Anda di halaman 1dari 38

BAKTERIAL VAGINOSIS

Definisi Bakterial Vaginosis

Vaginosis bakteril, juga disebut BV merupakan infeksi vagina yang paling umum pada

wanita usia subur. Ini terjadi ketika keseimbangan normal bakteri di vagina terganggu dan

digantikan oleh pertumbuhan berlebih dari bakteri tertentu..

Vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada ekosistem vagina

yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi Lactobacillus yang tinggi sebagai flora normal

vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob yang tinggi, terutama Bacteroides sp., Mobilincus sp.,

Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi

yang disebabkan oleh satu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan

berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.

Etiologi

Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan spesies bakteri

yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri lainnya yaitu

bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakterial vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan

berlebihan dari beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada

dalam konsentrasi rendah.

Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora

vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berhubungan dengan

bakterial vaginosis, yaitu :

 Gardnerella vaginalis

Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner dan Dukes’

bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan


bakterial vaginosis.

Gambar : Gardnerella vaginalis

Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus

Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak

mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram. Tes

katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif.

Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada fermentasi berupa asam

asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan juga galur

anaerob obligat. Dan untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat,

biotin, purin, dan pirimidin.

Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G. vaginalis berhubungan

dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan media kultur yang lebih sensitive G. Vaginalis
dapat diisolasi dalam konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat

ini dipercaya bahwa G. vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan hominis menyebabkan

bakterial vaginosis.

• Mycoplasma hominis

Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu dari amin yang

konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi normal bakteri dalam vagina

biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada

bakterial vaginosis. Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob

termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat.

Gambar : Mycoplasma hominis

 Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp

Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G. vaginalis untuk

menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri anaerob

dengan bakterial vaginosis. Menurut pengalaman, Bacteroides Spp paling sering dihubungkan

dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Bacteroides Spp


Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan batang anaerob

lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama dengan organisme lain yang

dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobilincus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada

wanita normal, 85 % wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini.

Gambar : Mobilincus Spp

Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial vaginosis,

bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti pasangan akan

meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.

Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya Vaginosis Baterial :

1. Pasangan seksual yang baru

2. Merokok

3. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)

4. Pembilasan vagina yang terlampau sering, menyebabkan menurunnya jumlah laktobaksil

penghasil hidrogen peroksida yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari bakteri

lain khususnya yang berasal dari bakteri anerobik.

5. Vagina yang terlalu sering dalam keadaan lembab dan jarang mengganti celana dalam.

Patogenesis
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri dari unsur-

unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen lengkap dari ekosistem

vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari gram positif dan gram negatif

aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara

mikroflora vagina endogen bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya

sistem ekologi yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina.

Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan menyebabkan

ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan pada mikroflora vagina. Dalam

keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang menghasilkan

asam organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan bakteriosin.Asam laktat

seperti organic acid lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang peranan yang penting

dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak

sesuai bagi pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.

Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan Lactobacillus

hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan enzim katalase. Hidrogen

peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak pada bakterial vaginosis.

Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang

merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak

bakteri khususnya Gardnerella vaginalis.

G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram yang mengalami

hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya bersifat asam

menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang

menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar
yang membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk

tumbuh di vagina.

Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif. Dalam

kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur

dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita,

sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai

pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi.

Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna

kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel

yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.

Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai pembentuk asam

amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino

menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi

pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah

pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.

Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B.

Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.

G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi

sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak

invasive dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah

leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial

vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas.
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan

tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering

rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat menjelaskan

yaitu :

1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial vaginosis.

Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. vaginalis mengandung G. vaginalis dengan

biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik)

sehingga wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh

lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.

2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya dihambat

pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.

3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora normal yang

berfungsi sebagai protektor dalam vagina.

4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada penderita,

membuatnya rentan terhadap kekambuhan.


3.5 Patofisiologi
ETIOLOGI

Bakteriosin : H2O :
menghambat Lactobasilus mempertahankan
pertumbuhan ke amanan Vagina
mikroorganisme
an aerob lain di
vagina

Lactobasilus

G vaginalis Vaginitis

G Vaginitis + Human an aerob + bakteri fakultatif

SIMBIOSIS

Melekat pada sel epitel Asam Amino

Perlekatan pada dinding


Vagina
Amin
Respon Inflamasi
Menyebabkan
iritasi kulit dan
Radang Supuratif Bau
Gambaran Klinis
MK :
Peningkatan sekret Resiko
gatal Kerusakan Gatal
Kulit
MK : Gangguan rasa
nyaman
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering pada

bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan

hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor).

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa.

Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada

protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita

mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi

daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada

yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh

gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen,

disuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering berwarna putih

atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang berbusa.Sekret tersebut

melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kelainan yang difus. Gejala

peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas

kumpulan sel epitel vagina yang memberikan gambaran bergerombol.


Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva.

Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan

servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan preparat basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas

objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik

menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel

vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan

preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial

vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.

Cara pemeriksaannya :

Pemeriksaan preparat basah;dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl

0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan

dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat

clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama

Gardnerella vaginalis).Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas

98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis, >

20% pada preparat basah atau pewarnaan Gram.

Skoring jumlah bakteri yang normal pada vagina atau vaginosis bakterial dengan pewarnaan

Gram :

Lactobacilli Gardnerella/ Mobilincus sp

Bacteroides
(4+) : 0 (1+) : 1 (1+)-(2+) : 1

(3+) : 1 (2+) : 2 (3+)-(4+) : 2

(2+) : 2 (3+) : 3

(1+) : 3 (4+) : 3

(0) : 4

Skor 0-3 dinyatakan normal; 4-6 dinyatakan sebagai intermediate; 7-10 dinyatakan

sebagai vaginosis bakterial.

Kriteria diagnosis vaginosis bakterial berdasarkan pewarnan Gram :

a. derajat 1: normal, di dominasi oleh Lactobacillus

b. derajat 2: intermediate, jumlah Lactobacillus berkurang

c. derajat 3: abnormal, tidak ditemukan Lactobacillus atau hanya ditemukan beberapa

kuman tersebut, disertai dengan bertambahnya jumlah Gardnerella vaginalis atau lainnya.

1. Whiff test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan penambahan

satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat pelepasan amin dan

asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial

vaginosis.

2. Tes lakmus untuk Ph

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas dibandingkan

dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80-90% bakterial vaginosis

ditemukan pH > 4,5.

3. Pewarnaan gram sekret vagina


Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan Lactobacillus

sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella vaginalis dan atau

Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.

4. Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial vaginosis.

Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial vaginosis tanpa grjala klinis tidak

perlu mendapat pengobatan.

5. Uji H2O2 :

Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas gelas objek akan

segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles) karena adanya sel darah putih yang

karakteristik untuk trikomoniasis atau pada vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis

bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal tidak bereaksi.

Diagnosis

Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-menerus

dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai

disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis relatif tidak banyak ditemukan

apa-apa, kecuali hanya sedikit inflamasi dapat juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih

atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina.

Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas ovum normal

mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau dengan pH 5 - 5,5 dan tidak

ditemukan T.vaginalis, kemungkinan besar menderita bakterial vaginosis. WHO (1980)

menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar
dari 4,5, tes amin positif dan adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan

Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang

berbau amis dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH

vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis.

Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis, oleh sebab itu

didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut sebagai kriteria Amsel

(1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :

1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan abnormal.

2. pH vagina > 4,5

3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau setelah

penambahan KOH 10% (Whiff test)

4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)

Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Diagnosis Banding

Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip dengan bakterial

vaginosis, antara lain :

1. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Trichomonas

vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada beberapa keadaan trikomoniasis akan

menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau.

Eritem dan edem pada vulva, juga vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritos,

disuria, dan dispareunia.

Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai penampakan

pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus dan clue cell tidak perbah ditemukan

pada Trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopoik tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan

dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test dapat positif

pada trikomoniasis dan pH vagina 5 pada trikomoniasis.

2. Kandidiasis

Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans atau kadang

Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada kandidiasis adalah pruritus akut dan

keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya sedikit. Kadang dijumpai gambaran khas

berupa vaginal thrush yaitu bercak putih yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis

epitel yang menempel pada vagina. Dapat juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi, rasa panas

dan sakit saat berkemih.

Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna untuk

mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering pada kandidiasis adalah gatal

dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH normal.

Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :

1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu kestabilan pH di sekitar

vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat dari bahan dasar susu. Produk

seperti ini mampu menjaga seimbangan pH sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora

normal dan menekan pertumbuhan bakteri yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa

umumnya bersifat keras dan dapat flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi

kesehatan vagina dalam jangka panjang.

2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar vagina harum dan

kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel halus yang mudah terselip disana-

sini dan akhirnya mengundang jamur dan bakteri bersarang di tempat itu.

3. Selalu keringkan vagina sebelum berpakaian

4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab, usahakan cepat

mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada salahnya Anda membawa

cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-jaga manakala perlu menggantinya.

5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun.

6. Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar organ intim

panas dan lembab.

7. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena pori-porinya

sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans agar sirkulasi udara di

sekitar organ intim bergerak leluasa

8. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut

9. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat bepergian ke

luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.


Penatalaksanaan

Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan dengan

gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh dengan sendirinya,

hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal,

dan bakteri lain mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial

vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu

perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak

membahayakan dan sedikit efek sampingnya.

Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk

wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita hamil

dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat

yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan

antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.

a. Terapi sistemik

1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang memberikan

keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x 400 mg atau 500 mg
setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal, maka diberikan ampisilin oral

(atau amoksisilin) yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan

penyembuhan sekitar 66%).

- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari

- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif terhadap

bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi anaerob. Metronidazol

dapat menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.

2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan metronidazol

untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan 94%. Aman

diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat menembus ASI, oleh

karena itu sebaiknya menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan

menyusui.

3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7 hari.

Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol

4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.

5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.

6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

b. Terapi Topikal

1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.

2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.

3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.


4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol

3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhannya

hanya 15 – 45 %.

c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan

Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul

masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena

mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama

kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari

selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi

ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita

tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.

Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin tidak

mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat digunakan

metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau

klindamisin krim.

d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual

Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan

selama masih dalam pengobatan.

Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi setelah

pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang berat. Bakterial

vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID),

dimana angka kejadian bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.


Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi

antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan endometritis

post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang

sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis

bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali. Bakterial vaginosis disertai

peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.

Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan frekuensi di

tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atas berhubungan dengan

bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi infeksi Gonorrhoea dan Klamidia. Meningkatkan

kerentanan terhadap HIV dan infeksi penyakit menular seksual lainnya.

Prognosis

Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak

menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat dipakai. Prognosis

bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi

perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin

memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-96%).

Daftar Pustaka

Morgan, Geri &Carol Hamilton.2011. Obsterti dan Ginekologi Panduan Praktis. Jakarta :EGC

Hacker, & Moore. 2001. Esensial Obsterti dan Ginekologi. Jakarta : EGC

Turovskiy Y, NollKS, Chikindas ML. The aetology of bacterial vaginosis. J App Micro. 2011;

110 (5): 1105-28.

Kumar N, Behera B, Sagiri SS, Pal K, Ray SS, Roy S. Bacterial vaginosis: Etiology and

modalities of treatment.J Pharm Bioallied Sci. 2011; 3 (4): 496-503.


Truter I, Graz M. Bacterial vaginosis: Literature review of treatment option with specific

emphasis on non-antibiotic treatment. Arf J Pharm Pharmacol. 2013; 7 (48): 3060-7.


CRACKED NIPPLE

DEFINISI
Trauma kulit pada papilla mamae, nama lain fissura papilla mamae. Sebagian besar
karena breastfeeding atau menyusui, dan terasa nyeri saat menyusui. Fisura terjadi pada hari
pertama sampai beberapa pekan setelah melahirkan (postpartum). Fisura tersebut dapat menjadi
tempat masuknya bakteri piogenik patogen dan beberapa jenis jamur, fisura papilla mamae juga
berhubungan dengan keadian mastitis setelahnya.
Cracked nipple merupakan papilla mammae yang lecet terjadi pada masa menyusui yang
ditandai dengan lecetnya pada putting, berwarna kemerahan dan puting pecah serta terasa panas.
Lecetnya putting susu ( nipple) ibu yang sebelumnya memberikan atau sedang dalam masa
menyusui sehingga menyebabkan kesakitan saat menyusui. Hal ini berpengaruh terhadap
berkurangnya produksi ASI. Cracked nipple sering terjadi pada ibu muda yang baru pertama
kali menyusui. Hal ini disebabkan karena, posisi menyusui yang salah, tidak sempurnanya
perlekatan antara mulut bayi dengan puting ibu atau saat bayi mulai tumbuh gigi, bayi hanya
menghisap dibagian putting tidak mencapai areola. Cracked nipple dapat sembuh sendiri dalam
waktu 48 jam.

EPIDEMIOLOGI
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah
puting susu lecet atau nyeri. Sekitar 57% dari ibu-ibu menyusui
dilaporkan pernah menderita kelecetan pzada putingnya dan payudara bengkak.
Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu
melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan
mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan atau komplikasi dari
mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara. Sehingga
dapat menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Cracked nipple dapat
meyebabkan bengkak pada payudara yang mengarah ke mastitis dan biasanya terjadi pada hari
ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan.

ETIOLOGI
 Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak menyusui sampai areola tertutup oleh
mulutbayi.Bila bayi hanya menyusui pada putting susu, maka bayi akan mendapatkan ASI
sedikit

 Putting susu terpapar oleh sabun, krim, alkohol ataupun zat iritan lain saat ibu membersihkan
putting susu

 Moniliasis pada mulut bayi yang menular pada putting susu ibu

 Bayi dengan tali lidah pendek (frenulum lingue)

 Cara menghentikan menyusui yang kurang tepat.

 Hisapan bayi yang terlalu kencang, gigitan bayi, goresan benda tajam, kuku bayi atau ibu.

 Infeksi jamur yang terjadi di puting (disebabkan oleh Candida Albicans) dapat pula
menyebabkan puting lecet

 Vasospasme yang disebabkan oleh iritasi pada saluran darah di puting akibat pelekatan

yang kurang baik dan/atau infeksi jamur.

PATOGENESIS
Terjadinya papilla mammae lecet di awal menyusui pada umumnya disebabkan oleh
salah satu atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang tidak tepat saat
menyusu, atau bayi tidak mengisap dengan baik. Meskipun
demikian, bayi dapat belajar untuk mengisap payudara dengan baik ketika ia
melekat dengan tepat saat menyusu (mereka akan belajar dengan sendirinya).
Jadi, proses mengisap yang bermasalah seringkali disebabkan oleh pelekatan yang
kurang baik. Infeksi jamur yang terjadi di papilla mammae (disebabkan oleh Candida Albicans)
dapat pula menyebabkan puting lecet. Vasospasme yang disebabkan oleh iritasi pada saluran
darah di puting akibat pelekatan yang kurang baik dan/atau infeksi jamur, juga dapat
menyebabkan puting lecet. Rasa sakit yang disebakan oleh pelekatan yang kurang baik dan
proses mengisap yang tidak efektif akan terasa paling sakit saat bayi melekat ke payudara
danbiasanya akan berkurang seiring bayi menyusu. Namun jika lecetnya cukup parah, rasa
sakit dapat berlangsung terus selama proses menyusu akibat pelekatan kurang
baik/mengisap tidak efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur biasanya
akan berlangsung terus selama proses menyusui dan bahkan setelahnya.
Banyak ibu mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat pelekatan
yang kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit akibat
infeksi jamur seringkali digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit
pada puting terjadi padahal sebelumnya tidak pernah merasakannya, maka rasa
sakit tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi Candida, meskipun
infeksi tersebut dapat pula merupakan lanjutan dari penyebab lain sakit pada
puting, sehingga periode tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Lecet /fisura pada papilla
mammae dapat terjadi karena infeksi jamur. Kondisi dermatologis dapat pula menyebabkan sakit
pada papilla mammae.

MENIFESTASI KLINIS
• Luka lecet kekuningan

• Kulit terkelupas/luka berdarah

• Sakit saat menyusui

• Merah pada nipple

• Terlihat retak (terbentuk celah/ fisura)

• Sakit seperti terbakar(infeksi jamur)

• Infeksi jamur  rasa sakit terbakar


• Perlekatan yg kurang baik  paling sakit saat bayi melekat dan berkurang seiring bayi
menyusu  rasa sakit teriris

DIAGNOSIS:
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik  sesuai dengan temuan gejala klinis, Pemeriksaan
payudara bisa dilakukan dengan teknik SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri). SADARI
sebaiknya dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu setelah masa menstruasi karena
disaat inilah payudara lebih lunak karena pengaruh hormon. Wanita usia 20-an awal bisa
memulai memeriksa payudara sendiri
 Pemeriksaan penunjang  mammografi dan USG payudara

DIAGNOSIS BANDING
 Mastitis
 Abses payudara
 Ca mammae

PENATALAKSANAAN
1. Bayi harus disusuikan terlebih dahulu pada puting yang normal yang lecetnya lebih sedikit.
Untuk menmghindari tekanan local pad puting maka posisi menyusu harus sering diubah,
untuk puting yang sakit dianjurkan mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Di
samping itu, kita harus yakin bahwa teknik menyusui yang diguanakan bayi benar, yaitu
harus menyusu sampai ke kalang payudara. Untuk menghindari payudara yang bengkak, ASI
dikeluarkan dengan tangan pompa, kemudian diberikan dengan sendok, gelas, dan pipet.
2. Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tetapi diangin-anginkan
sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti-infeksi.
3. Jangan menggunakan sabun, alkohol, atau zat iritan lainnya untuk membersihkan payudara.
4. Pada papilla mammae dapat dioleskan minyak lanolin atau minyak kelapa yang telah
dimasak terlebih dahulu.
5. Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam), sehingga payudara tidak sampai terlalu
penuh dan bayi tidak begitu lapar juga tidak menyusu terlalu rakus.
6. Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis yang dapat menyebabkan lecet pada
puting susu ibu. Jika ditemukan gejala moniliasis dapat diberikan nistatin.

Prinsipnya adalah memroteksi luka dengan memberi pengobatan antibiotic topical yaitu
asam fusidat cream, menyusui lebih diutamakan kepada papilla yang sehat (papila yang lain),
sedangkan papila yang trauma air susunya harus tetap dikeluarkan secara berkala dengan
menggunakan pompa atau pijatan sampai luka benar-benar sembuh untuk mencegah statis air
susu. Tatalaksana dibagi menjadi 3, yaitu saat menyusui, setelah menyusui, dan diantara
menyusui (apabila tidak menyusui).
a. Saat menyusui
 Pakai papilla yang sehat dahulu, lalu pakai papilla yang sakit. Karena isapan bayi
pada papilla yang sakit tidak sekuat pada isapan yang pertama
 Mencoba berbagai posisi menyusui yang paling nyaman, namun tetap benar
 Apabila menyusui sakit, pakai breastpump, apabila tetap sakit, stimulasi dengan
pijatan pada papilla mamae. Hal ini dilakukan untuk mencegah statis asi, mencegah
mastitis, dan mempertahankan supply dari asi sendiri.
b. Setelah menyusui
 Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tapi diangin-anginkan
sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti infeksi
 Jangan pernah mencuci daerah areola dan puting dengan sabun
 Observasi keadaan umum dan vital sign
 Cari penyebab putting lecet

 Bayi tetap disusui pada putting yang tidak lecet dgn teknik yang benar

 Setelah menyusui tidak perlu dibersihkan dan cukup dianginkan karna sisa ASI
sudah merupakan anti infeksi dan pelembut putting susu

 Sebaiknya untuk melepaskan putting dari hisapan bayi pada saat bayi selesai
menyusu, tidak dengan memaksa menarik putting, tetapi dengan menekan dagu
bayi atau dengan memasukan jari kelingking yang bersih ke mulut bayi

 Putting susu yang sakit dapat diistirahatkan utk sementara waktu kurang lebih
1x24 jam dan sebaiknya ASI tetap dikeluarkan dengan tangan

 Beri edukasi untuk menyusui yang benar

 Beri obat penghilang sakit/nyeri paracetamol 500 mg 3x1/hr atau amoxicillin


3x1/hr

 Bila lecet tidak sembuh dalam 1 minggu rujuk ke puskesmas

 Memposisikan Bayi  Posisi & Perlekatan Menyusui

c. Diantara menyusui
 Menjaga personal hygene dari payudara.
 Menggunakan sabun non-antibakterial dan non-perfume apabila ingin membersihkan
payudara, menggunakan sabun pada daerah papila mamae yang luka tidak dianjurkan.

Edukasi
Edukasi mengenai prinsip dasar menyusui yaitu teknik benar, susui sesuai permintaan
bayi, ibu rileks dan percaya diri saat menyusui.
Penilaian proses menyusui.
 B= Body Position : Rileks, nyaman, ibu memegang seluruh tubuh bayi, kepala tegak lurus,
dagu bayi menyentuh payudara, seluruh tubuh bayi menghadap ibu, payudara ibu mendekati
bayi, bukan bayi mendekati payudara ibu.
 R= Response : Bayi mencari puting, menghisap tenang, dan asi keluar. Isapan bayi lambat
dan tenang, ada jeda diantra isapan, ada gerakan menelan dari bayi.
 E= Emotion : Ibu merangkul dengan yakin, atensi ibu baik (menatap bayi).
 A= Anatomy : Payudara lunak setelah menyusui dan terasa lebih ringan
 S= Suckling: Isapan bayi, kekuatan normal. Kelekatan mulut bayi yang baik:
- Dagu menyentuh payudara
- Mulut bayi terbuka lebar
- Bibir Bawah keluar
- Areola mama sedikit terlihat, biasanya bagian bawah tidak terlihat, bagian atas sedikit
terlihat.

Kelekatan yang benar.

Kelekatan yang salah.


 T= Time : 15-20 menit bayi akan melepas sendiri apabila teknik dan posisi menyusui benar.
Terdapat berbagai macam posisi menyusui. Cara menyusui yang tergolong biasa

dilakukan adalah dengan duduk, berdiri atau berbaring.


Posisi khusus berkaitan dengan situasi tertentu seperti ibu pasca operasi sesar.
Bayi diletakan disamping kepala ibu dengan posisi kaki diatas. Menyusui bayi kembar
seperti memegang bola bila disusui bersamaan di payudara ki-ka. Pada ASI yang
memancar penuh, bayi di tengkurapkan diatas dada ibu, tangan ibu sedikit menahan
kepala bayi, dengan posisi ini bayi tidak tersedak.

Langkah Menyusui yang Benar


1. Cuci tangan yang bersih dengan sabun, perah sedikit ASI dan oleskan disekitar
putting, duduk dan berbaring dengan santai
2. Bayi diletakan menghadap ke ibu dgn posisi sanggah seluruh tubuh bayi, jangan
hanya leher dan bahu saja tapi kepala dan tubuh bayi lurus, hadapkan bayi kedada ibu
sehingga hidung bayi berhadapan dgn putting susu, dekatkan badan bayi ke badan ibu
menyentuh bibir bayi ke putting susunya dan menunggu sampai mulut bayi terbuka
lebar

3. Segera dekatkan bayi ke payudara sedemikian rupa sehingga bibir bawah bayi
terletak dibawah putting susu. Cara melekatkan mulut bayi dengan benar yaitu dagu
menempel pada payudara ibu, mulut bayi terbuka lebar dan bibir bawah bayi
membuka lebar

 Cara pengamatan teknik menyusui yang benar


Menyusui dengan teknik yang tidak benar dapat mengakibatkan putting susu
menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga, mempengaruhi produksi ASI
selanjutnya atau bayi enggan menyusu
 Tanda menyusui yang benar
- Bayi tampak tenang
- Badan bayi menempel pada perut ibu
- Mulut bayi terbuka lebar
- Dagu bayi menempel pada payudara ibu
- Sebagian areola masuk kedalam mulut bayi, areola bawah lebih banyak yang
masuk
- Bayi nampak menghisap kuat dengan irama perlahan
- Putting susu tidak terasa nyeri
- Telinga dan lengan bayi terletak pada 1 garis lurus
- Kepala bayi agak menengadah
PENCEGAHAN
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
Wanita dan siapa saja yang merawat mereka perlu mengetahui tentang penatalaksanaan
menyusui yang efektif, pemberian makan bayi dengan adekuat dan tentang pemeliharaan
kesehatan payudara. Butir-butir penting adalah :
 mulai menyusui dalam satu jam atau lebih setelah melahirkan
 memastikan bahwa bayi mengisap payudara dengan baik;
 menyusui tanpa batas, dalam hal frekuensi atau durasi, dan membiarkan bayi selesai
menyusui satu payudara dulu, sebelum memberikan yang lain;
 menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan dan bila mungkin 6 bulan.

Wanita dan orang yang merawatnya juga perlu memahami bahwa hal – hal berikut ini
dapat mengganggu, membatasi, atau mengurangi jumlah isapan dalam proses menyusui, dan
meningkatkan risiko stasis ASI, yaitu :
 Penggunaan dot
 Pemberian makanan dan minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama, terutama dari
botol susu.
 Tindakan melepaskan bayi dari payudara pertama sebelum ia siap untuk mengisap payudara
yang lain.
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan.
 Tidak menyusui, termasuk bila bayi mulai tidur sepanjang malam.
 Trauma pada payudara, karena kekerasan atau penyebab lain,
Hal-hal tersebut harus dihindari atau sedapat mungkin ibu dilindungi dari hal-hal
tersebut, tetapi bila tak terhindarkan, ibu dapat mencegah mastitis bila ia melakukan perawatan
ekstra pada payudaranya.
b. Tindakan rutin sebagai bagian perawatan kehamilan
Praktik berikut ini penting untuk mencegah stasis ASI dan mastitis. Mereka harus
dilakukan secara rutin pada semua tempat di mana ibu melahirkan atau dirawat sebelum dan
setelah persalinan, yaitu rumah sakit bersalin, fasilitas kesehatan yang lebih kecil seperti pusat
kesehatan, atau di rumah bila ibu melahirkan di sana, atau bila ibu kembali setelah melahirkan.
Praktik tersebut adalah sebagai berikut :
 Bayi harus mendapat kontak dini dengan ibunya, dan mulai menyusui segera setelah tampak
tanda-tanda kesiapan, biasanya dalam jam pertama atau lebih.
 Bayi harus tidur di tempat tidur yang sama dengan ibunya, atau di dekatnya pada kamar yang
sama.
 Semua ibu harus mendapat bantuan dan dukungan yang terlatih dalam teknik menyusui, baik
sudah maupun belum pernah menyusui sebelumnya, untuk menjamin pengisapan yang baik
pada payudara, pengisapan yang efektif, dan pengeluaran ASI yang efisien.
 Setiap ibu harus didorong untuk menyusui on demand, kapan saja bayi menunjukkan tanda-
tanda siap menyusui, seperti membuka mulut dan mencari payudara.
 Setiap ibu harus memahami pentingnya menyusui tanpa batas dan eksklusif, dan menghindari
penggunaan makanan tambahan, botol, dan dot.
 Ibu harus menerima bantuan yang terlatih untuk mempertahankan laktasi bila bayinya terlalu
kecil atau lemah untuk mengisap dengan efektif.
 Bila ibu dirawat di rumah sakit, ia memerlukan bantuan yang terlatih saat menyusui pertama
kali dan sebanyak yang diperlukan pada saat mcnyusui berikutnya.
c. Penatalaksanaan yang efektif pada payudara yang penuh dan kencang
Bila payudara ibu menjadi sangat penuh atau terbendung selama minggu pertama, bila
ASI ada, penting untuk memastikan bahwa ASI dikeluarkan dan kondisi tersebut diatasi.
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki isapan pada payudara oleh bayinya, untuk
memperbaiki pengeluaran ASI, dan untuk mencegah luka pada puting susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi menghendaki, tanpa
batas.
 Bila isapan bayi tidak cukup mengurangi rasa penuh dan kencang pada payudara, atau bila
puting susunya tertarik sampai rata sehingga bayi sulit mengisap, ibu harus memeras ASI-
nya.
 Pemerasan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan pompa. Bila payudara sangat nyeri,
jalan lain untuk memeras ASI adalah dengan menggunakan metode botol
d. Perhatian dini terhadap semua tanda stasis ASI
Seorang ibu perlu mengetahui bagaimana merawat payudaranya, dan tentang tanda dini
stasis ASI atau mastitis sehingga ia dapat mengobati dirinya sendiri di rumah dan mencari
pertolongan secepatnya bila keadaan tersebut tidak menghilang. Ia harus memeriksa
payudaranya untuk melihat adanya benjolan, nyeri, atau panas, atau kemerahan:
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor risiko, seperti kealpaan menyusui;
 Bila ibu mengalami demam atau merasa sakit, contohnya sakit kepala. Bila ibu mempunyai
satu dan tanda-tanda tersebut, ibu perlu untuk:
1. beristirahat, di tempat tidur bila mungkin
2. sering menyusui pada payudara yang terkena
3. mengompres panas pada payudara yang terkena, berendam dengan air hangat, atau
pancuran hangat;
4. memijat dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusu untuk membantu ASI
mengalir dari daerah tersebut;
5. mencari pertolongan dan petugas kesehatan bila ibu tidak merasa lebih baik pada
keesokan harinya.
e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain
Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat ibu menemui kesulitan
yang dapat menyebabkan stasis ASI, seperti:
 nyeri atau puting pecah-pecah;
 ketidaknyamanan payudara setelah menyusui;
 kompresi nipple
 bayi yang tidak puas seperti menyusu sangat sering, jarang, atau lama
 kehilangan percaya diri pada suplai ASI sendiri, menganggap ASI yang dihasilkan tidak
cukup
 pengenalan makanan lain secara dini
 menggunakan dot

KOMPLIKASI
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
a. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi yang biasanya terjadi karena pengobatan
terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba keras, merah dan tegang
walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus memikirkan kemungkinan terjadinya abses.
Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG
payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini
dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus
terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial/berlanjut. Pada abses yang
sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu
harus mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu
dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

b. Mastitis

Mastitis biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus
benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang,
serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri biasanya
diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa
menyusui.

PROGNOSIS
Papila mammae lecet/luka harus segera ditangani dengan baik, karena jika dibiarkan saja
akan memudahkan terjadinya infeksi pada payudara (mastitis).
DAFTAR PUSTAKA

Andriana, Kusuma. 2012. Pengantar Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Malang:
UMM Press.
Ken, Jacquelline et al. 2015. Nipple Pain in Breasrfeeding Mothers. Stirling Highway: University
of Western Australia.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Santos, Silvia et al. 2016. Prevalance and Factors associated with cracked nipples in fisrt month
postpartum. Bahia: State University of Feira de Santana Bahia, Brazil.

Anda mungkin juga menyukai