TUBERKULOSIS PARU
Disusun oleh :
Pembimbing:
dr. Rizki DrajatSp.P
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota
Cilegon yang berjudul Bronkiektasis. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi tugas yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini
saya mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang
membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. H. Rizki
Drajat, SpP atas bimbingan, saran, kritik dan masukannya dalam menyusun laporan kasus ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-
teman serta pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk membuat laporan kasus ini lebih
baik. Terima kasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 3
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………. 3
1.2 Batasan Masalah……………………………………………………………….. 3
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………. 4
1.4 Metode Penulisan……………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….. 5
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
I.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis pada bronkiektasis.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler
darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan permukaan yang
cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di
sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan
mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan
surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim
biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta
perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme
inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi
dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya ( Wilson LM, 2006).
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan
bronchus sinistra:
Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih
vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada
ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam
bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi
vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis
pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya.
Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior,
lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior
letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus
yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis
disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan
bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo ( Luhulima JW, 2004)
Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang
daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah
ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di
sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di
sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus
inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus
terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah
7
caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh
vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens,
dan truncus sympathicus ( Luhulima JW, 2004).
II.1.2. Fisiologi
Struktur dan fungsi saluran napas normal
Sel epitel permukaan
Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk oleh dua
tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi subtipe berdasarkan
penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin, sel sekretori
juga melepaskan beberapa molekul antikmikroba (sebagai contoh defensin, lisosim, dan IgA),
molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul pelindung (protein trefoil
dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam mukus (Fahy JV dan Dickey BF, 2010).
Kelenjar submukosa
Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa berkontribusi
pada sekresi musin (gambar 2). Kelenjar dihubungan dengan lumen saluran napas oleh
duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar dan duktus kolektus nonsilia
profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan kartilago. Sel mukous
membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi didistal, membentuk 40%
volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein antimikroba. Pada keadaan patologi,
volume kenjar submukosa dapat meningkat melebihi volume normal (Fahy JV dan Dickey
BF, 2010).
Lapisan mukosa (lapisan lendir)
Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya adalah
cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah 97% air dan 3 %
solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris) (Fahy JV dan Dickey BF,
2010).
8
Gambar 2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal.
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi bronkus
yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya
9
aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam
penyakit paru obstruktif kronik, yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan
dan mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis (Emmons, 2007; O’Regan AW., 2004; Benditt JO, dkk., 2008).
1. Proses fokal yang melibatkan satu lobus segmen atau sub-segmen paru, atau
2. Proses yang bersifat difus dan melibatkan kedua paru
Proses pertama adalah yang umum terjadi, sedangkan proses kedua biasanya
berkaitan dengan penyakit sistemik dan/atau penyakit sinopulmoner dan asma (Emmons,
2012).
Bronkiektasis merupakan akibat dari proses patologis yang berlangsung luas dan
lama, termasuk kelainan srtuktur bronkus (Defisiensi kartilago pada William Campbell
Syndrome), penyakit akibat penimbunan mukus (Fibrosis kistik, kelainan fungsi silia), akibat
infeksi (Pneumonia yang berat pada anak, defisiensi imunoglobulin) dan penyakit inflamasi
(Kolitis ulceratif). Pada kebanyakan kasus, infeksi merupakan penyebab tersering dari
inflamasi, kerusakan dan remodelling jalan nafas (O’Regan AW., 2004).
Dalam keadaan normal, dinding bronkus terbuat dari beberapa lapisan yang ketebalan
dan komposisinya bervariasi pada setiap bagian dari saluran pernapasan. Lapisan dalam
(mukosa) dan daerah dibawahnya (submukosa) mengandung sel-sel yang melindungi saluran
pernafasan dan paru-paru dari zat-zat yang berbahaya. Sel-sel ini terdiri dari:
Sel penghasil lendir
Sel bersilia, yang memiliki rambut getar untuk membantu menyapu partikel-partikel
dan lendir ke bagian atas atau keluar dari saluran pernafasan.
Sel-sel lainnya yang berperan dalam kekebalan dan sistem pertahanan tubuh melawan
organisme dan zat-zat yang berbahaya lainnya.
Struktur saluran pernafasan dibentuk oleh serat elastis, otot dan lapisan kartilago
(tulang rawan), yang memungkinkan bervariasinya diameter saluran pernafasan sesuai
kebutuhan. Pembuluh darah dan jaringan limfoid berfungsi sebagai pemberi zat makanan
dan sistem pertahanan untuk dinding bronkus (Emmons, 2012).
10
Diagnosis penyakit didasarkan pada riwayat klinis dari gejala respirasi yang bersifat
kronik, seperti batuk setap hari, produksi sputum yang kental dan penemuan radiografi seperti
penebalan dinding bronkus dan dilatasi lumen yang terlihat pada CT Scan (Barker dkk.,
2002).
II.3. Epidemiologi
II.4. Etiologi
Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga bronkiektasis dapat
timbul secara kongenital maupun didapat (Aru W. Sudoyo dkk., 2006).
1. Kelainan kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau
faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting. Bronkiektasis yang
timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua
bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit
kongenital seperti Fibrosis kistik, Kertagener Syndrome, William Campbell syndrome,
Mounier-Kuhn Syndrome, dll. (Aru W. Sudoyo dkk., 2006).
Diskinesia silia primer merupakan suatu kondisi di mana fungsi silia berkurang
berhubungan dalam mempertahankan sekresi dan infeksi berulang yang akhirnya
menyebabkan bronkiektasis. Sindrom ini diturunkan sebagai autosomal resesif dengan
penetrasi variabel. Frekuensi 1 dalam 15.000 : 1 dalam 40.000 kelahiran. Penyebab defek
silia pada sindrom ini adalah tidak adanya atau memendeknya lengan dynein lengan yang
bertanggung jawab akan kelenturan akson. Sekitar setengah dari pasien dengan diskinesia
silia primer memiliki Sindrom Kartagener's (bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus atau
partial lateralizing abnormality) (Barker dkk., 2002).
11
2. Kelainan didapat
Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus. Dilatasi
bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat dan kebanyakan merupakan akibat dari
proses berikut:
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang sering
kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia merupakan komplikasi pertusis maupun influenza
yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya (Aru W. Sudoyo dkk., 2006).
Imunisasi pada masa kanak-kanak yang efektif ditandai dengan penurunan insidensi
bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau batuk rejan. Infeksi saluran pernapasan pada
anak-anak lainnya dapat menyebabkan kerusakan permanen pada saluran pernapasan.
Kehadiran Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosis kistik atau aspergillosis
bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus merupakan organisme komensal.
Aspergillosis bronkopulmonalis alergi adalah suatu keadaan yang mempengaruhi pasien
asma dan melibatkan kerusakan saluran napas yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Bronkiektasis pada pasien dengan aspergillosis bronkopulmonalis alergi ini disebabkan oleh
reaksi imun pada aspergillus, kerja dari mikotoksin, elastase dan interleukin-4 dan
interleukin-5 dan pada tahap kemudian terjadi invasi jamur secara langsung pada saluran
napas. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan peningkatan dan penurunan fungsi paru
dengan penggunaan kortikosteroid setelah terapi itrakonazol menunjukkan organisme
Aspergillus juga mungkin menginfeksi. Tidak mengherankan bahwa bronkiektasis dapat
digambarkan pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS),
menyebabkan terjadinya infeksi saluran pernapasan berulang dan merusak respons host.
Kebanyakan pasien memiliki jumlah CD4 yang rendah, sebelumnya ada infeksi piogenik,
pneumocystic, dan infeksi mikobakteri, dan pneumonia interstisial limfositik (pada anak).
(Barker dkk., 2002)
Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab seperti korpus
alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Menurut
12
penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata
(automatis) menimbulkan bronkiektasis. Diduga mungkin masih ada faktor instrinsik (yang
sampai sekarang belum diketahui) ikut berperan dalam timbulnya bronkiektasis (Aru W.
Sudoyo dkk., 2006).
Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula, biasanya
sebagai komplikasi dari pneumonia berat, dapat juga karena penyumbatan oleh benda
asing, tumor atau penekanan dari luar (kompresi oleh tuberkulosis kelenjar limfa).
Bronkiektasis di lobus atas biasanya disebabkan oleh tuberkulosis atau aspergilosis
bronkopulmonar.
Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem pernapasan yang berulang
disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilliary clearance. Penyebab lainnya
adalah vaskulitis, defisiensi α-1-antitripsin, AIDS, sindrom merfan, SLE, sindrom syorgen
dan sarkoidosis. (Patel Pradip R, 2005; Patrick Davey, 2005)
13
II.5 Patogenesis
Belum diketahui secara sempurna, namun diperkirakan yang menjadi penyebab utama
adalah peradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus,
oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus (gambar 3)
(Fahy JV dan Dickey BF, 2010).
Mekanisme mukus klirens yang efektif adalah sesuatu yang esensial untuk paru yang
sehat, dan kelainan saluran napas disebabkan oleh buruknya mekanisme klirens mukus.
Mukus yang sehat adalah sutau lendir dengan viskositas rendah dan elastis sehingga dapat
dengan mudah diangkut oleh silia. Sedangkan mukus yang tidak sehat ditandai dengan
viskositas yang tinggi dan keelastisan sehingga sulit untuk dibersihkan. Akumulasi dari
mukus yang dihasilkan dari beberapa kombinasi seperti peningkatan produksinya dan
penurunan klirens, dan akumulasi persisten dapat memicu infeksi dan peradangan dengan
tersedianya lingkungan untuk pertumbuhan mikrobakteri (Fahy JV dan Dickey BF, 2010).
14
menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi. Distensi
juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus
mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar (Benditt, JO, 2008; Barker AF, 2002).
II.6. Patofisiologi
Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding bronkus atau
secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan nafas. Pertahanan jalan
nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan nafas. Silia tersebut bergerak berulang-
ulang, memindahkan cairan berupa mucus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang
berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik
ke tenggorokan dan kemudian batukkan keluar atau tertelan (Hassan I, 2012)
II.7 Klasifikasi
15
Bronkiektasis berat
Ciri klinis: batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau.
Sering ditemukan adanya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan
jari tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis
atau tanda kegagalan paru. Umumnya pasien mempunyai keadaan umum kurang baik. Sering
ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul
pneumonia, septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki basah kasar pada daerah terkena. Pada gambaran
foto dada ditemukan kelainan : 1). Penambahan bronkovaskular marking, 2). Multiple cysts
containing fluid levels (honey comb appearance) (Aru W. Sudoyo dkk., 2006).
Bronkiektasis silindris
merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering dijumpai pada bronkiektasis
yang menyertai bronkitis kronik. Bronkus tampak seperti bentukan pipa berdilatasi, jalan
napas yang lebih kecil dipenuhi mukus.
Bronkiektasis varikosa
merupakan bentuk intermediet, istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang
menyerupai varises vena.
Bronkiektasis sakuler atau kistik
merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan
penyempitan bronkus yang bersifat irreguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista
(Aru W. Sudoyo dkk., 2006).
16
Gambar 4. Bermacam-macam tipe bronkiektasis (Patrick Davey, 2005)
Gambaran mikroskopis
Seluruh lapang pandang tampak inflamasi kronik pada dinding bronkus
dengan sel inflamasi dan mukus di dalam lumen. Terdapat destruksi pada lapisan
elastin pada dinding bronkus dengan fibrosis. Netrofil merupakan populasi sel
terbanyak dalam lumen bronkus, sedangkan sel yang terbanyak pada dinding bronkus adalah
mononuklear
II.8. Diagnosis
Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan
jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung
berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid,
mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen
dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi
karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan
17
sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai
bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat.
Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis diklasifikasikan berdasarkan temuan
radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak
dibanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada 75 %
pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan mencerminkan adanya distensi
saluran napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan permukaan pleura
viseral (Barker AF, 2002).
18
II.8.3. Pemeriksaan penunjang
Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara, dengan rasio
penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) untuk memaksa volume
kapasitas paksa (FVC), FVC normal atau sedikit berkurang dan FEV1 menurun. Penurunan
FVC menunjukkan bahwa saluran udara tertutup oleh lendir, dimana saluran napas kolaps
saat ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada paru. Merokok dapat memperburuk fungsi
paru dan mempercepat kerusakan. Hyperresponsiveness saluran napas dapat ditunjukkan,
dimana 40 % pasien memiliki 15 % atau peningkatan yang lebih besar pada FEV1 setelah
pemberian agonis beta-adrenergik, dan 30 sampai 69 % pasien yang tidak memiliki terlihat
penurunan FEV1 memiliki 20 % penurunan FEV1 setelah pemberian histamin atau
methacholine (Barker AF, 2002).
Gambaran radiologis
Rontgen thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat ditemukan gambaran
seperti dibawah ini:
a. Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm).
Dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk gambaran
‘honeycomb appearance’ atau ‘bounches of grapes’ (gambar 5). Bayangan cincin tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus (Sutton D, 2003).
b. Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat terdiri atas dua
garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran
seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus.Tramline shadow yang
sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus ( Sutton D, 2003; Pattel
PR, 2005).
19
Gambar 5. Gambaran honeycomb appearance.
(Sutton D, 2003)
c. Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran
ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang
ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis (gambar 6B) (Sutton D, 2003)
(A) (B)
20
Gambar 7. Bronkografi; kini teknik yang kuno namun elegan dapat menunjukkan
bronkiektasis silindris yang disertai dilatasi bronkus lobus bawah (Patel Pradip R,
2005).
Bronkografi
Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam sistem
saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat
menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang
dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis (Sutton
D, 2003).
Pada gambar 7, didapatkan gambaran glove finger shadow yang menunjukkan
bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton D,
2003).
CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak
kelainan jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi
mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi
21
akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah
diperlukan pembedahan (Patel PR, 2005).
CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar yang menunjukan
dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan ketebalan 1,0-1,55 mm (Gambar 9 dan 10).
Sebagai konsekuensinya, saat ini pemeriksaan ini adalah teknik standar atau untuk
mengkonfirmasi diagnosis bronkiektasis (Fauci, dkk., 2008).
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau berhadapan dengan
bronkiektasis :
Bronkitis kronik
Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis paru berupa bronkiektasis)
Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus besar)
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru (Sudoyo Aru W. ddk.,
2006).
22
II.10. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis antara lain:
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi
berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi saluran napas bagian atas. Hal ini sering
terjadi pada pasien dengan drainase sputum kurang baik.
Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya
merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis),
cabang arteri (arteri bronkial) atau anastomosis pembuluh darah. Hemoptisis hebat dan
tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat.
Korpulmonale, sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang berat dan lanjut.
Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada
bronkiektasis lanjut dan luas.
II.11. Penatalaksanaan
II.11.1. Konservatif
Pengelolaan umum
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:
1. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah atau
menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan sebagainya (Sudoyo Aru
W. ddk., 2006).
2. Memperbaiki drainase sekret bronkus
Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang paling efektif untuk
mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-menerus. Pasien diletakkan dengan posisi
tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit sampai sputum tidak keluar lagi
dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha
mengeluarkan sputum dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat
dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya
adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus
paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan keluar. Apabila
23
dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum
secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada
punggung pasien (tabotage) (Sudoyo Aru W. ddk., 2006).
Pengelolaan khusus
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu untuk
mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada
bronkus/paru, atau 3). Keduanya. Kemoterapi disini mengunakan obat antibiotik tertentu.
Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji sensitivitas
kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan saja, yaitu apabila
terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau
kombinasi beberapa antibiotik, samapai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi
konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih).
Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat bahwa kemoterapi dengan
antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala
lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara
(Sudoyo Aru W. ddk., 2006).
24
2. Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya eksaserbasi
akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi bronkitis
kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit)
(Sudoyo Aru W. ddk., 2006).
3. Pengobatan hemoptisis
Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan perdarahan arterial
yang memerlukan tidakan operatif segera untuk menghentikan perdarahannya, dan sementara
harus diberikan transfusi darah untuk menggantikan darah yang hilang. (Sudoyo Aru W et al,
2006)
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah per hari) dapat
terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan napas telah dilindungi dengan pasien
berbaring di sisi tempat perdarahan yang dicurigai atau dengan intubasi endotrakeal,
bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan membantu menentukan lobus atau sisi yang
mengalami perdarahan. Jika intervensi radiologi tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri
bronkial untuk memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi sehingga
embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin masih diperlukan untuk direseksi
daerah yang dicurigai mengalami perdarahan. (Barker AF, 2002)
4. Pengobatan demam
Pada psein dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika terjadi
septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu
ditambahkan abat antipiretik lainnya (Sudoyo Aru W. ddk., 2006).
Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak menghilang.
Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk menghilangkan tumor obstruktif atau
residu dari benda asing, pengangkatan segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga
berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat kental, impaksi lendir.
Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan abnormal yang tidak terkontrol, dan
pengambilan dari paru rusak yang dicurigai menyembunyikan organisme seperti M. MDR-
TB atau avium M. complex. Tiga pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka
dengan operasi tersebut selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai
enam tahun. Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan
mortalitas perioperatif kurang dari 3 % (Barker AF, 2002).
25
Reseksi komplit dilaporkan pada 118 dari 143 pasien bronkiektasis (rata-rata usia 23,4
tahun) dengan angka morbiditas 23% dan angka mortilitas 1,3%. Bronkiektasis stadium
berhasil diterapi dengan transplantasi paru. Beime et al melaporkan 86% pasien yang
menerima satu atau dua transplantasi paru memiliki angka kelangsungan hidup 1 tahun
(O’Donnel, 2008).
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel yang
tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang adekuat, dan pasien bronkiektasis yang
terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis masif. Kontraindikasi
pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan PPOK, pasien bronkiektasis berat dan
pasien dengan komplikasi korpulmonum kronik dekompensata (Sudoyo Aru W. ddk., 2006).
II.12. Prognosis
26
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi bronkus
yang bersifat patologis dan berlangsung kronik.
2. Bronkiektasis biasanya terjadi akibat adanya infeksi sehingga munculnya secret yang
abnormal
3. Prevalensi bronkiektasis lebih banyak pada golongan sosioekonomi rendah.
4. Prevalenai wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki.
5. Lokasi bronkiektasis ada dua yaitu generalis dan lokalis.
6. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan gambaran honeycomb appearance dan
coin lesion.
III.2 Saran
1. Penangan segera pada penderita infeksi saluran pernafasan supaya tidak terjadi
bronkiektasis.
2. Penegakan diagnosis sesegera mungkin untuk menurunkan angka kematian karena
sesak nafas pada penderita bronkiektasis.
3. Dokter harus dapat memahami dengan sangat baik tentang penyakit bronkiektasis dan
tatalaksananya.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. 2006. Jakarta: Interna
Publishing.
Barker, Alan F, MD. The New English Journal of Medicine : Bronkiektasis. 2002; 346:1383-
1393.
O’Regan AW, Berman JS. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7th Edition. Editor James
D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins. Philadelphia. 2004. hal 255-274.
Patel IS, Vlahos I,Wilkinson TMA, dkk. Bronchiectasis, exacerbation indices and
inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
170:400, 2004.
Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005. hal 40-41
Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor Hartanto Huriawati,
dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740
28