Anda di halaman 1dari 25

By GZ

Anesthesia for neurosurgery chapter 26


Clinical anesthesiology –G.Edward Morgan,Jr edisi ke-4

Konsep Kunci

1. Berkenaan dengan penyebabnya, masa pada intra kranial dilihat


dari, growth ratenya, lokasi dan pengaruhnya terhadap tekanan
intra cranial. Pertumbuhan yang lambat dari masa biasanya tidak
memberikan gejala untuk waktu yang lama, namun bila
pertumbuhannya cepat maka gejala akut akan tampak.
2. Tomografi computer dan scaning MRI, dapat menggambarkanan
udema yang terjadi pada otak, dengan melihat pergeseran garis
tengah lebih dari 0,5 cm, dan menilai ukuran ventrikularnya.
3. Tindakan operasi pada daerah fossa posterior dapat mencederai
pusat sirkulasi vital dan dan respirasi baik pada serabut
persarafanya atau pada nukleusnya.
4. Emboli udara pada vena dapat terjadi pada vena –vena yang
terbuka, kondisi ini dapat terjadi pada beberapa posisi tubuh
( selama tindakan ) dimana bila posisi luka lebih tinggi dari
kedudukan jantung.
5. Pengembalian udara yang mengikuti terjadinya emboli vena, dapat
dilakukan melalui penempatan cateter dalam atrium melalui vena
cava superior, dan koreksi penempatan kateter adalah penting
melalui intra vena electrocardiografi atau pun melalui transesofagial
echocardiografi.
6. Mendahului penilaian radiografi, mengoreksi hipotensi dan
mengontrol banyaknya perdarahan melalui tindakan definitive
operasi, karena turunnya tekanan darah hingga dibawah 80 mmHg
akan memberikan keluaran yang buruk pada pasien trauma kepala
7. Kehilangan darah yang masive dari aorta atau vena cava dapat
saja terjadi intra ataupun post operatif pada prosedur tindakan
bedah thorak atau daerah lumbal.

Harvey Cushing, adalah salah satu pembaharuan dalam bedah


saraf, ia banyak mengembangkan banyak catatan untuk anestesi,
jauh dalam perhatianya terhadap keamanan pasien-pasiennya ia
mencatat pulsasi, frekwensi pernapasan, suhu, dan tekanan darah
selama operasi, Untuk mengerti dengan baik efek anestesi pada CNS
dan memperbaiki tehnik anestesi sebagai kontribusi pada bedah
saraf moderen .alat monitoring yang canggih dan perbaikan kondisi
operasi untuk tindakan anestesi menambah sulitnya prosudure
untuk menampilkan kondisi pasien yang tak operable.
Tehnik anestesi haruslah dapat menyesuaikan terjadinya
peningkatan tekanan darah intra kranial dan menjaga keamanan dari
By GZ

perfusi otak. Dalam keterbatasanya, banyak prosedur bedah saraf


menempatkan posisi pasien yang tidak umum,-seperti
duduk,telungkup,dan banyak penyulit dalam penangannya. Pada bab
ini merupakan pengembangan dari bab 25 untuk anestetik care
pada bedah saraf.

₪ HIPERTENSI INTRA KRANIAL

Hipertensi intra karanial didifinisikan sebagai tekanan yang terus


meningkat dalam intra cranial ( ICP ) diatas 15 mmHg. kondisi ini dapat
di sebabkan adanya, pelebaran masa jaringan ,penambahan jumlah
cairan, fraktur depress pada tulang tengkorak, gangguan absobsi normal
LCS, kelebihan aliran darah keotak (CBF), atau gangguan sistemik yang
memungkinkan terjadinya udem otak. biasanya multi faktor mengikuti
proses ini. sebagai contoh, adanya tumor dalam fossa posterior tidak
hanya dihubungkan dengan beratnya udem otak yang terjadi, tetapi juga
akan mempengaruhi aliran LCS melalui penekanan pada ventrikel otak
( Hidrocefalus obstruktif).
Sekalipun banyak pasien dengan peningkatan tekanan intra
cranial tanpa menunjukkan gejala, namun gejala yang ditunjukan
memberikan karakteristik tanda, termasuk sakit kepala , mual, muntah,
papilludema, deficit neurological fokal, sampai hilangnya kesadaran.
Ketika peningkatan ICP hingga 30 mmHg, maka CBF secara progressive
akan menurun, dan menjadi lingkaran sebab akibat : dimana timbulnya
iskemia menyebabkan otak menjadi udem, kondisi ini menambah ICP
meningkat, dan iskemik menjadi lebih hebat, jika lingkaran ini tidak
diputuskan pasien akan meninggal karena kerusakan neurological yang
progressive atau jatuh dalam catastrofik herniation ( Bab 25). Periode
waktu meningkatnya tekanan darah arteri dengan melambatnya
frekwensi denyut jantung (Respon Cushing ),masih dapat diamati
dan dihubungkan dengan meningkatnya tekanan ICP, dalam 1-15
menit terakhir. Phenomena ini di sebabkan adanya mekanisme
autoregulasi untuk menurunkan resistensi pembuluh darah otak (CVR)
terhadap respon iskemia cerebral yang terjadi. Sayangnya peningkatan
ICP lebih lanjut, meningkatkan juga aliran darah ke otak (CBF).yang
akhirnya severe iskemik dan asidosis yang terjadi akan menghapus
autoregulasi (Vasomotor paralysis) dan keduanya ICP dan CBF akan
menjadi passive terhadap tekanan darah.

EDEMA CEREBRAL

Meningkatnya kandungan cairan otak dapat di hasilkan dari banyak


mekanisme. Umumnya diakibatkan gangguan Blood Brain Barrier
By GZ

(Vasogenic Edema), dan terjadi dari masuknya cairan menyerupai


plasma ke dalam otak. Meningkatnya tekanan darah memperbesar
bentuk udem seperti ini. Umumnya terjadinya vasogenik udem termasuk
,trauma mekanik, lesi imflamantory, tumor-tumor otak, hipertensi, dan
infeksi. Udem cerebri yang mengikuti proses metabolik (Cypotoxic udem)
menimbulkan juga hipoxemi atau iskemia, yang disebabkan oleh
rusaknya sel-sel otak sehingga secara aktif terjadi pengeluaran sodium
otak dan terjadinya pembengkakan secara progressive. Udem pada
jaringan intertisial otak diakibatkan dari sumbatan aliran LCS sehingga
LCS merembes masuk kedalam interstesial otak. Udem cerebri juga
dapat di sebabkan oleh perindahan cairan oleh karena penurunan
osmolaritasnya (intoksikasi cairan).

PENGELOLAAN

Pengelolaan hipertensi intracranial dan udem serebri idealnya


mengikuti penyebab dasarnya. Gangguan metabolik hendaknya
dikoreksi terlebih dahulu dan tindakan operasi pada keadaan ini
hendaknya dilakukan bila telah memungkinkan. Pada udem vasogenik-
yang biasanya oleh suatu tumor, kadang memberian respon pada
pemberian kortikosteroid (dexametason). Yang mana dapat membantu
dalam perbaikan dari blood-brain barrier. Berkenaan dengan
penyebabnya, membatasi cairan, pemberian agent osmotik, dan
pemberian diuretik biasanya untuk sementara berguna untuk
menurunkan udem cerebri dan menurunkan tekanan ICP sampai
tindakan definitif untuk itu dilakukan. Penurunan ICP dengan diuresis
ini terutama melalui perpindahnya cairan pada jaringan-jaringan yang
normal pada otak. Meningkatkan ventilasi secara moderat /
hiperventilasi (PaCo2 30-33 mmHg ) kadang dapat pula membantu dalam
menurunkan CBF (lihat bab 25 ) dan menormalkan ICP namun iskemik
yang terjadi dapat memburuk terutama pada fokal iskemic .
Manitol, pada dosis 0,25-0,5 mg/KgBB, terutama efektif dalam
penurunan cepat ICP. Efektivitasnya terutama berhubungan pada
osmolaritas serum (lihat bab 25) sebesar 300-315mOsm/L. Penurunan
tekanan darah dengan manitol bersifat sementara karena sifat dilatasi
yang diakibatkanya lemah, dan dapat merugikan karena adanya
perpindahan cairan kedalam intra vaskular, hal ini dapat mencetuskan
udem paru terutama pada gangguan fungsi jantung dan ginjal. Manitol
secara umum hendaknya tidak digunakan pada pasien dengan
aneurisma intrakranial, malformasi arteriovenous (AVMs), atau pada
perdarahan intrakranial sampai cranium telah dibuka. Diuresis osmotik
dapat perluasan hematom yang terjadi dari jaringan normal sekitarnya.
Pemberian secara cepat osmotik diuresis pada pasien usia tua dapat
mencetuskan terjadinya perdarahan subdural karena rupturnya
bridging vena yang rapuh. Rebon udem dapat juga terjadi pada
By GZ

pemakaian manitol, oleh karena itu pemakaiannya dibatasi dalam


mengurangi volume intrakranial (pada reseksi tumor ).

Pemakaian loop diuretik (furosemid), efektivitasnya kurang dan


membutuhkan waktu sampai 30 menit dalam memberikan efek, namun
dapat memberikan tambahan keuntungan dalam menurunkan jumlah
cairan intra cerebral. Pemakaian kombinasi manitol dan furosemid
dapat bekerja sinergis namun harus dalam monitoring yang ketat
terhadap konsentrasi kalium serum (lihat bab 28).

₪ ANESTESI DAN CRANIOTOMI PADA PASIEN DENGAN LESI MASSA


INTRAKRANIAL.

Masa intrakranial mungkin suatu kongenital, neoplastik (benigna atau


malignan), infeksi (abses atau kista), kelainan pembuluh darah
(hematom atau malpormasi arteriovenous). Kraniotomi adalah tindakan
primer yang umum dilakukan dan untuk tumor metastase pada otak.
Tumor primer pada otak biasanya berkembang dari sel glia (astrositoma,
oligodendroglioma, atau glioblastoma); sel-sel ependimal (ependymoma);
atau jaringan penunjang otak (meningioma, swannoma, atau choroidal
papilloma). Tumor pada anak termasuk meduloblastoma,
neuroblastoma, dan chordoma.
Dengan mengindahkan penyebabnya, masa pada intra kranial
dilihat dari, growth ratenya, lokasi dan pengaruhnya pada tekanan intra
cranial. Pertumbuhan yang lambat dari masa biasanya tidak memberikan
gejala untuk waktu yang lama, namun bila pertumbuhannya cepat maka
gejala akut akan tampak.
Umumnya dapat berupa headache, kejang, gangguan umum kognitif,
atau ganguan spesifik fungsi neurologik atau gangguan fokal. Masa pada
supratentorial memberikan gejala khas berupa kejang, hemiplegia atau
afasia; sedangkan infratentorial gejala lebih bersifat gangguan fungsi
cerebral (Ataxia, nistagmus, dan dysartria); atau pada penekanan
jaringan otak (cranial nervus palsies, penurunan kesadaran atau
pernafasan yang abnormal) kesemuanya dapat meningkatkan tekanan
pada intrakranial,serta dapat berkembang menjadi hipertensi intra
kranial.

PENGELOLAAN PREOPERATIVE

Evaluasi terhadap preanestetik ditujukan pada stabilisasi dan


meniadakan hipertensi intrakranial.
Tomografi computer dan scaning MRI, dapat menggambarkan
udema yang terjadi pada otak, dengan melihat pergeseran garis tengah
lebih dari 0,5 cm, dan menilai ukuran ventrikularnya. Penilaiannya
By GZ

meliputi kelainan neurologik, status mental dan kelainan-kelainan


sensoris dan motoris yang terjadi, medikasi yang telah diberikan
hendaknya dinilai ulang, kortikosteroid, diuretik atau antikonvulsan.
Melalui penilaian laboratorium dimana kortikosteroid dapat
meningkatkan gula darah/hyperglikemia dan gangguan electrolit dapat
diakibatkan dari pemberian diuretik atau sekresi abnormal dari hormon
ADH juga dapat terjadi (lihat bab 28 ). Antikonvulsan juga dinilai
khususnya bila kejang yang terjadi sulit dikontrol.

PREMEDIKASI

Premedikasi hendaknya dihindari bila dianggap terjadi hipertensi intra


kranial. Hiperkapni yang terjadi sekunder dari peningkatan intrakranial
karena penekanan atau depresi pernapasan yang terjadi, dapat
menimbulkan kematian. Pasien yang tekanan intrakranial yang normal
biasanya diberikan benzodiazepine (diazepam oral atau midazolam i.m).
pemberian kortikostreroid dan antikonvulsan sebaiknya secara kontinu
intra vena hingga waktunya pembedahan.

PENGELOLAAN INTRAOPERATIVE

- MONITORING
Pemakaian monitor standart dan penambahan monitoring langsung
untuk menilai tekana intra arteri serta kateter urin adalah umum untuk
semua pasien yang akan dilakukan kraniotomi. Perubahan yang cepat
dari tekanan darah selama induksi, hiperventilasi yang terjadi, tindakan
intubasi, penempatan posisi, dan manipulasi tindakan operasi, dan
kegawatan yang mungkin terjadi, haruslah secara kontinu dimonitor
terhadap perubahan tekanan darah untuk menjamin cerebral perfusi
yang optimal. Lebih dari itu penilaian gas darah juga penting dalam
pengaturan ketat PaCo2..Banyak neuroanestesiologis dalam pengukuran
CPP dengan transduser penilaian besarnya tekanan arteri itu
menempatkan tingginya angka NOL untuk mengukur setinggi kepala
( meatus auditori eksternal) - bukannya setinggi atrium kanan.
Pemakaian alat End-tidal Co2 saja secara tunggal tidaklah memberikan
nilai yang sesungguhnya dalam meregulasi ventilasi. Pengukuran CVP
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mendapat obat-obat Vaso
aktif. Penggunaan akses pada vena jugularis interna masih
diperdebatkan karena besarnya resiko penusukan kedalam karotis,
penempatan kateternya dapat mengganggu aliran vena dari otak.
Banyak klinikus menghindari issu ini dengan menempatkan akses vena
sentral pada vena basilika mediana. Namun vena jugularis eksterna dan
subklavia menjadi alternative yang sering digunakan. Pemakaian kateter
urin diperlukan karena pemakaian diuretik yang berulang, serta
prosedur operasi yang lama, maupun sebagai petunjuk terapi cairan.
By GZ

Penilaian fungsi neuromuskular pada sisi yang lain yang terjadi pada
hemipharesis hendaknya juga dilakukan. Juga penilaian Visual
mungkin berguna untuk menilai adanya kerusakan nervus optikus
selama prosedur reseksi tumor-tumor pituitari yang besar. Penambahan
monitoring lain untuk operasi pada fossa posterior akan dijelaskan
kemudian.
Pengelolaan pasien dengan hipertensi intra kranial ditujukan
untuk memfasilitasi monitoring ICP perioperatif. Tindakan
ventrikulostomi atau pemisahan subdural umumnya dikerjakan oleh
ahli bedah saraf dalam anestesi lokal. monitoring elektronik yang
dipakai melalui penempatan tranduser pada level setinggi meatus
auditorius eksternal untuk menggambarkan tekanan arteri. Tindakan
ventrikulostomi memberikan nilai tambah dalam menurunkan tekanan
ICP melalui pengurangan cairan cerebrospinal.

- INDUKSI

Tindakan induksi anestesi dan trakeal intubasi adalah critical periode


yang akan mengganggu perubahan intrakranial atau dapat
meningkatkan ICP. Perubahan-perubahan intrakrnial dapat dicetuskan
pula melalui pemberian diuretik osmolar, steroid, maupun tindakan
ventrikulostomi sebelum dilakukan induksi. Dari banyak tehnik yang
penting ditujukan untuk membuat pemberian anestesi dan intubasi
yang perlahan, terkontrol tanpa terjadi peningkatan ICP atau gangguan
CBF. Hipertensi arterial yang terjadi selama induksi akan meningkatkan
CBF/aliran darah keotak, dan dapat mencetuskan udem serebri. Yang
selanjutnya akan menurunkan CPP/tekanan perfusi pada otak dan
beresiko terjadinya herniasi (lihat Bab 25).
Tehnik umum yang dipergunakan dalam induksi yaitu
menggunakan Thiopental atau propofol yang diikuti hiperventilasi untuk
menurunkan ICP dan meniadakan efek berbahaya dari laringoskopy dan
intubasi yang dilakukan. Pada pasien-pasien yang masih kooperative
dapat diminta untuk melakukan hiperventilasi selama preoksigenasi.
Semua pasien hendaknya di hiperventilasi melalui kontrol ventilasi
setelah induksi thiopental atau propofol diberikan.
Pemberian neuro muskular blocking agent (NMBA) akan memfasilitasi
ventilasi dan mengurangi regangan dan batuk pada pasien yang
kesemuanya akan meningkatkan ICP. Pemberian opioid intra vena-
contohnya, Fentanyl 5-10 mg/kgBB – sebelum pemberian thiopental,
dapat menumpulkan respon simpatik, khususnya pada pasien-pasien
muda. Pemberian Esmolol 0,5-1 µg/kg dapat mencegah takikardi yang
terjadi pada pasien dengan hipertensi.
Dalam kenyataannya tehnik induksi yang dilakukan dapat
memberikan respon individual sifatnya dan bergantung pada penyakit
penyertanya. Pemberian propofol memberikan keuntungan dalam
By GZ

pendeknya waktu pemulihan, dimana pemberian etomidat dengan


thiopental dapat memberikan proteksi yang baik untuk menghindari
depresi sirkulasi. Kombinasi dosis kecil fentanyl, 5µg/kg, dengan
etomidat 6-8 mg, juga berguna pada pasien-pasien yang tak stabil.
Sebaliknya pada pasien-pasien reaktive airway ( bronkospastic disease)
kombinasi thiopental dengan dosis yang ditingkatkan dan dosis kecil
isoflurane dengan hiperventilasi lebih disukai.
Suatu Non-depolarisasi NMBA yang secara umum diberikan pada
induksi dapat memfasilitasi ventilasi kontrol dan intubasi. Rocuronium,
vecuronium, pipecuronium, dan doxacurium memberikan efek yang baik
dalam stabilitas hemodinamik (lihat Bab 9). Suksinilcholin dapat
meningkatkan ICP, khususnya bila intubasi dilakukan sebelum
stabilisasi dan anestesi dalam melalui pemberian thiopental dan
hiperventilasi terlebih dahulu (lihat Bab 25). Suksinilkolin, walau
bagaimanapun merupakan obat pilihan pada pasien dengan resiko
aspirasi atau pada kasus jalan nafas yang sulit oleh karena hipoxia dan
hiperkarbi yang terjadi lebih merugikan. Pelumpuh otot relatif contra
indikasi adalah suksinilkolins karena resiko meningkatkan kadar
kalium darah.
Hipertensi yang terjadi selama induksi hendaknya dikelola dengan
pemberian esmolol atau mendalamkan anestesi dengan penambahan
thiopental atau propofol, atau dengan hiperventilasi mengunakan dosis
kecil (<1 MAC) isoflurane. Vasodilator (sepert Nitropruside, nitrogliserine,
calsium channel blockers, dan hydralazine) secara umum dihindari
sampai dura telah dibuka. Hipotensi yang terjadi secara umumdi kelola
dengan pemberian dosis vasopresor yang ditingkatkan (efedrine atau
fenylefrine) selain pemberian terapi cairan.

- PENEMPATAN POSISI

Penempatan posisi pada tindakan craniotomi Frontal, temporal dan


parietoocipital lebih baik dalam posisi supine .dengan elevasi kepala 15-
300 akan memfasilitasi drainase vena dan CBF. Penempatan arah kepala
juga memberikan kemudahan dalam exposeure tindakan. Fleksi atau
rotasi kepala yang berlebihan dari leher akan menekan aliran vena
jugular dan dapat meningkatkan ICP. Selama positioning ini ETT dan
koneksi pada sirkuit pernafasan senantiasa di cek.meja operasi biasanya
diubah 900 atau 1800 terhadap posisi anestesiologist atau disesuaikan

- MAINTENANCE ANESTHESIA

Pemeliharaan anestesi biasanya menggunakan -N2O, opioid, dan tehnik


NMBA. Beberapa opioid dapat dipakai (lihat Bab 25). Persisten hipertensi
dapat terjadi pada penggunaan dosis kecil volateil (<1MAC) isofluran,
sevoflurane atau desflurane atau pada tehnik TIVA yang digunakan.
By GZ

Pada keterbatasan keadaan neuromuskular blocing agent dapat


direkomendasikan-untuk mencegah pasien yang meregang atau meronta
atau pasien yang bergerak. Menambah obat anestetik selama stimulasi
dapat dibenarkan, stimulasi itu meliputi; Laringoskopy-intubasi,insisi
kulit, pembukaan dura, manipulasi periosteal,dan penutupannya.
Hiperventilasi harus dilakukan continu selama operasi untuk
menjaga PaCO2 antara 30mmHg-35mmHg. Penurunan tekanan PaCO2
memberikan sedikit nilai tambah dan dihubungkan dengan iskemia
cerebral dan gangguan dissosiasi oksi-HB. Tekanan positif-and
ekspiratori (PEEP) dan pola ventilasi dapat menyebabkan tingginya
tekanan rata-rata pada jalan napas /Mean Airway Pressures (akan
menjadi rendah dengan tidal volum yang besar) sebaiknya di hindari,
karena berpotensial dalam peningkatan ICP melalui meningkatnya CVP.
Pasien dapat terjadi hipoksia dikarenakan penggunaan PEEP, dan
peninggian MAP. Walaupun pada pasien penggunaan PEEP ini bersifat
variabel dalam menimbulkan peningkatan ICP.
Pemakaian cairan intravena harus dibatasi terhadap glukosa-
kristaloid isotonik (normal saline) ataupun terhadap koloid. Terjadinya
hiperglikemia pada pasien-pasien bedah saraf adalah biasa terjadi (efek
kortikosteroid), ataupun sebagai implikasi dari iskemia brain injury
(lihat Bab 25). Walaupun masih adanya kontroversi dalam pemilihan
antara kristaloid dan koloid, pemberian jumlah besar kristaloid akan
menambah buruk udem serebri yang terjadi. Koloid secara umum
digunakan untuk mengembalikan defisit intra vaskular yang terjadi,
sementara kristaloid sebagai pemberian mentenance cairan saja.
Perpindahan cairan yang terjadi pada pasien dengan severe udem
serebri atau peningkatan ICP, selama intraoperatif haruslah di hitung
(lihat Bab 29). Prosedur bedah saraf dapat saja menyebabkan
minimalnya redistributif cairan yang hilang, namun sering yang terjadi
adalah kehilangan darah yang occult ( pada kain alas operasi atau
lantai). Keputusan medis dalam pengambilan sikap transfusi haruslah
dilakukan. (lihat Bab 29).

- KEDARURATAN

Semua pasien yang diilakukan craniotomi dapat dilakukan ekstubasi


sepanjang fungsi neurologiknya baik.pasien yang akan dilakukan
intubasi dapat diberikan sedasi jika agitasi menjadi permasalahannya.
Ekstubasi di ruang operasi harus dianggap penangan untuk
kedaruratan dan darus ditangani. ETT yang kaku dan keras dapat
mencetuskan perdarahan intrakranial atau memperburuk udem serebri.
Seperti pada intubasi, ekstubasipun harus dikerjakan dengan pelan dan
terkontrol. Pada penutupan kulit hendaknya pasien sudah
dispontankan. Setelah kepala dibalut dan pasien dikembalikan keposisi
semula, Gas anestesi dapat dimatikan, dan NMBA dapat dirivers,
By GZ

beberapa anestesiologist memberikan lidokain i.v 1,5 mg/kg, atau dosis


kecil propofol (20-30mg) atau thiopental (25-50 mg), sebelum dilakukan
suctioning, untuk mencoba menekan batuk sebelum dilakukan
ekstubasi. Pasien yang bangunnya cepat dapat segera dinilai status
neurologikalnya, secara umum menunjukan pemberian anestetik yang
baik. Pada pasien yang bangunnya lama dapat terjadi karena pemberian
opioid yang berlebihan atau pemberian volateil anestetik yang terlalu
panjang dan lama. Manifestasi dari dosis yang berlebih dari opioid
adalah pupil yang mengecil dengan respirasi rate yang berkurang (<12/
min), kondisi ini dapat saja diberikan Nalokson 0,04mg, dengan
pemberian secara titrasi dengan berhati-hati bila berlebih akan
berbahaya. Kebanyakan post operatif pada pasien-pasien ini
membutuhkan ICU untuk monitoring ketat fungsi neurologinya. Pasien-
pasien secara umum rasa nyerinya di minimalkan.

₪ ANESTESI PADA OPERASI DALAM FOSSA POSTERIOR.

Craniotomi pasien dengan masa pada fossa posterior memberikan


gambaran yang unik; hidrocefalus obstruktif, mungkin sudah terjadi
injuri pada bagian vital dari pusat batang otak, posisi yang tidak umum
dalam prosedur operasi, pneumocefalus, hipotensi postural,dan venous
air embolism.

Obstruktive hidrocephalus
Masa yang berlokasi infratentorial dapat menyumbat aliran LCS setinggi
ventrikel –IV, atau aquductus serebralis. Walaupun kecil dengan lokasi
lesi demikian dapat menebabkan perubahan yang besar pada TIK. Pada
suatu kasus demikian, ventrikolostomy sering diberikan anestesi lokal
untuk menurunkan TIK sebelum dilakukan induksi dalam general
anestesi.

Brain stem injury


Tindakan operasi pada daerah fossa posterior dapat mencederai
pusat sirkulasi vital dan dan respirasi baik pada serabut persarafanya
atau pada nukleusnya. Traumanya sendiri dapat diakibatkan langsung
suatu tindakan operasi, terjadinya retraksi, atau iskemia. Kerusakan
pada pusat respirasi akan mempengaruhi perubahan sirkulasi, tentunya
berpengaruh pada tekanan darah, frekwensi denyut jantung, atau
gangguan irama jantung, dan harus menjadi petunjuk dan perhatian
bagi seorang anestesiologis bahwa injuri tersebut telah terjadi.
Komunikasikan kemungkinan kejadian tersebut pada operator.
Secepatnya dapat mengisolasi kerusakan pusat pernapasan dengan
menilai tanda vital sebelum tindakan operasi pada ventikel IV ini.
lakukan pernafasan spontan selama prosedur ini dilakukan. Setelah
By GZ

operasi selesai, trauma batang otak sering menggambarkan


abnormalitas pernapasan, dan menjadi tanggung jawab menjaga jalan
nafas sebelum ekstubasi. Monitoring pusat pendengaran penting untuk
menghindari adanya kerusakan nervus 8 selama reseksi acoustic
neuromas. Elektromiografi dapat pula berguna untuk menghindari
kerusakan nervus facialis atau menilai intra operative pemberian
neuromuskular blok yang tak lengkap.

Penempatan posisi
Meskipun banyak eksplorasi tindakan pada fossa posterior dilakukan
dalam modifikasi posisi lateral dan telungkup, posisi duduk oleh
beberapa ahli bedah lebih disukai. Bagaimanapun posisi, posisi kepala
harus lebih tinggi dari kepala. Posisi lateral telah dibicarakan pada Bab
24, dan prone posisi akan dibicarakan selanjutnya pada operasi spinal.
Posisi standar duduk pada pasein adalah semirecumbent (gambar
26-1). Punggung dielevasikan 600 , kedua kaki dinaikan dengan tungkai
atasnya difleksikan. Kepala difiksasi melalui tree-point holder dengan
leher difleksikan, posisi tangan ditempatkan disamping dan resting.
Penempatan posisi yang hati-hati akan menghindari terjadinya
injuri, titik tekan pada, elbow, spina isciadika, heels, dan forehead
haruslah terlindungi. Pleksi yang berlebihan pada leher telah
dihubungkan pada kejadian pembengkakan pada saluran nafas bagian
atas ( juga menyumbat vena), dan quadriflegia (penekanan pada cervical
spinal cord). Terjadinya stenosis spinal servical merupakan predisposisi
pada pasien dengan injuri lanjut.
By GZ

Pneumocephalus
Pada posisi duduk akan meningkatkan kemungkinan pneumocephalus,
pada posisi ini, udara akan siap masuk kedalam rongga subarachnoid
mengganti LCS yang hilang selama tindakan operasi. Pada pasien
dengan atropi otak dimana drainase LCS jelas terlihat; udara akan
mengantikan LCS pada permukaan otak dan ventrikel otak. Penyebaran
pneumocefalus ini mengikuti juga saat penutupan duramater dan akan
menekan otak. Pada post operative akan memperpanjang sadar dan
terus menggangu fungsi neurologi. Karena alasan inilah yang membuat
beberapa anestesiologist tidak menggunakan N2O pada craniotomi dalam
posisi duduk.(lihat selanjutnya).

Emboli udara pada vena


Emboli udara pada vena dapat terjadi pada vena –vena yang terbuka,
kondisi ini dapat terjadi pada beberapa posisi tubuh ( selama tindakan )
dimana bila posisi luka lebih tinggi dari kedudukan jantung. Insidennya
tinggi pada tindakan craniotomi dengan posisi duduk (20-40%). Pada
tekanan yang rendah pada vena serta pada sinus-sinus vena cerebral
yang besar, resiko terjadinya akan meningkat.
Konsekwensi fisiologis dari emboli udara tergantung pada
besarnya volume sebagaimana besarnya frekwensi udara yang dapat
masuk pada pemeriksaan foramen ovale (insidennya 10-25%),
selanjutnya udara akan masuk kedalam sirkulasi arteri (emboli udara
paradoxikal). Gelembung udara yang masuk kedalam sistem vena akan
menyangkut ke dalam sirkulasi paru, dimana gas tersebut akan
berdifusi kedalam alveoli dan dikeluarkan melalui pernafasan. Pada
kebanyakan pasien gelembung udara yang kecil dapat ditolelir. Jika
jumlah yang masuk melampaui batas clearance paru, tekanan arteri
pulmonal akan meningkat. Pada akhirnya akan menurunkan respon
cardiak output untuk meningkatkan afterload ventrikel kanan. Pada
keadaan dimana sebelumnya sudah terdapat kelainan pada jantung
atau paru, efek emboli tersebut; dalam jumlah yang kecil saja sudah
dapat menimbulkan perubahan pada hemodinamik. N2O dalam
meningkatkan volume udara yang dapat masuk, jelas terlihat
menambah volume sekalipun jumlah udara itu kecil. Pada hewan yang
mendapatkan N2O didapat bahwa 1/3- setengahnya, dosis emboli udara
dapat mematikan. Banyak klinikus meyakini bahwa N2O sebaiknya
tidak digunakan dalam tindakan operasi pada posisi duduk. Namun
beberapa tetap menggunakannya dengan konsentrasi 50-70%,dengan
menghentikanya bila tanda-tanda emboli terdeteksi.
Secara klinis, tanda emboli udara pada vena seringkali tak jelas
tampak hingga jumlanya yang masuk bertambah banyak. Penurunan
end-tidal CO2 atau saturasi oksigen arteri dapat menjadi catatan
By GZ

sebelum terjadinya perubahan pada hemodinamik. Nilai AGD dapat


menunjukkan sedikit peningkatan PaCO2 sebagai akibat meningkatnya
ruang rugi pada paru (daerah dimana secara normal terjadi ventilasi
namun sedikit perfusinya). Manifestasi utama hemodinamik sebagai
akibat suddent hipotensi dapat terjadi sebelum hipoksia itu terjadi.
Lebih lanjut masuknya jumlah udara yang besar dengan cepat akan
menimbulkan sirkulasi arrest secara tiba-tiba melalui penyumbatan
aliran keluar ventrikel kanan, dimana udara intra cardiac akan merusak
fungsi katub tripuspidalis dan pulmonalis atu memblokade arteriola
paru-paru.
Emboli udara paradoxikal dapat diakibatkan oleh stroke atau
sumbatan coroner, dimana dapat tampak pada post operative. Paradoxik
emboli ini lebih sering terjadi pada pasien dengan tindakan pemeriksaan
-patent foramen ovale, khususnya bila terjadi perubahan normal
tekanan transatrial (kiri>kanan) yang berbalik, kebalikan gradien ini
dapat saja terjadi pada hipovolemi dan dimungkinkan pada pemakaian
PEEP. Beberapa studi menganggap bahwa tekanan kanan yang lebih
besar dari kiri dapar tercipta pada waktu yang bersamaan pada siklus
jantung. Passase emboli vena ke arteri transpulmonal telah pula
didemonstrasikan dan dianggap bahwa gelembung sekecil apapun pada
pemberian infus harusnya dihindari pada semua pasien.

A. KATETERISASI PADA VENA CENTRAL.

Akses ke vena sentral seringkali menimbulkan aspirasi masuknya


udara.banyak klinikus mempertimbangkan memasang kateter atrium
kanan pada operasi posisi duduk dalam craniotomi. Pengembalian udara
yang mengikuti terjadinya emboli vena, dapat dilakukan melalui
penempatan cateter dalam atrium melalui vena cava superior, dan koreksi
penempatan kateter adalah penting melalui intra vena electrocardiografi
atau pun melalui transesofagial echocardiografi (TEE). Selama melakukan
intravena elektrokardiografi setingginya posisi atrium digambarkan
dengan gelombang P yang bifasik. Bila kateter masuk terlalu jauh maka
gelombang P akan berubah dari defleksi negatif ke positif defleksi, dan
bentuk gelombang pada ventrikel kanan harus pula di nilai.(lihat Bab 6).

B. MONITORING PADA EMBOLI VENA.

Banyak monitor sensitiv yang tersedia dapat digunakan. Deteksi emboli


vena sekecil apapun adalah penting. Yang lazim dipakai, lebih sensitif
intraoperative monitor adalah TEE dan precordial doppler sonografi.
Monitor ini dapat mendeteksi gelembung udara sebesar 0,25 ml. EET
dapat memberikan nilai tambah dalam mendeteksi jumlah dari
gelembung dan beberapa passase transatrial, sebaik dalam menilai
By GZ

fungsi jantung. Doppler menggunakan metode pemeriksaan pada


jantung kanan (biasanya pada sternum kanan antara iga ke 3 dan ke-
5).signal yang terputus pada reguler suara, mengindikasikan adanya
emboli vena. Perubahan konsentrasi gas respirasi end-tidal dan tekanan
dalam arteri pulmonal kurang sensitif tetapi penting dalam
memonitornya dan dapat mendeteksi emboli sebelum tanda klinis
tampak. Adanya emboli vena menyebabkan penurunan tekanan ent-tidal
CO2 secara tiba-tiba dengan proportional meningkatnya ruang rugi pada
paru, namun sayangnya penyebab penurunan ini dapat pula
diakibatkan perubahan hemodinamik yang tidak berhubungan dengan
emboli udara vena. Tekanan arteri pulmonal rata-rata meningkat secara
proporsi dengan besarnya udara yang masuk. Perubahan pada tekanan
darah terdengarnya suara jantung( mill wheel murmur) merupakan
manifestasi lanjut pada emboli vena.

C. PENATALAKSANAAN PADA EMBOLI UDARA VENA.

1. Ahli bedah seharusnya diberitahu bahwa dalam


pembedahan dapat membanjiri larutan saline dan menutup
atau memberikan bone wax jika tempat masuknya
teridentifikasi
2. N2O (jika digunakan) harus dihentikan dan inhalasi anestesi
yang dihantarkan dalam 100% O2.
3. Kateter vena sentral harus diaspirasi dalam
pemasangannya.
4. Infus intravena diberikan untuk meningkatkan tekanan
vena sentral.
5. Bila terjadi hipotensi dapat diberikan vasopresor.
6. Penekanan bilateral vena jugularis, dalam meningkatkan
tekanan vena sentral, dapat menyebabkan juga perlambatan
aliran udara yang masuk, dan menyebabkan perdarahan
balik, yang juga membantu ahli bedah dalam
mengidentifikasi penyebab emboli.
7. Beberapa klinikus menganut penggunaan PEEP dalam
meningkatkan tekanan vena cerebral, namun tindakan
pengembalian tekanan gradien normal transatrial justru
mendukung terjadinya emboli paradoxikal.
8. jika tindakan yang dilakukan gagal, tempatkan pasien pada
posisi kepala dibawah, dan luka operasi segera ditutup.
9. Persisten arrest yang terjadi lakukan resusitasi, melalui
algoritma advance cardiac life support ( lihat Bab 47)

₪ ANESTESI UNTUK OPERASI STEREOTACTIC


By GZ

Stereotaxis dapat dipergunakan dalam pengobatan ganguan gerakan


involenter, nyeri yang sulit diatasi, dan epilepsi, serta dalam pengobatan
tumor-tumor yang terletak jauh dalam otak.
Prosedur ini menggunakan anestesi lokal untuk menghindari
evaluasi periodik dari pasien. Propofol infus mungkin dapat digunakan
untuk sedasi dan amnesianya. Namun bila sudah terjadi peningkatan
intra kranial sedasi dapat ditinggalkan. Sekalipun sungkup ventilasi
dan LMA atau orofaringeal intubasi dipakai dalam emergensi, pada
pasien dengan kepala stereotactic pendekatan intubasi dengan fiberoptic
bronkoscope merupakan tindakan yang lebih aman sebelum tindakan
operasi maupun positioning.

₪ ANESTESI UNTUK TRAUMA KEPALA .

Trauma kepala memberikan kontribusi lebih dari 50% kematian dari


seluruh kasus kecelakaan. Banyak penderita dengan trauma kepala
berusia muda, dan banyak (10-40%) berhubungan dengan trauma
intraabdoment dan fraktur tulang-tulang panjang, atau kedua-duanya
terjadi. Diskusi umum pasien trauma dapat dijumpai dalam bab 41.
karakteristik trauma kepala ini tergantung tidak hanya pada kelainan
neurologik yang ireversibel pada saat itu,tetapi juga akibat skunder lain.
Kelainan itu meliputi:(1) Faktor sistemik yang menimbulkan hipoxia,
hipercapnia, atau hipotensi (2) bentuk dan luasnya subdural, epidural,
atau hematoma intrakranial (3) peningkatan tekanan intra kranial.
Pembedahan dan menegement anestesi pada pasien ini di hubungkan
langsung pada akibat sekunder yang diakibatkannya. GCS skor ( Glasgo
koma skore) (tabel 26-1). Secara umum berhubungan dengan tingkat
beratnya atau outcomnya.
GLASGOW COMA SCALE table 26-1
BUKA MATA
SPONTAN 4
PADA PERINTAH 3
PADA NYERI 2
TIDAK ADA 1

RESPONS MOTORIK
MENURUT PADA PERINTAH 6
MELOKALISASI RANGSANG NYERI 5
WITHDRAWS 4
FLEKSI ABNORMAL 3
EKSTENSI 2
By GZ

TANPA RESPONS 1

RESPONS VERBAL
ORIENTASI BAIK 5
ORIENTASI BURUK 4
BICARA NGACAU 3
TANPA ARTI 2
TANPA RESPON 1

GCS skore 8 atau kurang ,dihubungkan dengan besarnya


mortalitas (35%), bergesernya midline sebesar 5mm, dan besarnya lesi
25ml, serta kompresi pada ventrikular pada gambaran CT-scan
dihubungkan dengan meningkatnya angka kesakitan yang terjadi.
Lesi spesipik termasuk fraktur tengkorak, contusio maupun
concussion otak (termasuk intra cerebral hemorragi), trauma tembus
kepala dan trauma pembuluh darah vena termasuk sumbatan maupun
diseksi. Kejadian terjadinya fraktur tulang tengkorak meningkat seperti
pada lesi intra kranial. Fraktur linier biasanya dihubungkan dengan
terjadinya subdural ataupun epidural hematoma. Fraktur basis kranii
yang terjadi berhubungan dengan keluarnya LCS melalui telinga,
pneumocefalus, cranial nervus palsie, bahkan terjadinya fistula sinus
cavernosus- arteri carotis. Fraktur depres tengkorak dapat memberikan
gambaran bersamaan terjadinya contusio otak. Kontusio yang terjadi
mungkin terbatas pada permukaan otak, atau menimbulkan perdarahan
didalam struktur hemisper serebri atau batang otak. Injuri deselerasi
dapat menimbulkan lesi yang bersifat coup atau contercoup atau
keduanya.
Tindakan operasi fraktur depres, evakuasi dari epidural,
subdural , dan beberapa perdarahan intrakranial, maupun tindakan
debridement luka terbuka , biasanya bersifat electif.
Monitoring tekanan intra cerebral (ICP), biasanya diindikasikan
untuk contusio, perdarahan intrakranial atau pada jaringan yang
bergeser. Hipertensi intrakranial yang terjadi harus di obati dengan
moderate hiperventilasi, manitol, gol barbiturat atau propofol (lihat Bab
25). Beberapa studi yang dijalankan menganggap peningkatan tekanan
yang menetap diatas 60mmHg menyebabkan udem otak yang
irreversible. Tidak seperti pada pengelolaan pada trauma medula
spinalis pemberian glukocortikoid dalam dosis besar, tidaklah
memberikan efek outcome yang cepat seperti pada trauma kepala.
Monitoring ICP harus juga dipertimbangkan pada pasien-pasien yang
memberikan tanda hipertensi intrakranial yang akan dilakukan
tindakan non-neurologikal prosedure.

PENGELOLAAN PREOPERATIVE
By GZ

Anestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat idealnya


sudah dimulai pada bagian emergenci. Menjaga jalan napas tetap utuh,
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan tekanan
darah sistemik haruslah dikerjakan simultan bersama dengan penilaian
neurologiknya. Sumbatan jalan napas dan hipoventilasi adalah penyulit
yang umum terjadi. Lebih dari 70% terjadi hipoksemia, dapat terjadi
komplikasi contusio paru, emboli lemak, atau neurogenik pulmoneri
udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi sistemik atau
pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem.
Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam
evaluasi jalan napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap
mendapat trauma spinal servical( lebih dari 10%), sampai terbukti
secara radiologis. In line posisi haruslah dikerjakan selama manipulasi
jalan napas, untuk menjaga kepala dalam posisi netral (lihat Bab 41).
Pasien dengan hipoventilasi, dan reflex gag yang tidak ada, atau pada
persisten GCS dibawah 8 harus dilakukan intubasi endotrakeal dan
hiperventilasi. Semua pasien harus di observasi secara hati-hati dari
perburukan yang dapat terjadi.

INTUBASI
Semua pasien harus dianggap dalam keadaan lambung yang terisi
penuh, dan harus dilakukan penekanan crikoid selama tindakan
ventilasi dan trakeal intubasi. Bersamaan dengan melakukan
preoksigenasi dan ventilasi dengan sungkup, pemberian thiopental 2-5
mg/kgBB atau propofol 1,5- 3mg/kgBB, dan pemberian NMBA yang
onsetnya cepat, dapat menumpulkan efek intubasi yang dapat
meningkatkan TIK. Jika pasien dalam keadaan hipotensi(tekanan
sistole< 100 mmHg) baik thiopental atau propofol dosis kecil dapat
diberikan atau etomidat. Penggunaan succinilcollins pada trauma
tertutup kepala masih contraversial, oleh karena potensialnya
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan kadar
kalium darah, rocuronium atau mivacurium menjadi pilihan alternativ
yang disukai. Jika kesulitan intubasi terantisipasi, awake intubasi,
tehnik fiberoptik atau trakeostomi mungkin berguna. Nasal blind
intubasi di kontra indikasikan pada pasien yang mengalami fraktur
dasar tengkorak, yang memberikan tanda adanya rinnorhoe atau
otorhoe, hemotympanum, atau adanya ekimosis jaringan periorbital
(raccon sign) atau pada kedua telinga ( battle sign).

HIPOTENSI
Hipotensi yang terjadi pada trauma kepala selalu dekat berhubungan
dengan injuri ditempat lain (biasanya intra abdoment). Perdarahan dari
kulit kepala biasanya terjadi pada laserasi kulit yang terjadi pada anak.
Hipotensi mungkin dapat terlihat pada trauma pada medula spinal
By GZ

karena terjadinya simpatectomi dan dihubungkan dengan spinal shock


yang terjadi. Pada pasien dengan cedera kepala, mengkoreksi hipotensi
dan mengontrol perdarahan yang terjadi lebih bermakna dari penilaian
radiologis dan tindakan definitif neurologik, karena tekanan darah arteri
kurang dari 80 mmHg berhubungan atas outcome yang jelek. Banyak
anestesiologist percaya bahwa cairan primer resusitasi dengan
menggunakan coloid atau darah lebih banyak menguntungkan
dibandingkan cairan kristaloid dalam mencegah udem otak. Infus
sementara dengan vasopresor sering berguna dalam hipotensi berat yang
terjadi. Cairan hipotonik atau yang yang mengandung glukosa sebaiknya
tidak digunakan (lihat diatas). Hemarokrit harus dijaga tetap diatas
30%. Monitoring invasif dalam tekanan intra arteri, tekanan vena sentral
atau tekanan arteri paru dan tekanan intrra kranial, sangatlah
bermakana tetapi janganlah menunda diagnosis dan
penatalaksanaanya. Gambaran aritmia dan EKG abnormal pada gel T,
gelombang U, St segmen, atau QT interval , umum terjadi pada trauma
kepala dan tidaklah penting menghubungkannya dengan kelainan
jantung, melainkan oleh karena gangguan fungsi autonomik yang
terjadi.

STUDI DIAGNOSTIK
Pemilihan antara operasi dan pemberian obat pada trauma kepala
didasarkan pada gambaran radiologis sebaik sebagaimana dengan
gambaran klinisnya. Pasisn- pasien sebaiknya dalam keadaan stabil
terlebih dahulu sebelum dilakukan studi CT atau angiografi, keadaan-
keadaan yang mengancam selama penilaian harus diawasi ketat. Pada
pasien yang gelisah atau tak kooperative dapat diberikan general
anestesia. Sedasi yang diberikan tanpa mengontrol jalan napas secara
umum sebaiknya dihindari karena beresiko meningkatkan TIK, dari
hipercapni dan hipoksia yang terjadi. Keadan yang memburuk sebelum
penilaian diagnostik ini, pemberian intra vena manitol dapat
dipertimbangkan.

PENGELOLAAN INTRAOPERATIVE
Pengelolaan anestesi secara umum sama pada lessi massa yang
dihubungkan dengan peningkatan tekanan intracerebral. Management
jalan napas telah dibicarakan diatas. Monitoring intra arteri, vena
central( tekanan dalam arteri pulmonalis) harus dalam keadaan stabil
dan bila alat ini tak tersedia janganlah menunda tindakan decompresi
bila pasien jatuh dalam perburukan.
Pemberian barbiturat-opioid-N2O-dan NMBA adalah tehnik yang
umum digunakan. N2O sebaiknya dihindari pemakaiannya ketika terjadi
emboli udara dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi
anestesi oleh karena efek kombinasi dari vasodilatasi yang terjadi dan
hipovolemi dan harus dikelola dengan pemberian agonis ά-adrenergik
By GZ

dan penambahan volume infus bila diperlukan. Hipertensi yang


kemudian terjadi sebagai respon pembedahan akan meningkatkan ICP
secara akut, yang kemudian dihubungkan dengan bradikardi yang
terjadi (penomena chusing).
Hipertensi dapat dikelola dengan menambahkan dosis obat
induksi, dengan meningkatkan konsentrasi anestetik inhalasi, atau
dengan anti hipertensi. Hiperventilasi dengan PaCO 2 < 30, harus
dihindari pada pasien trauma guna menghindari penurunan yang
sangat pada CBF. Blokade ά-adrenergik biasanya efektif dalam
mengontrol hipertensi yang berhubungan dengan takikardi. CPP harus
terjaga dalam tekanan antara 70-110mmHg. Pemberian Vasodilator
hendaknya dihindari sampai durameter dibuka. Adanya vagal dapat
dikelola dengan pemberian Atropin atau glycopirolat.
DIC dapat terlihat pada trauma kepala berat. Seperti pada trauma
lainya, terjadi pelepasan dalam jumlah besar tromboplastin otak, dan
dapat pula dihubungkan dengan kejadian akut distres sindrome (lihat
Bab 49). DIC dapat didiagnosis dengan test koagulasi dan diobati
dengan pemberian platelet darah, FFP, dan cryopresifitat, dan ARDS
dapat ditangani dengan pemakaian ventilator. Aspirrasi pulmonal dan
neurogenik pulmonal udem dapat pula bertanggung jawab atas
perburukan fungsi paru. Penggunaan PEEP hanya dapat dipakai pada
ventilator bila ICP dimonitor dengan baik, atau setelah durameter
dibuka. Diabetes insipidus dengan karakteristik pengeluaran urin yang
banyak, kerap kali mengikuti gejala yang terjadi pada injuri pituitari.
Seperti pada penyebab lainnya harus dilakukan pemeriksaan urin dan
test osmolaritas serum sebelum dilakukan pengobatan pemberian cairan
dan vasopresin (lihat Bab 28). Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi
sebagai komplikasi penatalaksanaan setelah beberapa hari, hal ini
karena terjadinya strees ulcer.
Pertimbangan dilakukannya ekstubasi, tergantung beratnya injuri
yang terjadi, dengan atau tanpa trauma abdoment atau trauma thorak,
penyakit dasarnya dan tingkat kesadaran pada pemeriksaan sebelum
operasi. Pada pasien-pasien muda dan sadar sebelumnya, dilakukan
ekstubasi setelah pengangkatan lesi, sedangkan pada pasien dengan
injuri otak yang diffuse harus tetap terintubasi. Terlebih pada pasien
dengan hipertensi intrakranial yang persisten post operatif tetap
diberikan continu obat paralisis, sedasi, hiperventilasi dan mungkin saja
infus pentobarbital diberikan.

₪ ANESTESI & CRANIOTOMY UNTUK ANEURYSMA INTRAKRANIAL


DAN MALFORMASI ARTERIOVENOUSA
By GZ

Saccular aneurysma dan AVM s adalah penyebab tersering perdarahan


intrakranial yang non-trauma. Tretment operasinya haruslah bersifat
elektif untuk mencegah perdarahan atau kedaruratan dan menghindari
komplikasi dikemudian hari bila perdarahan tersebut sudah terjadi.
Penyebab lain non trauma hemorragik, termasuk hipertensi dan
perdarahan spontan lobaris, biasanya dapat dikelola secara medis.

CEREBRAL ANEURYSMA

PERTIMBANGAN PREOPERATIVE
Typikal dari aneurisma cerebral ini terjadi pada bifurcatio dari arteri
besar pada dasar otak; dimana pembuluh besar berlokasi pada anterior
dari circle of willis. Lebih kurang 10-30% dari pasien terdapat lebih dari
satu aneurismanya. Secara umum insidennya diperkirakan 5% dari
yang dilaporkan. Tetapi segolongan kecil saja yang mendapat
komplikasi. Robeknya kantung aneurisma merupakan penyebab
tersering pada perdarahan subarachnoid. Sebesar 10% menimbulkan
kematian yang akut. Dari mereka yang selamat dari perdarah, sekitar
25% akan meninggal dalam waktu tiga bulan setelah perlambatan
komplikasinya. Lebih dari itu sekitar 50% selamat dengan kelainan
neurologisnya. Pentingnya mengelola untuk menghindari robekan,
dimana lessi yang lebih besar dari 7 mm, dipertimbangkan untuk
operasi. Sayangya pasien yang ditemui setelah terjadi rabekan pada
aneurismanya.

ANEURYSMA YANG TIDAK ROBEK


Pasien tampak dengan gejala prodromal dan tanda mengarah keprogresif
yang luas. Gejala yang umum berupa sakit kepala, dan yang tersering
adanya palsie nervus-3. manifestasi lain termasuk disfungsi batang
otak, gangguan penglihatan, neuralgia trigeminus, syndrome sinus
cavernosus, keleyangan, dan disfungsi hipotalamus-pituitari. Untuk
diagnosis umumnya digunakan angiografi, MRI angiografi, dan Helical
CT angiografi. Setelah terdiagnosis pasien dapat dilakukan operasi
dengan elektif. Kebanyakan kelompok penderita dalam usia 40-sampai-
60 tahun, dan mereka dalam keadaan yang sehat.

ANEURYSMA YANG ROBEK


Rupturnya aneurisma biasanya tampak sebagai perdarahan akut
subarachnoid, dan kurang umum terjadi perdarahan dalam rongga
epidural atau dalam otak. Khususnya pasien mengeluh sakit kepala
yang berat secara tiba-tiba, tanpa disertai defisit fokal neurologis namun
By GZ

sering berhubungan dengan mual dan muntah. Penurunan kesadaran


dapat terjadi dan disebabkan karena peningkatan yang tiba-tiba ICP dan
penurunan CPP. Jika tekanan tidak diturunkan segera maka akan
diikuti dengan kematian. Cloting darah yang besar dapat menyebabkan
tanda kelainan fokal neurologis pada beberapa pasien. Perdarahan yang
kecil hanya dapat menyebabkan sakit kepala ringan, muntah dan
nuchal regiditi. Sayangnya perdarahan yang minimal dalam rongga
subarchnoid menimbulkan komplikasi yang terlambat. Dimana
komplikasi yang timbul terlambat meliputi vasospasme cerebral, ruptur
yang berulang, dan hidrocephalus. Vasospasme cerebral terjadi pada
30% pasien (biasanya setelah 4-14 hari) dan penyebab mayor morbiditas
dan mortalitas. Mekanismenya tidak diketahui namun berhubungan
dengan jumlah cloting disekitar pembuluh darah otak. Manifestasinya
secara prinsip terjadi dari iskemia cerebral dan infark. Calsium channel
antagonis nimodipine berguna untuk mencegah vasospasme, tetapi tidak
efektif bila hal itu sudah terjadi. Pada pasien yang memberikan gejala
terjadinya vasospasme, berikan ekspansi cairan intravaskular, dan
naikan tekanan darahnya ( triple H therapy : Hypervolemia,
Hemodilusi, dan Hypertensi) merupakan tambahan dalam regament
terapi. Dopamin biasanya digunakan untuk menginduksi hipertensi
yang ringan, karena hipertensi yang jelas akan meningkatkan resiko
rebleeding. Glukokortikoid tidaklah mengurangi cerebral udem yang
terjadi mengikuti robekan aneurisma. Cerebral udem yangterjadi
harusnya dikelola seperti pada trauma kepala; Monitoring tekenan ICP
selalu menjadi indikasi.
Pengelolaan pembedahan untuk penyelamatan pasien, sangatlah
complicated dengan resiko reebleding dan vasospasme. Insiden untuk
reebleeding 10-30%. Operasi secepatnya dalam (24-72 jam) biasanya
direkomendasikan pada pasien yang stabil,oleh karena reruptur 60%
mortalitas ratenya. Intervensi Pembedahan emergensi juga diindikasikan
untuk perburukan neurologis yang dihubungkan dengan hematom
subdural atau intrakranial. Akut hidrocephalus yang terjadi merupakan
kedaruratan yang membutuhkan drainase ventrikular, sementara kronik
hidrocepalus yang terjadi tindakannya dapat ditunda dan bukanlah
suatu kedaruratan untuk dilakukan shunt ventrikular.

PENGELOLAAN PREOPERATIVE
Penentuan penilaian preanestetik dilakukan terhadap ruptur yang
terjadi, dengan tanda peningkatan TIK yang harus dapat dilihat,dimana
umumnya hampir semua pasien menunjukan tanda TIK yang normal
sampai waktu mereka akan di operasi dan beberapa kelompok kecil saja
yang menunjukan peingkatan TIK yang persisten. Hidrocefalus dapat
berkembang pada pasien-pasien ini yang disebabkan karena gangguan
penyerapan LCS, dan biasanya tampak pada gambaran CT-scan dengan
ventrikel yang melebar. Pada kelainan neurologis yang ditemukan harus
By GZ

pula menilai penyakit-penyakit yang menyertai untuk modifikasi yang


dilakukan dalam terapi hipotensi intraoperatif yang terjadi. Pada
penyakit terdahulu dengan hipertensi sebelumnya, kelainan ginjal,
jantung penyakit iskemia cerebral pengelolaan hipotensi yang terjadi
relatif kontraindikasi. Gambaran abnormal yang umumnya terlihat pada
pasien dengan perdarahan subarachnoid bukanlah merefleksikan
adanya penyakit dasar kelainan pada jantung. Pada semua pasien-
pasien yang masih sadar dengan TIK yang masih normal selama
terjadinya ruptus harus diberikan sedative untuk mencegah reruptur,
dan terus kontinyu sampi induksi anestesi diberikan. Sedangkan pada
pasien dengan peningkatan TIK yang persisten harus diberikan dalam
dosis kecil atau tanpa premedikasi sama sekali untuk menghindari
hipokapnia.

PENGELOLAAN INTRAOPERATIVE
Operasi aneurysma dapat menyebabkan kekurangan darah karena
perdarahan sebagai konsekwensi dari ruptur atu perdarahhan kembali.
Harus tersedianya darah sebelum memulai tindakannya.
Tanpa mengindahkan tehnik anestesi yang dipakai, pengelolaan
anestetik haruslah difokuskan pada pencegahan ruptur (perdarahan
kembali), dan menghindari faktor-faktor yang dapat mendukung
terjadinya cerebral iskemia atau vasospasme. Monitoring tekanan intra
arteri atau dalam vena sentral (atau arteri pulmonal) adalah
dibutuhkan. Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dalam tindakaan
trakeal intubasi ataupun stimulasi pembedahan pada saat penyayatan
hendaknya di hindari. Adalah bijaksana untuk melakukan loading
cairan intravaskular, yang di guiding dengan pemasangan CVP.
Memungkinkan pada setiap level pembedahanya tingkat anestesi yang
diberikan tanpa menimbulkan penurunan tekanan darah yang berlebih,
karena pemberian preoperasi dengan calsium chennel bloker akan
memyebabkan vasodilatasi sistemik, dan mengurangi SVR, dan pasien-
pasien yang mendapatkan obat ini akan menimbulkan hipotensi.
Hiperventilasi yang dilakukan tidak sepert yang diharapkan
menimbulkan iskemi melainkan menginduksi terjadinya vasodilatasi.
Setelah dura dibuka, pemberian manitol kerap diberikan utk
memfasilitasi pembedahan dan mengurangi trauma jaringan dari
tindakan retraksi pembedahan. Penurunan TIK yang cepat sebelum
pembukaan dura dapat mendukung terjadinya rebleeding melalui efek
removing tamponade pada aneurysma.
Tindakan elektive ( terkontrol ) hipotensi pada pembedahan
aneurysma sangat berguna. Penurunan MAP mengurangi tekanan
transmural yang melintasi aneurysma serta dapat memfasilitasi
pembedahan dengan cliping pembuluh darah. Mengontrol hipotensi
dapat juga mengurangi pengeluaran darah yang dapat dilihat selama
By GZ

operasi. Kombinasi dengan posisi kepala lebih tinggi dengan volatil


anestesi (isoflurane) juga memberikan efek hipotensi sama seperti kita
menggunakan obat hipotensi (lihat Bab 13). Tehnik dengan melakukan
clips pembuluh darah untuk menghentikan aliran darah selama operasi
sering dilakukan oleh ahli bedah, dan selama melakukan ini kontrol
tekanan darah dengan normotensi atau sedikit peningkatan tekanan
darah secara teori memungkinkan proteksi perfusi otak selama operasi
aneurisma ini. Pemberian thiopental dengan sedikit hipotermi pada
pasien akan memberikan perlindungan pada otak selama periode atau
perpanjangan hipotensi maupun pada penyumbatan pembuluh darah.
Yang sesungguhnya, menghentikan sirkulasi dengan hipotermi ini
digunakan dalam aneurisma arteri basiler yang besar.
Tergantung pada kondisi neurologisnya, banyak pasien dilakukan
ekstubasi setelah operasi. Penanganan ekstubasinya sama seperti yang
dilakukan pada operasi kraniotomi lainya (lihat diatas). Kesadaran yang
cepat pulih dikamar operasi harus dinilai kondisi neurologis lain
sebelum dipindahkan kekamar intensive unit.

MALFORMASI ARTERIVENA.

Adanya malpormasi ini (AVMs) lebih sering menimbulkan perdarahan


intrakranial dibanding perdarahan subarachnoid. Lesi demikian
berkembang dari ketidak normalan yang diakibatkan adanya fistula
arteriovena, dengan typenya ditentukan atas waktu dan ukuran
pertumbuhannya. AVMs dapat terjadi pada semua umur,namun
perdarahannya dapat terjadi pada kisaran umur antara 10-30 tahun,
dengan keluhan sakit kepala dan kejang. Kombinasi yang terjadi dengan
meningkatnya aliran darah yang disertai dengan rendahnya resitensi
vascular akan berakibat gagal jantung. Seorang neuroradiologist akan
memberikan tindakan embolisasi pada keadaan akut ataupun
melakukan penyinaran pada AVMs ini bila subakut ataupun kronis dari
gangguan AVMs ini. Dan bila kedua tindakan ini tidak berhasil atau
tidak dapat dilakukan maka tindakan operasi eksisi dapat dilakukan.
Pengelolaan anestesi pada pasien-pasien ini sangatlah
komplikated dengan banyaknya kehilangan darah yang terjadi. Akses
vena yang banyak dengan kanul besar serta monitoring tekanan
langsung arteri sangat diperlukan. Embolisasi sebelum dilakukan
operasi harus sudah dikerjakan untuk mengurangi banyaknya
pengeluaran darah intraoperative. Hiperventilasi dan pemberian
mannitol juga digunakan untuk memfasilitasi operasi. Obat-obat brain
protector juga dipertimbangkan untuk diberikan pada lesi yang besar.
Terjadinya hiperemia dan sweeling dapat menyertai tindakan reseksi
yang dilakukan, hal ini dimungkinkan karena perubahan autoregulasi
dalam pengembalian fungsi normal otak. Tekanan darah harus selalu
By GZ

terkontrol dengan baik ( biasanya menggunakan β-Blocker) agar tidak


memperburuk keadaan.

₪ ANESTESI UNTUK OPERASI PADA SPINAL.

Tindakan operasi spinal biasanya dilakukan pada kelainan dengan


gejala pada gangguan persyarafan, atau penakanan pada medula spinal
sebagai skunder dari kelainan degenerative. Penekanan dapat terjadi
dari protusion pada intervertebral disc atau oleh suatu osteophyte
(spondilosis) yang masuk kedalam kanal spinal ( atau kedalam foramen
intervertebral). Herniasi dari intervertebral disc biasanya terjadi pada
lumbal 4-5,atau cervical ke5 atau ke-6 pada usia 30-50 tahun.
Spondilosis yang terjadi memberikan keluhan lebih banyak yang terjadi
pada servical dibanding pada lumbar, dan typikalnya terjadi pada orang
tua. Operasi pada spinal juga dapat dilakukan untuk koreksi deformitas
seperti scoloisis, decompresi saraf spinal, atau menggabungkan/ fusi
tulang belakang seperti yang terjadi pada trauma. Dan operasi pada
spinal juga dapat dilakukan pada reseksi suatu tumor atau malformasi
pembuluh darah atau untuk drain abses atau hematoma yang terjadi.

PENGELOLAAN PREOPERATIVE
Penilaian preoperative harus difokuskan pada gangguan ventilasi dan
kondisi jalan napas. Abnormalitas anatomi dan keterbatasan gerakan
leher oleh suatu penyakit, traksi atau kekakuan dapat menganggu
pengelolaan jalan napas dan dibutuhkan tehnik khusus (lihat Bab 5).
Semua defisit neurologis yang ditemukan dicatat. Semua pasien dengan
kelainan degeneratif dipertimbangkan pengelolaan Pain preoperative
dengan memberikan opioid dengan premedikasi. Sebaliknya- pada
pasien dengan jalan napas yang sulit atau gangguan ventilasi
premedikasi yang diberikan dalam jumlah yang sedikit saja.

PENGELOLAAN INTRAOPERATIVE
Pengelolaan anestesi yang dilakukan dengan posisi prone dapat
memberikan banyak penyulit. Penyulit Operasi spinal termasuk seluruh
level spinal, tindakan fusi, dan peralatan yang dipakai, dan berpotensi
besar menimbulkan banyaknya kehilangan darah; PRC harus selalu
By GZ

tersedia. Distraksi yang berlebihan selama tindakan ini berlangsung


(harrington root atau pemakaian pedicle screw fixsasi) akan menambah
injuri pada medula spinal. Pendekatan tindakan melalui trans-thorax
membutuhkan tehnik one-lung ventilasi.(lihat Bab 24).

Penempatan posisi
Seluruh prosedur operasi dikerjakan dalam posisi prone. Penggunaan
posisi supine (dengan melakukan traksi pada kepala) dalam pendekatan
anterior dari cervikal, memberi kemudahan bagi anestesi tetapi dapat
berhubungan dengan cedera pada trakea,esopagus, nervus laringeal,
simpatik chain, arteri karotis, atau vena jugular. Posisi duduk atau
lateral decubitus kadang juga digunakan.
Induksi dan intubasi dilakukan dalam posisi supine, kemudian
pasien diubah dalam posisi tengkutap, dengan menjaga netralitas dari
leher. Dengan memiringkan kesalah satu sisi pada kepala, atau
menghapap kebawah dengan menggunakan cushioned holder. Untuk
menjadi perhatian yang penting dari posisi ini adalah menghindari
abrasi kornea, atau iskemia retina dari penekanan, juga pada hidung,
telinga, dahi, dagu, payudara(pada wanita), atau genetalia(pada laki-
laki). Dada harus dalam kondisi rest dengan dengan busa atau
penunjang lain, untuk memvasilitasi ventilasi. Kedua tangan harus
sedemikian nyaman dengan menempatkan pada posisi disamping atau
keatas dengan pleksi elbows.
Menempatkan pasien pada kondisi ini dapat menimbulkan suatu
kedaruratan dengan timbulnya hipotensi, yang disebabkan dari
pembuntuan reflek simpatis. Tekanan pada abdomen, khususnya pada
pasien gemuk, dapat menggangu venous return serta memberi
kontribusi perdarahan yang terjadi, karena vena epidural tertumpuk
oleh darah. Pengunaan frame yang didesign untuk menghindari
penekanan pada perut maupun dada dapat menghindari penyulit-
penyulit tersebut.

Monitoring
Setelah kita dapat menentukan bahwa perdarahan banyak akan terjadi
pada suatu tindakan atau pasien dengan penyakit pada jantung
sebelumya, monitoring tekanan arteri dan CVP haruslah dilakukan
sebelum ”penempatan posisi” atau pembalikan. Pada pasien dengan
kondisi yang baik, pemeliharaan tekanan darah dengan hipotensi atau
memberikan secara infiltrasi pada luka operasi dengan cairan rendah
epineprine akan mengurangi perdarahan yang terjadi.
Kehilangan darah yang masive dari aorta atau vena cava dapat saja
terjadi intra ataupun post operatif pada prosedur tindakan bedah
thorak atau daerah lumbal.
Peralatan yang digunakan dalam operasi ini diupayakan dapat
mendeteksi kelainan neurologis yang terjadi terutama pada distraksi
By GZ

yang berlebihan yang dilakukan. Tehnik intraoperatif dengan pasien


yang bangun atau sadar, dengan balance atau tehnik intravena, dapat
melakukan test motorik selama traksi dilakukan. Begitu penentuan
motorik baik pasien harus ditidurkan dalam. Pemekaian monitoring
somatosensori yang merangsang potensial dan membangkitkan
rangsangan potensial motorik dapat dipakai sebagai alternative sehingga
problem tesebut dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai