Anda di halaman 1dari 15

FAKTOR - FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

TINGKAT PENERIMAAN MAKANAN PADA


ANAK-ANAK PRASEKOLAH DI FULL DAY SCHOOL
TKIT SALMAN AL- FARISI YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI KARYA TULIS ILMIAH

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Derajat Sarjana Gizi
pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh :

BETTY PRASTUTI
03/171982/EKU/00019

PROGRAM STUDI S-1 GIZI KESEHATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
TAHUN 2005
INTISARI

Faktor - Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Penerimaan Makanan


Pada Anak-Anak Prasekolah Di Full Day School TKIT Salman Al- Farisi
Yogyakarta. Betty Prastuti, Rahyaningsih, R. Dwi Budiningsari.

Latar Belakang : Full day school merupakan sistem pendidikan di mana waktu
belajar siswa lebih panjang dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya,
sehingga anak-anak akan banyak menghabiskan waktunya di lingkungan
sekolah selama orangtuanya bekerja.TKIT Salman Al- Farisi sebagai Fullday
School memberikan fasilitas makan siang untuk siswanya. Media seperti ini
sering menguntungkan anak, karena anak-anak biasanya dapat makan lebih
banyak bersama- sama teman sebayanya. Tetapi banyak faktor yang
mempengaruhi asupan makan anak antara lain kebiasaan makan, rasa suka dan
tidak suka terhadap makanan tertentu serta pengaruh teman sebaya.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui tingkat penerimaan terhadap makanan


yang diberikan yayasan, serta mengetahui apakah ada hubungan antara
kebiasaan makan dengan tingkat penerimaan makanan, antara keragaman
makanan dengan tingkat penerimaan makanan dan atara pengaruh teman
sebaya dengan tingkat penerimaan makanan pada anak- anak di Fullday School
TKIT Salman Al- Farissi Yogyakarta.

Metode Penelitian : Survey dengan rancangan analitik cross sectional.


Penelitian ini dilaksanakan di TKIT Salman Al - Farisi Yogyakarta selama satu
siklus menu 10 hari. Subyek penelitian adalah siswa-siswi TKIT Salman Al- Farisi
yogyakarta yang berumur 3 sampai 5 tahun, sedangka responden penelitian ini
adalah ibu atau pengasuh anak.

Hasil : Tingkat penerimaan terhadap makanan pokok 73.81% baik, Tingkat


penerimaan terhadap lauk hewani90.48% baik, Tingkat penerimaan terhadap
lauk nabati 80.95% baik, Tingkat penerimaan terhadap sayur 66.66% baik,
Tingkat penerimaan terhadap buah 100% baik. Berdasarkan uji khai kuadrat
pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan makanan diperoleh
hasil p> 0.05, kecuali hubungan pengaruh teman sebaya dengan tingkat
penerimaan sayur diperoleh nilai p<0.05.

Kesimpulan : Tingkat penerimaan makanan anak di TKIT Salman Al- Farisi yang
dilihat dari sisa makanan adalah baik Tidak ada hubungan yang bermakna
antara tingkat penerimaan makanan dengan pengaruh teman sebaya, kecuali
pada sayur, bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat penerimaan
sayur dengan pengaruh teman sebaya terhadap sayur

Kata kunci : Tingkat penerimaan makanan, Kebiasaan makan, Keragaman


makanan makanan, Pengaruh teman sebaya.
A. LATAR BELAKANG
Taman kanak-kanak merupakan awal dari pengenalan anak dengan
suatu lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum, diluar keluarga. TK
merupakan institusi yang di samping memberikan kesempatan bermain sambil
belajar kepada anak, juga mendidik anak untuk mandiri, bersosialisasi dan
memperoleh berbagai keterampilan anak. Salah satu aspek yang dibina pada
anak TK adalah penjagaan kesehatan melalui makan makanan yang sehat. Di
TK anak juga diajarkan tata cara makan yang benar disamping perilaku
memilih makanan yang berguna bagi dirinya (Santoso,1999).
Full day school merupakan sistem pendidikan di mana waktu belajar
siswa lebih panjang dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya,
sehingga anak-anak akan banyak menghabiskan waktunya di lingkungan
sekolah selama orang tuanya bekerja (Prasetyowati, 2003).
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi maka anak usia taman
kanak-kanak yaitu tiga sampai enam tahun, termasuk golongan masyarakat
yang disebut kelompok rentan gizi. Yaitu kelompok masyarakat yang paling
mudah menderita kelainan gizi, sedangkan mereka sedang mengalami proses
pertumbuhan yang relatif pesat, dan memerlukan zat-zat gizi yang relatif
besar. Khususnya untuk anak usia ini, sedang dalam masa perkembangan
(non fisik) dimana mereka sedang dibina untuk mandiri, berperilaku
menyesuaikan dengan lingkungan, peningkatan berbagai kemampuan, dan
berbagai perkembangan lain yang membutuhkan fisik yang sehat. Maka
kesehatan yang baik ditunjang dengan keadaa gizi yang baik, merupakan hal
yang utama untuk tumbuh kembang yang optimal bagi seorang anak. Kondisi
ini hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan dan pembinaan serta
penyediaan kebutuhan yang sesuai, khususnya melaui makanan sehari-hari
bagi seorang anak (Santoso,1999).
Makan dan makanan sebenarnya bukan hanya masalah mencukupi
keperluan tubuh akan zat gizi atau memelihara kesehatan semata, tetapi lebih
dari itu untuk hal-hal seperti keterampilan makan, membina kebiasaan makan
yang baik, serta menumbuhkan pengetahuan tentang makan dan makanan
yang sejalan dengan perkembangan kognitif yang penting sebagai dasar
selanjutnya (Prawirohartono,1997).
Menurut teori Piaget tentang psikologi anak dan perkembangan, pada
umur 2-7 tahun anak memasuki periode preoperatif di mana proses berpikir
menjadi lebih mendalam, walaupun sifatnya masih belum sistematis dan
bersifat insting, anak makin banyak menggunakan simbol-simbol. Alasan
dapat diterima kalau didasarkan pada penampilan dan apa yang didapatkan
oleh anak. Pendekatan untuk mengelompokkan sesuatu sifatnya fungsional
meskipun belum sistematik. Pada masa ini anak tampaknya seperti
egosentrik. Hubungannya dengan pemberian makan ialah: proses makan
tidak lagi menjadi titik perhatian utama anak, karena mereka sekarang lebih
memperhatikan masalah sosial, bahasa dan kognitif; makanan akan lebih
menarik karena faktor warna, bentuk, dan jumlahnya, tetapi kemampuan
untuk mengelompokkan makanan masih terbatas; makanan dikelompokkan
menjadi yang disukai dan yang tidak disukai; anak sudah mulai mengerti
bahwa makanan baik untukmu tetapi alasannya belum dapat dipahami
(Prawirohartono, 1997).
Pada anak usia 3-5 tahun sangat penting menanamkan kebiasaan
memilih makanan yang baik. Pada usia-usia ini lazimnya anak-anak kurang
menyukai sayuran dalam makanannya (Moehji, 1982). Pertumbuhan fisik dan
mental anak usia 2-5 tahun tetap berlanjut. Pada masa ini anak rentan
terhadap penyakit dan penurunan status gizi, hal ini berhubungan dengan
intake makanan baik kuantitas dan kualitasnya (Garrow, 2000). Pada usia 4-6
tahun, anak bersifat aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan yang
disukai. Kepada mereka telah dapat diberikan pendidikan gizi yang baik di
rumah maupun di sekolah (RSCM & PERSAGI, 1994).
Menurut Sitadewi dkk (1993) dalam penelitian tentang keluhan
penurunan nafsu makan pada anak dengan gizi kurang dan buruk di poliklinik
Gizi anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat
keluhan nafsu makan kurang pada anak sebagai berikut: makan hanya sedikit
85,3%, menolak makan 61,3%, cepat bosan terhadap makanan tertentu
58,0%, makan hanya dikulum saja 45,0%, perkembangan makan tidak sesuai
23,4%, suka jenis makanan tertentu 21,05, tidak mau makan nasi 15,9%
(Prawirohartono, 1997 ).
TKIT Salman Al Farisi merupakan salah satu full day school yang
berada di Kodya Yogyakarta, dengan jumlah siswa usia 3-6 tahun sebanyak
46 anak, dan sekolah ini memberikan fasilitas snack pagi dan makan siang
setiap hari.
Adanya fasilitas makan siang, sedikit banyak dapat mempengaruhi
status gizi pada anak, di mana makan siang memiliki kontribusi sebesar 2/5
dari total konsumsi makan dalam sehari dengan asumsi makan siang lebih
besar dari makan pagi (1/5) dan sama dengan makan malam (2/5). Frekuensi
dan waktu makan anak yang semula tidak pernah atau jarang makan siang
menjadi teratur dan terjadwal, tentunya juga didukung dengan makanan yang
bergizi yang memenuhi kebutuhan energi dan protein yang dianjurkan
(Prasetyowati, 2003).
A.
B. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui tingkat penerimaan terhadap makanan yang diberikan
yayasan serta faktor -faktor yang mempengaruhi pada anak di full day
school.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain
crossectional. Dilaksanakan di TKIT Salman Al Farisi , Jl. Warungboto I RT
27 RW 07 Warungboto Umbulharjo Yogyakarta. Waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan September–Oktober 2004. Pengambilan data
asupan makan selama satu siklus menu, yaitu 10 hari efektif Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa KB-TKIT Salman
Al- Farisi yang berumur 3.0 sampai dengan 5.0 tahun. Subyek penelitian ini
adalah anak-anak siswa TKIT Salman Al- Farisi yang memenuhi kriteria yaitu
siswa TKIT Salman Al- Farisi kelas A, kelas B dan play grup, tidak memiliki
penyakit tertentu yang membutuhkan makanan khusus. Responden
penelitian ini adalah ibu atau pengasuh siswa TKIT Salman Al-Farisi
Yogyakarta.
Data sisa makanan diukur dengan menggunakan taksiran visual
dengan skala comstock 6 point setiap makan siang selama 10 hari sesuai
dengan siklus menu yang berlaku. Dengan skor sebagai berikut:
0: jika tidak ada porsi makan yang tersisa
1: jika tersisa ¼ porsi
2: jika tersisa ½ porsi
3: jika tersisa ¾ porsi
4: jika hampir mendekati utuh (hanya dikonsumsi sedikit)
5: jika makanan tidak dikonsumsi sama sekali (masih utuh)
Data kebiasaan makan didapat dengan menggunakan kuesioner yang
diisi oleh ibu atau pengasuh anak sebagai responden penelitian. Pengaruh
teman sebaya diperoleh dengan melihat sisa makanan anak dalam satu meja
kemudian di rata-rata, dan membandingkan sisa makanan subyek dengan
rata-rata sisa makanan anak dalam satu meja.
Tingkat penerimaan dilihat dari data sisa makanan.Skor dari skala
comstock 6 poin tersebut kemudian dikonversi ke dalam bentuk persen (%)
makanan yang dikonsumsi, yaitu:
skala 0 (0%) = 100% atau semua makanan yang disajikan dikonsumsi
skala 1 (25%) = dari makanan yang disajikan hanya 75% yang dikonsumsi
skala 2 (50%) = dari makanan yang disajikan hanya 50% yang dikonsumsi
skala 3 (75%) = dari makanan yang disajikan hanya 25% yang dikonsumsi
skala 4 (95%) = dari makanan yang disajikan hanya 5% yang dikonsumsi
skala 5(100%)= dari makanan yang disajikan tidak ada yang dikonsumsi.
Kemudian dikelompokkan sesuai dengan parameter sisa makanan dan di
sajikan dalam bentuk tabulasi.
Data kebiasaan makan dan pengaruh teman sebaya dikelompokkan
sesuai dengan parameternya masing-masing kemudian disajikan dalam
bentuk tabulasi. Untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
penerimaan makanan dilakukan uji kai kuadrat.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Subyek pada penelitian berjumlah 42 siswa dari 46 siswa yang berumur
antara 3.0 sampai dengan 5.0 tahun. Adapun 4 siswa tidak termasuk sebagai
subyek penelitian karena orangtua siswa sebagai responden tidak bersedia
menjadi responden dalam penelitian ini.
Hasil penelitian sebagai berikut :
1. Tingkat Penerimaan Makanan.
Dari seluruh kelompok bahan makanan, tingkat penerimaan kurang
paling banyak terjadi pada sayuran (33.33%), tingkat penerimaan dikatakan
kurang jika sisa makanan lebih dari 25 %, sedangkan tingkat penerimaan
dikatakan baik jika sisa makanan kurang atau sama dengan 25 %.
Berdasarkan tabel 1 di bawah ini dapat diketahui bahwa tingkat
penerimaan yang kurang pada tiap kelompok bahan makanan lebih
banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

Tabel 1. Tingkat Penerimaan Makanan Menurut Jenis Kelamin Dan Umur

Laki-laki Perempuan
Tingkat penerimaan 3.0 – 4.0 4.1 – 5.0 3.0 – 4.0 4.1 – 5.0 Total
(tahun) (tahun) (tahun) (tahun)
n % n % n % n % n %
Makanan Kurang 0 0 3 7.14 3 7.14 5 11.90 11 26.19
pokok Baik 7 16.67 7 16.67 5 11.90 12 28.57 31 73.81
Lauk Kurang 1 2.38 1 2.38 0 0 2 4.76 4 9.25
hewani Baik 6 14.28 9 21.43 8 19.05 15 35.71 38 90.48
Lauk Kurang 1 2.38 1 2.38 2 4.76 4 9.52 8 19.05
nabati Baik 6 14.28 9 21.43 6 14.28 13 30.95 34 80.95
Sayur Kurang 1 2.38 3 7.14 3 7.14 7 16.67 14 33.33
Baik 6 14.28 7 16.67 5 11.90 10 23.81 28 66.66
Buah Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Baik 7 16.67 10 23.81 8 19.05 17 40.47 42 100
Sumber : Data primer terolah

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari seluruh


kelompok bahan makanan tingkat penerimaan yang kurang lebih banyak
terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal ini dapat
terjadi karena anak laki-laki terlihat lebih aktif bergerak dibanding dengan
anak perempuan seperti yang terjadi saat penelitian dilakukan, sehingga
anak laki - laki membutuhkan energi yang lebih banyak untuk aktifitasnya
itu. Seperti yang dikatakan Prawirohartono (1997), perlu diingat bahwa
ada perbedaan kecukupan energi walaupun umur dan jenis kelaminnya
sama. Pada umumnya perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan
aktivitas tubuhnya. Anak yang sangat aktif tentu saja membutuhkan
energi lebih banyak dibanding anak sebayanya yang kurang aktif.
Dari tabel 1 juga dapat diketahui bahwa tingkat penerimaan
yang kurang paling banyak terjadi pada sayuran. Hal ini senada dengan
pendapat yang disampaikan Moehji (1982) bahwa pada anak usia 3
sampai 5 tahun ada hal yang sangat penting yaitu pada usia ini lazimnya
anak-anak kurang menyukai sayuran dalam makanannya. Prawirohartono
(1997) juga mengatakan bahwa mulai usia satu tahun biasanya anak
jarang menyukai sayuran, sebaliknya anak mulai suka makan makanan
kecil termasuk permen dan kue. Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Setyarini (1995) tentang konsumsi sayuran pada balita
menyatakan bahwa hanya 50% dari 82% keluarga yang diteliti memiliki
anak balita yang mau mengonsumsi sayuran, dengan alasan kebanyakan
anak-anak tidak menyukai sayuran.
Sedangkan tingkat penerimaan yang paling baik terjadi pada
buah yaitu 100% anak dengan sisa buah yang sedikit. Hal ini karena buah
merupakan salah satu jenis makanan yang disukai anak – anak, seperti
yang dikatakan oleh Moore (1997), bahwa salah satu jenis makanan yang
disukai oleh anak – anak adalah makanan yang dapat disajikan dan
dimakan tanpa bantuan seperti makanan yang dapat dipegang langsung
diantaranya adalah buah.

2. Faktor- Faktor Yang Berpengaruh Pada Tingkat Penerimaan


Makanan
Menurut Prawirohartono (1997) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi asupan makan antara lain yaitu kebiasaan makan, rasa
suka dan tidak suka terhadap makanan tertentu, dan teman sebaya.
Asupan makan dapat dilihat dari jumlah sisa makanan yang disisakan.
Untuk melihat faktor- faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
penerimaan makanan dilakukan uji statistik kai kuadrat.

a. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan terbagi dalam kategori baik cukup dan
kurang dapat dilihat dalam Tabel 2. Rata-rata kebiasaan makan anak
adalah kurang untuk setiap kelompok bahan makanan. Meskipun
demikian 52.28% anak memiliki kebiasaan makan yang cukup pada
makanan pokok.

Tabel 2. Kebiasaan Makan

Kebiasaan Makan
Kelompok Baik Cukup Kurang
Bahan Makanan n % n % n %
Makanan pokok 17 40.47 22 52.38 3 7.14
Lauk hewani 3 7.14 8 19.05 31 73.81
Lauk nabati 9 21.43 14 33.33 18 42.86
Sayur 2 4.76 14 33.33 26 61.90
Buah 6 14.28 5 11.9 31 73.81
Sumber : Data primer terolah

Kebiasaan makan dikatakan baik jika mengonsumsi lebih dari


7 kali per minggu untuk tiap kelompok bahan makanan, dikatakan
cukup jika mengonsumsi 4 sampai 6 kali perminggu dan kurang jika
mengonsumsi kurang dari 3 kali perminggu. Moore (1997) mengatakan
bahwa pada masa anak-anak, hanya mau makan satu atau dua jenis
makanan saja untuk beberapa hari adalah umum.
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kebiasaan makan anak
adalah kurang untuk setiap kelompok bahan makanan. Seperti yang
dikatakan Prawirohartono (1997) bahwa anak balita belum mampu
memilih sendiri makanan dengan gizi seimbang, karena itu orang tua
atau saudaranya yang lebih tua dapat memilihkan makanan dengan
nilai gizi yang baik.
Perkembangan kebiasaan makan anak balita sangat
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Anak akan mencontoh dengan
segera cara makan orang tua dan saudaranya yang lebih tua. Sikap
dan perilaku orang tua terhadap makanan sangat berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku anak terhadap makanan (Prawirohartono,
1997).
Meskipun demikian 52.28% anak memiliki kebiasaan makan
yang cukup pada makanan pokok.
b. Hubungan Antara Tingkat Penerimaan Makanan Dengan
Kebiasaan Makan
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara tingkat penerimaan
makanan kengan kebiasaan makan anak.

Tabel 3. Hubungan Antara Tingkat Penerimaan Makanan Dengan Kebiasaan


Makan

Tingkat Kebiasaan makan


χ2
Baik Cukup Kurang p
penerimaan n % n % n %
Makanan Kurang 5 11.90 6 14.28 0 0
pokok Baik 12 28.57 16 38.09 3 7.14 1.169 0.557
Lauk Kurang 1 2.38 1 2.38 2 4.76
hewani Baik 2 4.76 7 16.67 29 69.05 2.395 0.302
Lauk Kurang 2 4.76 2 4.76 3 7.14
nabati Baik 7 16.67 12 28.57 15 35.71 0.134 0.935
Sayur Kurang 2 4.76 6 14.28 6 14.28
Baik 0 0 8 19.05 20 47.62 5.802 0.055
buah Kurang 0 0 0 0 0 0
Baik 6 14.28 5 11.9 31 73.81 - -
Sumber : Data primer terolah

Uji statistik pada tabel 3 menunjukkan nilai p>0.05, berarti tidak


ada hubungan antara tingkat penerimaan makanan dengan kebiasaan
makan.Meskipun tingkat penerimaan yang kurang tertinggi ada pada
sayuran tetapi secara statistik hubungan ini tidak bermakna (p>0.05).
Hal ini dapat dikarenakan sayuran yang disajikan telah sesuai
dengan kebiasaan makan anak seperti yang ditunjukkan oleh tabel 6
yaitu tiga macam sayuran yang sering digunakan dan biasa
dikonsumsi oleh anak ketika makan di rumah. Rata- rata anak
mengonsumsi bayam, wortel, dan kentang yaitu 25 anak (59.52 %)
biasa menkonsumsi wortel, 22 anak (52.38 %) biasa mengkonsumsi
bayam dan 17 anak (40.47 %) biasa mengkonsumsi kentang.
Sedangkan dalam siklus menu 10 hari penggunaan wortel 7 kali,
kentang 3 kali dan bayam 2 kali.
Santoso (1999) mengatakan bahwa kebiasaan makan
merupakan pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena
terjadi berulang–ulang (food consumtion behavior), dan dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya pola makan masyarakat atau
kelompok dimana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan
makan, selera dan daya terima anak akan suatu makanan.

Tabel 4. Konsumsi Sayuran Dan Penggunaannya Dalam 10 Hari

Frekuensi Penggunaan Jumlah Anak Yang


Nama Sayuran Dalam 10 Hari Biasa Mengonsumsi
Sayuran
n (kali) % n %
Wortel 7 70 25 59.52
Kentang 3 30 17 40.47
Bayam 2 20 22 52.38
Sumber : Data primer terolah

c. Pengaruh Teman Sebaya


Tabel 5 menunjukkan pengaruh teman sebaya yang sama pada
setiap jenis hidangan yaitu 19.05% anak dengan pengaruh teman
sebaya yang besar dan 80.95 % anak dengan pengaruh teman sebaya
yang kecil.

Tabel 5. Pengaruh Teman Sebaya

Pengaruh Teman Sebaya


Besar Kecil
n % n %
8 19.05 34 80.95

Tabel 5 menunjukkan 19.05% anak dengan pengaruh teman


sebaya yang besar dan 80.95 % anak dengan pengaruh teman sebaya
yang kecil. Dengan demikian pada saat makan rata-rata anak memiliki
pengaruh teman sebaya yang kecil pada saat makan bersama.
Hal ini bertentangan dengan yang diungkapkan oleh
Prawirohartono (1997) bahwa kelompok teman sebaya penting karena
mereka akan saling mempengaruhi termasuk dalam hal memilih
makanan.
d. Hubungan Antara tingkat penerimaan Makanan Dengan Teman
Sebaya
Dari tabel 6 dapat kita ketahui bahwa ada hubungan yang bermakna
(p<0.05) antara tingkat penerimaan terhadap sayur dengan pengaruh
teman sebaya. Sedangkan pada hidangan yang lain tidak ada hubungan
antara pengaruh teman sebaya dengan tingkat penerimaan makanan, di
mana nilai p>0.05.

Tabel 6. Hubungan Antara tingkat penerimaan Makanan Dengan Teman


Sebaya

Tingkat Teman sebaya


χ2
Penerimaan Besar Kecil p
n % n %
Makanan Kurang 0 0 11 26.19 3.507 0.61
pokok Baik 8 19.05 23 54.76
Lauk Kurang 0 0 4 9.52 1.040 0.308
hewani Baik 8 19.05 30 71.43
Lauk Kurang 0 0 8 19.05 2.325 0.127
nabati Baik 8 19.05 26 61.90
Sayur Kurang 0 0 14 33.33 4.941 0.026
Baik 8 19.05 20 47.62
buah Kurang 0 0 0 0 - -
Baik 8 19.05 34 80.95
Sumber : Data primer terolah

Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengaruh teman


sebaya dengan tingkat penerimaan makanan, kecuali pada sayur. Dari
tabel 6 dapat kita ketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara
tingkat penerimaan sayur dengan pengaruh teman sebaya saat makan
bersama.
Prawirohartono (1997) mengatakan bahwa makan bersama
sering menguntungkan anak, karena anak biasanya dapat makan lebih
banyak bersama- sama teman sebayanya. Senada dengan pendapat
ini Santoso (1999) mengatakan bahwa pada dasarnya pola makan
masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat
mempengaruhi daya terima anak akan suatu makanan.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Setyarini (1995), bahwa tidak ada beda yang bermakna antara
konsumsi sayuran di rumah dengan konsumsi sayuran saat makan
bersama di sekolah.
Secara umum dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara tingkat penerimaan makanan
dengan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Hal ini dapat
dikarenakan pada saat makan, anak selalu dimotivasi oleh guru kelas
yang mendampingi mereka untuk selalu menghabiskan makanan yang
disajikan. Dengan mengemukakan alasan pada anak bahwa makanan
yang disajikan harus dihabiskan karena makanan adalah rizki dari
Allah serta baik untuk tubuh, Misalnya ibu guru mengatakan pada anak
bahwa wortel akan membuat mata menjadi cemerlang, sehingga
mereka cenderung mengikuti anjuran guru kelas tersebut. selain itu
guru kelas juga belum mengijinkan anak untuk melakukan kegiatan
selanjutnya jika belum menghabiskan atau sampai diperkirakan anak
tidak mungkin lagi menghabiskan makanannya.
Pada usia 2-7 tahun anak memasuki periode preoperatif
dalam hidupnya, seperti pada teori Piaget dalam Prawirohartono
(1997) tentang psikologi anak dan perkembangan. Teori ini
mengatakan bahwa pada periode preoperatif ini proses berfikir menjadi
lebih mendalam, walaupun sifatnya masih belum sistematis dan
bersifat insting. Anak makin banyak menggunakan simbol-simbol.
Alasan dapat diterima kalau didasarkan pada penampilan dan apa
yang didapatkan oleh si anak.
Pendekatan untuk mengelompokkan sesuatu sifatnya
fungsional walaupun belum sistematik. Pada masa ini anak tampaknya
seperti egosentrik. Hubungannya dengan pemberian makanan ialah
bahwa proses makan tidak lagi menjadi titik perhatian utama anak,
karena mereka sekarang lebih memperhatikan masalah sosial, bahasa
dan kognitif. Makanan akan lebih menarik karena faktor warna, bentuk
dan jumlahnya, tetapi kemampuan untuk mengelompokkan makanan
masih terbatas. Anak mulai mengerti bahwa “Makanan baik untukmu”,
tetapi alasannya belum dapat dipahami.
E. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Tingkat penerimaan makanan anak di TKIT Salman Al- Farisi yang dilihat
dari sisa makanan adalah baik,
a. Tingkat penerimaan terhadap makanan pokok 73.81% baik
b. Tingkat penerimaan terhadap lauk hewani90.48% baik
c. Tingkat penerimaan terhadap lauk nabati 80.95% baik
d. Tingkat penerimaan terhadap sayur 66.66% baik
e. Tingkat penerimaan terhadap buah 100% baik
2. Faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan makanan
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat penerimaan
makanan dengan kebiasaan makan.
b. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat penerimaan
makanan dengan pengaruh teman sebaya, kecuali pada sayur,
bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat penerimaan
sayur dengan pengaruh teman sebaya terhadap sayur.

F. SARAN
1. Motivasi yang diberikan guru kelas terhadap anak saat makan perlu terus
ditingkatkan agar meningkatkan penerimaan makanan, terutama pada
sayuran.
2. Perlu adanya penelitian tentang faktor- faktor lain yang berpengaruh
terhadap asupan makanan seperti lingkungan keluarga, media masa,
nafsu makan, rasa suka dan tidak suka terhadap makanan dan penyakit.
3. Perlu adanya penelitian tentang makanan dari luar sekolah yang dibawa
sendiri oleh anak saat makan siang.
4. Perlu penelitian dengan mempertimbangkan pengaruh disuapi terhadap
tingkat penerimaan makanan.

Anda mungkin juga menyukai