ERDI SUROSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Model Proses
Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih
(Studi Kasus di Provinsi Lampung) adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Erdi Suroso
P062050151
ABSTRAK
ERDI SUROSO. Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan
Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung). Dibimbing oleh M.H.
BINTORO DJOEFRIE, UDIN HASANUDIN, dan AHMAD ARIF AMIN
ERDI SUROSO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng.
Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng.
Tanggal : 21 Maret 2011
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau
menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum.
Kalau harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan
bertambah apabila dibelanjakan.(Sayyidina Ali bin Abi Thalib)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan
rahmat-Nya sehingga penyusunan disertasi yang menjadi tugas dan tanggung
jawab penulis telah dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul Model Proses
Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih (Studi
Kasus di Provinsi Lampung) merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja
proses produksi dan lingkungan dari industri tapioka yang pada saat ini belum
dapat dikatakan baik.
Disertasi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, dan masukan
yang tak kenal lelah dan penuh kesabaran dari komisi pembimbing yang diketuai
oleh Prof. Dr. Ir. M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr. dengan anggota Dr.Eng. Ir. Udin
Hasanudin, M.T., Dr. drh. Ahmad Arif Amin, untuk itu penulis ucapkan banyak
terima kasih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Muchammad Sri Saeni, M.S. (almarhum) sebagai ketua komisi pembimbing
pertama atas bimbingan, arahan dan masukan semasa beliau masih hidup hingga
akhir hayatnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Suprihatin,
Dipl. Eng. dan Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng. selaku penguji luar komisi pada
saat ujian tertutup. Selain itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr.
Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. dan Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc.St. selaku
penguji luar komisi pada saat ujian terbuka. Penulis tetap mengharapkan
kesediaan para pembimbing dan penguji untuk memberikan kesempatan bertukar
pikiran di masa mendatang.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
program pascasarjana pada tingkat Doktor (S3).
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan SPS-IPB dan para staf pengajar PS PSL atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana
pada tingkat Doktor serta menambah ilmu/wawasan di bidang lingkungan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada
Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung dan
seluruh civitas akademika Universitas Lampung yang telah memberikan ijin dan
kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana Doktor (S3).
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada
Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., Prof. Dr. Ir. KES Manik, M.S., Prof. Dr.
John Hendri, M.S. yang telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis
untuk melanjutkan studi program pascasarjana Doktor (S3).di Institut Pertanian
Bogor.
Kepada Bapak Suryadi, Bapak Abi, Bapak Supardi, Bapak Gigik, Bapak
Julius, Bapak Supar serta para pemilik industri tapioka di Provinsi Lampung yang
telah bersedia meluangkan waktu, berbagi ilmu dan informasi, serta masukan
yang berharga, penulis sampaikan terima kasih dan besar harapan bahwa
penelitian dapat memberikan sesuatu yang berguna walaupun masih sangat
sederhana.
Penulis mengucapkan terimakasih atas kebaikan dari para sahabat
khususnya Prof. Dr. John Hendri, M.S., Prof. Dr. Wan Abbas Zakaria, M.S., Prof.
Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., Dr. Ir. Suharyono AS, M.S., Ir. Slamet Budi
Yuwono, M.S., Dr. Ir. Tanto Pratondo Utomo, M.S., Drs. Buchori Asyik, M.S., Ir.
Setyo Widagdo, M.Si., Dr. Ir. Sumaryo, M.Si., Dr. Hartoyo, M.Si., Dr. Toto
Gunarto, M.S., Dr. M. Thoha B.S Jaya, M.S., Ir. Abdullah Aman Damai, M.Si.,
Dr. Rustam Abdul Rauf, M.S., Dr. Muh. Sarkowi, Ir. Prima Yudha, M.T.A., Drs.
Teguh Budi Raharjo,M.S., Ir. Efri, M.S., Dr. Ir. Murhadi, M.S., Dr. Muchammad
Yusron, M.Phil., Partomo, Asnil, Muhammad Wijaya beserta mahasiswa S 3
angkatan 2005 PS PSL SPS-IPB, rekan-rekan bimbingan disertasi/tesis/skripsi
Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr., rekan-rekan jurusan THP FP-Unila,
rekan-rekan Wisma Beldes, Hi. Uking sekeluarga, mas Joko Sugiyono serta para
mahasiswa Unila, atas segala bantuan baik moril maupun material.
Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada Prof. Koichi Fujie, Mr.
Inokawa dan Mr. Kajitani atas kesempatan bergabung sebagai anggota peneliti
dalam riset kerjasama Universitas Lampung-JFE Techno Research, Japan serta
kesempatan untuk menimba ilmu dalam bidang agroindustri.
Kepada Tim Asisten Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Agro-
industri, Kementerian Lingkungan Hidup RI, penulis mengucapkan terima kasih
atas kesempatan bergabung sebagai anggota tim dalam menyusun buku Pedoman
Pengelolaan Limbah Industri Pengolahan Tapioka tahun 2009 dan Penerapan
Pedoman Pengelolaan Limbah Agroindustri Tapioka tahun 2010.
Atas segala pengorbanan, dukungan, dan ketulusan serta doa yang tak putus
terutama selama penulis mengikuti program S3 dari Ibunda Hj. Endang Suprapti,
bapak mertua H. Arifin Winatapradja, istriku tercinta Hj. Sylvia Putrandari W,
anak-anakku Sidiq, Nadia dan Syafiq, mas Hari Prasetyo dan mbak Mala, kak
Wayan Suwindra, kak Mufti Sapano, mas Vedi dan Shanti, Trisna dan Rini, mas
Adriatma dan mbak Mevia serta seluruh keluarga besarku, penulis ucapkan terima
kasih yang tak terhingga. Penulis juga memanjatkan doa kepada papa H. Mas’ud
Yusuf (alm.) dan ibu mertua Hj. Iken Srisularsikin (alm.) yang tidak sempat
mendampingi penulis hingga disertasi ini terselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang turut
mendukung dan membantu penulis selama ini sekaligus permohonan maaf karena
tidak dapat menyebutkan satu per satu. Semoga disertasi ini bermanfaat.
Erdi Suroso
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
waktu tinggal yang lama, juga dinilai kurang ekonomis karena memerlukan areal
pengolahan air limbah yang cukup luas dan tidak menghasilkan sesuatu yang ber-
nilai ekonomi. Penerapan sistem kolam anaerobik dalam pengolahan air limbah
tapioka akan menghasilkan gas berupa metana (CH4). Gas metana merupakan gas
rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (Rhode,
1990). Gas metana akan menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang
yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan
panas bumi meningkat.
Adanya pencemaran udara, yang berupa bau tidak sedap di dekat lokasi
industri tapioka, banyak disebabkan oleh membusuknya limbah padat maupun air
limbah yang tidak dikelola dengan cepat dan tepat, sehingga terjadi pembusukan
yang tidak dikehendaki (Balitbang Industri, 2007). Untuk itu sangatlah perlu
kiranya dikembangkan metode pengelolaan limbah yang lebih baik dan ramah
lingkungan sehingga akan memberikan nilai ekonomis yang lebih besar.
Tindakan pengelolaan lingkungan dalam sistem pengelolaan lingkungan
(environment protection agency) diprioritaskan pada usaha pengurangan limbah
pada sumbernya. Pendekatan tersebut memunculkan konsep produksi bersih.
Produksi bersih merupakan suatu pendekatan yang mengarah kepada peningkatan
efisiensi proses produksi, penggunaan teknik-teknik daur ulang dan pakai ulang,
kemungkinan substitusi bahan baku dengan yang lebih ekonomis dan tidak ber-
bahaya serta perbaikan sistem operasi dan prosedur kerja. Upaya-upaya yang di-
lakukan pada penerapan produksi bersih, mulai dari yang sederhana sampai
dengan yang kompleks, yaitu good housekeeping, optimasi proses, substitusi
bahan baku, teknologi baru, dan desain produk baru.
Kerangka Pemikiran
Kegiatan industri tapioka yang ada saat ini sering menimbulkan masalah
lingkungan sehingga sudah selayaknya diperhatikan dan dikendalikan. Jika tidak
ditangani secara serius, maka limbah industri tapioka yang terdiri atas limbah
padat, cair dan gas, berpotensi besar mencemari lingkungan.
3
Ubikayu
Proses Pengolahan
Pabrik Tapioka
Masukan:
Air yg diperlukan?
Global Warming? Energi yg diperlukan
Pencemaran?
Efisiensi
Limbah Tapioka
Meminimalisasi
Produksi bersih
Kajian yg dilakukan QuickScan
Profound Analysis
Sintesis
Upaya pokok dari penerapan konsep produksi bersih adalah upaya men-
cegah, mengurangi, dan mengeliminasi limbah yang dihasilkan dengan cara sebagai
berikut: (1) menghitung penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan-bahan lainnya
serta jumlah limbah yang dihasilkan; (2) mengidentifikasi penyebab dihasilkannya
limbah; (3) mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan upaya untuk mengurangi
limbah; (4) mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan yang layak; dan (5) meng-
implementasikan kemungkinan terbaik dari penerapan produksi bersih. Keluaran
4
Perumusan Masalah
Bahan Baku
Ubikayu
INDUSTRI
TAPIOKA
TAPIOKA
Limbah Padat
(Kulit, Onggok, Elot) Air limbah
Global
Warming
CO2
Pencemaran Udara Pencemaran Air
CH4
Preventif
Integratif
Berkelanjutan
PRODUKSI BERSIH
2006). Hal ini ditunjukkan dengan telah dimanfaatkannya gas metana sebagai
bahan bakar alternatif antara lain dari pengolahan kotoran ternak, baik sapi mau-
pun babi. Pemanfaatan gas metana yang dihasilkan dari air limbah agroindustri
sebagai sumber energi alternatif belum banyak dikaji. Pemanfaatan gas metana
yang terbentuk pada kolam anaerobik IPAL agroindustri tapioka akan memberi-
kan manfaat yaitu menurunnya nilai COD air limbah sehingga dapat memenuhi
baku mutu lingkungan, tersedianya energi alternatif, dan sekaligus berperan dalam
mencegah pemanasan global dengan tidak terlepasnya gas metana ke udara.
Cleaner production atau produksi bersih adalah suatu strategi pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, terintegrasi dan berkelanjutan untuk mencegah
6
Manfaat Penelitian
Novelty (Kebaruan)
TINJAUAN PUSTAKA
produksi bersih, bila tidak menguntungkan bagi perusahaan maka sulit bagi
manajemen untuk membuat keputusan tentang penerapan produksi bersih.
Menurut Djajadiningrat (2001), hambatan pada aspek ekonomi dan teknis
antara lain:
yang dapat diperoleh bagi semua pihak (win-win situation). Bagi pengusaha
ekspor, upaya mengintegrasikan penerapan produksi bersih dengan strategi
pemasaran akan membuat produk dan/atau jasa lainnya telah memenuhi per-
syaratan tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai produk/jasa yang akrab dengan
lingkungan. Dengan demikian, produknya akan dapat diterima oleh konsumen
internasional.
Penerapan produksi bersih hingga saat ini telah memperoleh dukungan yang
luas dengan penerapan pada skala nasional maupun internasional melalui program
Clean Development Mechanism (CDM) yang tercantum dalam Pasal 12 Protokol
15
TEKNIK
PRODUKSI
BERSIH
Industri Tapioka
Ubikayu 1 ton
Pemarutan
Bubur ubikayu
Ekstraksi Ampas
Air
400 kg
Air Pencucian untuk
peralatan Limbah Cair
Air
Limbah Pengendapan Air
Air
Limbah Penjemuran
Penggilingan
Pengayakan
Tahapan proses produksi di pabrik tapioka modern skala besar adalah tahap
pembersihan ubikayu dari pasir atau tanah, pengupasan dapat dilakukan manual
dengan tenaga manusia maupun secara mekanis, pemotongan dan pencacahan
dilakukan untuk mendapatkan ukuran ubikayu yang lebih kecil untuk memper-
mudah pada proses selanjutnya, serta pemarutan yang dilakukan secara mekanis
dan biasanya pada proses ini ditambahkan dengan air yang akan menghasilkan
bubur ubikayu. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bubur ubikayu yang dilakukan
21
dengan ekstraktor (saringan berputar berbentuk kerucut) yang terdiri dari ayakan
stainless steel atau filter cloth dengan bantuan air cucian yang mengandung asam
sulfide untuk menjamin pemisahan pati dengan ampasnya dan untuk menghindari
terjadinya proses mikrobiologi. Setelah dilakukan ekstraksi bubur ubikayu, tahap
selanjutnya adalah pengeringan dan pengemasan. Kegiatan ini terdiri dari peng-
hilangan air pada bubur tepung dengan menggunakan dewatering, pengeringan
tepung basah dengan flash dryer atau pneumatic dryer, pengumpulan tepung
kering dengan cyclone dan pengayakan atau penyaringan yang dilakukan untuk
menyaring ukuran tepung sesuai kebutuhan sebelum dimasukkan ke silo (ruangan
penyimpan) untuk pengemasan tepung tapioka yang selanjutnya siap dipasarkan.
Lindur atau elot adalah limbah padat yang dihasilkan dari sisa proses
pengendapan pati. Limbah elot ini masih mengandung kadar pati dengan kualitas
rendah, sehingga bila elot ini langsung dibuang bersamaan dengan air limbah ke
perairan, maka elot akan meningkatkan beban pencemaran yang akan terjadi di
perairan.
24
Air limbah industri tapioka berasal dari proses pencucian bahan baku,
penyaringan bubur ubikayu (ekstraksi) dan pengendapan pati. Kualitas air limbah
industri tapioka dapat ditentukan dengan beberapa parameter uji. Parameter uji
yang pokok dalam air limbah industri tapioka antara lain BOD5, COD, padatan
terlarut, padatan tersuspensi, sianida (HCN) dan pH. Menurut Fajarudin (2002),
karakteristik limbah cair industri tapioka meliputi:
1. Warna
Warna air limbah transparan disertai suspensi berwarna putih. Zat terlarut
dan tersuspensi yang mengalami penguraian hayati dan kimia akan berubah
warna. Hal ini merupakan proses yang paling merugikan, karena kadar oksigen di
dalam air limbah menjadi nol, sehingga air limbah berubah menjadi warna hitam
dan busuk.
2. Bau
Bau industri tapioka tidak enak disebabkan oleh adanya pemecahan zat
organik oleh mikroba. Bau menyengat yang timbul di perairan sungai atau salur-
an, biasanya timbul apabila sungai atau saluran tersebut sudah menjadi anaerob
atau tidak ada oksigen yang terlarut. Bau tersebut timbul karena penyusun protein
dan karbohidrat terpecah, sehingga timbul bau busuk dari gas alam sulfida.
3. Kekeruhan
Adanya padatan terlarut dan tersuspensi di dalam air limbah tapioka
menyebabkan air keruh. Kekeruhan ini terjadi Karena zat organik atau zat-zat
tersuspensi dari pati yang tercecer atau zat organik terlarut yang sudah terpecah,
sehingga air limbah berubah menjadi emulsi keruh.
4. BOD (Biochimical Oxigen Demand)
Padatan yang terlarut dalam air buangan terdiri dari zat organik dan
anorganik. Zat organik misalnya protein, karbohidrat, lemak, dan minyak.
Protein dan karbohidrat lebih mudah terpecah melalui proses hayati menghasilkan
amonia, sulfida, dan asam lainnya. Sedangkan lebih stabil terhadap perusakan
hayati, namun apabila ada asam mineral dapat menguraikan asam lemak menjadi
gliserol. Air limbah industri tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan
zat organik lainnya yang ditandai banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal.
Jumlah zat organik yang terlarut dalam air limbah tapioka dapat diketahui dengan
25
melihat nilai BOD. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di
dalam air limbah. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/Latau ppm (part per
million) dan biasanya pula dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram per
satuan waktu.
5. COD (Chimical Oxigen Demand)
Chimical Oxigen Demand merupakan parameter air limbah yang menunjuk-
kan jumlah zat organik biodegradasi dan non biodegradasi dalam air limbah. Zat
tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asam, misalnya sulfat,
nitrit kadar tinggi, dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya
dua sampai tiga kali lebih besar dari BOD. Kisaran angka COD adalah 7.000-
30.000 mg/L.
6. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) air limbah tapioka sangat dipengaruhi oleh kegiatan
mikroba dalam pemecahan bahan organik. Air buangan cenderung asam, dan
pada keadaan asam ini terlepas zat-zat yang mudah menjadi gas. Dari hasil
percobaan, pada saat pembuatan tapioka pH larutan 6,51 namun setelah air limbah
berumur tujuh jam mulai terjadi penurunan pH menjadi 5,8 setelah 13 jam pH
menjadi 4,91 dan setelah satu hari menjadi pH 4,84 (Nurhasan dan Pramudyanto,
1983).
7. Padatan Tersuspensi
Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan air dan warna air. Apabila
terjadi pengendapan dan pembusukkan zat-zat tersebut di dalam badan perairan
penerima air limbah, maka akan mengurangi nilai guna perairan tersebut. Padatan
tersuspensi di dalam air cukup tinggi, berkisar 1.500-5.000 mg/L. Padatan
tersuspensi ini merupakan suspensi pati yang terendapkan pada pengendapan
tingginya kandungan padatan tersuspensi menandakan bahwa proses pengendapan
belum sempurna.
8. Asam Sianida (HCN)
Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu
pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN)
26
yang terkandung dalam umbi ubikayu. Darjanto dan Muryati (1980) membagi
ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut.
a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50
mg per kg umbi.
b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 – 100 mg per kg umbi.
c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg
per kg umbi.
Menurut Grace (1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan
berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung
pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman.
Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir
sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi
dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al. 2004). Selanjutnya Rattanachon et
al. (2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung
varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit.
Industri tapioka kebanyakan menggunakan bahan baku ubikayu beracun,
karena harganya murah. Ubikayu mengandung senyawa sianogenik linamarin.
Komponen ini apabila terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan asam
sianida (HCN). HCN terhidrolisa jika kontak dengan udara (O 2), oleh karena itu
kandungan sianida bukan penyebab utama timbulnya pencemaran. Menurut
Barana dan Cereda (2000) limbah cair industri tapioka memiliki kandungan
sianida sebanyak 33,59 ppm.
HCN pada ubikayu yang telah tua ditandai oleh membirunya umbi pada
ubikayu ataupun pada kulitnya. HCN juga terletak pada daun ubikayu, ditandai
dengan pahitnya rasa daun pada ubikayu tersebut. HCN diketahui dapat larut
dalam air. Hal ini terlihat bahwa ubikayu yang mengalami proses pencucian akan
mengalami perubahan warna biru perlahan memudar kemudian menjadi agak
keputih-putihan kembali. Hal itu membuktikan bahwa kadar asam sianida ubikayu
akan menurun kadarnya setelah mengalami pencucian, perendaman, perebusan,
dan penjemuran.
Air limbah dengan karakteristik tersebut harus ditangani dengan serius agar
tidak mencemari lingkungan dan memenuhi standar baku mutu air limbah di
27
Provinsi Lampung. Spesifikasi baku mutu air limbah industri tapioka didasarkan
pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 tentang baku mutu air
limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung. Baku mutu untuk air
limbah industri tapioka dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Baku Mutu Air Limbah Industri Tapioka
Parameter Kadar Maksimal
BOD (5 Hari, 20OC) 100 mg/L
COD 250 mg/L
Total Padatan Tersuspensi 60 mg/L
pH 6–9
Sianida 0,2 mg/L
Debit 25 m3 per ton produk
Sumber : Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010
Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi
dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan,
limbah domestik (rumah tangga), limbah agroindustri, sampah biodegradable atau
setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Biogas
merupakan gas yang tidak berwarna, sangat tinggi dan cepat daya nyalanya,
sehingga sejak biogas berada pada bejana pembuatan sampai penggunaannya
untuk penerangan atau memasak, harus selalu dihindarkan dari api yang dapat
menyebabkan kebakaran atau ledakan (Suriawiria, 2005). Sifat Biogas adalah
20 % lebih ringan dari udara dan mempunyai satu suhu nyala di sekitar 650ºC
sampai dengan 750ºC. Nilai kalor dari biogas adalah 20 Mega Joules (MJ) per m3
dan membakar dengan tingkat efisiensi 60 persen di suatu dapur biogas yang
konvensional.
Biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas
ruangan, memasak, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan
gas alam terkompresi (CNG) yang digunakan pada kendaraan. Biogas yang telah
dimurnikan akan memiliki karakteristik yang sama dengan gas alam. Akan tetapi
gas tersebut harus sangat bersih untuk mencapai kualitas pipeline. Air (H2O),
hydrogen sulfide (H2S) dan partikulat harus dihilangkan jika terkandung dalam
jumlah yang besar di gas tersebut. Apabila biogas harus digunakan tanpa
pembersihan yang ekstensif, maka biasanya gas ini dicampur dengan gas alam
28
Gas metan adalah gas yang mengandung unsur satu atom C dan empat atom
H yang memiliki sifat mudah terbakar. Satu mol metana memerlukan dua mol
oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan air, akibatnya setiap produksi 16
gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram. Pada suhu
dan tekanan standar, setiap stabilisasi 1 pound COD dapat meng-hasilkan 5,62 ft3
metana atau 0,35 m3 metana/kg COD (Grady dan Lim, 1980 dalam Haryati,
2006). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi biogas
Komposisi %
Metana (CH4) 55 - 75
Karbon dioksida (CO2) 25 - 45
Nitrogen (N2) 0 - 0,3
Hidrogen (H2) 1-5
Hidrogen sulfida (H2S) 0-3
Oksigen (O2) 0,1 - 0,5
Sumber : Hermawan et al. (2007)
29
METODE PENELITIAN
Keterangan:
: lokasi penelitian (pengambilan sampel)
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua tahap yaitu (1) pengamatan dan kajian
produksi bersih pada tingkat pabrik tapioka; dan (2) kajian implementasi
30
QuickScan
Pabrik Tapioka source identification
cause evaluation
Profound Analysis
neraca massa dan energi
options generation
Diagram input-output
Alternatif-alternatif pilihan
penerapan produksi bersih
Sintesis
Evaluasi ekonomi
Evaluasi lingkungan
tidak
layak?
ya
Alternatif-alternatif pilihan
penerapan produksi bersih
terpilih
Tahapan Penelitian
2. QuickScan
1. Persiapan
penelitian pendahuluan
untuk menentukan fokus
kemungkinan penerapan
produksi bersih
3. Profound analysis
4. Sintesis
pencarian pilihan
pencegahan,
penyeleksian pilihan
pencegahan, dan studi
kelayakan
Gambar 8. Metodologi kajian produksi bersih (modifikasi Gambault dan
Versteege 1999 dalam Fauzi 2003)
Produk yang
Bahan-bahan dihasilkan
masukan
PROSES PENGOLAHAN
TAPIOKA
Limbah
Modifikasi Produk
Substitusi Bahan yang dihasilkan
masukan
PROSES PENGOLAHAN
TAPIOKA
On-site reuse
Gambar 10. Jenis-jenis pilihan perbaikan dengan pendekatan produksi bersih (van
Berkel, 2006).
Data yang diperoleh dari hasil analisis pendahuluan dijabarkan dalam bentuk
aliran masukan dan keluaran berupa neraca massa dan energi serta limbah yang
dihasilkan. Komponen-komponen dalam neraca massa dan energi yang dihasil-
kan disajikan berdasarkan basis unit produk yang dihasilkan. Tahap sintesis untuk
menentukan pilihan produksi bersih terpilih berdasarkan:
1) evaluasi ekonomis menggunakan kriteria PBP, NPV, dan IRR (Soeharto 2002)
2) evaluasi lingkungan berdasarkan kriteria perubahan penggunaan bahan baku
dan pembantu, perubahan penggunaan air dan energi, dan karakteristik limbah
yang dihasilkan berupa nilai TSS, COD, BOD, sianida (HCN), dan pH
(Alaerts dan Santika 1984; APHA 1992).
Data yang dikumpulkan pada tahap ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Data yang dibutuhkan pada kajian produksi bersih tingkat industri
tapioka
Jenis Keterangan Cara perolehan data
Masukan (input) Ubikayu, air, energi, dan lain- Wawancara, pengamatan
lain dan pengukuran langsung
Keluaran (output) Tapioka, hasil samping, Wawancara, pengamatan
limbah padat, air limbah dan pengukuran langsung
Proses pembuatan tapioka Diagram alir dan neraca Pengamatan langsung
Mutu Ubikayu Kadar kotoran, kadar pati Pengujian laboratorium
Mutu tapioka Kadar abu, kadar air, Derajat Pengujian laboratorium
putih, cemaran logam, dan uji
bakteri
Air limbah Jumlah dan karakteristik lim- Pengukuran langsung dan
bah) pengujian laboratorium
Limbah padat Jumlah dan jenis limbah Pengamatan dan peng-
ukuran langsung
Biaya produksi tapioka Biaya per satuan produk Wawancara
34
Neraca Massa
Neraca massa (mass balance) seringkali disebut sebagai neraca material
dalam industri kimia. Suatu neraca massa dapat bermakna tanpa adanya neraca
energi, tetapi sebaliknya suatu neraca energi membutuhkan pengetahuan tentang
massa dan komposisi dari semua aliran yang ada dalam neraca. Kombinasi dari
neraca massa dan neraca energi merupakan suatu alat yang penting untuk evaluasi
yang efektif terhadap proses rutin suatu industri kimia (Clausen dan Mattson
1978).
Neraca massa dibuat berdasarkan konsep hukum kekekalan (konservasi)
materi yang menyatakan bahwa atom-atom tidak dapat diciptakan atau
dihancurkan. Atom-atom yang masuk ke dalam suatu sistem terakumulasi dalam
sistem atau meninggalkannya (Clausen dan Mattson 1978). Hal ini dinyatakan
dalam persamaan berikut:
Dengan menjumlahkan seluruh atom yang masuk dan meninggalkan sistem, total
neraca material yang dihasilkan menjadi:
Jika tidak terjadi akumulasi dalam sistem maka persamaan 2 direduksi menjadi
sebagai berikut:
Neraca Energi
Neraca energi dibuat berdasarkan hukum termodinamika pertama tentang
kekekalan energi. Hukum termodinamika pertama diterapkan dalam bentuk ne-
raca energi dengan persamaan sebagai berikut:
Energi yang terakumulasi = energi yang – energi yang
dalam sistem masuk keluar ……………… (4)
Neraca energi dibuat dengan tahapan yang sama seperti pembuatan neraca
massa dan semua jenis energi yang terdapat dalam sistem harus diekspresikan
dalam satuan unit yang sama (metric system atau the American engineering
system). Jenis-jenis energi yang digunakan dalam neraca energi adalah energi
potensial, energi kinetik, energi termal (thermal energy), energi kerja (work
energy), dan energi dalam (internal energy) (Clausen dan Mattson, 1978).
Energi yang merupakan salah satu input dalam proses produksi pertanian
memiliki beberapa bentuk, antara lain energi langsung, energi tidak langsung, dan
energi biologis. Energi yang digunakan dalam proses produksi dan pengolahan
tapioka dapat dikategorikan menjadi 2 golongan yaitu energi langsung dan energi
tidak langsung. Energi langsung adalah bentuk energi yang digunakan secara
langsung dalam proses produksi yang antara lain berupa energi bahan bakar dan
energi manusia. Energi tidak langsung adalah energi yang digunakan untuk mem-
bentuk barang atau memberikan masukan atau energi yang tidak langsung
berhubungan dengan proses produksi yang antara lain berupa energi biomassa dan
energi alat mesin. Jumlah energi langsung dan tidak langsung yang telah diguna-
kan dalam memproduksi suatu barang disebut embodied energy (Abdullah, 1987;
Fluck, 1992). Dalam penelitian ini akan ditentukan kebutuhan energi langsung
per satuan produk yang dihasilkan.
Keterangan:
At = Aliran kas yang terjadi pada periode t
N’ = Periode pengembalian yang akan dihitung
P = nilai sekarang
F = nilai yang akan datang
Keterangan:
Bt = benefit bruto proyek pada tahun ke t
Ct = biaya bruto proyek pada tahun ke t
K0 = nilai investasi awal
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat bunga modal (persen)
nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku maka suatu proyek
dapat dilanjutkan, jika yang terjadi sebaliknya maka proyek ditolak. IRR dapat
dihitung dengan formula sebagai berikut
IRR = D f P
PVP
x( D f N D f P …………….. (7)
PVP PVN
Keterangan:
DfP = Discount factor yang menghasilkan present value positif
DfN = Discount factor yang menghasilkan present value negatif
PVP = present value positif
PVN = present value negatif
lakukan penimbangan. Selisih berat cawan setelah dioven dengan berat kering
cawan dan dibagi dengan volume sampel yang disentrifius dalam liter adalah nilai
TSS (APHA, 1998).
berat cawan setelah dioven 105o C ,2 jam ( g ) berat ker ing cawan ( g )
SS
volum sampel yang disentrifi us ( L)
Nilai BOD diukur dengan menghitung selisih antara konsentrasi oksigen terlarut
sebelum (DO0) dan sesudah inkubasi selama 5 hari (DO5). Pengukuran DO
menggunakan DO meter jenis DO-24P. Sebelum alat digunakan terlebih dahulu
DO meter dilakukan kaliberasi. Sampel sebanyak 20 mL dimasukkan ke dalam
gelas beaker 1000 mL dan ditambahkan larutan buffer masing-masing sebanyak 1
mL serta 1 tetes seed kemudian diencerkan hingga 800 mL. Setelah itu sampel
distirer selama 5 menit lalu dimasukkan ke dalam botol BOD ukuran 300 mL
39
(sampel dibuat duplo) dan dilakukan pengukuran DO0. Blanko dibuat dengan
memasukkan larutan buffer masing-masing 1 mL dan seed 1 tetes ke dalam gelas
beaker 1000 mL dan diencerkan hingga 800 mL. Kemudian blanko distirer
selama 5 menit lalu dimasukkan ke dalam botol BOD ukuran 300 mL (blanko
dibuat duplo) dan dilakukan pengukuran BO0. Setelah dilakukan pengukuran DO0
dan BO0, botol BOD ditutup rapat dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC di
ruang gelap. Pada hari ke-5 dilakukan pengukuran DO yang tersisa.
Rumus perhitungan BOD :
DO0 DO5 BO 0 BO 5
BOD (mg / L) 1000 1000
x P
V1 V2
Dengan :
DO0 = rata-rata DO sampel 0 hari (mg/L)
DO5 = rata-rata DO sampel 5 hari (mg/L)
BO 0 = rata-rata DO blanko 0 hari (mg/L)
BO 5 = rata-rata DO blanko 5 hari (mg/L)
V 1 = rata-rata volume botol sampel (mL)
V 2 = rata-rata volume botol blanko (mL)
P = Pengenceran
(a) (b)
Gambar 12. Peralatan penangkap gas (a) dan gas meter (b) yang digunakan
untuk pengukuran biogas pada IPAL industri tapioka
Reduksi gas CO2 dari pemanfaatan limbah cair dihitung dengan meng-
gunakan metode UNFCC (United Nation For Climate Change) tentang reduction
emission di pengolahan limbah dan penggunaan reaktor dengan bahan bakar
terbaharui (biogas) menggunakan IPCC 2006 Tools (Avoided waste water and on
site energy use emission in the industrial sector) dimana gas CO2 dikonversikan
sebagai bahan terbakar yang terperangkap pada pembentukan methane (Purwati,
2010). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
ER y BE y PE y …………………………………………………….………………(1)
Keterangan :
ERy : Emission reduction in the year y (pengurangan emisi CO2 pada
tahun y) t CO2
BEy : Baseline emission in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan
apabila tidak ada pemanfaatan pada tahun y) t CO2
PEy : Project emission in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan oleh
adanya pemanfaatan pada tahun y) t CO2
Keterangan :
BEy,wwtread : Baseline emission from open lagoon in the year y (emisi CO2
yang ditimbulkan dari kolam pengolahan terbuka apabila tidak
ada pemanfaatan pada tahun y)
BEy,power : Baseline emission year from power generator in the year y (emisi
CO2 yang ditimbulkan dari generator apabila tidak ada
pemanfaatan pada tahun y)
PE y BE y 10% ………………………………………………………………………………………(3)
42
didorong oleh karena mudahnya teknologi budidaya dan kecilnya risiko dalam
usahatani ubikayu. Perkembangan luas panen ubikayu, produksi ubikayu, dan
produktivitas ubikayu di Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran 6.
Ubikayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk
antara lain tapioka, glukosa kristal, fruktosa, sorbitol, high fructose syrup (HFS),
dekstrin, alkohol, etanol, asam sitrat (citric acid), dan monosodium glutamate.
Dekstrin digunakan antara lain pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan
farmasi/kimia. Asam sitrat dapat digunakan sebagai pemberi rasa asam dalam
pembuatan makanan kaleng, minuman, jams, jelly, obat-obatan. Selain itu asam
sitrat dapat pula digunakan sebagai pemberi rasa asam pada sirup, kembang gula
dan saus tembakau. Monosodium glutamate digunakan sebagai penyedap makan-
an. Sorbitol (produk akhir ubikayu) dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening
seperti gel/putih mengkilat digunakan antara lain pada industri kembang gula/
permen dan minuman instan yang produknya mempunyai nilai jual yang tinggi,
serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis untuk pasta gigi, kosmetik, dan
cat minyak (Hafsah, 2003).
Ubikayu merupakan bahan campuran pakan ternak yang cukup baik. Namun
demikian, penggunaannya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini antara lain
disebabkan industri pakan ternak di Indonesia masih banyak menggunakan jagung
dan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Negara pemakai hasil ubikayu untuk
pakan ternak yang cukup besar adalah Jerman dan Belanda, dimana > 50% meng-
gunakan campuran ubikayu sebagai pakan ternak. Bahan ubikayu yang digunakan
pada industri pakan ternak antara lain gaplek, chips, gaplek pellet, tepung gaplek,
ampas, dan tepung ampas tapioka (Hafsah, 2003). Ubikayu memiliki pohon
industri yang berspektrum luas seperti diperlihatkan pada Gambar 13.
UBIKAYU
Senyawa kimia Industri Kimia
lain
Umbi Gaplek
jumlah luas areal yang akan ditanami dengan suatu komoditi tak terkecuali
ubikayu. Harga yang stabil dan tinggi menjadi insentif tersendiri bagi petani untuk
memperluas areal tanamnya. Perkembangan harga ubikayu dapat dilihat pada
Gambar 14.
500
400
300
200
100
0
1995 1998 2001 2004 2007 2010 2013
Tahun
jelasnya standar rafraksi. Keadaan tersebut sudah sering dikeluhkan oleh petani
ubikayu di Provinsi Lampung (Zakaria,1997).
keuntungan secara sepihak dalam pengadaan bahan baku ubikayu bagi industri,
sehingga posisi petani yang akan dirugikan. Lemahnya posisi petani ubikayu
dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga, terutama disebabkan karena ubikayu
memiliki daya simpan yang rendah, dan produktifitasnya juga rendah akibat
modal usaha yang sangat terbatas, disamping kebutuhan keluarga yang sudah
sangat mendesak. Pendapatan petani ubikayu akan makin rendah lagi karena pada
saat dijual ke pabrik mendapatkan mutu ubikayunya rendah dan rafaksi yang
ditentukan secara sepihak oleh pabrik.
Industri tapioka sebagai pengguna bahan baku ubikayu sangat sulit mem-
peroleh kualitas bahan baku yang bermutu dengan kadar pati tinggi. Sulitnya
mengontrol kualitas bahan baku ubikayu ini karena bahan baku yg diterima dari
petani atau mitra binaannya memiliki mutu sangat bervariasi baik dari segi
varietas ubikayu yang tidak seragam, umur panen ubikayu yang bervariasi, dan
kondisi penyimpanan sementara bahan baku terlalu lama yang dapat menurunkan
kadar pati dalam ubikayu.
Berdasarkan hasil informasi tersebut di atas, penelitian ini hanya difokuskan
pada proses industri tapioka, sehingga dari segi penyediaan bahan baku ubikayu
pada tingkat on farm tidak dilakukan. Pada proses produksi industri tapioka akan
dikaji penggunaan air, pemanfaatan air limbah sebagai sumber salah satu sumber
energi terbarukan dan mengurangi dampak pemanasan global akibat dari efek gas
rumah kaca. Selain itu, akan dikaji alternatif pemanfaatan hasil samping dari
industri tapioka ini. Industri tapioka yang dipilih sebagai lokasi dalam penelitian
memiliki kapasitas produksi yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 9.
mutu bahan baku tertentu karena untuk mendapatkan bahan baku ubikayu yang
akan diolah, perusahaan harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar
dalam jumlah maupun harga bahan baku yang dibeli.
Tabel 9. Karakteristik industri tapioka yang dipilih sebagai lokasi penelitian
Uraian Industri tapioka
Satuan
A B C D E
ton/har
Bahan Baku Ubikayu 80,00 600,00 750,00 800,00 1.800,00
i
ton/har
Produksi tapioka 20,48 150 187,50 190,02 450,00
i
Skala Skala Skala Skala Skala
Skala Produksi -
kecil besar besar besar besar
Semi
Otomati Otomati Otomati Otomati
Teknologi - otomati
s s s s
s
Operasional hari 25,00 25,00 26,00 25,00 26,00
Listrik Listrik Listrik Listrik
Sumber Energi - Listrik dan dan dan dan
BBM BBM BBM BBM
Penggunaan Air m3/hr 400,00 2.640,00 3.750,00 3.420,43 7.712,55
Sumur Sumur Sumur Sumur Sumur
Sumber Air -
dalam dalam dalam dalam dalam
m3/ton
Indeks Air 19,53 17,60 20,00 19,69 17,14
tapioka
kWh/ton
Indeks Listrik - 193,52 207,39 197,12 -
tapioka
L/ton
Indeks BBM - - 37,05 36,98 34,47
tapioka
Air Limbah m3/hr 395,38 1.690,00 2.112,50 3.629,46 5.713,93
Limbah padat
Ampas/Onggok ton/hr 9,60 180,00 225,00 266,03 675,01
Kulit ton/hr 1,16 43,23 53,00 72,21 149,99
Bonggol/kotoran ton/hr 0,59 8,76 11,24 14,08 90,00
Gambar 25. IPAL industri tapioka A setelah di tutup dengan plastik HDPE
55
Industri tapioka skala besar pada penelitian ini merupakan industri yang
menggunakan teknologi modern dari proses awal sampai produk jadi. Industri B,
industri C, industri D, dan industri E yang menggunakan peralatan full outomate
ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja
yang sedikit, waktu operasional produksi lebih pendek dan menghasilkan tapioka
berkualitas.
Kapasitas produksi tapioka yang dihasilkan industri B sebesar 150 ton/hari,
Industri C sebesar 187,5 ton/hari, industri D sebesar 200 ton/hari. Sedangkan
industri tapioka E memiliki 2 unit mesin produksi dengan kapasitas terpasang 200
ton/hari dan 250 ton/hari. Kondisi industri tapioka dapat dilihat pada Gambar 26.
Berdasarkan data Tabel 12, diperoleh tingkat efisiensi penggunaan air
semakin tinggi dengan semakin meningkatnya kapasitas mesin produksi yang
digunakan. Penggunaan air bersih berkisar antara 4,28-5,00 m3/ton ubikayu.
56
Air yang digunakan bersumber dari air sumur dalam/air bawah tanah,
sehingga terjadi pemborosan dalam penggunaan air bersih untuk masing-masing
industri tapioka. Industri tapioka B memanfaatkan air bersih sebesar 2.640
m3/hari, industri C sebesar 3.750 m3/hari, industri D sebesar 3.424 m3/hari, dan
industri E sebesar 7.712,55 m3/hari. Penggunaan air tersebut akan berakibat
tingginya pajak yang harus dibayarkan oleh industri yang diatur dalam Peraturan
Daerah Provinsi Lampung No. 4/2002 tentang Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan. Salah satu keputusan dari peraturan daerah tersebut disebutkan
penggunaan air di atas 2.500 m3 untuk niaga dikenai tarif Rp1.035,-/m3. Selain itu,
tingginya penggunaan air bawah tanah akan berdampak pada penurunan jumlah
dan mutu air tanah, yang dibuktikan dengan penurunan muka air yang menerus,
penyusupan air laut di daerah pantai, serta amblesan tanah.
Bahan baku yang baru datang ke pabrik, terlebih dahulu ditimbang untuk
mencari bobot brutonya. Setelah ditimbang mobil menuju ke lapangan ubikayu
untuk dilakukan pemeriksaan oleh petugas KIR ubikayu untuk melakukan
penaksiran besaran refaksi/potongan berat yang akan diberlakukan.
57
Tafsiran refaksi dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dengan menimbang
kadar aci dari sampel 5 kg ubikayu; (2) menaksir kandungan tanah, dan kotoran
yang terbawa oleh ubikayu tersebut. Setelah selesai penimbangan dan kir, muatan
truk tersebut kemudian diturunkan ke lantai penghamparan/ penyimpanan. Mobil
kembali ditimbang untuk mendapatkan bobot bersih kendaraan. Dengan demikian
bobot ubikayu (yang akan dipakai sebagai dasar pembayaran kepada pemasoknya
adalah:
Bobot Netto = Bobot Bruto – Bobot Truk kosong - Refaksi
Gambar 28. Proses penentuan kualitas dan pengukuran kadar pati ubikayu
lainnya yang masih melekat pada bahan baku terbawa bersama air mengalir.
Tahap selanjutnya adalah pengupasan kulit (peeler).
Hasil hitungan neraca massa dan air diperoleh bahwa proses pencucian dan
pengupasan ubikayu ini membutuhkan air sebesar 1.026,13 m 3, Proses
pencucian dan pengupasan ubikayu menghasilkan produk samping berupa air
cucian sebesar 1.007,13 m3 air cucian, kotoran kulit sebesar 72,21 ton, dan
meniran sebesar 14,08 ton. Sedangkan produk ubikayu hasil pencucian dan
pengupasan sebesar 746,79 ton.
Gambar 29. Neraca massa dan air proses pengupasan dan pencucian ubikayu
3. Sortasi
Proses sortasi (penyortiran) terhadap bahan baku dilakukan dengan tujuan
untuk memisahkan bahan baku yang mempunyai kualitas rendah yaitu bahan
baku yang berkayu, dan mulai membusuk yang dilakukan secara manual.
Bagian umbi yang membusuk dipotong dan bagian yang masih segar tetap
digunakan. Umbi yang masih kotor atau belum sempurna terkupas dikembali-
kan ke alat pencuci pencuci dan pengupas kulit.
4. Pencacahan
Ubikayu yang telah disortasi kemudian ditimbang dan ditransportasikan
dengan ban berjalan (belt conveyer) menuju suatu alat pencacah (choper).
Pencacahan dilakukan sedemikian rupa (dirajang) hingga menjadi potongan
kecil (chip) yang mempunyai ketebalan antara 30-50 mm.
5. Pemarutan
Potongan kecil (chip) yang terbentuk ditampung dalam alat pengumpan
(feeder) untuk diumpankan ke dalam alat pelumat (desintegrator atau rasper).
60
Gambar 30. Neraca massa dan air proses pencacahan dan pemarutan ubikayu
Gambar 31. Neraca massa dan air proses ekstraksi bubur ubikayu
Produk samping yang dihasilkan berupa air sisa ekstraksi sebesar 741,09 m 3
dan limbah padat berupa ampas sebesar 266,03 ton.
7. Pengurangan Air (Dewatering)
Pati yang dihasilkan dari penyaringan ditampung dalam tangki pengumpan
atau dipompa untuk dimasukkan ke dalam separator sentrifugal dengan tujuan
agar serat-serat halus yang terkandung didalamnya dapat dipisahkan. Bahan-
bahan yang terlarut dipisahkan dengan cara pencucian yang berulang di dalam
separator. Pati yang sudah murni tersebut dialirkan ke dalam hidrocyclone
atau bak-bak pengendapan untuk dipisahkan airnya. Kebutuhan air bersih
pada proses ini sebesar 760,10 m3.
Gambar 32. Neraca massa dan air proses dewatering susu pati ubikayu
Pati yang sudah mengalami banyak kehilangan air tersebut dialirkan menuju
alat pemutar atau penapis vakum (rotary vacuum filter) untuk dibuang airnya
lebih lanjut (de-watering). Air sisa yang dihasilkan dari proses de-watering
sebanyak 1.254,16 m3. Air sisa tersebut selama ini belum dimanfaatkan dan
langsung dibuang menuju kolam IPAL. Tapioka basah yang dihasilkan dari
proses de-watering ini sebesar 252,73 ton.
62
Gambar 33. Neraca massa dan air proses sentrifuse susu pati
8. Pengeringan
Alat pengering yang biasa digunakan untuk mengeringkan pati adalah alat
pengering tipe pneumatic (pneumatic flesh drier suction type). Dalam sistem
pengeringan tersebut pati basah ditransformasikan menggunakan kotrek
(screw conveyer) menuju zona pengisapan (suction zone). Udara pengeringan
dihasilkan dengan cara pemanasan udara, pati digerakkan menuju bagian atas
alat pengering yang selanjutnya disemprotkan ke bagian bawah alat pengering
terdapat ruangan yang mengandung udara panas yang mempunyai suhu antara
50oC – 60oC. Pati kering yang dihasilkan dialirkan menuju unit ayakan untuk
memisahkan gumpalan-gumpalan pati kering sehingga terbentuk pati kering
yang halus.
Gambar 34. Neraca massa dan air proses pengeringan dan pengemasan tapioka
9. Pengemasan
Pati kering yang halus selanjutnya dimasukkan ke dalam silo, lalu dikemas ke
dalam kemasan yang terbuat dari bahan blacu atau karung plastik yang di
dalamnya dilapisi dengan plastik. Produk tapioka yang dihasilkan proses
produksi industri tapioka dengan bahan baku 800 ton/hari sebesar 190,02 ton.
63
Proses produksi industri tapioka skala besar secara lengkap disajikan pada
Gambar 35. di bawah ini.
Air limbah
Proses pembuatan tapioka memerlukan air untuk memisahkan pati dari
serat. Pati yang larut dalam air harus dipisahkan. Teknologi yang ada belum
mampu memisahkan seluruh pati yang terlarut dalam air, sehingga air limbah
yang dilepaskan ke lingkungan masih mengandung pati.
Air limbah akan mengalami dekomposisi secara alami di badan-badan
perairan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan pada
proses penguraian senyawa mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor dari bahan
berprotein (Zaitun, 1999; Hanifah dkk, 1999).
Air separator
Air limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan pati tapioka berasal dari
proses pencucian, pembersihan alat produksi dan lantai pabrik serta dari proses
pemisahan pati ubikayu. Air limbah dari hasil pengolahan pati tapioka terdiri atas
air dan sisa pati tapioka yang ter-suspensi dalam air. Air limbah yang dihasilkan
oleh industri tapioka skala besar ini berkisar antara 4,28-5,00 m3/ton ubikayu.
65
4) Peningkatan senyawa zat racun dalam air dan pembawa bau busuk dan
menyebar keluar dari ekosistem akuatik
5) Peningkatan derajat keasaman dinyatakan dengan pH akan merusak
keseimbangan ekosistem akuatik/perairan terbuka.
Air limbah yang dihasilkan dari proses produksi industri tapioka terus
mengalir dari kolam No.1 sampai kolam No.15 dengan kedalaman rata-rata 3
meter. Kolam air limbah nomor 15 merupakan kolam air limbah yang terakhir
(outlet) sebelum dibuang ke perairan umum, sesuai Peraturan Gubernur Lampung
Nomor 7 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di
Provinsi Lampung, maka seluruh industri tapioka di Provinsi lampung diwajibkan
harus memenuhi kriteria baku mutu yang telah ditentukan tersebut. Karakteristik
air limbah yang dihasilkan dari outlet industri tapioka sampel penelitian disajikan
pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakteristik air limbah yang dihasilkan dari industri tapioka
Hasil Pengukuran titik Outlet
Parameter Satuan
Industri A Industri B Industri C Industri D Industri E
Berdasarkan Tabel 12. Tersebut, nilai COD dan BOD industri B dan industri
C belum memenuhi kriteria baku mutu yang ditetapkan sebesar 250 mg/L dan 100
mg/L, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada proses pengolahan air limbahnya.
Salah satu penyebab tingginya nilai COD dan BOD tersebut akibat pendangkalan
68
kolam IPAL karena jumlah limbah padat berupa kulit, serat dan meniran yang
masuk kedalam kolam IPAL cukup banyak.
Industri tapioka potensial di Provinsi Lampung yang disurvai telah
mempunyai IPAL dengan sistem kolam biologis yang terdiri atas kolam anaero-
bik, fakultatif, dan aerobik. Sampel gas diambil dari kolam No.4 yang memiliki
luas wilayah 0,52 ha.
Kolam anaerobik No.4 IPAL industri tapioka merupakan kolam keempat
yang dimasuki oleh air limbah tapioka setelah kolam anaerobik 1, anaerobik 2,
dan anaerobik 3. Hasil survei yang dilakukan pada tanggal 11 januari 2008, sistem
pengolahan air limbah yang ada di salah satu industri tapioka berupa kolam-kolam
biologis. Kolam tersebut terdiri dari kolam penampungan, kolam pengendapan,
kolam anaerob, kolam fakultatif, kolam aerob, kolam biokontrol, dan kolam bahan
berbahaya dan beracun. Kolam anaerobik 4 ini memiliki luas sekitar 5.233 m 2
dengan kedalaman 3-4 meter, serta daya tampung kolam adalah 13.998 m 3.
Karakteristik kolam anaerobik 4 ini adalah berwarna hitam, berbau busuk, jumlah
padatan terapung sedikit, aktifitas mikroba sangat tinggi, sedikit buih, dan jika
diamati akan terlihat gelembung-gelembung gas CO2 yang keluar dari dasar
kolam. Karakteristik air limbah pada kolam anaerobik di salah satu industri
tapioka di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik air limbah di kolam anaerobik I, II, III, IV.
Karakteristik Kolam 1 Kolam 2 Kolam 3 Kolam 4
PH 4,39 6,92 7,05 6,95
Kekeruhan (FAU/NTU) 2.606 359,0 236 7,25
Padatan normal (mg/L) 4.680 1.104 956 1796
Padatan tersuspensi (mg/L) 2.742 224,0 224 520
Padatan terendap (%) 4 0 0 0,20
COD (mg/L) 11.130 396,0 154,0 783
BOD5 (mg/L) 8.624,7 - 24,0 563,9
Volatil acid (mg/L) 1.500 102,0 - 192
Pengukuran COD influen kolam No.1 di bulan Februari sebesar 7.465 mg/L
merupakan yang terendah nilai dan pada bulan Agustus adalah 13.640 mg/L yang
merupakan nilai tertinggi. Beberapa Penelitian melaporkan variasi COD air
limbah dengan investigasi ke beberapa pabrik tapioka di Vietnam nilai COD
69
berkisar 11.000 - 13.500 mg/L (Hien et al., 1999) dan pabrik tapioka di Thailand
nilai COD berkisar 12.966-19.278 mg/L (Sriroth et al., 2000).
Menurut Kamahara et al. (2010) bahwa nilai COD air limbah dari pabrik
tapioka tidak hanya memiliki variasi dari masing-masing pabrik tetapi juga
dipengaruhi oleh perubahan musim. Dalam kolam No.3 ke kolam No.5, influen
COD mengalami penurunan dari 13.330 mg/L sampai 600 mg/L selama waktu 20-
36 hari.
COD Removal sekitar 96% sampai masuk kolam yang HRT No.5 adalah 36
hari. Di sisi lain, pH meningkat dari 4,11 nilai di kolam No.3 untuk 6,78 nilai di
kolam No.5 pada saat yang sama. Rajbhandari dan Annachhatre (2004) melapor-
kan kondisi anaerobik pH berkisar 6-8. Oleh karena itu, dengan kondisi yang ada
sangat dimungkinkan untuk menghitung potensi gas metana selama waktu retensi
hidrolik.
K3 K4-2
K4-1 K4-3 K5
Gambar 38. Lokasi pengambilan sampling gas pada kolam air limbah industri
tapioka
Aktivitas biologis diamati dari akhir kolam No.3 sampai akhir kolam No.4
yang dibuktikan dengan pembentukan gelembung gas yang berlebihan dan adanya
lumpur mengambang di permukaan kolam (Gambar 38). Oleh karena itu, kolam
No.4 disimpulkan sebagai aktivitas yang paling anaerobik. Hasil yang diperoleh
dari pengukuran lapangan adalah laju produksi biogas di kolam No.4 berkisar
25,9-133,4 L/m2/jam, dan laju produksi gas rata-rata adalah 67,2 L/m2/jam.
Komposisi Biogas dari kolam No.4 adalah 58% metana, 30% karbon
dioksida, nitrogen 5% dan 7% dari bahan lain. Dari hasil tersebut, faktor emisi
metana di kolam No.4 dapat diperkirakan 0,24 g CH4/ g COD Removal. Hasil
tersebut hampir sama dengan IPCC (2006) value 0,25g CH4 / g COD Removal.
Selain itu, diperkirakan bahwa karbon berpengaruh mengkonversi menjadi 44%
70
sebagai metana, 23% karbon dioksida dan 6,8% sebagai limbah. Oleh karena itu,
26% dari karbon terdapat di dalam kolam.
Produksi gas metana dari air limbah tapioka sangat tergantung pada COD
selama proses anaerobik. Setiap kilogram COD removal akan menghasilkan 0,35
m3 CH4 (Tchobanoglous, 1991). Air limbah segar dari pabrik tapioka memiliki
COD sebesar 18.000 mg/L dan harus ditangani sampai 250 maksimum COD
mg/L sesuai standar efluen nasional. Berdasarkan perhitungan teoritis, nilai yang
diamati produksi gas dari kolam No. 4 hanya 42-49 persen dari nilai teoritis,
kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh kondisi pada pertumbuhan anaerob
kolam No.4 yang tidak sepenuhnya mendukung seperti nilai pH < 6.
Kondisi optimum nilai pH untuk aktivitas anaerob berkisar 6 - 8 dan pH
untuk bakteri metanogen sebesar 7 (Sham, 1984). Gas metana (CH4) yang dihasil-
kan pada kolam No.4 tersebut diukur secara langsung mengunakan detektor
metana (methane detector). Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan
3
bahwa produksi biogas adalah sebesar 24 m /ton ubikayu dengan konsentrasi gas
3
CH4 berkisar antara 60-65 persen atau setara dengan 14,4-15,6 m gas CH4/ton
ubikayu. Berdasarkan karakteristik kolam anaerobik (Tchobanoglous, 1991),
limbah pabrik tapioka berpotensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi
alternatif.
Limbah Padat
Limbah padat industri tapioka berasal dari proses pengupasan yaitu berupa
kulit ubikayu dan dari proses ekstraksi yang berupa ampas ubikayu. Tjiptadi dan
Nasution (1978) membagi limbah padat dari industri tapioka terbagi menjadi
beberapa macam yaitu:
1) Kulit yang berasal dari pengupasan ubikayu
2) Sisa-sisa potongan ubikayu yang tidak terparut berasal dari proses pemarutan.
3) Ampas onggok yang merupakan sisa dari proses ekstrasi pati, terdiri atas sisa-
sisa pati dan serat-serat.
Persentase jumlah limbah kulit ubikayu bagian luar sebesar 0,5-2% dari
berat total ubikayu segar dan limbah kulit ubikayu bagian dalam sebesar 8-15%
(Hikmiyati et al., 2009).
71
Limbah Gas
Air limbah dan limbah padat yang dihasilkan oleh industri tapioka, dalam
pemanfaatannya masih belum maksimal. Beberapa industri telah melakukan
pemanfaatan terhadap limbah yang dihasilkan baik yang berbentuk padat maupun
cair dengan tujuan untuk meningkatkan nilai manfaat dari limbah tersebut.
Namun demikian, masih banyak kendala yang dihadapi dalam melakukan
pemanfaatan limbah industri tapioka. Selain volumenya yang besar, kandungan
COD di dalam air limbah tersebut juga tinggi dan pada proses pengolahan secara
biologi dengan sistem anaerobik tentunya dapat menimbulkan gas-gas yang ber-
potensi memberi sumbangan terhadap pemanasan global. Kondisi tersebut tentu-
nya menuntut kesadaran para pelaku industri untuk melakukan pengelolaan
terhadap gas-gas yang dihasilkan pada proses pengolahan air limbah untuk
meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkan. Karakteristik biogas di lokasi
sampling disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, komposisi biogas yang dihasilkan dari beberapa
industri tapioka di dominasi oleh gas CH4 , CO2 dan N2. Persentase rata-rata gas
72
CH4 yang dihasilkan sebesar 56,214 %, persentase rata-rata gas CO2, yang
dihasilkan sebesar 38,372%, dan persentase gas N2 yang dihasilkan sebesar
5,414%.
Tabel 14. Karakteristik biogas beberapa industri tapioka
Komposisi gas
No. Industri Sampling
CH4 (%) CO2 (%) N2 (%)
1. Industri A 54,36 35,64 10,00
2. Industri B 60,47 33,63 5,90
3. Industri C*) 55,97 42,08 1,95
4. Industri D 52,38 42,62 5,00
5. Industri E 57,89 37,89 4,22
Gambar 40. Air limbah yang menghasilkan gas CO2 dan CH4
lamanya waktu tinggal air limbah yang dihasilkan, sehingga proses pengolahan air
limbah secara biologi dengan sistem anaerobik tidak berjalan dengan baik.
Hal ini menyebabkan air limbah yang keluar dari kolam limbah terakhir ke
perairan umum/sungai tidak bisa sesuai standar baku mutu kualitas air yang diatur
dalam Peraturan Gubernur Provinsi Lampung Nomor 7 tahun 2010 tentang baku
mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung.
Limbah onggok yang dihasilkan dari proses produksi tapioka cukup tinggi
berkisar 12-39% per ton ubikayu. Penanganan onggok basah masih sangat lambat
sehingga terjadi penumpukan. Onggok basah sebagian akan dibeli oleh pihak
ketiga dan sebagian limbah onggok basah ini di keringkan secara manual dengan
menggunakan panas matahari. Proses penjemuran onggok basah ini tergantung
kondisi cuaca/panas matahari sehingga memerlukan penanganan khusus, tempat
luas dan waktu yang cukup lama. Hal ini berakibat timbulnya bau busuk dan
menjadi sarang hewan/hama seperti kecoa, tikus, dan lalat yang dapat meng-
ganggu kesehatan pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitar industri tapioka.
Kasus pencemaran sungai terjadi di Provinsi Lampung selama tahun 2008
antara lain di Sungai Way Seputih dan Way Terusan yang mengalir di wilayah
Kabupaten Lampung Tengah dan Tulang Bawang akibat limbah tapioka PT.
Teguh Wibawa Bakti Persada (PT. TWBP) pada 11 Januari 2008. Akibat men-
cemari sungai tersebut, PT. TWBP diwajibkan membayar ganti rugi kepada
masyarakat dan PT. TWBP harus memulihkan lingkungan perairan dengan cara
menebarkan benih ikan pada Sungai Way Terusan dari hulu hingga hilir.
74
Pencemaran sungai Way Muara dan Way Sungkai terjadi pada 26 Februari
2008 yang terletak di Kabupaten Lampung Utara. Warga di wilayah kampung-
kampung yang dilalui Sungai Way Muara dan Way Sungkai menjadi resah akibat
pencemaran sungai tersebut yang diduga tercemar limbah pabrik tapioka dari PT.
FM di Tulung Buyut, Hulu Sungkai. Dugaan sungai tersebut tercemar limbah
dibuktikan dengan banyaknya ikan palau, baung ukuran kecil, lais, dan parai
(wader) yang mati serta warna air menjadi keruh dan berbau busuk. Selain itu
juga air sungai tersebut sudah tidak dapat digunakan mandi karena membuat kulit
gatal-gatal. Pencemaran Sungai Way Semah (Kabupaten Pesawaran) terjadi pada
Juli 2008. Ratusan warga Desa Negarasaka, Negeri Katon, Pesawaran tidak bisa
lagi memanfaatkan air Way Semah. Beberapa titik aliran sungai, terlihat warna
air yang berwarna cokelat kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau tidak
sedap. Selain itu, beberapa titik aliran sungai terlihat permukaan airnya tertutup
busa yang mengeluarkan bau menyengat. (BLHD Provinsi Lampung, 2010).
a. Good Housekeeping
Good housekeeping adalah suatu cara untuk mencegah suatu kebocoran atau
tumpahan, dan perawatan terhadap alat atau perangkat yang dapat menyebabkan
inefisiensi.
Good housekeeping dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi pemakaian air
dan mencegah kehilangan bahan. Aktivitas produksi bersih antara lain dengan
pelaksanaan cara berproduksi yang baik (GMPs), pemantauan penggunaan air,
dan pemantauan pekerja. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
penyuluhan sehingga pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri lebih baik.
Pencucian peralatan sebaiknya dilakukan setiap hari atau setelah selesai proses
produksi. Sisa-sisa pati yang rnenempel pada alat akan mempengaruhi kualitas
tapioka shift berikutnya terutama parameter derajat keputihan dan bau. Kusarpoko
(2003) yang menyatakan bahwa proses kontaminasi limbah oleh mikroorganisme
dapat terjadi setelah 12 jam. Menurut Grace (1977), kandungan gula dan nutrien
lainnya menyebabkan mikroorganisme melakukan fermentasi dan menghasilkan
alkohol dan asam organik penyebab bau.
75
a. Penggunaan kembali pada tempatnya (On site Recovery and Reuse) adalah
penggunaan kembali limbah yang dihasilkan pada proses yang sama atau pada
proses yang lain di industri tersebut.
Pada strategi daur ulang dan penggunaan kembali proses tersebut dapat
melakukan penggunaan air yang masih bersih (white water) secara berulang.
Air yang dikeluarkan dari beberapa proses yang masih dianggap layak diguna-
kan kembali, seperti air pencucian pada proses penggilingan, ditampung
77
terlebih dahulu di suatu bak penampungan (white water pit) yang kemudian
disalurkan ke beberapa proses yang membutuhkan air.
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghemat penggunaan air (fresh
water) dalam proses. Air tersebut tidak akan digunakan kembali atau dibuang
apabila sudah dianggap tidak layak untuk digunakan kembali. Air yang
dianggap tidak layak digunakan kembali disebabkan oleh adanya kotoran-
kotoran yang dapat mengganggu kualitas tapioka yang dihasilkan.
Hasil pengamatan yang telah dilakukan di industri tapioka tersebut, upaya
untuk meminimalkan limbah yang dihasilkan dapat dilakukan dengan meman-
faatkan kembali air sisa dari separator untuk digunakan kembali sebagai
pengganti air pencucian bahan baku.
Pada industri skala 800 ton/hari bahan baku ubikayu, air yang digunakan
sebagai pencucian dan pencacahan sebesar 1.026,13 m 3 per hari. Air sisa yang
dihasilkan dari proses pengurangan air (dewatering) dengan separator sebesar
1.254,16 m3. Air sisa tersebut dapat mensubstitusi air bersih yang digunakan
sebesar 90% dari 1.026,13 m3 per hari kebutuhan air bersih, sehingga terjadi
penghematan air bersih sebesar 923,52 m3 atau kebutuhan air bersih hanya
sebesar 102,61 m3 per hari. Selain itu, dapat mengurangi air sisa dari separator
yang terbuang, sehingga air sisa yang terbuang hanya 330,64 m3.
Pemanfaatan kembali air sisa dari separator sebanyak 923,52 m 3 akan meng-
hemat penggunaan air bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan
sebesar 3.420,43 m3. Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah
tanah yang harus dibayarkan perusahaan Rp.1.035/m 3 sesuai Perda Provinsi
Lampung No.4/2002, maka akan menghemat biaya sebesar Rp.955.843,- per
hari dari total pajak Rp.3.540.145,- per hari.
Karakteristik air sisa dari separator memiliki nilai COD yang masih tinggi
sebesar 20.433 mg/L, tetapi tidak akan mempengaruhi kualitas tapioka yang
dihasilkan. Air sisa dari separator tersebut masih dalam keadaan encer dan air
baru digunakan untuk proses produksi, sehingga masih layak untuk digunakan
kembali. Neraca pemanfaatan dan penghematan air dari proses separator
disajikan pada gambar 42.
78
Limbah meniran ubikayu terdiri dari kulit (80%) serta bonggol dan serpihan
ubi (20%). Limbah meniran dapat diberikan pada ternak karena kandungan nutrisi
didalamnya yang cukup tinggi.
Menurut Hikmiyati, et al. (2009), limbah kulit ubikayu dapat menjadi
sumber pakan ternak ruminansia karena kulit ubikayu memiliki kandungan nutrisi
yang lengkap yaitu serat, karbohidrat, lemak, protein dan mineral makro.
Kontribusi meniran ubikayu pada pakan ternak adalah sebesar 70,58% dari
total pakan campuran, sisanya adalah pakan pelet (23,53%), dan bungkil sawit
atau hijauan (5,88%). Sistem pemberian pakan diberikan secara bersamaan
dengan mencampur ketiga jenis pakan tersebut.
Pencacahan dan
Energi listrik 9.362,69 Kwh
pemarutan
Seperator 2 tahap
Energi Listrik 17.761,96 Kwh
Pengeringan &
Energi Listrik 12.779,57 Kwh
Pengemasan
Hasil perhitungan asumsi produksi energi listrik yang dapat dihasilkan dari air
limbah industri tapioka sebesar 47.221,75 kWh, sehingga bila dimanfaatkan untuk
proses produksi industri tapioka tahap pencacahan dan pemarutan, serta separator 2
tahap sangat mencukupi dari energi yang dibutuhkan sebesar 27.124,63 kWh.
Tabel 16. Perhitungan asumsi energi listrik yang dihasilkan dari biogas
Rincian Satuan Nilai
Produksi Ubikayu ton/hari 800
3
Produksi air limbah m /ton ubikayu 3,76
Total air Limbah yg dihasilkan m3 3.008
Asumsi 1 kg COD Removal
(Tchobanoglous, 1991) m3CH4 0,35
COD rata-rata mg/L 18.000
Konsentrasi CH4 % 60
3
Produksi Gas Metana m CH4/hari 18.950,4
Produksi Biogas m3 Biogas/hari 31.584
Kalor biogas (CH4+CO2) MJ/m3 35,9
Produksi kalor MJ 680.319,4
Konversi MJ ke kWh kWh/MJ 0,277778
Produksi kalor kWh 188.887
Efisiensi energi % 25
Produksi kalor riil kWh 47.221,75
84
Menurut Kurtubi (2006) dalam Purwati (2010), 1 kWh energi listrik yang
dihasilkan dari pembangkit tenaga diesel memerlukan bahan bakar solar antara
0,27-0,32 liter. Dengan kisaran tersebut, maka diasumsikan bahwa setiap 1 kWh
listrik yang dihasilkan akan memerlukan 0,30 liter solar. Bila kelebihan energi
sebesar 20.097,12 kWh dikonversikan ke bahan bakar solar, maka akan setara
dengan 6.029,14 liter solar. Konsumsi energi untuk proses pengeringan meng-
gunakan oven sebesar 12.779,57 kWh, bila dikonversi menjadi bahan bakar solar
maka akan setara dengan 3.833,87 liter solar. Kebutuhan BBM tesebut dapat
terpenuhi sebesar 100% dari sisa kelebihan energi sebelumnya. Biaya yang di-
butuhkan untuk membeli BBM industri tapioka sebanyak 3.833,97 liter atau
sebesar Rp.25.303.548,- (asumsi harga BBM industri Rp.6.600/L).dapat dihemat
dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan ini.
Kelebihan energi sebesar 7.317,55 kWh atau 2.195,27 liter solar ini dapat
digunakan untuk aktivitas lain di sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor,
perumahan dan penerangan. Selanjutnya untuk memperoleh nilai ekonomi dari
kelebihan energi yang dihasilkan sebesar 7.317,55 kWh atau 2.195,27 liter solar
ini dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp. 14,488,749.00,-
(asumsi harga BBM industri Rp.6.600/L).
Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar terbarui juga menghasilkan manfaat
lingkungan berupa berkurangnya (reduksi) CO2 yang terlepas ke lingkungan.
Industri tapioka A yang telah menerapkan sistem CIGAR dengan mengisolasi kolam
anaerobik dengan plastik jenis HDPE (High Density Poly Ethylene), sehingga gas
metana yang dapat diakumulasi merupakan salah satu solusi dalam mengolah air
limbah industri tapioka sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran yang
ditimbulkan dan emis gas yang dihasilkan. Berkurangnya emisi CO2 yang dilaku-
kan oleh industri tapioka A digunakan perhitungan sebagai berikut:
Baseline Emisi (BE) = BE ww tread + BE y power
= 5.038,02 + 31,80
= 5.069,82 tonCO2e
Project Emisi (PE) = 10% dari nilai BE (asumsi untuk industri kecil)
= 5.069,82 x 10%
= 506,982 tonCO2e
Reduksi Emisi CO2 = BE - PE
= 5.069,82 tonCO2e – 506,982 tonCO2e
= 4.562,84 tonCO2e
85
munculnya gas akibat proses dekomposisi pada proses pengolahan air limbah
dengan sistem biologi pada secara anaerobik.
Tabel 17. Studi Kelayakan Opsi Produksi Bersih pada Industri Tapioka
Solusi Produksi Manfaat Manfaat
Proses Masalah
Bersih Ekonomi Lingkungan
Pengupasan Pemakaian Pencucian 2 Mengurangi Mengurangi
dan air yang tahap (dengan biaya pencemaran
Pencucian berlebihan menggunakan penggunaan akibat air
Ubikayu pada proses air sisa proses air limbah
pencucian ekstraksi dan
air dari
separator)
Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi
karena limbah (kulit pendapatan pencemaran
limbah padat ubikayu) untuk akibat limbah
kepentingan lain padat
(pupuk)
Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi
karena air air limbah untuk pendapatan pencemaran
limbah biogas akibat air
limbah
Pemarutan Loss akibat Mengumpulkan Meningkatkan
proses hasil parutan rendemen
pemarutan yang tercecer
Penyaringan Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi
karena limbah (ampas/ pendapatan pencemaran
limbah padat onggok) untuk akibat limbah
kepentingan lain padat
Ekstraksi Pati Pencemaran Menggunakan Efesiensi air Mengurangi
karena air kembali air sisa pencemaran
limbah proses separator akibat limbah
untuk proses
pencucian
Memanfaatkan Meningkatkan
limbah untuk pendapatan
biogas
Loss akibat Mengumpulkan Meningkatkan
proses pati yang rendemen
ekstraksi pati tertinggal
Pengemasan Pencemaran Mengumpulkan Meningkatkan Mereduksi
udara karena kembali tepung- rendemen polusi udara
tepung kasar tepung kasar
yang tersebut
beterbangan Penggunaan Kesehatan
masker pekerja
Skala
Teknis
No Opsi Total
prioritas
Tabel 19. Perhitungan studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri
tapioka
1. Memanfaatkan ampas / onggok untuk pakan ternak dengan penggemukan 100 ekor
sapi
Hasil penjualan 100 ekor sapi x Rp.20.000.000 2.000.000.000 Rupiah
Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas
dengan sistem CIGAR memberikan manfaat yang cukup menguntungkan, dengan
payback periode selama 7,33 bulan. Kondisi optimal sitem CIGAR ini akan
diperoleh apabila kontinuitas proses produksi berjalan baik, sehingga gas metana
yang dihasilkan akan stabil. Pemanfaatan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik
akan memberikan manfaat sebesar Rp.79.500.000,-. Industri tapioka dinilai sangat
menguntungkan apabila dapat menerapkan dengan baik perbaikan proses yang
direkomendasikan, sehingga dampak pencemaran terhadap lingkungan pun dapat
diminimalkan.
91
92
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Prinsip produksi bersih dapat diterapkan pada industri tepung tapioka. Proses
daur ulang penggunaan air merupakan alternatif sebagai peningkatan efisiensi
yang dapat dilakukan pada tahapan penggunaan limbah separator untuk pen-
cucian bahan baku. Efisiensi penggunaan air produksi sebesar 923,52 m3 hasil
dari daur ulang air sisa separator sehingga akan menghemat penggunaan air
bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan sebesar 3.420,43 m 3.
Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah tanah, maka akan
menghemat biaya sebesar Rp.955.843,- per hari.
2. Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi baru terbarukan merupakan
alternatif perbaikan efisiensi proses produksi tapioka. Energi yang dihasilkan
dari konversi gas metana setara sebesar 47.221,75 kWh/hari, sehingga bila
dimanfaatkan untuk proses produksi industri tapioka sangat mencukupi dari
energi yang dibutuhkan sebesar 39.904,2 kWh/hari. Kelebihan energi industri
tapioka sebesar 7.317,55 kWh/hari dikonversikan ke bahan bakar solar, maka
akan setara dengan 2.195,27 liter solar/hari. Energi yang dapat digunakan
industri tapioka untuk keperluan proses pengeringan menggunakan oven
sebesar 12.779,57 kWh bila dikonversi bahan bakar solar setara 3.833,87 liter,
maka kebutuhan bahan bakar solar tersebut dapat terpenuhi 100% seluruhnya.
Biaya operasional yang dibutuhkan untuk membeli bahan bakar solar sebesar
Rp.25.303.548,- dapat dihemat dengan memanfaatkan sumber energi baru
terbarukan. Kelebihan energi setelah dikurangi konsumsi energi untuk proses
pengeringan sebesar 7.317,55 kWh setara dengan bahan bakar solar sebanyak
2.195,27 liter dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp.
14,488,749,-. Kelebihan energi ini dapat digunakan untuk aktivitas lain di
sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor, perumahan dan penerangan.
Selain itu, berkurangnya gas CO2 dari hasil dekomposisi air limbah industri
tapioka adalah sebesar 4.562,84 tonCO2e. Perusahaan akan dapat memperoleh
CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang
93
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi AM. 2003. Analisis kelayakan finansial penerapan produksi bersih dan
kendala sosio kultural. Disampaikan pada Pelatihan TOT Cleaner
Production. Jakarta, 13 – 22 Oktober 2003.
Fluck, R.C. 1992. Energy conservation in agricultural transportation. In R.C.
Fluck (ed.), Energy in World Agriculture: Energy in Farm Production.
6:171-176. Elsevier, Amsterdam.
Grace MR. 1977. Cassava Processing. Rome: FAO of The United Nations.
Grady Jr. C.P.L. dan Lim H.C. 1980. Biological Wastewater Treatment, Theory
and Applications. Marcel Dekker Inc. New York.
Greenfield, R. E. 1971. Starch and Starch Product, p. 121-131. Di dalam: C.F.
Gurnham (ed.) Industrial waste water control. Academic Press, New York,
London.
Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Hanifah, T.A., Saeni, M.S., Adijuwana, H., Bintoro, H.M.H. 1999. Evaluasi
Kandungan Logam Berat Timbal dan Kadmium dalam Ubikayu (Manihot
esculenta Crantz). Buletin Ilmiah Gaku-ryoku, Vol.V (1).
Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Wartazoa. 16 (3): 160-169.
Hermawan, B., Q. Lailatul, P. Candrarini, dan P. S. Evan. 2007. Sampah
Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Artikel. http://www.chem-is-
try.org/?sect=fokus&ext=31. Diakses tanggal 28 Mei 2010.
Hien PG, Oanh LTK, Viet NT, Lettinga G. 1999. Closed wastewater system in the
tapioca industry in Vietnam. Water Sci Technol 39:89–96.
Hikmiyati, Nopita, dan Yanie, N.S. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit
Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Jurnal Penelitian
Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang.
Ikawati, dan Melati. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Limbah Kulit Singkong
UKM tapioka Kabupaten Pati. Jurnal Penelitian Teknik Kimia. Universitas
Diponegoro. Semarang.
IPCC.2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Volume 5
Waste, Chapter 6 Wastewater Treatment and discharge
Kamahara H., Hasanudin U., Atsuta Y., Widiyanto A., Tachibana R., Goto N.,
Daimon H., Fujie K. 2010. Methane Emission from Anaerobic Pond of
Tapioca Strach Extraction Wastewater in Indonesia. Journal of
Ecotechnology Research. 15 (2): 79-83.
Kunaefi, H. A. 1982. Tata Cara Pengendalian dan Kriteria Pencemaran
Lingkungan Akibat Industri. Seksi Lab & Instalkes Kanwil Propinsi Jawa
Barat.
Maiellaro N, Lerario A. 2000. Knowledge system for sustainable design. Sustain-
able building resource research. www.ba.cnr.it/iris/sustain, 13 Nopember
2002.
97
LAMPIRAN
101
1.Ingredient
a.) Ubikayu Terlalu muda atau terlalu tua Diganti / dikembalikan ke supplier Mempengaruhi konsentrasi pati, Usia ubikayu yang
kadar padatan terlarut optimum
Kadar pati rendah Disesuaikan dengan skala Mempengaruhi viskositas bubur pati Kadar pati sesuai
standar(24 %)
Banyak lender Dicuci sampai lendir hilang Produk akhir jelek; menyebabkan Tanpa lendir
reaksi pencoklatan
Warna kuning hingga lebam Diganti (dikembalikan ke supplier) Mempengaruhi warna tepung Warna putih cerah
2. Processing
b.) Pencucian Tidak bersih Mengulang proses pencucian; Mencemari tepung sehingga Bersih / tidak ada kulit
mengganti air secara periodik menurunkan kualitas produk yang masih terikut
Air terlalu banyak/ terlalu sedikit Menyesuaikan jumlah air Masih ada lendir yang dapat Bersih tanpa lendir
menyebabkan pencoklatan
c.) Pemarutan Tidak sempurna Menyempurnakan pemarutan Menurunkan kadar pati produk Kadar pati > 86 % kadar
serta halus rendah
Granula pati yang keluar terlalu Koreksi mesin Granula pati yang keluar <90% Granula pati yang keluar
sedikit > 90%
d.) Filtering Tidak sempurna, penyaring rusak Melakukan dengan sempurna, koreksi Kadar impurities yang rendah Mengurangi kemurnian
alat produk (mengandung
ampas)
Kandungan kotoran masih tinggi Melakukan dengan sempurna Kadar pati tinggi, kadar serat rendah Mengurangi kemurnian
produk
e.) Ekstraksi Serat masih terbawa Melakukan ekstraksi secara bertahap Kemurnian tinggi, kadar serat rendah Mempengaruhi
kemurnian produk
108
109
TINDAKAN
FAKTOR KEMUNGKINAN KOREKSI
DITOLAK DITERIMA
f.) De-Watering Kadar air susu pati masih tinggi Koreksi alat; putaran silinder diatur Kadar air sudah sesuai untuk drying Menyulitkan
konstan 1450 rpm pengeringan (beban
draying berat) produk
tidak kering
g.) Pengeringan Suhu terlalu rendah atau terlalu Drying pada temperatur optimum 50- Warna, rasa, bau yang sesuai Menurunkan kualitas
/drying tinggi 60oC; warna, bau, dan rasa
produk
Kelembaban tinggi Mengatur kelembaban yang sesuai; Produk yang kering Produk yang belum
meniupkan aliran udara panas; kontrol cukup kering
suhu
Kadar air awal pati basah masih Kembali ke (penyempurnaan tahap de- Drying sulit,produk tidak cukup Kadar air yang optimum
tinggi watering kering untuk drying
Waktu drying terlalu lama/ singkat Menyesuaikan dengan standar waktu Produk belum cukup kering Produk kering
Laju aliran udara tidak konstan Stabilisasi laju aliran udara Kadar air produk tidak seragam Kadar air produk yang
seragam
h.) Pengemasan Kontaminasi mikroba Penyimpanan aseptis Menurunkan kualitas (bau apek, Tidak ada perubahan
dan warna kuning karena jamur)
penyimpanan
109
110
2 Fasilitas
1. Gas Engine Genset System 3.2 MW 12,375,000,000.00
2. Equipment, pump, installation work 2,260,000,000.00
3. Piping System & Gas Piping 2,264,500,000.00
4. Gas Solid Separator, Plate Settle 1,150,000,000.00
5. Electrical & Control System 895,000,000.00
6. Gas Blower & Control Panel 265,000,000.00
7. Gas Flare 360,000,000.00
8. Acid Pond Mixer 462,500,000.00
9. Scada System & PLC Panel 243,000,000.00
Sub Total 20,275,000,000.00
3 Konstruksi 3,800,000,000.00
Sub Total 3,800,000,000.00
4 Lain-lain 250,000,000.00
Sub Total 250,000,000.00
TOTAL 25,000,000,000.00
111
Baseline
Quantity y.ww COD removed B0.ww Emission
jumlah M FCww GWP_CH4
(m3) (ton/m3) (CH4/kg COD) y.ww.tread (ton
CO2 e)
89,249 0.056448 0.016 0.21 0.8 21 5,038
Dimana:
- Quantity y.ww adalah jumlah limbah cair yang diolah melalui CIGAR
- COD removed = dihitung menggunakan asumsi efektivitas alat yang digunakan sesuai perhitungan yang dilakukan
pada saat perancangan yaitu 0,016 ton m3
- BO = bangkitan metane dari air limbah yang diolah berdasarkan perhitungan IPCC 2006 adalah 0,25 CH4/kg COD
- M FC = perhitungan faktor koreksi metanuntuk industri kecil yang digunakan oleh IPCC 2006 yaitu 0,8 (Tabel III.H.1)
- GWP = potensi pemanasan global yang diakibatkan oleh metan berdasarkan ketentuan dari UNFCCC yaitu 21
BEy.power= Egy*Efelectricity
Electricity Baseline
Generator in Emission y
EF electricity
year power
(M Wh) (ton CO2 e)
38.78 0.82 31.80
Dimana:
- Electricity Generator in year = jumlah listrik yang dibutuhkan oleh industri yaitu 38,78 M Wh per tahun
- EF electricity = faktor emisi dari penggunaan generator dengan bahan bakar fosil sesuai ketentuan UNFCCC yaitu 0,82
Baseline Baseline
Baseline
Emission in ww Emission in y
Emission
tread power (ton
(ton CO2 e)
(ton CO2 e) CO2 e)
Lampiran 12. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, 2006
113
Lampiran 13. Wawancara dengan petugas quality control dalam tahapan proses
produksi tapioka
Lampiran 14. Wawancara dengan Salah satu manager pabrik mengenai penentuan
kadar pati dalam ubikayu
114
Lampiran 18. Pengukuran di lokasi (Temperatur, pH, dan DO) bersama Dr. Ir.
Udin Hasanudin, M.T.
116
Lampiran 19. Kunjungan Prof.Dr.Ir. H.M.H. Bintoro, M.Agr. ke lokasi salah satu
industri tapioka
117
Lampiran 20. Limbah padat yang cukup melimpah masuk ke kolam penampungan
air limbah
Lampiran 21. Limbah onggok yang dihasilkan dari proses produksi industri tapioka
118
Lampiran 29. Reagen COD yang telah diisi sampel air limbah
121