Anda di halaman 1dari 6

“BUSTAN AL-SALATIN” AL-RANIRI,

Posted on June 26, 2010 by ahmadsamantho

“BUSTAN AL-SALATIN” AL-RANIRI,


TAMAN GHAIRAH DAN GUNONGAN ACEH

Abdul Hadi W. M .

Nuruddin al-Raniri adalah seorang ulama, sejarawan, sastrawan dan ahli tasawuf terkemuka
abad ke-17 M yang pernah hidup di Aceh Darussalam. Namanya juga masyhur ke seluruh
negeri sebagai ulama madzab Syafii, penulis kitab fiqih pertama yang komprehensif dalam
bahasa Melayu. Salah satu cabang ilmu fiqih yang sangat dikuasai olehnya bukan hanya fiqih
ibadah, tetapi juga fiqih duali yang berkaitan dengan seluk-beluk pemerintahan, undang-
undang negeri, dan adab secara umum. Karyanya yang terkenal ialah Bustan al-Salatin
(Taman Raja-raja). Di dalam bukunya inilah diuraikan arti Gegunongan dan Taman Ghairah
di kompleks istana kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M)
dan Iskandar Tsani (1637-1641 M).

Karena begitu tebal, kitab ini tidak pernah ditransilterasikan seluruhnya ke dalam huruf Latin,
kecuali bagian-bagiannya yang dianggap penting dan menarik untuk ditelaah, baik dalam
rangka sumber sejarah maupun etika politik dan kenegaraan. Memang, kitab ini lebih dikenal
sebagai karya ketatanegaraan. Atau lebih tepat disebut sebagai karya adab, karena yang
dibahas adalah masalah yang berhubungan adab dalam pengertian luas bukan semata-mata
adab pemerintahan atau kenegaraan. Karena mengandung unsur sejarah dalam banyak
bagiannya, tidak mengherankan jika sejumlah sarjana seperti Winstedt dan Hussein
Djajadiningrat menjadikan Bustan sebagai sumber penulisan sejarah Aceh.

Bustan al-Salatin

Kitab ini mulai ditulis kurang setahun setelah Syekh Nuruddin berada di Aceh, tepatnya 4
Maret 1638, atas permintaan Sultan Iskandar Tsani. Tujuannya ambisius, karena karangan ini
ditulis dengan maksud sebagai monografi lengkap yang bersifat keagamaan dan sekaligus
sejarah (Lombard 2006:42). Dalam manuskrip Raffles Malay 8, yang tersimpan di Royal
Asiatic Society London, disebutkan oleh pengarangnya pada halaman 4: “Wa sammaituhu
Bustan al-Salatin fi Dhikr al-Awwalin wa Akhirin. Dan dinamai faqir kitab ini Bustan al-
Salatin, ertinya, kebun segala raja-raja, dan menyatakan permulaan segala kejadian dan
kesudahannya.”

Bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Iskandar Tsani, pada halaman 3 manuskrip
tersebut disebutkan: “Dan kemudian dari itu pada tujuh puluh hari bulan Syawal, maka
dititahkan yang maha mulia faqir dengan titah yang tiada dapat tiada menjunjung dia sultan
mu`azzam yang hafan lagi murah, yang pertama besar martabat izzatnya, yaitu Sultan
Iskandar Tsani `Ala al-Din Mughayat Syah Johan berdaulat zill Allah fi al-`alam…”
Banyak sekali kitab Melayu, Arab dan Persia dijadikan sumber data dan rujukan. Sumber
kitab Melayu antara lain Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Hikayat Aceh, Hikayat Iskandar
Dzulkarnain, Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu (Tun Sri Lanang), Hikayat Inderaputra,
dan lain sebagainya. Sumber Arab dan Persi: (1) Kitab `Ajaib al-Malakut, karangan al-Kisa`i
penulis Qisas al-Anbiya terkenal. Tentang kitab al-Kisa`i disebutkan dalam Bab II fasal I
Bustan; (2) Kitab Daqa`iq al-Haqa`iq karangan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M); (3)
Mirsad al-Ibad karangan sufi Persia dari Najamuddin Daya (wafat di Baghdad pada 654
H/1256 M). Dan banyak lagi.

Naskah Bustan yang agak lengkap, dua di antaranya dimiliki oleh Royal Asiatic Society
London, satu daripadanya adalah koleksi Raffles seperti telah disebutkan. Satu naskah yang
tidak lengkap ada di Perpustakaan Nasional Perancis, terdaftar dalam katalog Cabaton
(1912:217) dengan diberi keterangan: “… Bustanu`s Salatina…buku dua dari bab VII sampai
akhir 1828. Tulisan Naskhi, kertas Eropa, 185 – 140 mm, 288 halaman, 13 baris”. Bab yang
memaparkan Aceh diterbitkan oleh Niemann dalam Bloemlezing uit Maleische Geschriften
(1907) (Lombard 2006:42). Naskah ini pernah diterbitkan oleh Wilkinson dua tahap. Yang
pertama terbit pada 1899, yang kedua pada 1900, sedang penerbitnya Methodis Publishing
House Singapura. Teks Jawi atau Arab Melayu dari naskah ini diterbitkan di Mekkah pada
tahun 1311 H/1893 M (Winstedt 1920).

Bagian yang memaparkan keindahan taman dan gegunungan, yang akan dibahas sekarang,
transkripsinya dalam huruf Latin diterbitkan oleh R. Hussein Djajadiningrat di bawah judul
“De stichting van het Goenoengan geheeten monument te Kutaradja” (TBG 1916:561-76).
Banyak sarjana mengatakan bahwa Bustan ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj
al-Salatin (1603) karangan Bukhari al-Jauhari yang dianggapnya belum lengkap.

Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak
penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda.
Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum
kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara
berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.

Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari
sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi,
wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang
dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat
dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu
dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.

Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal. Fasal 1
menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur
Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-
raja Persia, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang.
Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-
ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks
istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee
(penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar
Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.

Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia, terdiri dari 6
fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang
saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang
masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir
yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar
pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam
melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu
kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair
dan kisah-kisah ajaib.

Judul yang dipilih Nuruddin al-Raniri bagi karya adabnya sangat indah dan simbolik, sebab
walaupun dalam Bab II fasal 13 terdapat uraian panjang lebar mengenai taman ghairah yang
terdapat di kompleks istana Aceh, akan tetapi uraian itu hanya bagian kecil dari keseluruhan
perkara yang ingin dipaparkan. Pemberian judul bustan yang artinya taman, bagi sebuah
karangan sastra bukanlah hal baru dalam kesusastraan Islam, khususnya di Persia. Sa`di al-
Syirasi, penyair sufi Persia abad ke-12/13 M mungkin termasuk penulis Muslim awal yang
menggunakan judul itu untuk karya adabnya Bustan. Meskipun Nuruddin al-Raniri tidak
secara tersurat menyebutkan bahwa kitab Sa`di itu menjadi salah satu rujukannya, namun bagi
mereka yang membaca karya Sa’di setelah membaca Bustan al-Salatin akan dapat memahami
kaitan kedua buku tersebut. Dalam Bustan Sa’di dikatakan bahwa bunga, buah dan daun-
daunan yang berguna sebagai obat dalam sebuah kebon adalah perumpamaan bagi pelajaran
tentang adab, kearifan dan kebajikan dalam sebuah kitab.

Taman Ghairah dan Gegunungan

Uraian tentang taman ghairah dan gegunungan memang merupakan komponen kecil dari
bagan keseluruhan kitab ini. Ia terdapat dalam Bab II fasal 13, yang menguraikan tiga
persoalan: pertama, sejarah ringkas kesultanan Aceh Darussalam sejak didirikan pada tahun
1516 oleh Ali Mughayat Syah hingga bertahtanya Sultan Iskandar Tsani, yang menggantikan
mertuanya Sultan Iskandar Muda sebagai pemegang tampuk pemerintahan; kedua, uraian
tentang Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat di kompleks istana Aceh; dan ketiga,
upacara Pula Batee, yaitu upacara penanaman batu nisan pada makam Sultan Iskandar Tsani
oleh mantan permaisurinya Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin, yang sekaligus menjadi
penggantinya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.

Tetapi ada banyak alasan apabila karangan ini menumpukan perhatian pada bagian ini. Pada
pembacaan pertama memang jelas bahwa uraian tersebut dimaksud sebagai ungkapan pujian
kepada Sultan Iskandar Tsani yang menjadi pelindung Nuruddin, dan juga sebagai pujian
terhadap kebesaran Aceh sebagai kerajaan Islam yang makmur dan megah pada zamannya
disebabkan kecerdasan dan kebajikan raja-rajanya yang memerintah. Namun jika kita telusuri
mendalam, paling tidak ada dua hal yang layak diperhatikan. Pertama, dalam tradisi Islam
taman memiliki makna kultural dan keagamaan tersendiri, karenanya memiliki fungsi dan
kedudukan tersendiri dalam tradisi kerajaan Islam. Kedua, sebagai seorang sufi pengarang
kitab ini tentu bertolak dari sebuah estetika yang hidup dalam tradisi intelektual sufi ketika
menulis karyanya. Dalam estetika sufi, karya seni atau sastra dipandang sebagai representasi
simbolik dari gagasan dan pengalaman kerohanian, sehingga yang ditekankan ialah keindahan
ruhani yang mengacu pada kebajikan, kearifan, dan kesalehan. Gambaran tentang taman
ghairah dan gegunungan dengan demikian sarat pula dengan makna simbolik, bahkan punya
kaitan dengan konsep kekuasaan dan politik.

Pada permulaan uraiannya, Nuruddin al-Raniri menuturkan sebagai berikut: “Pada zaman
bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu bustan yang terlalu indah-indah,
kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-
buahan. Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah… Sebermula di seberang sungai Dar al-
`Isyqi itu dua buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati…
Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi itu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada
batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuah gunungan, di
atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada
tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”

Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang
memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu
diperkirakan juga telah ada sejak abad ke-16 M dan diperbaiki sehingga menjadi bangunan
yang indah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)

Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk menciptakan
suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam istana kerajaan Persia,
Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan
bersangkutan. Ia harus ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat
buahnya, aneka bunga-bungaan yang indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran
yang diberikan al-Qur’an tentang sorga.

Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus merupakan dunia yang
lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan
lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk tempat bersenang-senang, seperti
bercengkrama dengan permaisuri atau putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana
kerajaan Islam punya beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran
tasawuf dari guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan
lain.

Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri sebagai berikut:
“Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu
permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar
tubuhnya dan sehat.” Air adalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan
pencerahan.

Sedangkan Gegunungan atau Gunungan, diperkirakan telah ada pada awal abad ke-16 sejak
didirikannya kerajaan Aceh Darussalam oleh Ali Mughayat Syah. Bahkan ada sarjana
memperkirakan bangunan itu sebenarnya merupakan peninggalan kerajaan Lamuri, kerajaan
Hindu yang ditaklukkan oleh Samudra Pasai pada abad ke-13 M dan pada abad ke-16 tapak
istananya dijadikan pusat pemerintahan kesultanan Aceh.

Taman Ghairah

Gagasan membangun taman yang indah dalam kompleks istana sangat umum di seluruh
dunia. Di dunia Islam dikaitkan dengan upaya menciptakan replika sorga atau taman Firdaus.
Tak terkira banyaknya taman dibangun di dunia Islam di dalam dan di luar istana, termasuk di
depan masjid, berfungsi ganda bukan saja untuk memperindah lingkungan tetapi juga
memiliki makna simbolik tertentu. Ingatlah taman Andalusia di Spanyol, taman Iram di
Isfahan, dan taman-taman istana sultan Mughal di India dan Pakistan. Di sini istana, sebagai
pusat sebuah kerajaan, haruslah merupakan sebuah dunia yang lengkap dan sempurna.

Sempurnanya sebuah istana dilambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan
sempurna, dengan berbagai kemudahan yang memmbuat pengunjung senang. Kemerosotan
dan kemunduran sebuah negeri ditandai dengan merosotnya mutu dan keluasan tamannya.
Mengenai Taman Ghairah di istana Aceh ada beberapa pendapat. Ada yang berpendapat
taman ini diilhami oleh taman-taman sultan Mughal India. Sedangkan gunongannya diilhami
oleh taman gantung Babylon. Taman-taman di istana sultan Mughal pada umumnya indah dan
luas, dan hadir seakan tiruan dari taman firdaus atau sorga seperti digambarkan dalam ayat-
ayat al-Qur’an. Konsep taman Mughal sepenuhnya diterapkan di istana Aceh. Ini kelihatan
misalnya dengan adanya sungai yang airnya jernih yang diberi nama Darul Isqi, air jeram
yang memancur dari mulut naga dan danau. Dalam konsep petamanan Islam adanya semua itu
penting sebab seperti itulah gambaran sorga menurut al-Qur’an.

Kita juga bisa membandingkan fungsi Taman Ghairah dengan taman raja-raja Persia. Taman
Persia adalah gambaran simbolik dari Taman Kosmik atau Taman Alam Semesta. Taman
tersebut seakan berada di bawah gunung dari mana sumber Air Hayat (ma` al-hayat) berada
dan mengalir, dan di dekat itu ada pohon hayat (sjarat al-hayat) yang di dalam Hikayat
Kejadian Nur Muhammad dan risalah-risalah tasawuf Ibn `Arabi disebut juga dengan istilah
sajarat al-yaqin (Pohon Keyakinan). Jadi ia bukan sekadar berfungsi sebagai tempat untuk
bertamasya dan menghirup udara segar. Kadang taman juga berfungsi sebagai tempat sultan
mengadakan pertemuan rahasia dengan guru spiritualnya, dan menjamu tamu dari kerajaan
lain.

Pengalaman saya di Shiraz, Iran, beberapa waktu yang lalu ketika mengikuti Kongres Penyair
Iran dan Dunia penting dicatat di sini. Malam terakhir acara di Shiraz, para penyair dijamu di
sebuah taman dalam kompleks yang dahulunya merupakan gedung tamu negara. Di dalam
kompleks rumah negara ini dimaamkan filosof masyhur Mulla Sadra dan pelukis terkenal
Lutfullah Souratgar. Menurut sorang panitia biasa tamu negara dijamu makan siang atau
malam di taman.

Fungsi taman yang lain ialah sebagai tempat tafakur atau meditasi, tempat mengadakan
perbincangan berbagai hal seperti persoalan agama, politik, negara dan masyarakat. Di taman
pula sultan mengadakan pesta dengan jumlah tamu terbatas. Tetapi ada perbedaan antara
konsep taman Persia dan India Mughal. Konsep taman Mughal cenderung sinkretik,
menggabungkan berbagai unsur kebudayaan seperti juga tampak pada Taman Ghairah Aceh,
serta taman sari di kraton Cirebon, Yogya dan Sumenep. Di komplek taman istana Aceh
terdapat bangunan bercorak Hindu, Cina, Persia, Melayu, Jawa, Ara dan lokal Aceh. Begitu
puila apa yang terdapat di dalamnya, serta fungsinya menunjukkan pengaruh berbagai budaya.

Ada suatu hal yang menarik juga. Gambaran taman dalam Bustan al-Salatin mirip dengan
uraian tentang sorga dalam Hikayat Perang Sabil karangan Cik Pante Kulu (abad ke-19 M).
Dalam karangan Cik Pante Kulu diceritakan bahwa orang yang mati syahid akan masuk sorga
yang sungainya indah, air sungainya berkilauan disebabkan banyaknya batu permata di dasar
sungai. Rasa airnya pun lezat dan manis, dijaga oleh bidadari-bidadari yang cantik, yang
mandi, berenang dan bergurau di sungai iitu sambil bernyanyi dan bermain musik. Uraian ini
mirip dengan uraian dalam Bustan al-Salatin , sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada
sebuah sungai disebut Darul Ishqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan dingin,
dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar bugar tubuhnya dan sehat. Di tepi
sungai terdapat batu pelinggam (batu aneka warna, penulis)…”

Pentingnya air kolam atau sungai yang jernih dalam sebuah taman, menurut ahli seni
petamanan Islam, adalah penting karena berkaitan dengan cahaya. Air yang jernih dapat
menampung dan memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Air juga berfungsi sebagai
cermin atau kaca yang memantulkan cahaya dari langit, dari Alam Atas. Bandingkan dengan
lukisan taman dalam teks-teks Hindu, yang sering menggambarkan bahwa taman-taman di
istana dan kolam-kolam air di lereng gunung merupakan tempat dewa-dewa dan para bidadari
turun dari langit. Mereka senang turun pada musim bunga dan di kolam air ketika teratai
sedang berbunga.

Pada musim bunga inilah Kama sang dewa Cinta bertemu dengan Ratih sang dewi cinta.
Karena itu para penyair sering mencari ilham di tempat-tempat seperti itu pada musim bunga.
Air dan bunga terataiu adalah simbol yang mengandung arti seperti pembaruan, penyegaran
kembali,, dan pencerahan. Kolam yang airnya jernih juga berfungsi sebagai tempat penyucian
diri. Dalam tradisi Islam seorang tamu negara akan selalu dibawa ke taman istana dan
kemudian diharuskan mandi di taman sari untuk menyucikan diri. Dalam catatan sejarah
Aceh, berulang kali dipaparkan bagaimana setiap tamu diharuskan mandi di taman sari. Ini
diceritakan misalnya oleh Cornelis de Houtman. Dia diharuskan mandi di sungai Darul Ishqi
bersama istrinya sebelum diterima sultan. Setelah itu sang tamu mengganti baju dan
diharuskan berjalan-jalan unutuk memetik buah-buahan serta bunga-bungaan. Kebiasaan yang
sama dilakukan raja-raja Majapahiot manakala menyambut tamunya dari kerajaan lain seperti
digambarkan dalam Hikayat Banjar.

Jika di taman ada sungai atau danau cukup luas, maka dibangun di tengahnya pulau kecil
dengan bangunan suci di atasnya untuk tempat meditasi. Di Solo disebut Balai Kambang. Di
Aceh disebut pulau Sangga Marmar, dengan sebuah pondok kecil di dalamnya. Bandigkan
dengan taman di istana rajaraja Bali. Di atas pulau kecil di tengah kolam selalui ada pura kecil
yang berfungsi sebagai tempat meditasi juga. Pura kecil itu sebut Meru, nama gunung kosmik
dalam purana Hindu. Ia akan segera mengingatkan kita pada gunung Mahameru yang
diberitakan dikelilingi Lautan Kosmik atau Lautan Keabadian, suatu kepercayaan yang juga
terdapat dijumpai dalam Buddhisme. Di sebuah kuil di Jepang misalnya terdapat taman dari
batu kerikil putih yang disebut Lautan Keabadian.

Demikian uraian ringkas tentang Taman Ghairah dan Gunongan Aceh. Mengenai Gunongan
itu sendiri akan dibahas dalam karangan lain karena memerlukan uraian cukup panjang,
apalagi jika dihubungkan dengan Gunongan Jawa dan lain-lain di Asia Tenggara.

Abdul Hadi W. M.

Taman Gahirah di bekas kompleks istana Aceh Darussalam.


Tak jauh dari bangunan yang disebut Gegunungan.

Anda mungkin juga menyukai