Anda di halaman 1dari 24

KONSEP DASAR TUBERKULOSIS

1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menahun menular yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru-paru, kemudian menyebar dari paru-paru
ke organ tubuh yang lain melalui peredaran darah, yaitu : kelenjar limfe, saluran pernafasan
atau penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Depkes RI, 2002).
Tuberkulos adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal,
tulang dan nodus limfe (Smeltzer 2001).

1.2 Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis.. Kuman Mycobacterium
Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan
lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smelzer, 2001: 5584).
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat
tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant.Dari sifat dormant
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi (Bahar, 1999: 715).
Sifat lain kuman ini adalah kuman aerob, sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenani jaringan yang lebih tinggi kandungan oksigennya.Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal
inimerupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis.
Kuman TBC menyebar melalui udara (batuk,tertawa dan bersin) dan melepaskan droplet.
Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman, akan tetapi kuman dapat hidup beberapa
jam dalam suhu kamar (Dep Kes RI 2002).

1.3 Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan
dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara,
yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal
dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan
reaksi inflamasi Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ,basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah
hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan
bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan
dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas
penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang
lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang
kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier.
Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di
luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks,
efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis
usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.

1.4 Manifestasi Klinik


Tanda dan gejala yang sering terjadi pada tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik
tetapi progresif. Biasanya tiga minggu atau lebih dan ada dahak. Selain tanda-tanda tersebut
diatas, penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya
keluhan yang muncul adalah :
a. Demam : terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan
produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan
sputum ).
c. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
d. Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari.

1.5 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan
dimulai. Klasifikasi penyakit
a. Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam
1. Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+).
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberculosis aktif.
2. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas
b. Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex,
TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
Tipe penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat denga
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
c) Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahhhan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah (Form TB.09).
d) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian dating kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).

1.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Diagnostik.
b. Pemeriksaan sputum
c. Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya kuman BTA
diagnosis tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu:
dahak sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan
hasil dua kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali
negatif maka pemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan
didapatkan satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA negatif. Untuk
memastikan jenis kuman mengidentifikasi perlu dilakukan pemeriksaan biakan/kultur
kuman dari dahak yang diambil (Depkes RI, 2002).
d. Ziehl-Neelsen (pewarnaan terhadap sputum)
e. Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
f. Skin test (PPD, Mantoux)
g. Hasil tes mantoux dibagi menjadi dalam;
h. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : mantoux negative
i. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan
j. Indurasi 10-15 mm : hasil mantoux positif
k. Indurasi lebih dari 16 mm : hasil mantouk positif kuat
l. Reaksi timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intra kutan,berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni persenyawaan antara antibody dan antigen
tuberculin.
m. Rontgen dada menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan
perkembangan tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
n. Pemeriksaan histologi/kultur jaringan
o. Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
p. Biopsi jaringan paru
q. Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya nekrosis.
r. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hipernatremia yang
disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit tuberkulosis kronis.
s. Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
t. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio residu udara
pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi
parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis
kronis).

1.7 Penatalaksanaan
a. Pengobatan TBC Paru
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberculosis adalah: menyembuhkan,
mencegah kematian,dan kekambuhan, menurunkan tingkat penularan (Depkes RI. 2002).
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi,
kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan
secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi
dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan
dianjurkan juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2
RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat
( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni
2RHZ / 7RH. Departemen Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan
TB Paru dengan panduan 1RHE / 5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka
panjang 12–18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.

Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :

1. Obat anti TB tingkat satu


Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Sterptomisin ( S ).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin ( K ), Para-Amino-Salicylic Acid ( P ),Tiasetazon ( T ), Etionamide,
Sikloserin, Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin,
Norfloksasin, Klofazimin dan lain-lain.
Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan
beberapa macam yang teakhir yaitu golongan aminoglikosid dan quinolon masih
dalam tahap eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut baru
berhasil bila obat-obat yang relatif mahal ( R & Z ) tersedia sampai akhir masa
pengobatan. Di beberapa negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak
yang gagal mencapai angka kesembuhan yang ( cure rate ) ditargetkan yakni 85 %
karena :
 Program pemberantasan kurang baik
 Buruknya kepatuhan berobat

Hal ini menyebabkan :

- Populasi TB semakin meluas


- Timbulnya resistensi terhadap bermacam obat

Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB. Menyadari
bahaya tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam
pengobatan TB Paru sebagai berikut :

 Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni


Tahap intensif ( initial ), dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari
dengan tujuan :
1. Mendapatkan konversi sputum dengan cepat ( efek bakterisidal )
2. Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
3. Mencegah timbulnya resistensi obat

Tahap lanjutan ( continuation phase ), dengan hanya memberikan 2 macam obat


per hari atau secara intermitten dengan tujuan :

1. Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi )


2. Mencegah kekambuhan

Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50
kg dan lebih dari 50 kg.

Pengobatan dibagi atas 4 katagori yakni :

1. Katagori I
Ditujukan terhadap :
 Kasus baru dengan sputum negative
 Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti meningitis, TB diseminata,
perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis,
kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB usus, TB genito
urinarius.

Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS ( E ). Bila setelah


dua bulan BTA menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila
setelah dua bulan masih positif, tahap intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4
minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer
terhadap INH rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni
RHZ.

Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3.


Pasien dengan TB berat ( meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan
kelainan neurologis ), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6 – 7 bulan.
Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T ).

2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE / 1RHZE. Bila
setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap
lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap
intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan
BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu
diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan
dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan
ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif
BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus diawasi dengan ketat di RS
rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar. Bila data
menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan
menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5
R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap
positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.
3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
 Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
 Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3

Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila


kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum
remisi sempurna, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama
empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T )

4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat
anti TB (sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien
mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat
dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental
sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu
cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi
infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru
telah mulai dengan paduan obat : 2RHZE / 4R3HE ( kategori I ), 2 RHZSE / 1
RHZE / 5 R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3 ( kategori IV ).
5. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis ( hilangnya
keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain ),
berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,
4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa
pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir
bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada
pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal
terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat
pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu
pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah
perifer. Asam urat darah perlu diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila
terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena R dan H ), maka obat yang
hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat
dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara
desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan
tes audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan
pengobatan tahap intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat
prevalensi pasien yang resisten terhadap obat anti TB makin meningkat dan
sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika,
diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap obat anti TB
saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Single Stranded
Confirmation Polymorphism) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 99% BTA yang resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60%
terhadap S.

Ada 3 Dampak masalah.

a. Terhadap individu.
1) Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus,
sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi.
2) Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena
batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari yang kurang
menyenangkan.
3) Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan
penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.
4) Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan Tuhan karena
penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap
penyakitnya yang manakutkan
5) Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga.
1) Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena
kurang pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta
kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan upaya
pencegahan penularan penyakit.
2) Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai
pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat biaya hidup
sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3) Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4) Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar
masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru .
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta
pengobatan Penderita TB Paru positif tidak teratur atau droup out
pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi oleh
karena cara penularan penyakit TB Paru
Untuk keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia
(WHO) dilakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatmen
Shortcourse). Strategi ini merupakan yang paling efektif untuk mengontrol
pengobatan tuberculosis .
Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua
kalangan, semua orang yang batuk dalam 3 minggu harus diperiksa
dahaknya, harus ada obat yang disiapkan oleh pemerintah, pengobatan
harus dipantau selama 6 bulan oleh Pengawas Minum Obat (PMO) dan
ada system pencatatan/pelaporan.

Perawatan bagi penderita TBC, Perawatan yang harus dilakukan pada


penderita tuberculosis adalah :

1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang
terdekat yaitu keluarga.
2) Mengetahui adanya gejala samping obat dan merujuk bila diperlukan.
3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua,
kelima dan enam
6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan
yang baik (Depkes RI, 2002)

Pencegahan penularan TBC, Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan


adalah :

1) Menutup mulut bila batuk


2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada
wadah tertutup yang diberi lisol
3) Makan, makanan bergizi
4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita
5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2002)
Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga

Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan yang diberikan melalui
praktek keperawatan, keluarga untuk membantu menyelesaikan masalah kesehatan keluarga
tersebut dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan (Depkes RI, 1998:3).

Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan secara sistematis untuk
mengkaji dan menentukan masalah kesehatan dan keperawatan keluarga, merencanakan asuhan
keperawatan dan melaksanakan intervensi keperawatan terhadap keluarga sesuai rencana yang
telah disusun dan mengevaluasi mutu hasil asuhan keperawatan yang dilaksanakan terhadap
keluarga (Effendi, 1998:55).

1. Pengkajian
Lima tahap proses keperawatan terdiri dari pengkajian terhadap keluarga, identifikasi
masalah keluarga dan individu (diagnosa keperawatan), rencana keperawatan, implementasi
rencana pengerahan sumber-sumber dan evaluasi perawatan.
Proses keperawatan memiliki tahapan-tahapan yang saling bergantung dan disusun secara
sistematis untuk menggambarkan perkembangan dari tahap satu ke tahap lain,
(Friedman,1998:55).
Menurut Friedman (1998:56) proses pengkajian keperawatan dengan pengumpulan
informasi secara terus-menerus terhadap arti yang melekat pada informasi yang sedang
dikumpulkan tersebut. Pengkajian yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi dengan
cara sistematis, diklasifikasi dianalisa artinya.

Pengumpulan data

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara wawancara, pengamatan, studi


dokumentasi (melihat KMS, kaetu keluarga) dan pemeriksaan fisik (Effendi,1998:47).

Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Identitas keluarga, yang dikaji adalah umur,pekerjaan dan tempat tinggal.


Yang beresiko menjadi penderita tuberculosis adalah: individu tanpa perawatan
kesehatan yang adekuat (tuna wisma,tahanan), dibawah umur 15 tahun dan dewasa
muda antara 15-44 tahun ,tinggal ditempat kumuh dan perumahan di bawah standart
dan pekerjaan.
b. Latar belakang budaya atau kebiasaan keluarga
 Kebiasaan makan
Pada penderita tuberculosis mengalami nafsu makan menurun bila terjadi terus
menerus akan menyebabkan penderita menjadi lemah. Bagi penderita tuberculosis
dianjurkan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) (Tempointeraktif, 23 Juli
2005).
 Pemanfaatkan fasilitas kesehatan
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sangat
berpengaruh dalam perawatan tuberculosis baik untuk mendapatkan informasi
maupun pengobatan. Beberapa tempat yang memberikan pelayanan kesehatan
bagi tuberculosis adalah Puskesmas, BP4, Rumah Sakit dan Dokter pratek swasta
(Depkes RI, 2002).
 Status Sosial Ekonomi
Pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan keluarga
dalam mengatasi masalah dalam keluarga (Effendy, 1998). Sebaliknya dengan
tingkat pendidikan tinggi keluarga akan mampu mengenal masalah dan mampu
mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah.
 Pekerjaan dan Penghasilan
Pekerjaan dan penghasilan merupakan hal yang sangat berkaitan. Penghasilan
keluarga akan menentukan kemampuan mengatasi masalah kesehatan yang ada.
Kemampuan menyediakan perumahan yang sehat, kemampuan pengobatan
anggota keluarga yang sakit dan kemampuan menyediakan makanan dengan Gizi
yang seimbang. 60% penderita tuberculosis adalah penduduk miskin (Sinar
Harapan, 23 Juli 2005).
 Aktivitas
Selain kebutuhan makanan, kebutuhan istirahat juga harus diperhatikan. Bagi
penderita tuberculosis dianjurkan istirahat minimal 8 jam perhari (Depkes RI,
2002).
 Tingkat perkembangan dan riwayat keluarga
Tingkat perkembangan pada tahap pembentukan keluarga akan didapati masalah
dengan social ekonomi yang rendah karena harus belajar menyesuaikan dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Keluarga baru belajar memecahkan masalah.
Dengan keadaan tersebut berpengaruh pada tingkat kesehatan keluarga. Social
ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan masalah kesehatan
yang mereka hadapi disebabkan karena ketidak mampuan dan ketidak tahuan
dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi (Effendy,1998). Tidak adanya
riwayat keluarga yang mempunyai masalah kesehatan tidak berpengaruh pada
status kesehatan keluarga.
Data lingkungan
1. Karakteristik rumah
Keadaan rumah yang sempit, ventilasi kurang, udara yang lembab termasuk
rumah dengan kondisi di bawah standart kesehatan. Salah satu factor yang
bisa menyebabkan kuman tuberculosis bertahan hidup adalah kondisi udara
yang lembab (Depkes RI, 2002).
a. Karakteristik lingkungan
Lingkungan rumah yang bersih, pembuangan sampah dan pembuangan
limbah yang benar dapat mengurangi penularan TBC dan menghambat
pertumbuhan bakteri tuberkulosa. TBC sangat erat berhubungan dengan
kondisi lingkungan yang kumuh .
b. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Kuman tuberculosis dapat menular dari ke orang melalui udara. Semakin
sering kontak langsung dengan penderita bereksiko sekali tertular TBC.
Terutama yang merawat di rumah berkesempatan terkena TBC dari pada
yang berada di tempat umum
2. Struktur keluarga
a. Pola komunikasi
Bila dalam keluarga komunikasi yang terjadi secara terbuka dan dua arah
akan sangat mendukung bagi penderita TBC. Saling mengingatkan dan
memotivasi penderita untuk terus melakukan pengobatan dapat
mempercepat proses penyembuhan.
b. Struktur peran keluarga
Bila anggota keluarga dapat menerima dan melaksanakan perannya
dengan baik akan membuat anggota keluarga puas dan menghindari
terjadinya konflik dalam keluarga dan masyarakat.
c. Struktur kekuatan keluarga
Kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan
orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan secara musyawarah
akan dapat menciptakan suasana kekeluargaan. Akan timbul perasaan
dihargai dalam keluarga.
d. Nilai atau norma keluarga
Perilaku individu masing-masing anggota keluarga yang ditampakan
merupakan gambaran dari nilai dan norma yang berlaku dalam
keluarga.(Suprajitno,.2004: 7)
3. Fungsi Keluarga (Friedman, 1998)
a. Fungsi Afektif
Keluarga yang saling menyayangi dan peduli terhadap anggota keluarga
yang sakit TBC akan mempercepat proses penyembuhan. Karena adanya
partisipasi dari anggota keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
sakit.
b. Fungsi Sosialisasi dan Tempat Bersosialisasi
Fungsi keluarga mengembangkan dan melatih untuk berkehidupan sosial
sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain.
Tidak ada batasan dalam bersosialisasi bagi penderita dengan lingkungan
akan mempengaruhi kesembuhan penderita asalkan penderita tetap
memperhatikan kondisinya .Sosialisasi sangat diperlukan karena dapat
mengurangi stress bagi penderita.
c. Fungsi Perawatan/Pemeliharaan Kesehatan
Dikaitkan dengan kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas
keluarga di bidang kesehatan yaitu :
 Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan
karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena
kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga
habis. Ketidak sanggupan keluarga dalam mengenal masalah
kesehatan pada keluarga salah satunya disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan . Kurangnya pengetahuan keluarga tentang pengertian,
tanda dan gejala, akibat, pancegahan, perawatan dan pengobatan TBC.
 Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga,dengan
pertimbangkan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan menentukan tindakan .keluarga.Tindakan kesehatan yang
dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
dapat dikurangi bahkan teratasi. Ketidak sanggupan keluarga
mengambil keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat,
disebabkan karena keluarga tidak memahami mengenai sifat, berat dan
luasnya masalah serta tidak merasakan menonjolnya masalah.
 Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
Keluarga dapat mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi
keluarga memiliki keterbatasan. Ketidakmampuan keluarga merawat
anggota keluarga yang sakit dikarenakan tidak mengetahui cara
perawatan pada penyakitnya. Jika demikian, anggota keluarga yang
mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan
atau perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan.
 Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan
keluarga
Pemeliharaan lingkungan yang baik akan meningkatkan kesehatan
keluarga dan membantu penyembuhan. Ketidakmampuan keluarga
dalam memodifikasi lingkungan bisa di sebabkan karena terbatasnya
sumber-sumber keluarga diantaranya keuangan, kondisi fisik rumah
yang tidak memenuhi syarat.
 Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi
keluarga
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan akan membantu anggota keluarga yang sakit memperoleh
pertolongan dan mendapat perawatan segera agar masalah teratasi.

4. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.Dan juga tempat mengembangkan fungsi
reproduksi secara universal, diantaranya : seks yang sehat dan berkualitas,
pendidikan seks pada anak sangat penting.
5. Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti
kebutuhan makan, pakaian dan tempat untuk berlindung (rumah).Dan
tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
6. Koping keluarga
Bila koping keluarga tidak efektif terhadap stressor yang akan
menyebabkan stress yang berkepanjangan.Hal ini akan mempengaruhi
daya tahan tubuh .
2. Perumusan Diagnosa Keperawatan
Perumusan diagnosis keperawatan keluarga menggunakan aturan yang telah disepakati,
terdiri dari Masalah (problem, P) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota (individu).
Penyebab (etiology ,E) adalah suatu pernyataan yang dapat menyebabkan masalah
dengan mengacu kepada lima tugas keluarga, yaitu mengenal masalah, mengambil keputusan
yang tepat, merawat anggota keluarga, memelihara lingkungan, atau memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan .
Tanda (Sign, S) adalah sekumpulan data subyektif dan obyektif yang diperoleh perawat
dari keluarga secara langsung atau tidak yang mendukung masalah dan penyebab.
Apabila perawat merumuskan diagnosis keperawatan lebih dari satu perlu dilakukan skor
Proses skoring menggunakan skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglaya (1978).
Proses scoring untuk setiap diagnosis keperawatan:
Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang di buat perawat.
• Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan dengan bobot.
Skor yang diperoleh
_______________ x bobot
Skor tertinggi
• Jumlah skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama dengan jumlah bobot, yaitu 5).
Tipologi diagnosis keperawatan keluarga dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Diagnosis actual adalah masalah keperwatan yang sedang dialami oleh keluarga
dan memerlukan bantuan dari perawat dengan cepat.
2. Diagnosis resiko / resiko tinggi adalah masalah keperawatan yang belum terjadi,
tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan actual dapat terjadi dengan cepat
apabila tidak segera mendapat bantuan perawat.
3. Diagnosis potensial adalah suatu keadaan sejahtera dari keluarga ketika keluarga
telah mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya dan mempunyai sumber
penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat ditingkatkan.

Diagnosa yang mungkin muncul pada keluarga dengan penyakit TBC adalah :

1. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia


2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan secret yang keluar
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret yang
berlebih.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplay O2 yang menurun
(Doenges,1999:240-247).

Dalam merumuskan diagnosa dalam keperawatan keluarga perlu dilakukan prioritas


masalah dan adanya kriteria prioritas masalah.

Prioritas masalah

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam prioritas masalah adalah sebagai berikut :
a. Tidak mungkin masalah-masalah kesehatan dan keperawatan yang ditemukan dalam
keluarga dapat diatasi sekaligus.
b. Perlu mempertimbangkan masalah-masalan yang dapat mengancam kehidupan
keluarga seperti masalah penyakit.
c. Perlu mempertimbangkan respon dan perhatian keluarga terhadap asuhan
keperawatan yang akan diberikan.
d. Keterlibatan keluarga dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi.
e. Sumber daya keluarga yang dapat menunjang pemecahan masalah kesehatan/
keperawatan keluarga.
f. Penetahuan dan kebudayaan keluarga (Effendy,1998).

Kriteria prioritas masalah

Beberapa kriteria dalam penyusunan prioritas masalah menurut Effendy (1998:52)

1. Sifat masalah, dikelompokkan menjadi : ancaman kesehatan, keadaan sakit atau


kurang sehat dan situasi krisis.
2. Kemungkinan masalah dapat dirubah, adalah kemungkinan keberhasilan untuk
mengurangi masalah atau mencegah masalah bila dilakukan intervensi keperawatan
dan kesehatan.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masalah TBC dapat dirubah adalah:

a. Pengetahuan dan tindakan untuk menangani masalah TBC.


b. Sumber daya keluarga, diantaranya adalah keuangan, tenaga, sarana dan prasarana.
c. Sumber daya perawatan, diataranya adalah pengetahuan dan ketrampilan dalam
penanganan masalah TBC serta waktu.
d. Sumber daya masyarakat, dapat dalam bentuk fasilitas, organisasi, seperti
posyandu, polindes dan sebagainya.
3. Potensi masalah TBC untuk dicegah, adalah sifat dan beratnya masalah TBC yang
akan timbul dan dapat dikuraangi atau dicegah melalui tindakan keperawatan dan
kesehatan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melihat potensi pencegahan masalah TBC adalah :
a. Kepelikan/kesulitan masalah,hal ini berkaitan dengan beratnya penyakit atau masalah
TBC yang menunjukkan pada prognosa dan beratnya TBC yang diderita oleh anggota
keluarga.
b. Tindakan yang sudah dan sedang dijalankan, adalah tindakan untuk mencegah dan
mengobati masalah TBC dalam rangka meningkatkan status kesehatan keluarga.
c. Lamanya masalah, berhubungan dengan beratnya masalah TBC pada keluarga dan
potensi masalah untuk dicegah.
d. Adanya kelompok resiko tinggi dalam keluarga atau kelompok yang sangat peka
menambah potensi untuk mencegah masalah.
e. Menonjolnya masalah TBC,adalah cara keluarga melihat dan menilai masalah TBC
dalam hal beratnya dan mendesaknya untuk diatasi melalui intervensi keperawatan
dan kesehatan.
3. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan mencakup tujuan umum dan khusus yang didasarkan pada
masalah yang dilengkapi dengan kriteria dan standar yang mengacu pada penyebab.
Selanjutnya merumuskan tindakan keperawatan yang berorientasi pada kriteria dan standart.
Ada beberapa tingkatan tujuan dalam penyusunan rencana keperawatan menurut
Friedman (1998;64). Tujuan jangka pendek yang sifatnya dapat diukur, langsung dan spesifik.
Dan tujuan jangka panjang yang merupakan tingkatan akhir yang menyatakan maksud-
maksud luas yang diharapkan oleh perawat dan keluarga agar dapat tercapai.
Penyusunan kriteria evaluasi dan standar evaluasi, disesuaikan dengan sumber daya yang
ada pada keluarga Tn .S yaitu biaya, pengetahuan dan sikap dari keluarga Tn.S berupa respon
verbal, afektif dan psikomotor untuk mengatasi masalahnya.

Tujuan asuhan keperawatan pada keluarga dengan masalah TBC :

1. Tujuan jangka pendek antara lain :


Setelah di berikan informasi kepada keluarga mengenai TBC, maka keluarga mampu
mengenal masalah TBC, mampu mengambil keputusan dan mampu merawat anggota
keluarga yang menderita TBC.
Kriteria evaluasi :
a. Respon verbal,keluarga mampu menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, penyebab,
cara penularan perawatan dan pencegahan TBC.
b. Respon efektif, keluarga mampu merawat anggota keluarga yang menderita TBC.
c. Respon Psikomotor, keluarga mampu memodifikasi lingkungan bagi penderita TBC.

Standar evaluasi :

Pengertian, tanda dan gejala, penyebab, cara pencegahan TBC, cara pencegahan
penularan dan cara perawatan TBC.

2. Tujuan jangka panjang


Masalah TBC dalam keluarga dapat teratasi / dikurangi setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
Tahap intervensi diawali dengan penyelesaian perencanaan perawatan. Seperti
pendapat Friedman (1998: 67). Selama pelaksanaan intervensi keperawatan, data-data
baru secara terus-menerus mengalir masuk. Karena informasi ini (respon dari klien,
perubahan situasi, dll) dikumpulkan, perawat perlu cukup fleksibel dan dapat beradaptasi
untuk mengkaji ulang situasi keluarga dengan membuat modifikasi-modifikasi tanpa
rencana terhadap perencanaan. Dalam memilih tindakan keperawatan tergantung pada
sifat masalah dan sumber-sumber yang tersedia untuk pemecahan.
Intervensi pada keluarga dengan masalah TBC antara lain sebagai berikut (Doenges,
1999) :
1. Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tissue dan
menghindarkan meludah di sembarang tempat.
2. Dorongan keluarga untuk memberi makanan yang bergizi.
3. Kontrol berat badan secara periodic
4. Dorong pasien untuk makan sedikit tapi sering dengan makanan tinggi karbohidart
dan tinggi protein.
5. Dorong pasien untuk minum obat secara teratur
4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap keluarga, didasarkan pada rencana keperawatan
yang telah disusun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap keluarga
dengan TBC adalah :
a. Sumber daya Keluarga (keuangan)
Sumber daya (keuangan) yang memadai diharapkan mampu menunjang proses
penyembuhan pada anggota keluarga yang menderita TBC
b. Tingkat pendidikan keluarga
Tingkat pendidikan keluarga dapat mempengaruhi kemampuam keluarga dalam
mengenal masalah TBC dan mengambil keputusan mengenai tindakan yang tepat
terhadap anggota keluarga yang menderita TBC.
c. Adat istiadat yang berlaku
Adat istiadat yang berlaku berpengaruh pada kemampuan kelurga dalam merawat
anggota keluarga yang menderita TBC
d. Respon dan penerimaan keluarga
Respon dan penerimaan keluarga sangat berpengaruh pada penyembuhan karena keluarga
mampu memberi motivasi.
e. Sarana dan prasarana yang ada pada keluarga
Dengan adanya sarana dan prasarana yang baik pada keluarga akan memudahkan
keluarga dalam memberikan perawatan dan pengobatan pada anggota keluarga yang
menderita TBC.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Menurut Friedman (1998)
evaluasi didasarkan pada bagaimana efektifnya intervensi-intervensi yang dilakukan oleh
keluarga, perawat dan yang lainnya. Ada beberapa metode evaluasi yang dipakai dalam
perawatan. Faktor yang paling penting adalah bahwa metode tersebut harus disesuaikan
dengan tujuan dan intervensi yang sedang dievaluasi. Bila tujuan tersebut sudah tercaapai
maka kita membuat recana tindak lanjut.

Anda mungkin juga menyukai