[24]ين
ٍ ِع َربِي ٍ ُّمب
َ ان
ٍ سَ بِ ِل
”Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas”
(QS: Asyura:195)
Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik maka al-Qur`an dapat dipahami dengan baik pula tanpa memerlukan dalil-
dalil. Atas argument ini maka menurut mereka tidak diperlukan lagi hadist Rasulullah untuk menjelaskan al-Qur`an.
2. Al-Qur’an adalah sebagai penjelas atas segala sesuatu. Mereka mengutip beberapa ayat antara lain surat an-Nahl dan
surat al-An’am:
Kelompok inkar al-sunnah berasumsi bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu tentang ajaran
agama sudah termuat dalam al-Qur’an dan telah merincinya sehingga tidak perlu hadits atau sunnah. Apabila sunnah
diperlukan untuk menjelaskan dan merinci maka al-Qur’an telah meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi keterangan Allah
sendiri, hal ini mustahil terjadi
a. Hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai kepada kita melalui proses yang tidak terjamin keauntentikannya dan tidak
ada yang menjamin keterpeliharaan hadits Nabi. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa sesuatu yang tidak autentik tidak
layak dijadikan sebagai sumber ajaran agama .[27] Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah dalam surat al-Hijr :
ُ ِلَ َحاف
[28] َظون ِ إِنَّا ن َْح ُن ن ََّز ْلنَا
ُالذ ْك َر َوإِنَّا لَه
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh
Kami benar-benar memelirakannya. (QS. 15:9)
Berdasarkan beberapa argument yang mereka ajukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menolak otoritas
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Jadi bagi paham
inkar al-sunnah, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW (sunnah) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan tidak perlu ditaati dan
diamalkan. Paham ini jelas mengakibatkan runtuhnya ajaran- ajaran Islam pokok Islam yang merupakan sendi agama seperti
shalat dan zakat, karena butuh pedoman kepada hadits Nabi dalam pelaksanaannya.
3. Menolak Sunnah yang Tidak Terdapat Prinsipnya dalam al- Qur`an
Yaitu mereka yang tidak mengakui otoritas hadits- hadits untuk menentukan hukum baru selain yang ditentukan oleh al-
Qur`an. Mereka juga memakai dalil yang pertama untuk mendukung argumen mereka, sehingga menurut penulis kelompok
satu dan dua termasuk golongan yang ekstrim.
PENDAHULUAN
Qur’aniyun bentuknya bermacam-macam. Di Indonesia ada yang secara tegas memakai sebutan Ingkarus Sunnah untuk
menyatakan bahwa pegangan satu-satunya adalah al-Qur’an. Sebenarnya gerakan ingkarus Sunnah sudah lama muncul ke
permukaan, sejalan dengan munculnya firqah-firqah umat Islam. Dalam sejarah, firqah yang dari segi waktu disebutkan oleh
Ulama sebagai yang muncul pertama kali di tengah umat Islam adalah Khawarij, di susul kemudian dengan kemunculan
Syi’ah. Keduanya muncul pada zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, Syi’ah waktu itu masih sangat terselubung.
(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIII/32,33 dan 49). Khawarij sejak pertama kemunculannya merupakan sekelompok orang
yang terkesan sangar, pemberani dan tanpa basa basi. Sedangkan Syi’ah adalah sekelompok orang yang terkenal sangat licik,
salah satu aqidahnya adalah menipu. Aqidah “menipu” ini mereka istilahkan dengan taqiyah. Namun baik khawarij maupun
syi’ah, sama sama jahat, kejam dan bengis terhadap lawan-lawannya, khususnya terhadap Ahlu Sunnah dan tokoh-tokohnya.
Bahkan syi’ah lebih jahat lagi. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXVIII/478,479,480 dst).
Sejalan dengan kemunculan firqah-firqah itulah, penolakan terhadap sunnah berhembus kencang. Bahkan penolakan terhadap
sunnah itulah yang menjadi pemicu lahirnya firqah-firqah. Baik penolakan secara total, maupun penolakan secara sepenggal-
sepenggal, dalam arti; yang sesuai dengan hawa nafsu diterima, sedangkan yang tidak cocok dengan hawa nafsu ditolak.
Khawarij menolak berpegang kepada Sunnah jika menurut mereka tidak sesuai dengan zhahirnya nash al-Qur’an. (Majmu’
Fatawa XIII/48-49). Sedangkan Syi’ah menolak banyak Sunnah yang shahih hanya karena mengikuti kaidah hawa nafsu
mereka. Mereka adalah makhluk terjahat di muka bumi. Mereka tidak saja menolak Sunnah, bahkan juga al-Qur’an. [Majmu’
Fatawa XXVIII/480,481,482]
Begitu pulalah seterusnya, mu’tazilah serta firqah-firqah lain, adalah kelompok-kelompok yang tidak menerima Sunnah
sepenuhnya. Bahkan kemudian ada kelompok yang menolak Sunnah secara total.
SEJARAH INGKARUS SUNNAH
Sebenarnya bisa difahami bahwa benih-benih ingkarus Sunah sudah muncul bersamaan dengan lahirnya firqah-firqah di atas.
Hanya saja saat itu mereka tidak dikenal sebagai gerakan ingkarus Sunnah, sebab memang bukan itulah spesifikasi
kesesatannya. Tetapi firqah-firqah itulah sejatinya yang memelopori lahirnya gerakan spesifik ingkarus Sunnah, bahkan
gerakan-gerakan menyimpang lain yang memiliki unsur pengingkaran terhadap Sunnah, meskipun tidak secara total, tetapi
hanya secara parsial.
Khadim Husain Ilahi Najasy, seorang dosen pada fakultas Tarbiyah, Univ. Ummul Qura di Thaif, dalam bukunya menyebutkan
bahwa pada akhir abad kedua Hijriyah, telah lahir gerakan yang menyerukan dihilangkannya Sunnah secara total dan bahwa
Sunnah tidak boleh dijadikan sandaran dalam pensyari’atan hukum-hukum Islam. Ini katanya, akibat pengaruh syubhat yang
diwariskan oleh syi’ah, khawarij dan mu’tazilah. Ia membuktikannya dengan peristiwa dialog yang terjadi antara Imam Syafi’i
rahimahullah melawan salah seorang pendukung gerakan itu. Kisah itu ia nukil dari Kitab Jama’ al-Ilmi yang diterbitkan
bersama Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i. Namun menurut kesimpulannya, kemungkinan terkuat orang yang mendebat Imam
Syafi’i tersebut berasal dari kelompok khawarij ekstrimis, bukan dari kelompok mu’tazilah seperti yang disimpulkan oleh
Musthafa as-Siba’i dalam as-Sunnah wa Makanatuha dan Khudhari Bik dalam Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. [Lihat al-Qur’aniyun
wa Syubuhatuhum haula as-Sunnah, karya Khadim Husain Ilahi Najasy, dibawah sub judul : Mauqif al-Qur’aniyin as-Sabiqin
min as-Sunnah].
Khawarij memang cenderung mengembalikan segala perkara kepada al-Qur’an saja, bahkan menuntut agar orang mengikuti
al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari Sunnah dan jama’ah (maksudnya, pemahamannya tidak mengikuti jama’ah kaum Muslimin
yang ditokohi para sahabat g ). (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIII/208). Berbeda dengan mu’tazilah yang tidak menolak
Sunnah secara total. Golongan yang terakhir ini, kesukaannya mengotak-atik nash-nash al-Qur’an maupun Sunnah supaya
selaras dengan akal pikiran mereka yang dangkal.
PERKEMBANGAN INGKARUS SUNNAH
Menurut Khadim Husain Ilahi Najasy dalam bukunya “al-Qur’aniyun” (terbitan Maktabah ash-Shiddiq, cet. I Th. 1409 H/1989 M)
hal. 99, bahwa semenjak peristiwa dialog Imam Syafi’i dengan salah seorang anggauta kelompok yang menuntut
disingkirkannya Sunnah sebagai sumber hukum, sampai kurang lebih sebelas abad kemudian, tidak terdengar dalam catatan
sejarah adanya orang atau kelompok yang menyerukan agar Sunnah disingkirkan dari kedudukannya sebagai sumber hukum.
Baru pada abad ke tiga belas Hijriyah mulai terdengar kembali adanya bencana pengingkaran terhadap Sunnah.
Disebutkan, kemunculannya diawali diwilayah yang penduduknya berbicara bahasa Arab, ada yang mengatakan di Irak, ada
pula yang mengatakan di Mesir. Namun menurut Khadim Husain Ilahi Najasy, Mesir lebih mendekati kebenaran. Kemudian
berkembang dan subur di India. (Lihat al-Qur’aniyun hal. 99 dan seterusnya). Pertumbuhan ingkarus Sunnah di Mesir sendiri
berawal dari pengaruh-pengaruh gerakan westernisasi, disusul kemudian dengan kemunculan Jamaludin al-Afghani. Ia
membikin wadah diskusi yang di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh pergerakan seperti Muhammad Abduh, Abdul Karim
Salman, Sa’ad Zaghlul dan lain-lain. Jamaludin al-Afghani adalah orang pertama yang mencetuskan gagasan nasionalisme
Mesir hingga kuatnya ikatan kebangsaan dapat menggantikan ikatan agama. Akhirnya Mesir bukan merupakan negara agama,
tetapi menjadi negara bangsa Mesir yang komposisinya terdiri dari kaum Muslimin, Yahudi dan Kristen. Jamaludin percaya
dengan persatuan antar tiga agama. Kondisi parah ini diperparah dengan perkembangan politik di Mesir dan penjajahan
Inggris. Begitulah secara ringkas, sehingga akhirnya muncul gerakan ingkarus Sunnah, baik ingkar secara total, maupun ingkar
terhadap sebagian Sunnah. Namun Ingkarus Sunnah di negeri yang berbahasa Arab ini tidak bersifat jama’ah, tetapi lebih
bersifat individual.
Beberapa tokoh individu yang memelopori ingkarus Sunnah murni (total) ialah : dr. Muhammad Taufiq Shidqi (Th. 1298 – 1338
H/sekitar Th. 1880-1920 M), Mahmud Abu Rayyah, dr. Abu Syadi Ahmad Zaki (1892-1955 M), Dr. Isma’il Adham (1911-1940
M) dll.
Sementara orang-orang yang menolak sebagian Sunnah, tokoh-tokohnya antara lain : Ahmad Amin, Ahmad Fauzi, Muhammad
Bakhit dan lain-lain. (Lihat al-Qur’aniyun hal. 112-203) Wallahu a’lam.
Tentu Madrasah Ishlahiyah, sebagai wadah gerakan Aqlaniyah (pengagungan terhadap akal) moderen di Mesir, merupakan
gerakan yang turut serta meramaikan berkembangnya penolakan terhadap hadits Ahad. Madrasah ini didirikan pada suatu
masa di tengah kolonialisme Inggris terhadap Mesir. Ajaran-ajarannya mulai menonjol di tangan Jamaludin al-Irani (yang
kemudian menjadi terkenal dengan sebutan Jamaludin al-Afghani). Kemudian ajaran-ajaran Madrasah tersebut semakin
populer dan mengakar pada masa kepemimpinan Muhammad Abduh. Begitulah seterusnya. Tokoh-tokoh gerakan Madrasah
Islahiyah (Aqlaniyah) moderen ini antara lain; Sa’ad Zaghlul, Muhammad Farid Wajdi, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Luthfi
Sayyid, Mahmud Syaltut, Musthafa al-Maraghi (penyusun Tafsir al-Maraghi-pen), dan belakangan Hasan at-Turabi,
Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, Fahmi Huwaidi serta Muhammad Imarah. (Lihat Maa ana ‘alaihi wa Ashabi karya
Ahmad Salam, cet. I th. 1415H/1995 M, terbitan Daar Ibni Hazm hal. 33-34).
Sebenarnya akibat akhir dari perjalanan kaum Aqlaniyun (para pengagung akal) ini adalah pengingkaran terhadap wahyu dan
penolakan terhadap agama, suka ataupun tidak. (Al-Aqlaniyun Afraakh al-Mu’tazilah al-Ashriyun, karya Syeikh Ali bin Hasan
bin Ali bin Abdul Hamid al-Atsari, cet. I th. 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Madinah, KSA hal. 74).
PERKEMBANGAN INGKARUS SUNNAH DI INDIA
Ternyata gerakan ingkarus Sunnahpun sampai ke India. Ada faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan ini, yang
terpenting (menurut Khadim Husain dalam al-Qur’aniyun hal. 19,20, 21, 22 dst.) di antaranya adalah :
1. Sebagai akibat logis dari benih-benih gerakan yang ditebarkan oleh anggauta kelompok Sayyid Ahmad Khan, anak seorang
tokoh Muslim terkemuka India, namun sepeninggal ayahnya ia berkembang mengikuti kekagumannya pada Inggris dan
akhirnya melahirkan berbagai pemikiran aneh.
2. Akibat pengaruh kolonialisme Barat.
Maka mulai tahun 1902 muncullah seorang pendiri gerakan Qur’aniyun bernama Ghulam Nabi yang dikenal dengan nama
Abdullah Jakralawi. Ia memulai kegiatan-kegiatan rusaknya dengan mengingkari seluruh Sunnah Nabi n . Pusat kegiatannya di
sebuah Masjid di Lahore (sekarang masuk wilayah Pakistan) bernama Masjid Jiniyan Wali.
Sebenarnya, gerakan Qur’aniyun di India mula-mula dipelopori oleh dua orang yang memiliki satu sumber perguruan, dalam
waktu bersamaan ; pertama, Muhibbul Haq Azhim Abadi di daerah Bahar, India bagian timur. Kedua Abdullah Jakralawi di
Lahore. Hanya saja, secara lahir orang yang pertama tidak menyelisihi kebiasaan umumnya kaum Muslimin. Ia tetap
melakukan kegiatan-kegiatan Islam seperti orang Islam umumnya, namun dengan mengambil istinbath hukum hanya
berdasarkan al-Qur’an tanpa merujuk kepada hadits. Hal ini menyebabkan kegiatan serta gagasannya tidak terlalu
menyentakkan perhatian kaum Muslimin.
Sementara orang kedua (yaitu Abdullah Jakralawi), sejak kemunculan pertamanya sudah menyelisihi umumnya kaum
Muslimin. Hal pertama yang sangat mencolok adalah perbedaan dalam masalah shalat, hingga akhirnya membentuk sebuah
firqah baru dengan nama Ahli dzikir wal Qur’an.
Demikianlah seterusnya, semakin lama terjadi perbedaan yang semakin lebar antara pengikut Qur’aniyun (ingkarus Sunnah)
dengan kaum Muslimin.
Dan gerakan ingkarus Sunnah murni di India, yang dipelopori oleh Abdullah Jakralawi bukan saja dianut sebagai faham
individual, tetapi merupakan faham suatu jama’ah. Jama’ah sesat dan kufur.
Di sana masih banyak tokoh ingkarus Sunnah lainnya di India, namun cukuplah apa yang disebutkan di sini sebagai contoh
gambaran perkembangan Ingkarus sunnah.
INGKARUS SUNNAH DI INDONESIA
Tidak banyak yang bisa disampaikan tentang ingkarus Sunnah di Indonesia, namun pada tahun delapan puluhan dan
sebelumnya pernah meledak kepermukaan sebuah gerakan ingkarus Sunnah dengan tokohnya antara lain Nazwar Syamsu.
Mereka mempunyai tata cara shalat sendiri. Shalat menurut mereka sama dengan dzikir. Dengan demikian jika sekelompok
orang duduk dalam majelis ilmu, sudah mereka anggap melaksanakan shalat karena majelis ilmu merupakan majelis dzikir. Ini
tentu akibat pengingkaran mereka terhadap Sunnah atau akibat hawa nafsu dan kejahilan mereka. Sebab di dalam al-Qur’an,
menurut mereka tidak terdapat tata cara shalat secara khusus.
Mengingkari Sunnah secara demikian berarti telah mengingkari wahyu Allah dan itu adalah kufur. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah berfirman :
ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى هللاِ َوالرَّ سُو ِل
َ فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunnahnya). [An-Nisa’ : 59].
ْ يَاأَيُّ َها الَّذِينَ ءا َمنُوا أَطِ يعُوا هللاَ َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوأ ُ ْولِى اْأل َ ْم ِر مِن ُك ْم فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش
َىءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى هللاِ َوالرَّ سُو ِل ِإن ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اْألَخِ ِر
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. [An-Nisa’ : 59].
Mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm berarti mengikuti sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِ علَ ْي َها بِالنَّ َو
اجذ َ ، َسنَّ ِة ْال ُخلَفَاءِ الرَّ ا ِش ِديْنَ ْال َم ْهدِيِيْن
َ عض ُّْوا ُ َِعلَ ْي ُك ْم ب
ُ سنَّتِي َو
Wajib bagi kalian berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidun, orang-orang yang mendapat petunjuk.
Gigit (pegang)lah Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dll. Lihat
Shahih at-Tirmidzi karya Syeikh al-Albani II/341-342].
Jadi, tidak ada lagi dibalik kebenaran kecuali kesesatan. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2925-bentuk-bentuk-ingkarus-sunnah.html
INKÂR AL-SUNNAH
Tulisan berikut ini akan membahas tentang inkâral-sunnah dari segi pengertian, klasifikasi munkir al-sunnah dan alasan
mereka dan kritik terhadap pandangan munkir al-sunnah.
A. Pengertian
Kata inkâr al-sunnah terdiri dari dua kata: inkâr dan al-sunnah. Kata inkar merupakan salah satu kosa kata Arab. Kata
inkâr adalah mashdar kata “Ankara”. Secara bahasa berarti “( ”الجهدIbn Manzhûr, 2004: I/…). Jadi inkâr al-sunnah berarti
“mengingkari sunnah”. Hadis sebagai sumber ajaran Islam, disamping Alquran, dalam rentangan sejarahnya, ternyata tidak
hanya mendapat ujian dengan muncul dan bertebarannya hadis-hadis palsu, akan tetapi juga telah dihadapkan kepada
suatu tantangan berupa munculnya kelompok-kelompok tertentu dalam umat Islam yang menolak keberadaan seluruh
atau sebagian sunnah sebagai sumber ajaran agama yang wajib dita’ati dan diamalkan. Mereka lazimnya disebut sebagai
Kelompok Inkâr al-Sunnah.
B. Klasifikasi Inkâr al-Sunnah
Mereka yang disebut sebagai penganut paham inkâr al-sunnah ini, sebenarnya tediri atas tiga kelompok dengan tiga sikap
yang berbeda yakni: pertama, mereka yang menolak hadis-hadis Rasûlullâh keseluruhannya; kedua, mereka yang menolak
hadis-hadis Rasûlullâh kecuali hadis-hadis yang mengandung ajaran yang ditemukan nash-nya di dalam Alquran, dan;
ketiga, mereka yang menolak hadis âhâd dan hanya menerima hadis mutawâtir.
Bagaimana alasan yang dikemukakan oleh kelompok pengingkar untuk mendukung pendirian mereka masing-masing dan
bagaimana pula bantahan atau alasan pembelaan ahli yang membantahnya.
1. Kelompok yang Menolak Hadis Secara Umum
Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendirian mereka. Alasan-alasan tersebut
adalah:
a. Alquran diturunkan Allah SWT. dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, maka Alquran akan
dapat pula dipahami dengan baik, tanpa perlu bantuan penjelasan dari hadis-hadis Rasûlullâh.
b. Alquran, sebagaimana disebut oleh Allâh SWT. adalah penjelas bagi segala sesuatu ()شيء لكل تبيانا. Ayat ini mengandung arti
bahwa penjelasan Alquran telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan umat-Nya. Dengan demikian penjelasan lain
selain Alquran tidak diperlukan lagi.
c. Hadis-hadis Rasûlullâh sampai kepada kita melalui riwayat yang proses periwayatannya tidak dapat dijamin bersih dari
kekeliruan, kesalahan bahkan kedustaan terhadap Rasûlullâh. Oleh karena itu, nilai kebenarannya zhanniy (tidak
meyakinkan). Oleh karena itu pula tidak dapat dijadikan mubayyin (penjelas) bagi Alquran yang qath’iy (diyakini
kebenarannya). Dengan kata lain, yang dapat dijadikan hujjah hanyalah dalil yang qath’iy. Hadis karena nilainy zhanniy,
tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan penjelas Alquran.(Rif’at, 1978: 189).
Alasan-alasan di atas jelas mengacu kepada suatu kesimpulan, yakni menolak kehujjahan hadis-hadis Rasûlullâh sebagai
sumber ajaran agama yang wajib dita’ati dan diamalkan. Dengan demikian, Alquranlah satu-satunya sumber ajaran agama.
Paham ini jelas akan mengakibakan runtuhnya ajaran-ajaran pokok yang merupakan sendi agama. Dikatakan demikian,
bagi mereka hanya Alquranlah satu-stunya sumber ajaran agama. Paham ini jelas akan mengakibatkan runtuhnya ajaran-
ajaran pokok yang merupakan sendi agama. Dikatakan demikian karena perintah shalat, misalnya, dianggap memadai (sah)
bila dilakukan oleh seseorang menurut caranya sendiri, asal apa yang disebut shalat menurut pemahaman bahasa sudah
terpenuhi. Sebab peritah mendirikan shalat datang dalam Alquran dalam bentuk umum, sedangkan ketentuan mengenai
tata cara pelaksanaan shalat diatur dan dijelaskan ole Rasûlullâh Saw melalui hadis-hadis beliau.
2. Kelompok yang Menolak Hadis Rasûlullâh yang mengandung ajaran yang tidak ditemukan nash-nya di dalam Alquran
Kelompok ini sama dengan kelompok pertama. Pada hakikatnya pandangan mereka tentang keberadaan, kedudukan dan
fungsi hadis Rasûlullâh Saw sama saja dengan pandangan kelompok pertama. Dikatakan demikian karena yang mereka
jadikan pegangan sebenar bukanlah hadis, melainkan ayat-ayat Alquran. Dengan kata lain, dalam menghadapi suatu
masalah, meskipun ada hadis yang mengatur, namun mereka tidak akan menerima hadis tersebut kalau tidak didukung
oleh Ayat Alquran. (al-Syâfi’iy, al-Umm: 287)
3. Kelompok Yang Menolak Hadis Âhâd Dan Hanya Menerima Hadis Mutawâtir
Kelompok yang ketiga dari barisan kelompok inkâr al-sunnah adalah mereka yang hanya mengakui keberadaan,
kedudukan dan kewenangan hadis mutawâtir dan menolak keberadaan, kedudukan dan kewenangan hadis âhâd, meskipun
diantaranya memenuhi persyaratan sebagai hadis shahîh.
Alasan utama yang mereka kemukakan ialah karena hadis âhâd tersebut nilainya zhanniy (al-wurûd) dengan arti
kebenarannya sebagai berasal dari Rasûllâh Saw tidak dapat diyakini sebagaimana halnya hadis mutawâtir. Menurut
mereka, urusan agama haruslah didasarkan atas dalil qath’iy yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh
karena itu hanya Alquran dan hadis mutawâtir yang dapat dijadikan hujah atau sumber ajaran agama.
Disamping alasan utama di atas, mereka juga mengemukakan alasan tambahan, diantaranya dengan mengutip ayat-ayat
yang diberi interpretasi sejalan dengan alasan utama. Diantara ayat yang mereka kutip adalah:
االسراء( علم به لك ليس ما تقف ال/17: 36)
Artinya: Jangan kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
الحق إال هللا على تقولوا ال و. (al-Nisâ’/4: 171)
Artinya: Jangan kamu mengatakan terhadap Allâh (menyangkut urusan agama) kecuali yang benar (al-haq).
… يونس( شيئا الحق من يغني ال الظن إن/10: 36).
Artinya: Sesungguhnya zhann (persangkaan) itu tidak berguna sedikit pun untuk (mencapai) kebenaran (al-haq).
Dari ayat-ayat di atas mereka berargumentasi bahwa hadis âhâd karena nilainya zhanniy, tidak dapat dikategorikan
sebagai memfaedahkan ‘ilm (pengetahuan yang meyakinkan) dan tidak pula bisa masuk kategori sebagai al-haq (yang
tidak diragukan kebenarannya). Dengan demikian maka hadis âhâd tidak dapat dijadikan hujah atau pegangan dalam
urusan agama.(Rif’at, 1981: 83-88).
C. Kritik Terhadap Kelompok Inkâr al-Sunnah
1. Kritik Terhadap Alasan Pertama Kelompok Pertama
Di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memerintahkankan agar kita semua senantiasa taat mengikuti perintah dan
menjauhi larangan Rasul-Nya, sebagaimana kita diperintah agar senantiasa taat mengikuti perintah dan menjauhi larangan
Allâh SWT. diantara ayat tersebut adalah:
تسليما يسلموا و قضيت مما حرجا أنفسهم في يجدوا ال ثم بينهم شجر فيما يحكموك حتى يؤمنون ال ربك و فال. (al-Nisâ’/4; 45)
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati atas putusan yang kamu
berikan, serta menerimanya sepenuh hati.
النساء( هللا أطاع فقد الرسول يطع من و/4: 80).
Artinya: Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka sesungguhnya ia juga telah menaati Allah.
…
الحشر( … فانتهوا عنه نهاكم ما و فخذوه الرسول آتاكم ما و/59: 7).
Artinya: … apa-apa yang diberikan (disampaikan) Rasul kepadamu, terima (pegang) lah, dan apa-apa yang dilaragnya,
tinggalkanlah …
Mereka yang tidak dapat bertemu langsung dengan Rasûlullâh, atau mereka yang hidup setelah Rasûlullâh Saw tiada, tidak
ada jalan lain bagi mereka untuk mengetahui atau mendapatkan petunjuk agar dapat menunaikan kewajiban mengikuti apa
yang beliau perintah dan menjauhi apa yang beliau larang, sesuai denga tuntutan ayat-ayat di atas, kecuali melalui hadis-
hadis beliau yang kita terima melalui periwayatan.(al-Syâfi’iy, al-Umm: 289).
Ladasan utama bagi otoritas kehujjahan hadis Rasûlullâh adalah Alquran sendiri. Artinya, Alquranlah yang memerintahkan
agar kita senantiasa taat kepada Rasûlullâh, mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Perintah dan larangan
Rasûlullâh tersebut tidak dapat diketahui melainkan melalui hadis-hadis yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, taat
kepada Rasûlullâh tidak lain artinya ialah senantiasa berpegang dan mengamalkan hadis-hadisnya. Dengan demikian,
mengingkari kehujahan hadis berarti mengingkari sebagian dari kewajiban agama yang ditetapkan Alquran kepada kita.
Agaknya tidaklah berlebihan bila mereka yang mengingkari kehujjahan hadis secara keseluruhan ini diseru untuk segera
bertaubat. (al-Syâfi’iy, al-Risâlah: 460).
Siapa yang menguasai bahasa Arab dengan baik, justru dengan pengetahuan bahasa Arab itu dia akan tahu bahwa Alquran
sendirilah yang menyuruh umat Islam agar menerima dan mengikuti hadis-hadis Rasulullah, yakni yang disampaikan oleh
periwayat yang dipercaya (al-shâdiqûn), sebagaimana mereka disuruh menerima dan mengikuti Alquran. Hal ini karena
Alquran menyebut hadis-hadis tersebut sebagai bagian risâlah yang menjadi tugas Rasûlullâh untuk disampaikan kepada
umatnya, disamping tugasnya menyampaikan Alquran. Allâh SWT berfirman:
مبين ضالل لفي قبل من كانوا إن و الحكمة و الكتاب يعلمهم و يزكيهم و آياته عليهم يتلو منهم رسوال األميين في بعث الذي هو. (al-Jumu’ah/62: 2)
Artinya: Dia (Allâh) lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasûl di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan Kitab dan hikmah kepada mereka.
Al-Kitâb dan al-hikmah dalam ayat di atas, haruslah dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan
al-Kitâb adalah Alquran, maka al-hikmah haruslah dipahami sebagai ajaran-ajaran agama yang disampaikan atau
diajarkan Rasûlullâh, yang bukan Alquran, yakni Hadis-hadis beliau.(al-Syâfi’iy, al-Umm, 288; Abû Zahrah, t. th.: 235).
Dilihat dari segi bahasa, adanya kata penghubung “dan” (harf ‘athf “al-waw”) antara al-Kitâb dan al-hikmah, menghendaki
al-Kitâb dan al-hikmah tersebut haruslah dipahami sebagai dua hal yang berbeda seperti disebut di atas. Pemahaman al-
hikmah tersebut haruslah dipahami sebagai dua hal berbeda seperti disebut di atas. Pemahaman al-hikmah dengan hadis
Rasûlullâh ini, juga didukung oleh ayat-ayat lain, diantaranya:
( … الحكمة و هللا آيات من بيوتكن في يتلى ما اذكرن وal-Ahzâb/33: 34)
Artinya: Ingatlah (wahai para isteri Rasul) apa yang dibacakan (oleh Rasûlullâh) di rumahmu dari ayat-ayat Allâh dan al-
hikmah.
Dalam ayat di atas, terkandung perintah Allâh kepada para isteri Rasul agar mereka menyampaikan dua hal yang dibacakan
(diajarkan) Rasûlullâh ketika beliau di rumah mereka, yakni ayat-ayat Allâh atau Alquran dan al-hikmah yang bukan
Alquran, yakni hadis. (al-Syâfi’iy, al-Umm, op.cit.).
Bukti lain bahwa hadis Rasûlullâh Saw diperlukan untuk dapat memahami Alquran dengan baik ialah adanya ayat-ayat yang
mansûkh dan yang nâsikh yakni ayat-ayat yang tidak berlaku ketentuan hukum yang diakndungnya (al-mansûkh) karena
diganti dengan ketentuan baru yang dibawa oleh ayat yang turun kemudian (nâsikh). Mana ayat yang mansûkh dan mana
ayat yang nâsikh tidak akan diketahui dengan baik kalau bukan dari penjelasan Rasûlullâh. Kalau tidak memperhatikan
hadis Rasûlullâh, kita bahkan bisa terbalik memahami mana ayat yang mansûkh dan mana yang nâsikh.(ibid.: 289). Jadi
dalam hal ini, berdasarkan informasi dari Rasûlullâh kita dapat mengetahui mana ayat yang dahulu turun (sebagai
mansûkh) dan mana ayat yang turun kemudian yang berfungsi sebagai nâsikh.
2. Kritik Terhadap Alasan Kedua Kelompok Pertama
Tidak benar ayat yang mereka kutip tersebut ( )شيء لكل تبياناmengandung arti tidak diperlukan hadis Rasûlullâh sebagai
penjelas urusan-urusan agama disamping Alquran. Hal ini karena diantara penjelasan Alquran ada yang masih bersifat
global atau hal-hal pokok, seperti perintah shalat. Dalam hal seperti ini, penjelasan lebih lanjut sebagai peraturan
pelaksanaannya disampaikan oleh Rasul-Nya melalui hadis-hadis yang ditinggalkannya, maka penjelasan-penjelasan yang
disampaikannya haruslah ditaati dan dilaksanakan.(al-Syâfi’iy, al-Risâlah: 21-2).
3. Kritik Terhadap Alasan Ketiga Kelompok Pertama
Mayoritas ahli mengakui bahwa hadis âhâd nilainya zhanniy, tidak mencapai tingkat qath’iy sebagaimana halnya hadis
mutawâtir karena dalam proses periwayatannya bisa saja terjadi kekeliruan atau kesalahan dari para periwayatnya. Oleh
karena itu diakui pula bahwa tidak semua hadis âhâd dapat diterima keberadaan, kedudukan dan fungsinya, kecuali bila
memenuhi persyaratan sebagai hadis shahîh atau hasan. Sehubung dengan hal ini maka adalah keliru dan tidak benar
pandangan yang menolak kehujjahan hadis âhâd secara keseluruhan.
Untuk menunjukkan kekeliruan dan ketidakbenaran pandangan tersebut, para ahli, antara lain al-Syâfi’iy, mengemukakan
berbagai alasan yang dapat dirangkum sebagai berikut:
a. secara analogis, al-Syâfi’iy mengungkapkan kekeliruan pandangan kelompok pengingkar hadis âhâd tersebut yang
dilukiskannya dalam suatu diskusinya dengan salah seorang anggotanya sebagai berikut:
Al-Syâfi’iy : Bagaimana pendapat anda tentang seorang yang berada di sampingku ini, adakah darah (nyawa) dan hartanya
wajib dihormati?
Pengingkar : Ya, benar.
Al-Syâfi’iy : Akan tetapi, bagaimana sekiranya datang dua orang lain dan mengatakan bahwa mereka menyaksikan orang
yang disampingku ini telah membunuh seseorang lain serta merampas hartanya, yang sekarang dikuasainya.
Pengingkar : Aku akan membunuhnya sebagai hukuman balasan (qishâsh) dan mengembalikan harta tersebut kepada ahli
waris orang yang dibunuhnya.
Al-Syâfi’iy : Apakah tidak mungkin kesaksian yang disampaikan dua orang tadi mengandung kesalahan atau bahkan dusta?
Pengingkar : Ya, mungkin juga.
Al-Syâfi’iy : Kalau begitu, berarti anda membolehkan membunuh dan mengambil harta seseorang yang menurut dalil yang
qath’iy (Alquran) wajib dihormati, hanya dengan dasar keterangan dua orang saksi yang sifatnya zhanniy (karena boleh jadi
kesaksiannya tidak benar).
: Kalau anda mengatakan boleh menerima (berhujjah) dengan keterangan saksi maka berhujjah dengan hadis âhâd (yang
maqbûl) lebih pantas karea kami dalam menerimanya untuk dijadikan hujjah menetapkan persyaratan yang lebih ketat
terhadap para periwayatnya, dibanding persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diterima
kesaksiannya.(Al-Syâfi’iy, op. cit., 290).
Dengan menyimak dialog di atas, jelaslah kekeliruan pandangan pihak kelompok pengingkar hadis âhâd karena di satu
pihak mereka menolak kehujjahan hadis âhâd dengan alasan nilainya zhanniy, akan tetapi di pihak lain, mereka menerima
dan berhujah dengan keterangan saksi yang nilainya juga zhanniy. Bahkan tingkat kebenarannya dapat dikatakan di bawah
dari hadis âhâd (yang maqbûl) karena persyaratan yang ditutut terhadap para periwayat hadis jauh lebih ketat darpada
persyaratan yang dituntut terhadap seseorang untuk dapat diterima kesaksiannya.
b. Secara naqliyah, dasar-dasar kehujjahan hadis âhâd dapat ditemukan di dalam banyak ayat Alquran dan hadis-hadis
Rasûlullâh sendiri. Diantara ayat tersebut adalah:
( … قومه إلى نوحا أرسلنا إناNuh/71: 1)
Artinya: Sesungguhnya Kami mengutus Nuh kepada kaumnya.
شعيبا أخاهم مدين إلى و. (Al-A’râf/7: 85)
Artinya: Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka Syu’aib.
dan ayat-ayat lain yang menceritakan pengutusan Ibrâhîm, Shâlih, Lûth, Hûd dan Muhammad Saw, kepada umatnya
masing-masing. Ayat-ayat tersebut menunjukan bahwa Allâh SWT mengutus para rasul-Nya kepada kam atau ummat
masing-masing secara sendiri-sendiri. Dan Allâh menetapkan khabar (pesan atau ajaran agama) yang disampaikan oleh
para rasul-Nya tersebut menjadi hujah untuk dita’ati dan diamalkan oleh anggota kaumnya masing-masing.(Al-Syâfi’iy, al-
Risâlah: 435-7). Kalau sekiranya khabar âhâd tidak dapat dijadikan hujjah, tentu Allâh akan mengutus Rasûl-Nya dalam
julah yang banyak agar khabar yang mereka sampaikan menjadi khabar mutawâtir, bukan secara sendiri-sendiri
sebagaimana diterangkan dalam ayat di atas. Jika khabar dari para Rasûl wajib diterima karena dipercaya dan diyakini
kebenarannya, maka hadis âhâd yang diriwayatkan oleh periwayat yang dipercaya (tsiqah) serta memenuhi persyaratan
lainnya yang berfungsi sebagai penyaring terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan, juga pantas
diterima dan dijadikan hujah. Sebab dengan lulusnya hadis tersebut dari berbagai persyaratan yang telah ditetapkan, maka
nilai kebenarannya sebenarnya bisa mendekati keyakinan.
Adapun dasar-dasar kehujahan hadis âhâd dalam hadis-hadis Rasûlullâh, diantaranya adalah:
1. Hadis riwayat ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd:
عمر أبي ابن حدثنا، سفيان حدثنا، عمير بن الملك عبد عن، مسعود بن هللا عبد بن الرحمن عبد عن، أبيه عن يحدث، قال وسلم عليه هللا صلى النبي عن: “فوعاها مقالتي سمع امرأ هللا نضر
بلغها و حفظها و، منه أفقه هو من إلى فقه حامل فرب، … (al-Tirmidziy, 2007: 401-2)
Artinya: (Al-Tirmidziy berkata:) … dari Nabi Saw bersabda: “Allâh akan memberi kebaikan kepada seorang (hamba-Nya)
yang mendengar ucapanku, menghafal dan memeliharanya dengan baik dan kemudian menyampaikannya kepada orang
lain. Seringkali seseorang memiliki pengetahuan namun tak mendalaminya dan seringkali pula seseorang yang memiliki
pengetahuan kemudian menyampaikannya kepada seseorang lain yang ternyata lebih mampu mendalaminya daripadanya.
Melalui hadis di atas, secara tidak langsung, Rasûlullâh menghimbau umatnya agar mereka mendengar (memperhatikan),
menghafal (memelihara) dan memahami hadis-hadis yang beliau sampaikan dengan baik dan kemudian menyampaikannya
kepada orang lain karena hal itu akan mendatangkan kebaikan dari Allâh. Dalam hadis tersebut Rasûlullâh dengan tegas
menyebut ‘abd (dalam bentuk singular) yang berarti seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh sesungguhnya tidak
akan meghimbau atau memerintahkan seseorang dari umatnya agar menaruh perhatian terhadap hadis-hadisnya dan
kemudian menyampaikannya kepada seseorang lain, kecuali karena hadis yang disampaikan oleh seseorang kepada
seseorang lainnya tersebut merupakan hujah untuk dipegang dan diamalkan.(ibid.: 402-3).
2. berbagai riwayat yang menerangkan bahwa para shahâbiy saling menyampaikan informasi keagamaan melalui khabar
âhâd dan mereka sama-sama menerima informasi (ajaran-ajaran agama yang baru) yang disampaikan kepada mereka
tersebut dan segera mengamalkannya dengan meninggalkan perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan mereka yang tidak
sejalan. Hal ini diketahui Rasûlullâh dan beliau tidak menegur sikap para shahâbat tersebut. Kalau informasi keagamaan
melalui khabar âhâd tidak boleh dijadikan hujah, tentu Rasûlullâh akan menegur dan memerintahkan agar mereka
menangguhkan pengamalannya hingga informasi tersebut sampai kepada mereka secara mutawâtir, atau mereka dengan
langsung dari Rasûlullâh. Oleh karena itu, riwayat-riwayat tersebut menjadi bukti bahwa khabar (hadis) âhâd memiliki
otoritas sebagai hujah untuk dipegang dan diamalkan.(ibid.: 406-410).
Diantaranya, diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar bahwa ketika kaum muslimin seang shalat Shubuh di Masjid Quba, tiba-tiba
datang seorang shahâbiy dan mengatakan bahwa kepada Rasûlullâh telah diturunkan ayat yang memerintahkan agar dalam
shalat menghadap arah kiblat (Ka’bah). Oleh karena itu, hendaklah kamu sekalian menghadap Ka’bah. Mereka yang sedang
shalat dengan berkiblat ke arah al-Syâm, segera memutar arah kiblat ke arah Ka’bah.(ibid.).
Ahl al-Qubâ’ sebagaimana disebut dalam riwayat di atas terdiri atas orang-orang Anshâr yang memiliki pengetahuan
agama yang dalam. Mereka tentu tidak akan mengubah arah kiblat yang sebelumnya diwajibkan atas mereka hanya
berdasarkan informasi yang disampaikan oleh seseorang (dalam bentuk khabar âhâd), melainkan karena mereka tahu dan
mengakui bahwa khabar âhâd (yang disampaikan oleh seseorang yang dipercaya) merupakan hujah untuk dipegang dan
diamalkan.
Sikap yang ditunjukkan oleh para shahâbiy sebagai tergambar dalam riwayat yang dikutp di atas menjadi bukti bahwa
khabar âhâd meruoakan hujjah untuk dipegang dan diamalkan. Bukti kehujahan khabar âhâd ini didukung oleh sikap
Rasûlullâh yang mengetahui hal tersebut, namun tidak menegur para shahâbiy-nya yang segera mengikuti dan
mengamalkan khabar âhâd yang sampai kepada mereka tersebut. Kalau khabar âhâd tidak dapat dijadikan hujah, tentu
Rasûlullâh akan menegur para shahâbiynya.
3. Rasûlullâh sering mengirim utusannya ke berbagai daerah dengan tugas menyampaikan pesan-pesan agama, menyeru
orang-orang agar masuk Islam dan untuk menegakkan hukum-hukum Allâh. Utusan-utusan Rasûlullâh tersebut pada
umumnya hanya seorang diri. Dlam hal ini berarti bahwa pesan-pesan agama yang mereka sampaikan merupakan khabar
âhâd bagi masyarakat di daerah mana mereka diutus. Kalau saja khabar âhâd tidak punya otoritas sebagai hujah, tentu
Rasûlullâh tidak akan mengirim utusannya secara sendiri-sendiri, emalinkan secara bersama-sama agar khabar yang
mereka sampaikan menjadi mutawâtir.
Mu’adz ibn Jabal diutus ke al-Yaman untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang embangkang, memungut zakat
serta mengajarkan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allâh. Tidak seorang pun di antara masyarakat (kaum muslimin)
di daerah mana mereka diutus, membantah pesan-pesan agama yang mereka sampaikan dengan alasan karena yang
menyampaikan seorang diri, melainkan mereka terima, patuhi dan amalkan.(al-Syâfi’iy, al-Risâlah: 415-7).
4. Setelah Rasûlullâh tiada, para shahâbiy dan ulama generasi selanjutnya (tâbi’ûn dan atbâ’ al-tâbi’în) senantiasa
berpegang dengan khabar âhâd dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadap dan meninggalkan hasil
ijtihad mereka jika ternayatak tidak sejalan dengan hadis yang disampaikan kepada mereka sekalipun melalui jalur âhâd.
Dari kalangan shahâbiy, ‘Umar ibn al-Khaththâb misalnya, pernah berijtihad menetapkan besarnya diyat anak jari sebagai
berikut: kehilangan ibu jari, diyat-nya 15 ekor unta; jari telunjuk dan jari tengah asing-masing 10 ekor unta. Ijtihadnya ini
didasarkan oleh ‘Umar pada apa yang dia ketahui sebelumnya bahwa Rasûlullâh pernah menetapkan diyat terputusnya
tangan dengan 50 ekor unta. Dalam pertimbangan ‘Umar, karena tangan punya lima jari yang nilai kegunaan dan
keindahan masing-masingnya tidak sama, maka ‘Umar pun menetapkan diyat bagi masing-masingnya mengikuti nilai
kegunaan dan keindahannya tersebut hingga akhirnya melahirkan pembagian seperti disebut di atas. Kemudian, setelah
dia tahu ada hadis Rasûlullâh yang mengatur masalah ini seperti ditemukan dari catatan keluarga ‘Amr ibn Hazm yang
menyebutkan bahwa Rasûlullâh menetapkan diyat anak jari, masing-masingnya 10 ekor unta, Umar pun meninggalkan
ijtihadnya dan berpegang dengan hadis Rasûlullâh.(ibid.: 422).
Riwayat diatas menunjukkan bahwa khabar âhâd merupakan hujah yang senantiasa dipegang dan diamalkan oleh para
shahâbat dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Kalau saja dalam pandangan mereka khabar âhâd tidak
merupakan hujah, tentu mereka tidak akan mengindahkannya dan tidak akan meninggalkan ijtihad mereka. ‘Umar dalam
contoh diatas tentu akan menolak riwayat yang ditemukan dari catatan keluarga ‘Amr ibn Hazm karena yang
menyapaikannya seorang diri.
1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang din ask-an oleh Alqur’an.
2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Alqur’an. Mengenai
kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan Alqur’an
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran
bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu
mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan
tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat
misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw.
Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih
kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi
dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal
masa Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim
yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak
menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan,
kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama,
misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-
sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam,
baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari
sunnah sebagai landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
1. Golongan yang menolak seluruh sunnah Nabi SAW
2. Golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk Alquran
3. Mereka yang menolak sunnah yang bersetatus Ahad dan hanya menerima sunnah yang bersetatus Mutawatir
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama
dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan
Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar
Sunnah.
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas.Banyak alasan yang
dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-
ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an
yang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat
89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ...
“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…Menurut mereka kepada ayat
tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan
dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat
lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat
114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang
baik dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai
dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat
dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama
harus didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya.
Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah
atau sumber ajaran Islam.
2) Ingkar Sunnah pada Periode Modern (salah)
Pemikiran mengenai penolakan sunnah muncul kembali pada abad ke epat belas
Hijriyah setelah pada abad ke tiga pemikiran seperti itu lenyap ditelan zaman. Mereka
muncul dengan bentuk dan penampilan yang jauh berbeda dari inkar sunnah priode klasik,
yang mana kemunculan mereka lebih terpengaruh pada pemikiran kolonialisme yang ingin
menghancurkan dunia Islam. Inkar al-sunnah masa ini muncul dalam bentuk golongan yang
terorganisi yang mempunyai pemimpin atau tokoh-tokoh dalam ajaran mereka, yang mana
tokoh-tokoh mereka menyebut dirinya sebagai Mujtahid atau pembaharu. Bahkan saat
mereka mengetahui bahwa ajaran mereka salah mereka tidak lantas sadar seperti inkar al-
sunnah periode klasik, tetapi terus mempertahankan dan menyebarkan walaupun pemerintah
setempat telah mengeluarkan larangan resmi atas ajaran mereka.
Menurut Mustafa Zami dalam buku yang ditulis Agus Solahudin menuturkan bahwa
Inkar As-Sunnah modern lahir di Kairo, Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-
1323H). Dengan kata lain Dialah yang pertama kali melontarkan gagasan Inkar As-Sunnah
pada masa modern. Salah satu yang menarik dari Syeikh Muhammad Abduh bahwa ia
mengingkari eksistensi hadits ahad sebagai dalil ketauhidan. Namun masih menjadi
perdebatan para ulama tentang apakah orang yang mengingkari hadits ahad sebagai dalil
tauhid dapat dikatakan sebagai pengingkar sunnah (inkar as-sunnah) atau bukan.
Majalah Almanar nomor 7 dan 12 tahun IX memuat tulisan Thaufiq Shidqi yang
berjudul “Islam adalah Al-Qur’an itu sendiri”, ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak
membutuhkan sunnah. Begitulah golongan Inkar As-Sunnah terus menyebar ke berbagai
belahan dunia dimana Islam berkembang sebagai wujud adanya kekuatan internal yang
hendak melemahkan panji-panji kebesaran Islam, tak luputnya tanah air tercinta ini.