Aspartat
Penentuan jenis kelamin dan usia merupakan poin penting dalam suatu identifikasi
mayat untuk mempermudah pencarian data korban dan membatasi upaya lain yang tidak
perlu yang dapat memperlambat dalam mengidentifikasi korban. Saat ini, metode DNA
adalah metode pilihan dalam menentukan jenis kelamin, namun dalam menentukan usia,
banyak metode yang dapat digunakan. Pada anak dan remaja metode berbasis morfologi
dapat digunakan dalam penentuan usia korban, seperti pemeriksaan radiologis untuk menilai
perkembangan tulang dan gigi. Namun, pada dewasa metode ini dinilai kurang akurat.
Tingkat akurasi menggunakan metode berbasis morfologi adalah lebih dari ±10 tahun. Pada
metode rasemisasi menggunakan asam aspartat dinilai lebih tepat dan akurat dalam
menentukan usia kronologis korban ketika meninggal dengan tingkat akurasi ±1 hingga±3
dijelaskan pada tahun 1975 oleh Helfman dan Bada dan sampai sekarang semakin marak
digunakan. Protein pada semua spesies mulai dari bakteri sampai manusia dibentuk dari 20
asam amino yang sama dan tidak berubah selama evolusi. Suatu asam amino α terdiri dari
gugus amino, gugus karboksil, atom H dan gugus R tertentu yang semuanya terikat pada
atom karbon α. Atom karbon ini disebut α karena bersebelahan dengan gugus karboksil
(asam). Gugus R menyatakan rantai samping. Susunan tetrahedral dari empat gugus yang
berbeda terhadap atom karbon α menyebabkan asam amino mempunyai aktivitas optik yang
mempunyai dua bentuk bayangan cermin disebut isomer L dan isomer D. (Murray RK, et al.
Harper’s Biochemistry 25th ed. Appleton & Lange. America 2000: 48-62)
Organisme hanya mensintesis asam amino-L, yang digabungkan dalam molekul
protein. Akan tetapi, setelah suatu organisme mati, populasi asam amino simetri kirinya
(bentuk L) secara perlahan-lahan diubah, yang mengakibatkan suatu campuran asam amino
bentuk L dan D. Proses ini disebut rasemisasi. Rasemisasi merupakan proses natural yang
pada akhirnya mengkonversi secara optikal komposisi aktif menjadi campuran rasemik.
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa suhu 25° dalam periode 100,000 tahun
diperlukan sebelum seluruh L-asam amino berubah secara lengkap menjadi D-asam amino.
Dengan mengetahui berlangsungnya laju kimia ini dapat ditentukan berapa lama organisme
tersebut telah mati.(Helfman P. M., Bada J. L. (1975) Aspartic acid racemization in tooth
enamel from living humans. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A 72, 2891–2894)
Dari semua asam amino, asam aspartat memiliki kecepatan rasemisasi paling besar
sehingga paling banyak dipakai dalam praktek forensik. Perubahan asam amino bentuk L
menjadi bentuk D dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu,kelembaban, pH, dan lain-
lain. Karena adanya perubahan bentuk yang kontinu dan degradasi dari asam amino, jaringan
dengan kecepatan metabolisme yang rendah lebih bagus dalam mengidentifikasi usia
daripada jaringan dengan kecepatan metabolisme yang cepat. Dalam hal ini, gigi merupakan
jaringan yang paling baik digunakan dalam mengidentifikasi usia karena pada kasus post
mortem yang memiliki interval kematian yang panjang, gigi masih dapat digunakan. (Alkass
untuk menentukan usia pada saat meninggal. Tahun 1990, Ritz dkk melaporkan bahwa banyaknya
asam aspartat pada dentin dapat digunakan untuk menentukan saat kematian,dan menyimpulkan
kalau metode ini dapat memberikan penentuan umur yang lebih akurat dibanding parameter umur
yang lain. Ketelitian metode ini adalah 3-4 tahun dari usia yang sesungguhnya. (Helfman P.
M., Bada J. L. (1975) Aspartic acid racemization in tooth enamel from living humans.
rendah
Pembersihan dari seluruh jaringan lunak dan ditempatkan di desikator dalam
dentin yang ada didalamnya, karena enamel bisa dipotong dari gigi yang
terdesikasi dengan mortar dan stamper, dimana dentin dan cementum biasanya
dengan air sulingan sebanyak tiga kali, etanol, dan etil eter selama 5 menit.
Potongan dentin kemudian ditumbuk kemudian sebanyak 10 mg bubuk
t = usia sesungguhnya
(Ohtani S., Yamamoto T. (2010) Age estimation by amino acid racemization in human