Perjalanan Penyakit
Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam
hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi
gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah.
3.5.5.5. Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini.
Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin.
Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative
dan mengembangkan sikap positif.
39
B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
D. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
E. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Public Health Resources Unit; 2006 [cited 2012 August 12]. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.sph.nhs.uk/sph-files/S.Reviews AppraisalTool.pdf
42