Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang didasari oleh faktor
konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.1 Dermatitis
seboroik merupakan dermatosis kronik yang ditandai dengan eritema dan skuama,
paling sering terjadi di tempat yang banyak mengandung kelenjar sebasea aktif
seperti di muka dan kulit kepala, punggung, dan lipatan tubuh.2

2.2. Epidemiologi
Angka kejadian orang dewasa yang menderita dermatitis seboroik
diperkirakan mencapai 5% dari populasi. Kondisi ini paling sering terjadi pada
pria daripada wanita. Pada orang dewasa, puncak insidensi dermatitis seboroik
yaitu pada dekade ketiga dan keempat kehidupan.5
Angka prevalensi DS di seluruh dunia pada penderita imunokompeten
hanya sebesar 1–3%, beberapa diantaranya didapatkan pada penderita usia muda.
Sementara pada penderita dengan status imunokompromais, seperti pada
penderita HIV/AIDS, insidensi penyakit ini lebih besar yaitu sekitar 20–85%.
Pada penderita HIV/AIDS, angka prevalensi penderita DS hampir seimbang baik
pada anak-anak, wanita maupun pria.6
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea.
Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif
selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. D.S pada
bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum
akil balik dan insidensnya mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-
kadang pada umur tua. D.S lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.1
Dermatitis seboroik dan pitiriasis kapitis (craddle cap) sering ditemukan
pada anak-anak. Berdasarkan hasil penelitian dari 1.116 anak, ditemukan 10%
anak laki-laki dan 9,5 persen anak perempuan menderita dermatitis seboroik.

3
Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 3 bulan pertama kehidupan, yang kemudian
meningkat secara perlahan sampai umur 1 tahun dan kemudian menurun setelah 4
tahun kemudian.7

2.3. Etiopatogenesis
Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya
ialah kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya
diturunkan, bagaimana caranya belum dipastikan.1,3 Banyak percobaan telah
dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh bakteri atau
Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan P.
ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk
metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel jamur itu
sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Status seboroik sering
berasosiasi dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi
tidak terbukti bahwa mikroorganisme inilah yang menyebabkan D.S.1
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain:
1. Seborrhea. DS mempunyai korelasi yang kuat antara aktivitas glandula
sebasea dan umur penderita. Penyakit ini sering dihubungkan dengan kulit
yang tampak berminyak (seborrhea oleosa), namun peningkatan produksi
sebum tidak selalu didapatkan pada penderita DS.5 Produksi sebum terbesar
terdapat pada kulit kepala, wajah, dada, dan punggung. Produksinya dikontrol
oleh hormon androgen. Pada bayi, kelenjar sebasea teraktivasi oleh hormon
androgen dari ibu. Komponen sebum terdiri dari kompleks trigliserid, asam
lemak, wax ester, sterol ester, kolesterol, kolesterol ester dan squalene. Saat
disekresi, kandungan sebum yang terdiri dari trigliserid dan ester, akan
dipecah menjadi digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas oleh
mikroba komensal di kulit dengan bantuan enzim lipase. Pada penderita DS,
trigliserid dan kolesterol meningkat, namun squalene dan asam lemak bebas
kadarnya menurun dibandingkan orang normal.6
2. Efek mikrobial. Gupta dkk., (2004) menyebutkan bahwa jamur Malassezia
(yang sebelumnya dikenal sebagai jamur Pityrosporum) sebagai

4
mikroorganisme yang berperan dalam patogenesis DS. Malassezia spp.
adalah jamur lipofilik yang merupakan komponen flora normal kulit orang
dewasa. Gueho dkk,. memperkenalkan genus Malassezia dan menggunakan
morfologi, ultrastruktur, fisiologi, dan biologi molekuler untuk
mengklasifikasikannya menjadi 10 spesies, yaitu Malassezia globosa,
Malassezia restricta, Malassezia obtusa, Malassezia slooffiae, Malassezia
sympodialis, Malassezia furfur, Malassezia nana, Malassezia dermatis,
Malassezia japonica dan jamur non-lipid dependen, Malassezia
pachydermatis. Malassezia spp. membutuhkan sumber lipid eksogen untuk
tumbuh pada media kultur dan cenderung muncul di kulit di sekitar usia
pubertas, dimana terdapat peningkatan hormon androgen yang menyebabkan
peningkatan produksi sebum. Jamur ini membutuhkan lipid untuk
memproduksi lipase. Lipase terlibat dalam pelepasan asam arakidonat, yang
terlibat dalam proses peradangan kulit. Malassezia spp. membutuhkan lipid
untuk hidup, sehingga jamur ini paling sering ditemukan di bagian tubuh
yang kulitnya kaya akan lipid, seperti dada, punggung, wajah, dan kulit
kepala. Lokasi ini adalah tempat predileksi untuk manifestasi klinis DS.
Malassezia yang membutuhkan lipid sebagai "sumber makanan" untuk
tumbuh dan berproliferasi ini mendegradasi sebum (trigliserid) dengan
bantuan enzim lipase menjadi berbagai asam lemak. Namun Malassezia
hanya mengkonsumsi asam lemak yang sangat spesifik, yaitu saturated fatty
acid untuk pertumbuhannya, sedangkan unsaturated fatty acid ditinggalkan
di permukaan kulit. Bentuk metabolit unsaturated fatty acid yang paling
banyak dijumpai adalah asam oleat, dan metabolit inilah yang diduga
berperan pada pembentukan skuama pada DS.6
3. Status imun. Status imunitas rendah baik disebabkan oleh pengobatan atau
penyakit seperti HIV dan keganasan dapat memicu DS. Pada penderita HIV
diperkirakan terjadi perubahan kadar sitokin yang mengakibatkan DS. Kadar
Interferon-α dan Tumor Necrosis Factor meningkat pada penyakit infeksi
HIV. Sitokin ini mengakibatkan perubahan metabolisme lipid, meningkatkan
kadar trigliserid dan kolesterol dalam serum. Perubahan metabolisme lipid

5
tersebut diduga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap mediator inflamasi
yang dihasilkan oleh Malassezia. Pertumbuhan Malassezia furfur yang
berlebihan akan menimbulkan peradangan, tidak hanya disebabkan oleh
produk metabolit jamur tersebut pada epidermis atau adanya sel-sel jamur
pada permukaan kulit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit :8
1. Bangsa/ras : Semua bangsa
2. Makanan : Lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan
lemak dan minum alkohol
3. Iklim : Insidens meningkat pada iklim dingin
4. Keturunan : Tidak berpengaruh tetapi cenderung meningkat pada
orang-orang yang stres emosional
5. Lingkungan : Yang menyebabkan kulit menjadi lembab dan maserasi
akan lebih mudah menimbulkan penyakit.

2.4. Manifestasi Klinis


Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan, batasnya agak kurang tegas. D.S. yang ringan hanya mengenai kulit
kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang
kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan
kasar. Kelainan ini disebut sebagai pitiriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk
yang berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan
krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut memiliki kecenderungan
rontok, mulai di bagian vertex dan frontal.1
Dermatitis seboroik banyak ditemukan di tempat-tempat yang mengandung
kelenjar palit misalnya kulit kepala, belakang telinga, alis mata, cuping hidung,
ketiak, dada, antara skapula dan daerah suprapubis. Efloresensi berupa makula
eritematosa yang ditutupi oleh papul-papul miliar berbatas tak tegas, dan skuama
halus putih berminyak. Kadang-kadang ditemukan erosi dengan krusta yang sudah
mengering berwarna kekuningan.8

6
Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama
dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela,
telinga posaurikular dan leher. Pada daerah dahi tersebut biasanya batas cembung.
Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang
kotor dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan
kumpulan debris-debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap.1,2
Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata,
kulit di bawahnya eritematosa dan gatal, disertai bercak-bercak skuama
kekuningan, dapat pula terjadi blefaritis, yakni pinggir kelopak mata merah
disertai skuama-skuama halus. Selain tempat-tempat tersebut, dermatitis seboroik
juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sternal, aerola
mammae, lipatan di bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat
paha, dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung dan dahi, kelainan dapat
berupa papul-papul.1,2
Pada gambaran histopatologi, epidermis dapat ditemukan parakeratosis
fokal dengan abses Munro. Pada dermis terdapat pelebaran ujung pembuluh darah
di puncak stratum papilaris disertai sebukan sel-sel neutrofil dan monosit.8

A B

7
Gambar 2.1. Dermatitis seboroik (A) tampak papul-papul dan likenifikasi (B) pada
rahang bawah tampak papul-papul, likenifikasi, dan kulit berminyak8

Gambar 2.2. Perbedaan gambaran histopatologi DS pada penderita dengan HIV


seropositif dan HIV seronegatif6

2.5. Diagnosis Banding


Gambaran klinis yang khas pada dermatitis seboroik adalah skuama yang
berminyak dan kekuningan dan berlokasi di tempat-tempat seboroik.1
Psoriasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena terdapat skuama-
skuama yang berlapis-lapis, disertai dengan tanda tetesan lilin dan Auspitz.
Tempat predileksinya juga berbeda. Jika Psoriasis mengenai scalp maka sukar
dibedakan dengan D.S. Perbedaannya ialah skuamanya lebih tebal dan putih
seperti mika, kelainan kulit juga pada perbatasan wajah dan scalp dan tempat-
tempat lain sesuai dengan tempat predileksinya. Psoriasis inversa yang mengenai
daerah fleksor juga dapat menyerupai D.S. 1
Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis. Pada
kandidosis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-
satelit di sekitarnya. 1
Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirip otomikosis
dan otititis eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan

8
langsung. Otitis eksterna menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut terdapat
pus.1
Lesi dermatitis seboroik di wajah dapat terlihat sebagai makula eritema
yang terdistribusi seperti gambaran kupu-kupu, sehingga menyerupai rash pada
systemic lupus erythematosus (jika dicurigai demikian, pemeriksaan imunologi
perlu dilakukan).5 Selain itu, sebagai diagnosis banding dapat dimasukkan
dermatitis kontak, dermatitis atopik, rosasea, dermatofitosis, kandidiasis, dan yang
paling jarang yaitu cutaneous lymphoma atau histiosis sel Langerhans.7

2.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan mikroflora dari kulit kepala untuk melihat Pityrosporum
ovale.8
2. Menentukan indeks mitosis pada kulit kepala yang berketombe.8
3. Pemeriksaan KOH untuk mengetahui jenis dermatofita dan penyebab lesi.2

2.7. Penatalaksanaan
Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agak sukar
disembuhkan, meskipun penyakitnya dapat terkontrol. Faktor predisposisi
hendaknya diperhatikan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Mengenai
diet, dianjurkan miskin lemak.1
A. Pengobatan Sistemik
1. Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednison 20 –
30 mg sehari. Jika telah ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.
Kalau disertai infeksi sekunder diberi antibiotik.
2. Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya
mengurangi aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat
dikurangi sampai 90%, akibatnya terjadi pengurangan produksi sebum.
Dosisnya 0,1 – 0,3 mg per kg berat badan per hari, perbaikan tampak
setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5 - 10 mg per
hari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengonrol
penyakitnya.

9
3. Pada dermatitis seboroik yang parah juga dapat diobati dengan narrow
band UVB (TL-01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian
terapi 3 x seminggu selama 8 minggu, sebagian besar penderita mengalami
perbaikan.1 Penggunaan terapi narrow-band ultraviolet B merupakan
pengobatan yang efektif dan aman untuk kasus DS yang berat, karena
narrow-band UVB akan diserap oleh Malassezia furfur yang bersifat
kromofor.6
4. Bila pada sediaan langsung terdapat P.ovale yang banyak dan dapat
diberikan ketokonazol, dosisnya 200mg per hari.
5. Anti histamin H1 sebagai penenang dan anti gatal.8

B. Pengobatan Topikal
Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2 – 3 kali scalp dikeramasi selama 5
– 15 menit, misalnya dengan selenium sulfida (selsun). Jika terdapat skuama dan
1
krusta diberi emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai
untuk dermatitis seboroik adalah :
- Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2 – 5% atau krim pragmatar
- Resorsin 1- 3%
- Sulfur presipitatum 4 – 20%, dapat digabung dengan asam salisilat 3-6%
- Kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 2½. Pada kasus dengan
inflamasi yang berat dapat dipakai kortikosteroid yang lebih kuat,
misalnya betametason valerat, asalkan jangan dipakai terlalu lama karena
efek sampingnya.1 Kortikosteroid topikal dapat diberikan secara tunggal
atau dikombinasikan dengan agen anti-fungi. Penggunaan kortikosteroid
topikal yang terlalu sering dan berkepanjangan tidak direkomendasikan
dikarenakan efek sampingnya, seperti atrofi, telangiektasis, hipertrikosis,
dan dermatitis perioral. Agen anti-fungi masih menjadi pilihan pertama
dalam pengobatan dermatitis seboroik mengingat fakta bahwa
ketokonazole 2% menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
betamethasone diproprionate 0.05% dalam mengurangi gejala dan
menurunkan jumlah Malassezia spp. Ada berbagai pendapat bahwa

10
penggunaan kortikosteroid topikal jangka pendek dapat diberikan untuk
untuk mengurangi eritema dan gatal pada pasien.5
- Krim ketokonazol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung
terdapat banyak P.ovale.1 Meskipun pengobatan sebelumnya banyak
menggunakan agen anti-inflamasi, tetapi sekarang terapi dengan anti-
mikotik topikal sudah banyak digunakan. Golongan azole sebagai agen
anti-fungi (lanosterol 14 α-demethylase inhibitors) telah terbukti sangat
efektif dalam menghambat pertumbuhan Malassezia spp, yang
berhubungan dengan perkembangan penyakit dermatitis seboroik. Di
antara golongan azole, pengaplikasian Ketokonazole memiliki efek yang
lebih baik sehingga menjadikannya terapi lini pertama untuk dermatitis
seboroik. Ketokonazole tersedia dalam berbagai bentuk preparat topikal
seperti shampo, krim, maupul gel. Shampo ketokonazole 2% sangat efektif
dalam mengobati dermatitis seboroik di kulit kepala, digunakan sebanyak
dua kali dalam seminggu. Penggunaan shampo ketokonazole 2% secara
intermiten (satu kali seminggu) telah menunjukkan efek profilaksis yang
signifikan. Krim Ketokonazole 2% secara signifikan telah berhasil
memperbaiki lesi di muka dan dada apabila digunakan sebanyak 2 kali
dalam seminggu (sama efektif dengan krim hidrokortison 1%) dan
penggunaan secara intermiten juga terbukti efektif mencegah
kekambuhan.5
- Sediaan lithium succinate dalam bentuk ointment (600 mmol/ l) terbukti
efektif terhadap dermatitis seboroik. Cara kerjanya sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas, namun dipercaya memiliki efek menghambat
pertumbuhan Pityrosporum dengan menghambat pelepasan asam lemak
bebas dari fosfolipid, sehingga substrat makanan bagi Pityrosporum tidak
tersedia. Lithium succinate juga dapat mengatasi jamur dengan efeknya
sebagai “booster” bagi respon imun lokal terhadap infeksi. Pemakaian
preparat ini dua kali sehari tampaknya memberi efek yang lebih panjang
setelah terapi dihentikan, sehingga gejala klinis DS tidak muncul setelah
terapi dihentikan.6

11
Gambar 2.3. Terapi pengobatan dermatitis seboroik7

2.8. Prognosis
Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai faktor
konstitusi penyakit ini agak sukar disembuhkan, meskipun terkontrol.1

12

Anda mungkin juga menyukai