Anda di halaman 1dari 3

Lari (Part 2)

Merasa cukup mereka masuk ke gudang minimarket di balik pintu di belakang ruang display.
Mereka sangat lelah, perempuan muda itu melepaskan gendongannya pada sang bayi dan
meletakannya pada polytainer bekas wadah detergent yang sudah dialasinya dengan beberapa
kain entah apa mungkin sejenis serbet atau handuk mungkin, yang tadi diambilnya secara acak
dari display. Gadis kecil tadi terus memperhatikan tingkah perempuan itu yang serampangan
kemudian disodorkannya sebotol air mineral tanpa berkata apapun. Ia tahu perempuan itu tengah
sangat tidak fokus. Melihat kepedulian gadis kecil itu, si perempuan meraih sebotol air mineral dan
langsung meminumnya dengan cepat.

Setidaknya hatinya lebih tenang dan kepalanya lebih dingin sekarang. Setelah dibersihkan
tangannya dengan alat seadanya dikeluarkannya sekotak susu bayi sembarang dan sebuah botol
susu, kemudian dicobanya untuk menyeduh dengan air mineral yang tadi diminumnya yang masih
tersisa setengah. Setelah disudahinya aksi menyusui konyol, kini giliran sang botol susu yang
mengambil alih tugas sekaligus mengakhiri penderitaannya. Tidak ada cara lain, setidaknya sang
bayi bisa minum susu. Merasa sedikit lega karena sang bayi mau menikmati hasil karya yang
sesungguhnya secara pribadi ia ragukan, ia tersenyum.

Tanpa sempat membereskan bajunya yang masih kotor ia meminta gadis kecil di depannya untuk
membantu mengambil diapers dan apapun yang bisa digunakan untuk mengganti pakaian sang
bayi yang kotor, dari semua barang yang sudah mereka kumpulkan tadi. Sementara dirinya sibuk
melepas pakaian dan diapers sang bayi. Dibersihkannya tubuh sang bayi dengan tissue yang tadi
dibawanya dan segera dipakaikan diapers dan kaos abu-abu itu dengan sembarang membentuk
seperti barut mengingat kaos tersebut berukuran pria dewasa. Kemudian memberi satu kaos yang
lain pada si gadis dan menyuruhnya mengganti baju sementara dirinya sendiri juga melakukan hal
yang sama.

Perempuan itu sempat berpikir untuk segera keluar dari tempat ini dibawanya lagi si bayi ke dalam
gendongannya dan segera bangkit, sebelum gadis kecil itu mengeluh lirih. “Aku lelah… boleh kita
istirahat sekarang? Aku mohon…”
Mendengar permohonan gadis kecil tadi membuatnya menyadari jika memang dia sudah sangat
memaksakan diri. Namun gadis kecil itu tentu jauh lebih memaksakan diri darinya. Kemudian
didudukannya lagi dirinya dan diletakannya bayi dalam gendongannya pada polytainer seperti
sebelumya. Kembali disadarinya perut yang sedari tadi melancarkan protes lantaran sudah begitu
lama diterlantarkannya. Tangannya menggapai ke dalam tas yang penutupnya masih terbuka itu
berusaha mencari sesuatu yang bisa digunakan mengisi perutnya hingga diraihnya sebungkus roti.

Sembari memakan sebungkus roti isi cokelat yang dalam keadaan normal seharusnya sudah tidak
layak, dengan pembungkus yang terlihat sudah koyak dan berdebu, diliriknya sang gadis yang
tertidur damai dengan posisi meringkuk, kepalanya beralas produk detergen yang tadi mengisi
salah satu polytainer di sana. Yang dia mengerti setidaknya untuk saat ini mereka alasan dirinya
selamat sampai detik ini, membawa mereka keluar dari kota ini.

Bayi pada polytainer itu menggeliat mengantuk. Perempuan tadi bergegas menimang agar sang
bayi segera terlelap. Sesekali diperhatikannya dua makhluk Tuhan di hadapannya bergantian. Dia
merasa bimbang, mereka bukan anaknya, tak ada hubungan apapun, dan semua kini adalah
tanggung jawabnya untuk membawa mereka keluar kota ini dengan selamat. Dia tak sepenuhnya
yakin, jika semua kejadian ini berujung perang dalam waktu panjang, kehidupannya mungkin tak
akan segera membaik, meskipun mereka selamat hari ini. Di luar sana apakah ada yang akan
menjaga mereka atau setidaknya memberi kehidupan? Ia tidak yakin. Jika dirinya harus menjadi
orang tua angkat, Ah… akan sangat diragukan kredibilitasnya.

Dirasakannya bayi dalam gendongannya sudah terlelap, diletakannya kembali sang bayi pada
polytainer tadi. Diperhatikannya garis wajah bayi tak berdosa yang harus merasakan kekejaman
dunia yang bahkan belum bisa dimengertinya. Melihat dua anak dalam tanggung jawabnya, serasa
tak sanggup menahan himpitan di dadanya. Air matanya lolos beberapa tetes meluncur bebas di
pipi lusuhnya yang berantakan dengan beberapa bekas luka yang baru didapatnya siang tadi,
segera saja diusapnya kasar dengan punggung tangannya.
Perempuan itu masih berusaha untuk tetap terjaga di tengah rasa kantuk dan kelelahan yang
membuat hampir seluruh tubuhnya terasa sakit. Sungguh, sebenarnya ingin dirinya merebah dan
memejamkan mata, tapi tetap diurungkannya. Dirinya harus terus menjaga dua anak itu, jika
sewaktu-waktu mereka harus meninggalkan tempat ini.

Entah apa yang merasukinya hingga tekad kuatnya untuk tetap terjaga sirna. Ia beberapa kali
terlelap barang sedetik, dan ini yang paling parah, dirinya tak menyadari hingga suara lirih di
hadapannya yang membangunkan. “Nona, nona, kau baik-baik saja?”
Matanya membulat sempurna demi melihat wajah yang berjarak sejengkal di hadapannya.
Kekagetanya membawanya serta-merta berdiri setelah disadarinya sang bayi juga sudah raib dari
tempat seharusnya. Tak cukup sampai di situ ternyata bayi tersebut sudah berada dalam
gendongan seorang laki-laki? Dengan seragam militer? Lengkap? Perempuan muda itu terkejut
melihat sang bayi justru mulai menangis. Dengan gestur menerima bayi dia berkata dengan suara
bergetar ketakutan. “Be-berikan padaku! Se-sebelum tangisannya lebih keras!” Ia sedikit
tergagap.

Laki-laki itu hanya menganguk singkat, sambil menyerahkan bayi dalam gendongannya, tanpa
megatakan apapun. Namun di perhatikannya perempuan itu yang tampak begitu ketakutan dan
berantakan. Perempuan itu juga tampak menggendong sang bayi dengan begitu posesif.

Perempuan itu lalu berjalan mundur ke arah gadis kecil yang masih tertidur berusaha
melindunginya dan bayi yang kini sudah berada dalam gendonganya. Keringat dingin kian terlihat
bercucuran di pelipisnya. Rasanya setengah pingsan karena ketakutan, bibirnya hanya bergetar,
tapi gerakan dan tatapannya terus diusahakan untuk tenang meskipun semuanya gagal.

“Tenanglah kami tak akan menyakiti kalian.” Menyadari orang yang tadi dibangunkannya panik
luar biasa, laki-laki yang tadi membangunkannya berbicara pelan berusaha untuk menenangkan.
“Kami akan membawa kalian ke tempat aman. Ka….”
“Bohong!” Perempuan itu menyela.

“Kami tidak bohong. Kami memang mencari warga yang selamat untuk menjauh dari kota ini.”
Kata laki-laki yang tadi menggendong bayinya.
“Aku tidak yakin ada yang selamat, setidaknya mungkin mereka sudah menjadi tawanan?” Kata
perempuan itu ragu. Namun tetap berusaha untuk terdengar tegas.

“Kemungikan selalu ada! Kita belum tahu pasti. Bangunkan anak itu, sekarang bergegas kita akan
berangkat!” Perintah laki-laki yang membangunkannya tadi.
“Kalian tidak berbohong?”
“Kau tidak Percaya?” Kata laki-laki itu geram.
Diam

“Mari kita buktikan!” Kata laki-laki itu kemudian.


“Ini masih gelap!”
“Apa kau ingin mereka bangun dan menemukan kita?” Ujar laki-laki itu semakin dingin.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya ragu, dan baru diperhatikannya tanda bendera negara
pada sergam militer tersebut.

“Segera berangkat kita tidak punya banyak waktu!”


Setelahnya perempuan itu hanya bisa mengikuti perintah. Segera membangunkan gadis kecil tadi
dan bergegas pergi meninggalkan tempat ini bersama mereka, sementara gadis kecil yang baru
saja dibangunkan itu masih kebingungan dan berjalan sambil menahan kantuk.

Mereka jelas berjalan melewati berbagai hal di depan mereka. Mereka baru saja akan memasuki
kawasan ladang kacang ketika laki-laki yang memimpin mereka lari dari kota ini menghentikan
langkah tiba-tiba. “Sebaiknya kita jangan lewat sini seperinya mereka telah pergi.”
Temannya hanya mengangguk sebagai jawaban.

„Kami masih berlari, melewati berbagai rupa jalan yang mungkin merupakan bagian tersembunyi
dari kota ini, sebenarnya bukan tersembunyi hanya saja, kami yang terbiasa hidup di pusat kota
yang tidak memperhatikan tempat ini sebelumnya. Aku tak tahu pasti di beberapa sudut,
sepertinya aku belum pernah lewat sini. Kami melewati gang sempit yang tersembunyi, petak-
petak sawah, ladang dan masuk menerobos pekarangan orang, seperinya sudah memasuki
pedesaan di pinggiran kota. Sedangkan rangsel dipunggung kami jelas menyusahkan pergerakan

„Aku tidak sepenuhnya mengerti. Mereka tidak mengatakan apapun padaku. Dari air muka
perempuan yang menggendong bayi di depanku, sungguh sangat membingungkan. Seorang laki-
laki di belakangku, dan seorang lagi berlari di depan perempuan itu. Dari semua penampakan
yang ada menurutku mereka adalah tentara. Kami masih berlari, sejujurnya aku sudah tidak
selelah tadi, tapi ya… aku mengantuk itu jelas, perkiraanku ini masih belum subuh. Sesekali
perempuan itu melirik ke arahku, sekedar memastikan. Aku bersyukur bayi itu tidak menangis.‟

„Setelah entah berapa jauh kami bergerak, kami sampai di ladang kacang kemudian berganti arah
melewati kebun-kebun kemudian ladang jagung, tanamannya sudah tinggi, dan jagungnya sudah
besar-besar sungguh. Kami masih terus bergerak, setelahnya kami melewati sungai dengan
jembatan kecil dari bambu karena di seberang sana ada sebuah kendaraan, lebih tepatnya truk
menanti kami. Ya, katanya kendaraan itu akan membawa kami ke pengungsian, bahasa halusnya
tempat aman begitu. Kau tahu, tak ada kendaraan militer begitu kami di sana, memang benar
mereka yang bersiaga nampak seperti tentara, tapi jangan harap ada truk yang biasa digunakan
para tentara itu, aku tak tahu namanya. Di sana hanya terparkir sebuah truk biasa hanya biasa
dengan ukuran sedang, yang biasanya digunakan untuk mengangkut pasir atau perkakas rumah
tangga saat pindah rumah, bukannya manusia sungguh, aku tidak bohong.‟

„Setelah sampai di posisi truk itu kami segera disuruh naik ke dalam baknya. Di sana ada tidak
lebih dari 15 orang, mereka semua duduk dengan berantakan. Kami menempatkan diri, sedikit
mencari tempat bersandar. Perempuan penolongku kuberi tempat di tepian agar dia bisa
bersandar dan aku duduk di hadapannya. Mereka, maksudku para tentara itu entah sedang
mendiskusikan apa. Kemudian orang yang tadi memimpin kami keluar dari kota menghampiri,
menaiki bak truk, dan bicara pada kami semua.

“Kalian harus segera pergi! Truk ini akan membawa kalian ke kamp. Terima kasih.”
“Kau sendiri?” Perempuan di hadapaku bertanya dengan sedikit berteriak.
“Masih ada yang harus dilakukan. Sebaiknya kalian segera pergi sebelum matahari semakin
tinggi!” Perintahnya. Ya aku tahu kalau kini sudah hampir fajar.

“Terima kasih dan…” Ucap perempuan itu. “Maaf.”


Laki-laki itu hanya diam dan turun dari dalam bak truk

„Bak truk segera ditutup setelah orang itu turun, penguncinya terdengar dipasangkan, dan mesin
truk mulai dinyalakan. Benar saja truk ini segera berangkat membawa kami meninggalkan kota
ini. Di sini semua penumpangnya tampak berantakan termasuk aku, ada anak-anak dan orang
dewasa. Perempuan di hadapanku tampak sangat kelelahan, sambil terus menggendong bayi dan
memegangi botol susunya. Di sudut belakang ada tiga orang tentara yang menjaga kami. Ah….
kami serasa tahanan saja.

Cerpen Karangan: Orin


Facebook: Macorinda Satya Nurani

Cerpen Lari (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Orin, kamu dapat mengunjungi halaman
khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Anda mungkin juga menyukai