Konsep TBC
Konsep TBC
1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menahun menular yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru-paru, kemudian menyebar dari paru-paru
ke organ tubuh yang lain melalui peredaran darah, yaitu : kelenjar limfe, saluran pernafasan
atau penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Depkes RI, 2002).
Tuberkulos adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal,
tulang dan nodus limfe (Smeltzer 2001).
1.2 Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis.. Kuman Mycobacterium
Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan
lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smelzer, 2001: 5584).
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat
tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant.Dari sifat dormant
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi (Bahar, 1999: 715).
Sifat lain kuman ini adalah kuman aerob, sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenani jaringan yang lebih tinggi kandungan oksigennya.Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal
inimerupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis.
Kuman TBC menyebar melalui udara (batuk,tertawa dan bersin) dan melepaskan droplet.
Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman, akan tetapi kuman dapat hidup beberapa
jam dalam suhu kamar (Dep Kes RI 2002).
1.3 Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan
dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara,
yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal
dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan
reaksi inflamasi Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ,basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah
hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan
bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan
tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan
dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas
penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang
lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang
kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier.
Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di
luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks,
efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis
usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.
1.5 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan
dimulai. Klasifikasi penyakit
a. Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam
1. Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+).
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberculosis aktif.
2. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas
b. Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex,
TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
Tipe penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat denga
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
c) Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahhhan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah (Form TB.09).
d) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian dating kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
1.7 Penatalaksanaan
a. Pengobatan TBC Paru
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberculosis adalah: menyembuhkan,
mencegah kematian,dan kekambuhan, menurunkan tingkat penularan (Depkes RI. 2002).
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi,
kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan
secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi
dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan
dianjurkan juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2
RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat
( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni
2RHZ / 7RH. Departemen Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan
TB Paru dengan panduan 1RHE / 5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka
panjang 12–18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB. Menyadari
bahaya tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam
pengobatan TB Paru sebagai berikut :
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50
kg dan lebih dari 50 kg.
1. Katagori I
Ditujukan terhadap :
Kasus baru dengan sputum negative
Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti meningitis, TB diseminata,
perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis,
kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB usus, TB genito
urinarius.
2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE / 1RHZE. Bila
setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap
lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap
intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan
BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu
diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan
dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan
ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif
BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus diawasi dengan ketat di RS
rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar. Bila data
menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan
menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5
R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap
positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.
3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat
anti TB (sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien
mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat
dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental
sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu
cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi
infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru
telah mulai dengan paduan obat : 2RHZE / 4R3HE ( kategori I ), 2 RHZSE / 1
RHZE / 5 R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3 ( kategori IV ).
5. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis ( hilangnya
keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain ),
berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,
4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa
pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir
bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada
pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal
terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat
pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu
pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah
perifer. Asam urat darah perlu diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila
terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena R dan H ), maka obat yang
hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat
dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara
desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan
tes audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan
pengobatan tahap intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat
prevalensi pasien yang resisten terhadap obat anti TB makin meningkat dan
sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika,
diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap obat anti TB
saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Single Stranded
Confirmation Polymorphism) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 99% BTA yang resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60%
terhadap S.
a. Terhadap individu.
1) Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus,
sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi.
2) Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena
batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari yang kurang
menyenangkan.
3) Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan
penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.
4) Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan Tuhan karena
penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap
penyakitnya yang manakutkan
5) Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga.
1) Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena
kurang pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta
kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan upaya
pencegahan penularan penyakit.
2) Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai
pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat biaya hidup
sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3) Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4) Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar
masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru .
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta
pengobatan Penderita TB Paru positif tidak teratur atau droup out
pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi oleh
karena cara penularan penyakit TB Paru
Untuk keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia
(WHO) dilakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatmen
Shortcourse). Strategi ini merupakan yang paling efektif untuk mengontrol
pengobatan tuberculosis .
Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua
kalangan, semua orang yang batuk dalam 3 minggu harus diperiksa
dahaknya, harus ada obat yang disiapkan oleh pemerintah, pengobatan
harus dipantau selama 6 bulan oleh Pengawas Minum Obat (PMO) dan
ada system pencatatan/pelaporan.
1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang
terdekat yaitu keluarga.
2) Mengetahui adanya gejala samping obat dan merujuk bila diperlukan.
3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua,
kelima dan enam
6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan
yang baik (Depkes RI, 2002)
Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan yang diberikan melalui
praktek keperawatan, keluarga untuk membantu menyelesaikan masalah kesehatan keluarga
tersebut dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan (Depkes RI, 1998:3).
Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan secara sistematis untuk
mengkaji dan menentukan masalah kesehatan dan keperawatan keluarga, merencanakan asuhan
keperawatan dan melaksanakan intervensi keperawatan terhadap keluarga sesuai rencana yang
telah disusun dan mengevaluasi mutu hasil asuhan keperawatan yang dilaksanakan terhadap
keluarga (Effendi, 1998:55).
1. Pengkajian
Lima tahap proses keperawatan terdiri dari pengkajian terhadap keluarga, identifikasi
masalah keluarga dan individu (diagnosa keperawatan), rencana keperawatan, implementasi
rencana pengerahan sumber-sumber dan evaluasi perawatan.
Proses keperawatan memiliki tahapan-tahapan yang saling bergantung dan disusun secara
sistematis untuk menggambarkan perkembangan dari tahap satu ke tahap lain,
(Friedman,1998:55).
Menurut Friedman (1998:56) proses pengkajian keperawatan dengan pengumpulan
informasi secara terus-menerus terhadap arti yang melekat pada informasi yang sedang
dikumpulkan tersebut. Pengkajian yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi dengan
cara sistematis, diklasifikasi dianalisa artinya.
Pengumpulan data
4. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.Dan juga tempat mengembangkan fungsi
reproduksi secara universal, diantaranya : seks yang sehat dan berkualitas,
pendidikan seks pada anak sangat penting.
5. Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti
kebutuhan makan, pakaian dan tempat untuk berlindung (rumah).Dan
tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
6. Koping keluarga
Bila koping keluarga tidak efektif terhadap stressor yang akan
menyebabkan stress yang berkepanjangan.Hal ini akan mempengaruhi
daya tahan tubuh .
2. Perumusan Diagnosa Keperawatan
Perumusan diagnosis keperawatan keluarga menggunakan aturan yang telah disepakati,
terdiri dari Masalah (problem, P) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota (individu).
Penyebab (etiology ,E) adalah suatu pernyataan yang dapat menyebabkan masalah
dengan mengacu kepada lima tugas keluarga, yaitu mengenal masalah, mengambil keputusan
yang tepat, merawat anggota keluarga, memelihara lingkungan, atau memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan .
Tanda (Sign, S) adalah sekumpulan data subyektif dan obyektif yang diperoleh perawat
dari keluarga secara langsung atau tidak yang mendukung masalah dan penyebab.
Apabila perawat merumuskan diagnosis keperawatan lebih dari satu perlu dilakukan skor
Proses skoring menggunakan skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglaya (1978).
Proses scoring untuk setiap diagnosis keperawatan:
Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang di buat perawat.
• Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan dengan bobot.
Skor yang diperoleh
_______________ x bobot
Skor tertinggi
• Jumlah skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama dengan jumlah bobot, yaitu 5).
Tipologi diagnosis keperawatan keluarga dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Diagnosis actual adalah masalah keperwatan yang sedang dialami oleh keluarga
dan memerlukan bantuan dari perawat dengan cepat.
2. Diagnosis resiko / resiko tinggi adalah masalah keperawatan yang belum terjadi,
tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan actual dapat terjadi dengan cepat
apabila tidak segera mendapat bantuan perawat.
3. Diagnosis potensial adalah suatu keadaan sejahtera dari keluarga ketika keluarga
telah mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya dan mempunyai sumber
penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat ditingkatkan.
Diagnosa yang mungkin muncul pada keluarga dengan penyakit TBC adalah :
Prioritas masalah
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam prioritas masalah adalah sebagai berikut :
a. Tidak mungkin masalah-masalah kesehatan dan keperawatan yang ditemukan dalam
keluarga dapat diatasi sekaligus.
b. Perlu mempertimbangkan masalah-masalan yang dapat mengancam kehidupan
keluarga seperti masalah penyakit.
c. Perlu mempertimbangkan respon dan perhatian keluarga terhadap asuhan
keperawatan yang akan diberikan.
d. Keterlibatan keluarga dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi.
e. Sumber daya keluarga yang dapat menunjang pemecahan masalah kesehatan/
keperawatan keluarga.
f. Penetahuan dan kebudayaan keluarga (Effendy,1998).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melihat potensi pencegahan masalah TBC adalah :
a. Kepelikan/kesulitan masalah,hal ini berkaitan dengan beratnya penyakit atau masalah
TBC yang menunjukkan pada prognosa dan beratnya TBC yang diderita oleh anggota
keluarga.
b. Tindakan yang sudah dan sedang dijalankan, adalah tindakan untuk mencegah dan
mengobati masalah TBC dalam rangka meningkatkan status kesehatan keluarga.
c. Lamanya masalah, berhubungan dengan beratnya masalah TBC pada keluarga dan
potensi masalah untuk dicegah.
d. Adanya kelompok resiko tinggi dalam keluarga atau kelompok yang sangat peka
menambah potensi untuk mencegah masalah.
e. Menonjolnya masalah TBC,adalah cara keluarga melihat dan menilai masalah TBC
dalam hal beratnya dan mendesaknya untuk diatasi melalui intervensi keperawatan
dan kesehatan.
3. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan mencakup tujuan umum dan khusus yang didasarkan pada
masalah yang dilengkapi dengan kriteria dan standar yang mengacu pada penyebab.
Selanjutnya merumuskan tindakan keperawatan yang berorientasi pada kriteria dan standart.
Ada beberapa tingkatan tujuan dalam penyusunan rencana keperawatan menurut
Friedman (1998;64). Tujuan jangka pendek yang sifatnya dapat diukur, langsung dan spesifik.
Dan tujuan jangka panjang yang merupakan tingkatan akhir yang menyatakan maksud-
maksud luas yang diharapkan oleh perawat dan keluarga agar dapat tercapai.
Penyusunan kriteria evaluasi dan standar evaluasi, disesuaikan dengan sumber daya yang
ada pada keluarga Tn .S yaitu biaya, pengetahuan dan sikap dari keluarga Tn.S berupa respon
verbal, afektif dan psikomotor untuk mengatasi masalahnya.
Standar evaluasi :
Pengertian, tanda dan gejala, penyebab, cara pencegahan TBC, cara pencegahan
penularan dan cara perawatan TBC.