TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal
Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan secara umum berasal dari sisa
organisme laut dan sisa tumbuhan laut dari masa lampau yang tertimbun oleh pecahan
batu batuan. Setelah berjuta juta tahun material organisme dan lumpur terakumulasi
dalam lapisan-lapisan ratusan meter, beban dari beban teratas menekan lapisan yang
terbawah menjadi batuan sedimen. Sedimen tersebut yang lama - kelamaan menjadi atau
terproses menjadi minyak mentah yang menjadi senyawa dasar hydrocarbon. Aspal
biasanya berasal dari destilasi dari minyak mentah, namun aspal ditemukan juga sebagai
bahan alam (misal : asbuton), dimana sering juga disebut mineral ( Shell Bitumen, 1990).
Aspal adalah sistem koloidal yang rumit dari material hydrocarbon yang terbuat
dari Asphaltenes, resin dan oil. Material Aspal berwarna coklat tua sampai hitam dan
bersifat melekat, berbentuk padat atau semi padat yang didapat dari alam dengan
penyulingan minyak.(Kreb,RD & Walker, RD.,1978)
Aspal merupakan material yang umum digunakan untuk bahan pengikat agregat,
oleh karena itu seringkali bitumen disebut pula sebagai aspal. Aspal adalah material yang
pada temperatur ruang berbentuk padat dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan
mencair jika dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, dan kembali membeku jika
temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material pembentuk
campuran perkerasan jalan (Sukirman, 2003).
Aspal dapat pula diartikan sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal yang
terbentuk dari senyawa yang komplek seperti Asphaltenes, resin,saturate dan oil.
Asphlatenes material susunan pembentuk dari aspal dan resin mempengaruhi dari sifat-
sifat adesi dan daktilitas, oils berpengaruh terhadap viskositas dan flow (Hunter RN,
1994).
b) Aspal Batuan
Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan
bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di Amerika Serikat. Aspal
ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan lama dan stabil, tetapi
kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah-daerah tertentu
saja.
c) Aspal Minyak Bumi
Aspal minyak bumi perrtama kali digunakan di Amerika Serikat untuk perlakuan jalan
pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang berasal dari minyak mentah
domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky, Ohio, Michigan, Illinois, Mid-
Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain, California, dan Alaska. Sumber-sumber asing
termasuk Meksiko, Venezuela, Colombia, dan Timur Tengah. Sebesar 32 juta ton telah
digunakan pada tahun 1980 (Oglesby, 1996).
Aspal pabrik, merupakan aspal yang terbentuk oleh proses yang terjadi dalam
pabrik, sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal pabrik ini,
mempunyai kualitas standard. Aspal pabrik terbagi kedalam tiga jenis, yaitu :
1. Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi
1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi
anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (di pasaran lebih banyak, yaitu
sebesar 85%).
2. Aspal cair, disebut juga aspal cut-back, yang dibagi-bagi menurut proses fraksinya.
Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing (RC).
3. Aspal beton, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi-bagi menurut
angka penetrasinya. Misal : AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya. Umumnya aspal
Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal Grade 60/70
b) Oil. Kelompok ini berbentuk cairan yang melarutkan asphaltene, tersusun dari
paraffin, siklo paraffin dan aromatis serta mempunyai berat molekul rendah.
c) Resin. Kelompok ini membentuk cairan penghubung asphaltenese dan mempunyai
berat molekul sedang. Selanjutnya gabungan oil dan resin sering disebut maltene.
Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut agregat
dalam bentuk film aspal yang berperan menahan gaya gesek permukaan dan mengurangi
kandungan pori udara yang juga berarti mengurangi penetrasi air ke dalam campuran
(Rianung, 2007).
Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturate, aromatis, dan resin.
Dimana masing-masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda,
dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen.
2.2.1 Lignin
Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil non
fenolik, karbonil, eter, dan karbosilat (Dance, 1992). Analisis gugus fungsi lignin pada
prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal tersebut disebabkan
oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan struktur rumit, sifat polifungsi dan
kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener, 1985).
Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat diperuntukkan
secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang diperoleh dari
senyawa model lignin. Pita-pita FTIR khas dengan peruntukan saling mungkin tercantum
dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR Lignin (menurut Hergert 1971).
Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal
3450-3400 Rentangan OH
2940-2820 Rentangan metil dan metilen
1715-1710 Rentangan C=O tak terkonjugasi
1675-1660 Rentangan C=O terkonjugasi
1605-1600 Vibrasi cincin aromatik
1515-1505 Vibrasi cincin aromatik
1470-1460 Deformasi C-H (asimetri)
1430-1425 Vibrasi cincin aromatik
1330-1325 Vibrasi cincin siringil
1270-1275 Vibrasi cincin quaiasil
1085-1030 Deformasi C-H2 C-O
2.3 Perekat
2.3.1 Isosianat
Perekat isosianat merupakan bahan reaktif yang kuat rekatannya pada logam, karet,
plastik, gelas, kulit, kain. Yang terpenting ialah dipoli-isosianat, yang gugus-gugus
Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat yang sesuai
untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti
terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Banyak peneliti telah memakai
CH2O H2N
CH2 NH2
4,4 - diaminodippenylmethane
COCl2
OCN CH NCO
2
Dalam tahap pertama, aniline bersama dengan formaldehid pada konsentrasi yang
ada. Asam klorida sebagai katalis, produknya campuran dari amine, yang disusun
terutama dari 4,4 – diamino difenilmetana dengan jumlah 2,4 – isomer dan macam-
macam poliamina lebih kurang 6 kelompok amino setiap molekul. Poliamina mempunyai
struktur sebagai berikut;
CH CH
2 2
HN CH CH2
2 2
HNO3 H SO [H]
3 4
0
80 – 100 C
NO2 NH2
Naphthalene
1,5 - dinitronaphthalene Napthalene
1,5 - diamine
COCI 2
NCO
NCO
Napthalene 1,5 - diidosianat
0
Naftalena 1,5 – diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128 C dan
mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang toksit
dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen 1,5 –
diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer.
COCl2
H2N – (CH2)6 – NH2 OCN – (CH2)6 – NCO
2.3.2 Poliuretan
2.4 Agregat
Yang dimaksud agregat dalam hal ini adalah berupa batu pecah, krikil, pasir ataupun
komposisi lainnya, baik hasil alam (natural aggregate), hasil pengolahan (manufactured
aggregate) maupun agregat buatan (syntetic aggregate) yang digunakan sebagai bahan
utama penyusun perkerasan jalan.
Menurut Pedoman No. 023/T/BM/1999, SK No. 76/KPTs/Db/1999. Pedoman
Teknik Perencanan Campuran beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak
Dep. Kimpraswil Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, agregat
dibedakan dalam beberapa kelompok yaitu :
a) Agregat kasar, yaitu batuan yang tertahan saringan No. 8 (2,36 mm) terdiri atas batu
pecah atau kerikil pecah. Agregat kasar dalam campuran beraspal panas untuk
mengembangkan volume mortar dengan demikian membuat campuran lebih
ekonomis dan meningkatkan ketahanan terhadap kelelehan.
b) Agregat halus, yaitu batuan yang lolos saringan No. 8 (2,36 mm) dan tertahan
saringan No. 200 (0.075 mm) terdiri dari hasil pemecahan batu atau pasir alam.
Fungsi utama dari agregat halus adalah untuk mendukung stabilitas dan mengurangi
deformasi permanen dari campuran melalui ikatan dan gesekan antar partikel,
2.5.1 Analisa Sifat Ketahanan Terhadap Air dengan Uji Serapan Air (Water
Absorption Test)
Untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal modifier, dihitung dengan
menggunakan persamaan 2.1 sebagai berikut :
(M j − M k )
WA = x100% .................................................................. (2.1)
Mk
2.5.2 Analisa Sifat Mekanik dengan Uji Kuat Tekan (Compressive Strengh Test)
F
P = ............................................................................ (2.2)
A
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen.
Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu
hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron.
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan.
Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang
tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan
2.5.4 Analisa Sifat Termal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC)
Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan teknik analisa termal yang dapat
digunakan untuk mempelajari temperatur transisi, kalor transisi, entalpi reaksi, kalor
spesifik dari material padat. Analisa termal dapat diartikan sebagai pengukuran sifat-sifat
fisik maupun kimia suatu material sebagai fungsi dari temperatur. Pada awal data diplot
kemudian dianalisa untuk menentukan nilai Tg, Tm, Entalpi reaksi baik eksoterm
maupun endotermik dan lain-lain (Haines, P.J., 1995).
Peralatan DSC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengukur perbedaan
energi yang diberikan pada substansi dan material referensi sebagai fungsi dari
temperatur atau waktu. Dalam bidang polimer peralatan ini banyak digunakan untuk
menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperatur leleh (Tm). Temperatur
transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana terjadi perubahan sifat-sifat fisik
polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat elastik (lunak). Temperatur transisi
gelas sendiri bersfat spesifik untuk setiap material padat yang dianalisa.
Untuk material yang kristalin atau semikristralin, puncak-puncak tersebut akan
tampak tajam (jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak-puncak tersebut
tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali (Bandrup, 1985).