Anda di halaman 1dari 16

Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara

(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

ADAPTASI ARSITEKTUR VERNAKULAR KAMPUNG NELAYAN BUGIS


DI KAMAL MUARA
1) 2)
Primi Artiningrum , Danto Sukmajati
1,2
Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana
primi@mercubuana.ac.id, danto_sukmajati@mercubuana.ac.id

ABSTRAK.Masyarakat Bugis terkenal sebagai pelaut ulung di Indonesia yang telah menjelajahi
seluruh wilayah nusantara.Oleh karena itu permukiman masyarakat Bugis dapat ditemukan di hampir
seluruh wilayah Indonesia, terutama di kawasan pesisir.Di pantai Utara Jakarta juga terdapat satu
kampung nelayan Bugis, yaitu di wilayah Kamal Muara.Karakter fisik dari permukiman ini
menunjukkan ciri-ciri arsitektur vernacular Bugis yang dapat dilihat dari bentuk rumah-rumahnya.Akan
tetapi, kondisi lingkungan yang berbeda dengan di tempat asalnya memaksa masyarakat kampung
Bugis tersebut untuk beradaptasi baik terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
budayanya.Adaptasi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada bentuk dan pola
perkampungannya.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh adaptasi terhadap bentuk
rumah dan pola kampung yang dibandingkan dengan arsitektur Bugis yang asli.Metode yang
digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.Metode pengumpulan data dilakukan melalui
observasi lapangan dan wawancara kepada informan kunci termasuk beberapa pemilik rumah.Hasil
dari penelitian ini adalah teridentifikasinya adapatasi bentuk arsitektur dan pola kampung terkait
dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya.

Kata kunci : adaptasi, vernakular, arsitektur, nelayan, kampung

ABSTRACT.Bugis people are famous as the best sailor in Indonesia who have sailed all over the
archipelago. Their settlements can be found all over the country especially in the coastal area. Kamal
Muara is one of the Bugis fishermen village located in the North coast of Jakarta. The physical
character of this settlement demonstrates Bugis vernacular architecture which is especially noticeable
in the form of its houses. However, the new place has forced the people to adapt to the physical
environment as well as to the social and cultural environment. Consequently, the adaptation caused
changes of architectural shapes and the pattern of the village. This objective of this research was to
find out the influence of the adaptation to the house form and village pattern that was compared to its
original Bugis Architecture. The method of this research was qualitative descriptive research. The data
was collected through field study, observation, and interview to the key informants including the owner
of the houses. The outcomes of this research is the identification of the adaptation in architectural
form and village pattern related to the environmental condition and the sociocultural problem.

Keywords: adaptation, vernacular, architecture, fishermen, village

PENDAHULUAN 1930an mereka mulai menetap dengan


membangun kampoh atau tempat tinggal
Masyarakat Bugis, khususnya yang bermukim tetap.Kampoh kemudian berkembang menjadi
di wilayah pantai dikenal sebagai pelaut ulung babaroh, yaitu tempat tinggal sementara suku
yang telah menjelajahi hampir seluruh Bugis untuk istirahat dan mengolah hasil laut
kawasan nusantara, bahkan di seluruh penjuru yang terletak di pantai pasang surut[1].
dunia. Hal ini dibuktikan dengan dapat
ditemukannya perkampungan Bugis di hampir Menurut Kusnadi (2000), masyarakat nelayan
seluruh wilayah Indonesia, bahkan hingga ke adalah masyarakat yang hidup di kawasan
negeri tetangga seperti Singapura dan pesisir, yaitu kawasan transisi antara wilayah
Malaysia.Masyarakat Bugis perantau ini darat dan laut. Masyarakat nelayan
umumnya memiliki mata pencaharian sebagai menggantungkan hidupnya dari sumber daya
nelayan.Oleh karena itu mereka selalu yang berada di laut, yaitu dengan
menjelajah ke berbagai tempat dalam rangka mengumpulkan dan mengelola hasil
mencari kehidupan yang lebih baik. laut.Sebagai suatu masyarakat, mereka
memiliki system nilai dan simbol-simbol
Sejarah penyebaran suku Bugis dijelaskan kebudayaan sebegai referensi perilaku
oleh Soesangobeng bahwa awal mulanya kesehariannya, yang membedakan mereka
hunian suku Bugis berupa bidok dengan kelompok masyarakat lainnya. [2]
(perahu).Kemudian pada pertengahan tahun

69
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

Dalam mendirikan kampungnya di wilayah perbedaan lokasi hunian, perubahan budaya


manapun, masyarakat nelayan Bugis selalu dan cara hidup masyarakatnya.
mengusung sistem sosial dan budaya aslinya,
termasuk budaya fisik yang berupa bentuk- METODE PENELITIAN
bentuk rumah dan pola kampungnya.Hal ini
yang menyebabkan kampung-kampung Penelitian ini menggunakan metode penelitian
nelayan Bugis mudah dikenali.Meskipun kualitatif deskriptif karena permasalahan yang
demikian, kondisi lingkungan yang berbeda diteliti merupakan situasi sosial budaya yang
dengan ditempat aslinya memaksa terkait dengan aspek-aspek tempat, pelaku
masyarakat Bugis melakukan adaptasi dengan dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis.
lingkungan setempat, baik lingkungan fisik Lokasi penelitian adalah Permukiman Nelayan
maupun lingkungan sosial budaya. Proses Bugis di Kamal Muara Jakarta Utara, dengan
adaptasi ini berpengaruh juga pada bentuk subyek penelitian adalah RW 04, yaitu
arsitektur rumah maupun pola permukiman yang sebagian besar warganya
perkampungannya. berasal dari Bugis dan berprofesi sebagai
nelayan.
Kampung Nelayan Bugis Muara Karang
merupakan salah satu kampung nelayan Bugis
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis
yang terletak di pesisir pantai Jakarta
di Kamal Muara
Utara.Lokasi kampung yang berada di tepi
pantai ini memudahkan akses masyarakat
terhadap kegiatan sehari-harinya sebagai
nelayan.Kegiatan tersebut mencakup kegiatan Adaptasi Arsitektur Arsitektur
melaut untuk menangkap ikan dan hasil laut Vernakular Vernakular
lainnya di laut lepas, budidaya kerang hijau,
hingga memasarkannya melalui tempat Faktor Karakteristik Pola
pelelangan ikan yang terletak di kawasan Sosial Arsitektur Perkam
tersebut juga. Budaya: Vernakular

Kampung nelayan Bugis Kamal Muara masih Penyebaran


Rumah
dapat dikenali melalui bentuk-bentuk Bugis:
Faktor
rumahnya yang memperlihatkan ciri-ciri
Lingkungan
arsitektur tradisional Bugis.Ciri-ciri tersebut Filosofi
Alam
juga memperlihatkan karakteristik arsitektur
vernakular, terlihat dari bentuk rumah
panggung dengan material terbuat dari kayu Gambar 1. Kerangka Teori
dan bambu yang diperoleh dari lingkungan Gambar 1. Kerangka Teori
sekitar.
Pengambilan sampel menggunakan metode
Meskipun mengusung konsep arsitektur Bugis,
purposive sampling dengan jumlah sampel 10
beberapa penyesuaian terhadap kondisi
rumah, yang dipilih berdasarkan bentuk rumah
lingkungan yang berbeda dengan aslinya tetap
yang masih memperlihatkan ciri arsitektur
terjadi. Sesuai dengan definisi arsitektur
Bugis. Teknik pengumpulan data dilakukan
vernakular yaitu arsitektur yang dihasilkan oleh
melalui observasi lapangan dengan rekaman
masyarakat/rakyat antara lain merupakan
data / studi dokumentasi menggunakan foto,
tanggapan terhadap kondisi lingkungan
pemetaan, dan sketsa. Selain itu juga
sekaligus merupakan cerminan budayanya.
dilakukan wawancara kepada penduduk
Perbedaan lingkungan fisik dari tempat aslinya
setempat sebagai informan kunci serta pemilik
melahirkan adaptasi yang mempengaruhi
rumah.
bentuk arsitektur dan pola permukimannya.
Proses adaptasi sendiri akan berlangsung
Analisis data dilakukan dengan
terus-menerus sesuai dengan kondisi alamiah
mengkonfirmasi data yang telah dipilah dan
bahwa suatu kebudayaan pasti mengalami
dikelompokkan dengan referensi terkait
transformasi dari waktu ke waktu.
dengan fokus penelitian. Fokus penelitian
adalah menjawab permasalahan tentang
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
adaptasi pola perkampungan, bentuk rumah
proses adaptasi yang terjadi di permukiman
dan fungsi ruang-ruang di dalam rumah,
nelayan Kamal Muara yang berpengaruh
makna filisofis rumah bagi masyarakat Bugis di
terhadap bentuk arsitektur serta pola
lokasi penelitian.
perkampungan Bugis terkait dengan
70
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

mengakibatkan seseorang dalam suatu


LANDASAN TEORI kelompok sosial dapat hidup dan berfungsi
lebih baik dalam lingkungannya [7].
Landasan teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori yang terkait dengan Sedangkan Soekanto & Sulistyowati (2014)
proses adaptasi mencakup adaptasi terhadap memberikan batasan pada pengertian
lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya, adaptasi sosial, yaitu: 1) Proses mengatasi
teori tentang arsitektur vernakular dan teori halangan-halangan dari lingkungan. 2)
tentang kaidah-kaidah pada arsitektur Bugis. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk
Kerangka teori pada penelitian ini dijelaskan menyalurkan ketegangan. 3) Proses
dalam Gambar 1 berikut: perubahan untuk menyesuaikan dengan
situasi yang berubah. 4) Mengubah agar
Beberapa penelitian terkait dengan aristektur sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5)
Bugis juga telah banyak dilakukan. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas
Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6)
Nurhuzna, Yudono, & Trisutomo, (2012), Penyesuaian budaya dan aspek lainnya
tentang Trasnformasi Fungsi dan Bentuk sebagai hasil seleksi alamiah [8].
Arsitektur Bugis di Pesisir Pantai Buti
Merauke, dengan temuan berupa transformasi Dalam bidang arsitektur Amos Rapoport
fungsi pada bagian-bagian rumah berarsitektur (1969), mengatakan bahwa sebagai tempat
Bugis akibat perubahan aktivitas berlindung, rumah sangat diperlukan manusia
penghuninya[3] Sedangkan Beddu (2009), karena merupakan faktor utama dalam
dalam penelitiannya yang berjudul Arsitek usahanya untuk tetap bertahan melawan
Arsitektur Tradisional Bugis mengemukakan musuh, iklim, hewan buas dsb.Cara-cara untuk
adanya makna-makna simbolis pada beradaptasi dengan kondisi iklim maupun
bangunan rumah tradisional Bugis [4]. Hasan lingkungan inilah yang menghasilkan
dan Prabowo (2002) pada penelitiannya yang lingkungan-lingkungan hunian yang berbeda-
berjudul Perubahan Bentuk dan Fungsi beda pada setiap tempat di dunia.Lebih jauh,
Arsitektur Tradisional Bugis di Pesisir Kamal Rapoport menjelaskan bahwa rumah bukan
Muara menemukan bahwa akibat pertautan hanya sekedar struktur tempat berlindung,
budaya dengan lingkungan sekitar ikatan tetapi juga menyandang tujuan-tujuan yang
emosi masyarakat Bugis di Kamal Muara kompleks.Membangun sebuah rumah
dengan budaya aslinya berkurang. Selain itu, merupakan fenomena budaya.Bentuk dan
kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap organisasinya sangat dipengaruhi budaya-
dasar-dasar filosofi bentuk bangunan budaya yang dianut oleh masyarakatnya [9].
mengakibatkan hilangnya makna filosofis pada
rumah mereka [5]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
proses adaptasi yang terkait dengan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hamka, penyesuaian pada aspek sosial budaya turut
Antariksa & Wulandari tentang Karakterisitik berpengaruh pada bentuk dan organisasi
Orientasi Rumah Tradisional Bugis (Bola Ugi) rumah dalam suatu lingkungan masyarakat
di Dusun Kajuara Kabupatern Bone Sulawesi tertentu.
Selatan ditemukan bahwa orientasi rumah
tradisional Bugis dapat beragam sesuai Penyebaran Kebudayaan
dengan konsep orientasi hadapan rumah
dapat ke arah empat penjuru mata angin, Menurut Koentjaraningrat penyebaran
dengan arah terbaik ke Timur dan Barat, kebudayaan diawali dengan penyebaran
tergantung pada konsidi topografi lokasi rumah manusia baik secara kelompok maupun
[6]. individu yang telah berlangsung sejak ratusan
ribu tahun yang lalu. Proses penyebaran
Teori Tentang Adaptasi unsur-unsur kebudayaan disebut proses difusi.
Dalam proses difusi terdapat hubungan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti symbiotic, yaitu hubungan antara kelompok-
kata adaptasi adalah penyesuaian terhadap kelompok yang berbeda-beda tetapi tidak
lingkungan, pekerjaan, dan pelajaran. Dalam mempengaruhi bentuk kebudayaan masing-
kebudayaan, adaptasi berarti perubahan masing. [10].
dalam unsur kebudayaan yang menyebabkan
unsur itu dapat berfungsi lebih baik bagi Selain proses difusi juga terjadi proses
manusia yang mendukungnya; dan dalam akulturasi dan asimilasi. Akulturasi adalah
bidang sosial, adaptasi berarti perubahan yang proses sosial yang timbul apabila sekelompok
71
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

manusia dengan suatu kebudayaan tertentu technologies, dan Ravi S. Singh (2006),
dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan menyebutkan bahwa Vernacular houses are
asing sehingga unsur asing itu lambat laun born out of local building materials and
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan technologies and an architecture that is
sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya climate-responsive and a reflection of the
kepribadian kebudayaan itu. Sedangkan customs and lifestyles of a community[11].
proses asimilasi adalah proses sosial yang
terjadi pada berbagai golongan manusia Selanjutnya Mentayani (2012), menuliskan
dengan latar belakang kebudayaan yang berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat
berbeda, yang lambat laun sifat khas unsur- disimpulkan bahwa karakteristik arsitektur
unsur kebudayaan masing-masing golongan vernakular antara lain [11]:
berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan 1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan
campuran [10]. tenaga ahli / arsitek profesional
melainkan dengan tenaga ahli lokal
Wujud Kebudayaan /setempat.
2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap
Pemahaman tentang wujud-wujud kebudayaan kondisi fisik, sosial, budaya dan
digunakan untuk mengidentifikasi adaptasi lingkungan setempat.
kebudayaan. Koentjaraningrat (2011) 3. Dibangun dengan memanfaatkan
menjabarkan klasifikasi (1) wujud kebudayaan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi,
dalam empat wujud, yaitu wujud kebudayaan teknologi dan material setempat,
fisik, yaitu benda-benda fisik (artifacts) 4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam
termasuk bangunan dan karya arsitektur; (2) wujud hunian dan lainnya yang
wujud kebudayaan tingkah laku manusia berkembang di dalam masyarakat
(activities) yang membentuk pola-pola tingkah tradisional,
laku berdasarkan sistem, dan disebut sistem 5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan
sosial; (3) wujud gagasan (ideas), yaitu wujud khusus, mengakomodasi nilai-nilai
kebudayaan yang berada di dalam kepala tiap budaya masyarakat, ekonomi dan cara
individu. Wujud gagasan ini berpola dan hidup masyarakat setempat.
berdasarkan sistem-sistem tertentu yang 6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur
disebut sistem budaya; (4) Nilai-nilai budaya, vernakular sangat dipengaruhi oleh
yaitu gagasan yang telah dipelajari sejak aspek struktur sosial, sistem
sangat dini, menentukan sifat dan corak kepercayaan dan pola perilaku
pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku masyarakatnya.
manusia suatu kebudayaan.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik
Arsitektur Vernakular kesimpulan bahwa umumnya arsitektur
vernakular dapat ditemukan pada arsitektur
Istilah arsitektur vernakular pertama kali tradisional dengan struktur masyarakat yang
diperkenalkan oleh Bernard Rudofsky pada homogen.Pada kasus di Kampung Nelayan
tahun 1964 dalam pameran yang bertema Kamal Muara, perkembangan permukiman
Arcitecture without Architect yang digelar di yang diprakarsai oleh masyarakatnya sendiri,
Museum of Modern Art (MoMA). Istilah ini menggunakan material dan teknologi
digunakan oleh Rudofsky untuk kerakyatan dan dibangun mengikuti kaidah-
mengklasifikasikan arsitektur lokal yang kaidah budaya asalnya dapat dikategorikan
umumnya berupa hunian yang ditemukannya sebagai arsitektur vernakular.
di berbagai tempat di dunia. Sejak itu istilah
arsitektur vernakular dikenal dengan arti Arsitektur Tradisional Bugis
arsitektur tanpa arsitek [11]. Dalam
perkembangannya, istilah vernakular Suku Bugis adalah kelompok etnik yang
digunakan untuk menunjukkan adanya kaitan berasal dari wilayah Sulawesi Selatan. Kondisi
dengan “lokalitas”. Papanek (1995) dalam geografis wilayah tempat tinggal suku Bugis
Mentayani & Ikaputra, (2012) menyatakan berada di dataran rendah dan pesisir. Oleh
vernacular is anonymous, indigenous, native, karena itu masyarakat Bugis memiliki mata
naif, primitive, rude, popular spontaneous, pancaharian sebagai petani bagi mereka yang
local or folk based. Sedangkan Oliver [ed], tinggal di dataran rendah dan nelayan bagi
(1997) menyatakan vernacular is related to mereka yang tinggal di pesisir.
their environmental contexts and available Nelayan Bugis juga dikenal sebagai pelaut
resources they are customarily owner- or ulung. Kepiawaiannya sebagai pelaut handal,
community-built, utilizing traditional membawa suku Bugis merantau ke berbagai
72
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

wilayah Nusantara.Itu sebabnya banyak memiliki jabatan timpak lajanya hanya


ditemukan perkampungan nelayan Bugis di bertingkat 3.Timpak laja pada rumah Bola
beberapa wilayah Nusantara, di antaranya di tidak bertingkat atau polos[5].
kawasan Kampung Nelayan Kamal Muara,
Jakarta Utara.Budaya kerja masyarakat tani Secara filosofis, rumah tradisional Bugis
suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi dipengaruhi pemahaman struktur kosmos yaitu
mereka, sehingga kemanapun merantau alam atas, alam tengah dan alam bawah.
(sompe’), prinsip kerja keras menjadi bagian Mattulada dalam Koentjaraningrat (1991)
hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. dalam [5] menjelaskan filosofi rumah
tradisional Bugis sebagai berikut:
Pola Perkampungan Suku Bugis  Dunia Atas (Rakkeang):
Kehidupan diatas alam sadar manusia
Pola perkampungan suku Bugis terdiri dari yang terkait dengan kepercayaan yang
pola mengelompok padat yang umumnya tidak nampak (suci, kebaikan, sugesti,
ditemui di dataran rendah, dekat persawahan, sakral).Sebagaimana dalam pemahaman
di tepi laut atau danau, dan pola menyebar masyarakat pemangkunya (Bugis) bahwa
yang dapat ditemui di daerah pegunungan dunia atas adalah tempat bersemayamnya
atau perkebunan. Kampung Bugis juga dapat Dewi padi (Sange-Serri).Dengan
dibedakan berdaarkan tempat pekerjaan, yaitu pemahaman ini banyak masyarakat Bugis
Pallaon ruma (kampung petani), Pakkaja menganggap bahwa bagian atas rumah
(kampung nelayan), Matowa (kepala (Rakkeang) dijadikan sebagai tempat
kampung) [5] penyimpanan padi atau hasil pertanian
lainnya.Selain itu biasa juga dimanfaatkan
Kampung kuno Bugis biasanya terdiri dari 10 untuk tempat persembunyian anak-anak
hingga 200 rumah. Orientasi rumah biasanya
menghadap Selatan atau Barat. Jika ada
sungai hadapan rumah diusahakan
membelakangi sungai. Tempat keramat (possi
tama) merupakan pusat kampung yang
kadang-kadang terdapat satu rumah pemujaan
yang disebut saukang. Selain itu juga terdapat
masjid atau langgar, pasar dan makam pada
kamung kuno Bugis [5].

Rumah Tradisional Bugis

Rumah tradisional Bugis umumnya berbentuk


panggung, terutama pada permukiman yang Gambar 1. Filosofi Kosmologis Rumah
berada di tepi pantai, dan beberapa di Tradisional Bugis. Sumber: internet.
antaranya terletak di atas permukaan air
laut.Rumah Bugis dapat dibedakan gadis yang sedang dipingit.
berdasarkan status sosial orang yang
menempatinya, yaitu Rumah Saoraja (sallasa)  Dunia Tengah (Ale-Bola):
yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan Kehidupan di alam sadar manusia yang
(Anakarung) danRumah Bola yang ditempati terkait dengan aktivitas keseharian.Ale-
oleh rakyat biasa.Rumah Saoraja juga Bola atau badan rumah dibagi menjadi tiga
merupakan istana yang ditempati raja dan bagian :
keturunannya.Yang membedakan antara o Bagian Depan dimanfaatkan untuk
Rumah Saoraja dan Rumah Bola selain bentuk menerima para kerabat/keluarga
Saoraja lebih besar, juga dapat dilihat pada serta tempat kegiatan adat.
timpanon atau bubungan rumah yang disebut o Bagian Tengah dimanfaatkan
timpak laja.Timpak laja memperlihatkan untuk ruang tidur orang-orang
identitas dan tingkat status sosial yang dituakan termasuk kepala
penghuninya. Pada rumah Saoraja, yang keluarga (Bapak/ibu).
timpak lajanya memiliki 5 tingkat adalah istana o Ruang Dalam dimanfaatkan untuk
raja atau rumah bangsawan tinggi, sedangkan kamar tidur anak-anak.
yang timpak lajanya memiliki 4 tingkat
diperuntukkan bagi bangsawan yang
memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan
tertentu. Sedangkan bangsawan yang tidak
73
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

 Dunia Bawah (Awa soo/kolong rumah): Adaptasi Terhadap Lingkungan Sosial


Pada bagian kolong rumah, terkait dengan Budaya
media yang digunakan untuk mencari
rejeki, tempat ini dimanfaatkan untuk Adaptasi sosial budaya di Kampung Nelayan
menyimpan alat-alat pertanian, tempat Bugis Kamal Muara ini ditinjau berdasarkan
menenun, kandang binatang dan tempat wujud-wujud budaya yang dikemukakan
bermain bagi anak-anak. Koentjaraningrat pada tinjauan pustaka,
terutama yang terkait dengan wujud budaya
Sedangkan secara horizontal rumah aktivitas dan wujud budaya gagasan.Pada
tradisional Bugis dibagi dalam tiga ruang yang wujud budaya gagasan, unsur-unsur budaya
disebut lontang (latte)[5], yaitu: yang terkait adalah sistem religi atau sistem
 Lontang risaliweng yaitu ruang depan, kepercayaan.Masyarakat Bugis di Kampung
berfungsi sebagai tempat menerima tamu, Kamal Muara ini menganut agama Islam,
tempat tidur tamu, tempat musyawarah, sehingga ajaran-ajaran agama Islam menjadi
tempat menyimpan benih dan tempat pedoman hidup masyarakatnya. Upacara-
membaringkan jenazah sebelum upacara adat terkait pernikahan, kelahiran bayi
dikebumikan. dan kematian seluruhnya mengikuti tata cara
 Lontang retengngah yaitu ruang tengah yang digariskan dalam agama Islam secara
yang berfungsi untuk tempat tidur kepala praktis.
keluarga dan anak-anak yang belum
dewasa, tempat makan, tempat
melahirkan.
 Lontang rilaleng (latte rilaleng) yaitu ruang
belakang yang berfungsi sebagai tempat
tidur anak gadis atau nenek/kakek.
Anggota keluarga ini dianggap sebagai
orang yang perlu perlindungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kampung Nelayan Kamal Muara terletak di


Gambar 2. Peta Kampung Nelayan Kamal
daerah Kamal Muara Jakarta
Muara
Utara.Penduduknya sebagian besar berasal
dari Bugis Sulawesi Selatan yang bermata Karena alasan ekonomi masyarakat jarang
pencaharian sebagai nelayan. Lokasi menyelenggarakan upacara adat yang rumit
kampung berada di tepi muara sungai (kali) dan membutuhkan biaya tinggi.Pada upacara
yang menuju ke laut, sehingga batas lahan pernikahan hanya pakaian pengantin adat
lokasi pada 2 sisi yaitu di bagian Utara Bugis yang masih digunakan.Pada kelahiran
berbatasan dengan Teluk Jakarta (Laut Jawa), anak hanya diadakan selamatan jika secara
dan bagian Timur berbatasan dengan Kali ekonomi keluarga mampu, dan pada upacara
Kamal. Kampung Nelayan Bugis di Kelurahan kematian hanya diadakan tahlilan seperti adat
Kamal Muara ini berada di RW 04 dan terdiri masyarakat di lingkungan sekitar
dari 9 RT, yaitu RT 01 sampai dengan RT 09. (Betawi).Berbagai upacara tersebut
Peta kampung Nelayan Kamal Muara dapat diselenggarakan di rumah warga yang
dilihat pada Gambar 3. bersangkutan dengan dibantu para tetangga
secara gotong royong.
Dari hasil wawancara diperoleh informasi
bahwa Kampung Kamal Muara telah ada sejak Upacara atau syukuran hasil laut tidak
tahun 1970an, namun pada tahun 1998 telah diselenggarakan sendiri, tetapi bergabung
dilakukan pembaharuan.Hasil pembaharuan dengan nelayan-nelayan dari kampung
diantaranya perapihan jalan-jalan kampung Dadap.Syukuran ini diselenggarakan satu
yang diperkeras dengan permukaan yang tahun sekali di lepas pantai.Warga Kamal
ditinggikan untuk mengantisipasi naiknya Muara hanya turut iuran saja.
muka air laut.Perapihan jalan kampung juga
membentuk pola kampung yang saat ini Sedangkan pada wujud budaya aktivitas yang
menjadi berbentuk grid.Pola jalan pada juga disebut sebagai sistem sosial, terkait
kampung Muara Kamal RW 04 dapat dilihat dengan struktur sosial di Kampung Nelayan
dalam Gambar 4. Bugis ini mengikuti struktur yang digariskan
oleh pemerintah dengan diterapkannya
struktur RT dan RW.Sedangkan interaksi
74
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

sosial yang terjadi di tengah warga kampung Pola Kampung


masih guyub, terbukti dengan masih
berlangsungnya sistem gotong royong dalam Pola kampung di Kampung Nelayan Bugis di
menyelenggarakan kenduri, dalam Kamal Muara ini berbentuk grid, yang
membangun rumah, dan sebagainya. diperkuat oleh konfigurasi jalan yang
berbentuk grid dan rumah-rumah yang
Kesamaan mata pencaharian utama sebagai berderet menghadap jalan, demikian pula
nelayan yang membutuhkan keahlian leluhur rumah-rumah yang berada di tepi laut dan
sebagai pelaut dalam membaca tanda-tanda sungai terletak berderet menghadap jalan dan
alam masih terpelihara.Waktu melaut adalah sekaligus mengahadap laut atau sungai.
pada waktu musim angin Timur, sedangkan Menurut [5], pola kampung Bugis terbagi dua,
pada waktu musin angin Barat mereka tidak yaitu pola mengelompok padat di dataran
melaut. Demikian juga tata cara menangkap rendah, dekat persawahan, tepi laut dan
ikan menggunakan bagan yang diletakkan di danau, dan pola menyebar yang banyak
lepas pantai merupakan warisan keahlian ditemui di daerah pegunungan atau
leluhur Bugis yang masih terus digunakan perkebunan.Pola grid seperti di Kampung
hingga kini. Namun demikian saat ini terdapat Kamal Muara dapat dikategorikan sebagai
diversifikasi usaha, yaitu menyewakan kapal mengelompok padat, namun pola grid ini
atau perahu untuk keperluan wisata ke merupakan adaptasi terhadap kondisi alam di
Kepulauan Seribu, yaitu bagi mereka yang perkotaan Jakarta sebagai respon terhadap
memiliki kapal untuk disewakan. tingkat kepadatan yang tinggi.

Orientasi Rumah

Menurut [5] orientasi rumah tradisional Bugis


biasanya berderet menghadap Selatan dan
Barat, dan membelakakngi sungai jika ada
sungai. Namun di Kamal Muara orientasi
rumah yang berada di tepi sungai dan laut
justru menghadap sungai dan laut, yang
dipisahkan oleh jalan. Perahu-perahu
tertambat di tepi sungai di depan rumah.
Hadapan rumah terhadap mata angin, ada
yang menghadap Utara (laut), Timur
Gambar 3. Pola Jalan Berbentuk Grid (sungai),Selatan dan Barat. Kondisi ini
berbeda dengan pernyataan Raziq & Prabowo
Berdasarkan analisis tersebut dapat (2002).
disimpulkan bahwa sebagian besar kehidupan
sosial dan budaya masyarakat di Kampung Namun pada penelitian [6], ditemukan
Nelayan Bugis Kamal Muara ini sudah banyak orientasi yang beragam pada kampung
beradaptasi dengan kebudayaan lokal.Hal ini tradisional Bugis karena adanya konsep
diantaranya disebabkan juga karena campur hadapan rumah boleh menghadap ke arah
tangan pemerintah dalam menetapkan struktur empat mata angin dengan arah terbaik Timur
sosial yang merupakan kepanjangan tangan dan Barat.Dengan demikian, orientasi atau
pemerintah dengan terbentuknya RT dan RW, hadapan rumah di Kampung Kamal Muara
juga karena alasan ekonomi dengan tidak menyalahi aturan konsep orientasi rumah
menerapkan budaya yang lebih praktis dan tradisional Bugis, meskipun berdasarkan hasil
hemat.Pengaruh agama dan kepercayaan juga wawancara kepada penghuni rumah, pada
mengurangi ketergantungan terhadap adat- umumnya mereka tidak terlalu memahami
istiadat dan kebudayaan asli. aturan-aturan orientasi tersebut.Keberadaan
rumah-rumah nelayan di Kampung Kamal
Adaptasi Terhadap Lingkungan Alam Muara lebih cenderung merupakan respon
terhadap kondisi tapak.
Adaptasi terhadap lingkungan alam ditinjau
dari pola kampung dan bentuk arsitektur Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial
rumah berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara kepada 10 pemilik rumah di RT 04 Pada Kampung Kamal Muara tidak terdapat
dan 05 yang rumahnya menjadi objek pusat kampung yang dianggap keramat dan
penelitian. tidak terdapat rumah pemujaan. Kondisi ini
terkait dengan sistem religi masyarakat Kamal
75
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

Muara yang telah memeluk agama Islam yang saung terbuat dari kayu dan bambu, berbentuk
tidak mengenal tempat keramat (possi tama) panggung dengan dinding berbentuk railing
maupun rumah pemujaan (saukang), namun setinggi sekitar 40 cm. Pos-pos keamanan ini
terdapat dua buah Masjid di RW 04, yaitu selain digunakan untuk mengawasi situasi
Masjid Al Jihad di RT 09 dan Masjid Nurul jalan dan kampung juga sering digunakan
Bahar di RT 01. sebagai tempat bersantai dan berkumpul
warga sambil menikmati udara dan
pemandangan laut. Namun tak jarang pos ini
juga digunakan untuk tempat ibu-ibu
bergotong royong memasak bersama pada
saat salah satu warga sedang mengadakan
hajat, terutama bagi mereka yang letak
rumahnya dekat dengan pos terkait. Gambar 8
memperlihatkan salah satu Saung Pos
Keamanan Lingkungan di Kampung Nelayan
Kamal Muara.

Gambar 5. Masjid Nurul Bahar di RT 01

Gambar 4. Tempat Pelelangan Ikan (atas) dan


Zona Komersial (bawah)

Pasar berada di luar kampung, yaitu di Pasar


di daerah Tegal Alur, namun beberapa rumah
tampak membuka warung untuk memenuhi
kebutuhan mendesak tanpa harus pergi ke
pasar.Sedangkan pemakaman bergabung
dengan pemakaman umum yang juga terletak
di luar kampung.
Gambar 6. Orientasi Rumah Berderet
Selain itu terdapat fasilitas komersial yang Sepanjang Jalan
paling penting di Kampung Nelayan Kamal
Muara ini adalah Tempat Pelelangan Ikan
yang terletak di tepi Kali Kamal, dan di tepi
Jalan Utama Kampung, yaitu Jalan Kamal
Muara. Tempat Pelelangan Ikan ini letaknya di
tepi sungai agar memudahkan para nelayan
membawa hasil lautnya untuk dijual kepada
pembeli yang mengakses dari sisi darat yaitu
dari Jalan Kamal Muara.Akibatnya zonadi
sekitar Tempat Pelelangan Ikan dan tepi Jalan
Kamal Muara berkembang menjadi zona
komersial, dengan banyaknya toko-toko di
sepanjang jalan tersebut. Gambar 7
Gambar 7. Saung Pos Keamanan Lingkungan
memperlihatkan suasana Tempat Pelalangan di atas Laut
Ikan dan zona komersial di hadapannya.

Faslitas umum lain yang ada di kampung ini


adalah terdapatnya pos-pos keamanan yang
terletak di ujung jalan kampung dan berdiri di
atas air laut. Pos keamanan ini berupa saung-
76
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas Tengah) dan zona Lontang Risaliweng (Ruang
maka dapat disimpulkan bahwa pola Kampung Depan). Pada 2 rumah terdapat penambahan
Nelayan Bugis di Kamal Muara sudah banyak sekat untuk memisahkan ruang tidur dengan
melakukan adaptasi terhadap kondisi ruang keluarga, yaitu pada rumah E dan
lingkungan alam dan juga lingkungan sosial rumah H sedangkan pada lima rumah lainnya
budaya.Pola kampung tidak sepenuhnya tidak terdapat perubahan.
mengikuti aturan kampung tradisional Bugis di
Sulawesi Selatan, namun juga tidak
menyalahi.Hal-hal praktis terkait dengan
kemampuan ekonomi menjadi pertimbangan
utama dalam membangun permukimannya
dibandingkan dengan aturan-aturan adat yang
rumit dan membutuhkan biaya lebih
banyak.Selain itu masyarakat yang telah
memeluk agama Islam tidak lagi menganut
tata aturan terkait kepercayaan leluhur, di
samping mereka juga sudah tidak terlalu
paham tentang aturan-aturan tersebut.

Rumah Nelayan Bugis di Kampung Kamal Gambar 8. Zona Fasilitas Umum, fasilitas Sosial
Muara dan Fasilitas Komersial

Rumah-rumah yang dipilih menjadi sampel Pada kategori Bentuk Bangunan dapat
dalam penelitian ini difokuskan pada rumah- disimpulkan bahwa hanya terdapat 1 rumah
rumah yang masih memperlihatkan ciri-ciri yang mengalami perubahan drastis akibat
rumah tradisional Bugis, dengan jumlah 10 penambahan ruang tidur berupa penambahan
rumah yang berlokasi di RT 04 dan RT 05. lantai, yaitu tinggi bangunan pada zona Ale
Penelitian dilakukan dengan wawancara Bola atau Badan Rumah menjadi 2 lantai. Hal
kepada pemilik rumah dan observasi pada ini tidak lazim pada tatanan rumah tradisional
masing-masing rumah. Rumah-rumah tersebut Bugis. Sedangkan perubahan lainnya
dapat dilihat pada Gambar 10. merupakan perubahan tinggi kolong rumah
yang terjadi akibat peninggian jalan di depan
Observasi pada rumah dibagi dalam kategori rumah.
tata ruang dan bentuk bangunan, kategori
bahan dan struktur bangunan, serta kategori Perubahan tinggi kolong ini tidak dapat
fungsi rumah. dihindari, karena merupakan bentuk adaptasi
terhadap lingkungan fisik yaitu menghindari
Kategori Tata Ruang dan Bentuk Bangunan terendamnya jalan dari naiknya muka air laut
yang dapat mengakibatkan banjir di kawasan
Kategori tata ruang dilihat dari denah rumah tersebut.
pada saat ini dibandingkan dengan saat
pertama dibangun dan dikonfirmasi terhadap
konsep tata ruang rumah tradisional Bugis.
Pada rumah tradisional Bugis denah ruang
dibagi dalam 3 zona, yaitu zona Lontang
Rilaleng (Ruang Belakang), zona Lontang
Retengngah (Ruang Tengah) dan zona
Lontang Risaliweng (Ruang Depan).

Berdasarkan analisis terhadap tata ruang dari


10 rumah terdapat tiga rumah yang mengalami
penambahan ruang tidur secara vertikal yaitu
rumah A, rumah B dan rumah J. Pada rumah
A penambahan lantai secara menyeluruh di Gambar 9. Lokasi Rumah Objek Penelitian
ketiga zona, sehingga bagian Ale Bola menjadi
dua lantai. Sedangkan pada Rumah B dan J
penambahan ruang tidur hanya berupa
mezanine, di atas dapur (zona Lontang
Rilaleng) yang memiliki lantai lebih rendah dari
pada zona Lontang Retengngah (Ruang
77
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

Lontang Rilaleng Rilaleng

Retengngah
Lontang
Retengngah
Risaliweng

Lontang Gambar 6. Denah Rumah B setelah Penambahan


Risaliweng Ruangan

Gambar 10. Denah Asal Rumah A Dilihat dari penerapan filosofi rumah tradisional
Bugis pada tatanan ruang secara horizontal
yang terdiri dari pembagian ruang belakang
(Lontang Rilaleng), ruang tengah (Lontang
Lontang Ritengngah) dan ruang depan (Lontang
Rilaleng Risaliweng) hasil penelitian menunjukkan di
seluruh rumah masih mengikuti filosofi
tersebut. Demikian pula pada filosofi
Lontang kosmologi rumah tradisional Bugis yang dibagi
Retengngah secara vertikal yaitu bagian di atas langit-langit
Lontang rumah (Rakeang), badan rumah (Ale Bola) dan
Risaliweng kolong rumah (Awa Bola) juga masih
diterapkan.

Gambar 11. Denah Rumah A setelah


penambahan ruangan

Gambar 7. Potongan Rumah B sebelum dan


sesudah penambahan ruangan
Rakeang

Ale Bola
Rakeang
Awa
Bola
Ale
Bola
Gambar 5. Potongan Rumah A setelah
penambahan ruangan Awa
Bola

Gambar 8. Tampak Bangunan Rumah A sebelum


perubahan (kiri) dan sesudah perubahan (kanan)

78
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

Tabel 1. Hasil Analisis Perubahan Pada Kategori Tata Ruang dan Bentuk Bangunan serta Penerapan Filosofi
Rumah Tradisional Bugis

Rumah Tata Bentuk Bangunan Penerapan Filosofi Rumah


Ruang Tradisional Bugis
Tampak Bangunan Kolong Bangunan Zona Horizontal Zona Vertikal
A √ √ √ √ √
Tambah 2 lantai
kamar
B √ √ √ √ √
Tambah
kamar
C - - √ √ √
Tangga
hilang
D - - - √ √
E √ - √ √ √
Sekat
F - - √ √ √
G - - √ √ √
H √ - √ √ √
Sekat
I - - - √ √
J √ - √ √ √
Tambah
kamar

Kategori Bahan dan Struktur Bangunan Bahan-bahan lainnya masih sama dengan
bahan yang digunakan oleh rumah tradisional
Pada kategori Bahan dan Struktur Bangunan, Bugis, kecuali bahan dinding yang
pengamatan dibagi dalam elemen-elemen menggunakan kombinasi tripleks dan
bangunan yaitu Kolom, Dinding, Lantai, Atap asbesdan lantai yang menggunakan bahan
dan Tangga.Dari hasil pengamatan pada kayu dilapisi plastik. Selain itu bahan penutup
kategori Bahan dan Struktur Bangunan atap pada semua rumah menggunakan
terdapat 5 rumah menggunakan kolom struktur asbes.Alasan penggunaan material ini karena
berbahan kayu baik sebagai struktur atas, lebih mudah didapat dan lebih murah
maupun struktur bawah. Selain itu ditemukan dibandingkan menggunakan kayu atau bahan
juga 3 rumah menggunakan kolom struktur alam lainnya seperti ijuk, alang-alang sebagai
atas berbahan kayu sedangkan struktur bawah bahan atap. Sedangkan bentuk atap juga
menggunakan kayu yang dilapisi beton dan 2 masih sama, dan hampir tidak ada rumah yang
rumah menggunakan struktur bambu di bagian menggunakan timpak laja pada atapnya. Hal
atas, dan menggunakan bambu yang dilapisi ini menunjukkan bahwa seluruh warga
beton di bagian bawah. Alasan penggunaan kampung nelayan Bugis di Kamal Muara ini
lapisan beton pada kolom struktur bagian adalah rakyat biasa, bukan bangsawan atau
bawah karena beton dianggap lebih kuat, yang lebih tinggi lagi derajatnya.
memiliki daya tahan lebih tinggi dan lebih
hemat dalam biaya perawatannya
dibandingkan kayu dan bambu.

Gambar 9. Kolom struktur bagian bawah rumah Gambar 10. Kolom struktur bagian bawah
berbahan kayu yang ditanam ke dalam tanah. rumah dilapisi beton, tangga hilang karena
peninggian permukaan jalan

79
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

Tabel 2. Kategori Fungsi, Perubahan Fungsi Kolong


Rumah (Awa Bola)

Ru Fungsi Awal Fungsi Kini


ma
h
A  Menyimpan  Tidak dapat
peralatan dan berfungsi lagi
perlengkapan
Gambar 18. Atap pelana berbahan asbes nelayan
B  Menyimpan  menyimpan
perlengkapan perlengkapan
Tangga menuju rumah berjumlah ganjil, nelayan, dan nelayan saja
berbahan kayu pada umumnya, tetapi ada  tempat parkir
juga yang telah diubah dengan bahan beton. sepeda motor,
C  menyimpan  menyimpan
peralatan dan perlengkapan
perlengkapan nelayan saja
nelayan
 kegiatan
duduk-duduk
D  menyimpan  menyimpan
peralatan dan peralatan dan
perlengkapan perlengkapan
nelayan, nelayan,
 beternak  beternak
burung puyuh. burung puyuh
E  Menyimpan  menyimpan
Gambar 19. Tangga rumah berjumlah ganjil perlengkapan perlengkapan
berbahan kayu dan beton nelayan, dan nelayan saja
 tempat parkir
sepeda motor,
F  menyimpan  digunakan
Kategori Fungsi peralatan sebagai
nelayan, kandang
ayam.
Dilihat dari fungsi ruangan-ruangan yang G  menyimpan  digunakan
terdapat di rumah-rumah yang diteliti, peralatan sebagai
perubahan fungsi paling banyak terjadi pada nelayan kandang
kolong rumah, akibat berkurangnya tinggi  tempat untuk ayam.
ruang kolong rumah karena peninggian duduk-duduk,
permukaan jalan.Sedangkan ruang-ruang lain H  Menyimpan  menyimpan
di Ale Bola yang merupakan tempat tinggal perlengkapan perlengkapan
dan aktivitas sehari-hari penghuni tidak nelayan, dan nelayan saja
mengalami perubahan. Ruang di bagian atas  tempat parkir
atau di Rakeang yang pada rumah tradisional sepeda motor,
I  Menyimpan  Menyimpan
Bugis berfungsi sebagai tempat menyimpan
perlengkapan perlengkapan
bahan makanan yang merupakan manifestasi nelayan, nelayan
kepercayaan akan tempat bersemayamnya  tempat parkir  tempat parkir
Dewi Padi, di rumah Nelayan Bugis Kamal sepeda motor, sepeda
Muara sudah tidak dimanfaatkan seperti motor,
aslinya. Hal ini disebabkan kebanyakan J  menyimpan  menyimpan
masyarakat sudah beragama Islam, dan sudah peralatan peralatan
kurang percaya terhadap Dewi Padi.Bahkan nelayan, nelayan,
untuk alasan praktis, mereka tidak menyimpan  parkir sepeda  parkir sepeda
bahan makanan di bagian atas rumah, karena motor motor
jika mereka perlu dapat dengan mudah  tempat  tempat
kandang ayam. kandang
membelinya. Tabel 2 memperlihatkan rumah-
ayam
rumah yang mangalami perubahan fungsi
ruang kolong rumah sebagai berikut:
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat 1
rumah yang ruang kolong rumahnya sudah
tidak dapat difungsikan lagi, 3 rumah tidak
mengalami perubahan fungsi pada ruang
80
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

kolongnya, dan sisanya 6 rumah mengalami


perubahan fungsi pada ruang kolongnya yaitu Tabel 3. Adaptasi Arsitektur Vernakular
manfaat yang semakin berkurang, akibat
berkurangnya tinggi ruangan karena Karakteristik Arsitektur Arsitektur
permukaan jalan yang ditinggikan. Dengan Vernakular Kampung Nelayan
demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi Bugis di Kamal
pada kolong rumah-rumah nelayan Bugis di Muara
Kamal Muara ini mengalami perubahan yang 1. Diciptakan
masyarakat tanpa √
tidak dapat dihindari karena tuntutan kondisi bantuan tenaga ahli /
alam yaitu naiknya muka air laut.Sebagai arsitek profesional
strategi adaptasinya mereka harus menerima melainkan dengan
peninggian jalan dan melakukan penyesuaian tenaga ahli lokal
terhadap pemanfaatan ruang kolong rumah /setempat.
yang tidak maksimal seperti sebelumnya. 2. Diyakini mampu √
beradaptasi Beradaptasi
Adaptasi Arsitektur Vernakular terhadap kondisi dengan terutama
fisik, sosial, budaya terhadap kondisi
dan lingkungan lingkungan fisik dan
Pengamatan terhadap adaptasi arsitektur setempat. lingkungan sosial
vernakular di Kampung Kamal Muara 3. Dibangun dengan
didasarkan pada karakterisitik Arsitektur memanfaatkan √
Vernakular yang dijabarkan pada Tabel 3. sumber daya fisik, Penggunaan bahan
sosial, budaya, religi, asbes, beton, dan
Tabel 3 memperlihatkan bahwa karakter teknologi dan kayu
vernakular Kampung Nelayan Bugis Kamal material setempat,
Muara masih sangat terlihat. Penerapan 4. Memiliki tipologi
konsep-konsep serta fislosofi arsitektur Bugis bangunan awal √
dalam wujud hunian
tampak masih terus dipertahankan. Namun dan lainnya yang
demikian arsitektur tradisional kampung berkembang di
Nelayan Bugis ini juga cukup fleksibel dalam dalam masyarakat
beradaptasi pada lingkungan alam dan juga tradisional,
budayanya.Hal ini dibuktikan dengan banyak 5. Dibangun untuk √
digunakannya material yang bukan diambil mewadahi Nilai-nilai dan
dari alam, melainkan dibeli yaitu beton, asbes, kebutuhan khusus, budaya asal masih
tripleks dan plastik. Walaupun demikian, salah mengakomodasi dipertahankan
satu karakteristik arsitektur vernakular adalah nilai-nilai budaya namun juga
masyarakat, beradaptasi dengan
penggunaan material dan teknologi setempat, ekonomi dan cara budaya lokal.
maka asbes, tripleks dan beton merupakan hidup masyarakat
material yang mudah didapat dan murah di setempat
sekitar Kamal Muara, dibandingkan kayu, ijuk, 6. Fungsi, makna dan
ataupun alang-alang. tampilan arsitektur √
vernakular sangat Makna ruang-ruang
Selain itu terkait dengan lingkungan fisik, dipengaruhi oleh pada rumah bagi
masyarakat kampung nelayan Bugis juga aspek struktur sosial, warga kampung
dapat beradaptasi dengan kondisi alam yang sistem kepercayaan Nelayan Kamal
dan pola perilaku Muara ini sudah
memaksa mereka menerima pengurangan masyarakatnya tidak terlalu terpaku
kegunaan ruang-ruang kolong rumah karena pada makna yang
berkurangnya volume ruang.Terkait dengan diemban oleh
pola kampung yang berbentuk grid, juga dapat rumah tradisional
diterima dengan baik oleh masyarakat Bugis, misalnya
Kampung Nelayan Bugis Kamal Muara. Rakeang berubah
fungsi sebagai
Sedangkan makna-makna simbolis ruang yang fungsi praktis,
terkait dengan sistem kepercayaan tradisional bukan fungsi
simbolis lagi.
sudah tidak diikuti oleh warga, kebutuhan
praktis lebih diutamakan.Hal ini terlihat pada
rumah-rumah yang menambahkan ruang tidur
di area atas (Rakeang).Situasi ini dapat
KESIMPULAN
ditandai sebagai sikap adaptasi masyarakat
yang berakibat pada adaptasi arsitektur
vernakular di kawasan ini.
81
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

Kesimpulan hasil penelitian ini dapat dilihat aturan-aturan orientasi tersebut.


dari dua hal, yaitu: Keberadaan rumah-rumah nelayan di
1. Adaptasi terhadap lingkungan sosial dan Kampung Kamal Muara lebih
budaya. cenderung merupakan respon
 Sebagian besar kehidupan sosial dan terhadap kondisi tapak.
budaya masyarakat di Kampung  Kampung Nelayan Bugis di Kamal
Nelayan Bugis Kamal Muara ini sudah Muara ini memiliki kemampuan
banyak beradaptasi dengan bertahan yang cukup tinggi. Hal ini
kebudayaan lokal. Hal ini diantaranya dapat dilihat dari masih diterapkannya
disebabkan juga karena campur konsep zona pada tata ruang rumah-
tangan pemerintah dalam menetapkan rumah tradisional Bugis yang terdiri
struktur sosial yang merupakan dari Lontang Rilaleng (ruang bagian
kepanjangan tangan pemerintah belakang), Lontang Retengngah
dengan terbentuknya RT dan RW. (ruang bagian tengah yang merupakan
Alasan ekonomi juga memberikan ruang tempat beraktivitas penghuni
pengaruh terhadap adaptasi dan keluarganya) dan Lontang
masyarakat Kampung Nelayan Bugis Risaliweng (ruang bagian depan, yang
Kamal Muara ini, hal ini dibuktikan terdiri dari teras atau lego-lego yang
dengan tidak lagi menerapkan adat bersifat publik). Selain itu konsep
dan budaya asli yang membutuhkan kosmologi rumah tradisional Bugis
biaya tinggi, tetapi menggantinya secara vertikal yang terdiri dari Awa
dengan cara-cara yang lebih praktis Bola (dunia bawah), Ale Bola (badan
dan hemat. Pengaruh agama dan rumah/ dunia tengah), Rakkeang
kepercayaan juga mengurangi (dunia atas) juga masih diterapkan.
ketergantungan terhadap adat-istiadat Hal ini terlihat dari bentuk rumah-
dan kebudayaan asli. rumah yang masih berbentuk
 Adat dan kebudayaan asli yang masih panggung yang merupakan
dipertahankan adalah kehidupan representasi simbolis kosmologi yang
gotong royong yang diterapkan antara merupakan karakter arsitektur
lain saat ada warga yang membangun vernakular. Selain itu ada warga yang
rumah. Kehidupan seperti ini baru membangun rumahnya selama 2
merupakan salah satu karakteristik tahun, namun tetap membuat rumah
arsitektur vernakular. dengan ciri rumah tradisional Bugis.
2. Adaptasi terhadap lingkungan fisik yang  Namun di lain pihak, fleksibilitas
dimanifestasikan dalam pola kampung dan masyarakatnya terhadap perubahan
bentuk rumah. mengakibatkan kemudahan mereka
 Pola kampung di Kampung Nelayan beradaptasi dengan kondisi
Bugis Kamal Muara ini adalah pola lingkungan setempat. Hal ini
grid yang diperkuat oleh konfigurasi dibuktikan dengan pola kampung yang
jalan yang berpola grid juga. Pola grid berbentuk grid dan orientasi rumah
seperti di Kampung Kamal Muara yang berderet menghadap jalan dan
dapat dikategorikan sebagai sepanjang jalan. Kemudahan adaptasi
mengelompok padat. Hal ini sesuai juga diperlihatkan oleh warga dengan
dengan jenis pola kampung tradisional tidak adanya keberatan terhadap
Bugis yang dikemukakan oleh Beddu pengurangan manfaat dan volume
(2009) yaitu pola menyebar di wilayah ruang kolong rumah akibat peninggian
pegunungan, dan pola mengelompok jalan untuk mengantisipasi naiknya
padat di dataran rendah, seperti di tepi muka air laut yang sering
laut. Namun pola grid ini merupakan menyebabkan banjir di kawasan
adaptasi terhadap kondisi alam di kampung.
perkotaan Jakarta sebagai respon  Kepercayaan masyarakat Kampung
terhadap tingkat kepadatan yang Nelayan Bugis Kamal Muara terhadap
tinggi. ruh-ruh leluhur sudah tidak terlalu
 Orientasi atau hadapan rumah di kuat, karena mereka kebanyakan
Kampung Kamal Muara tidak beragama Islam. Hal ini berpengaruh
menyalahi aturan konsep orientasi pada pemanfaatan ruang-ruang yang
rumah tradisional Bugis, meskipun merupakan manifestasi filosofi
berdasarkan hasil wawancara kepada kosmologi rumah tradisional Bugis,
penghuni rumah, pada umumnya seperti Rakkeang tidak lagi dianggap
mereka tidak terlalu memahami sebagai tempat yang suci, sehingga
82
Adaptasi Arsitektur Vernakular Kampung Nelayan Bugis di Kamal Muara
(Primi Artiningrum dan Danto Sukmajati)

beberapa warga menggunakannya Fungsi dan Bentuk Arsitektur Bugis-


sebagai penambahan ruang tidur Makasar di Pesisir Pantai Buti Merauke.
khususnya di zona bagian belakang Fakultas Teknik Universitas Musamus
rumah. Merauke, hal. 1-12.
 Adaptasi arsitektur vernakular juga
dilakukan dalam penggunaan bahan [4]. Beddu, Syarif.(2009). Arsitek Arsitek
bangunan dan struktur. Salah satu ciri Arsitektur Tradisional Bugis. Jurnal
arsitektur vernakular adalah Penelitian Enjiniring Vo. 12, No. 2, hal. 190-
penggunaan bahan bangunan yang 198.
berasal dari daerah setempat, yang
pada masa lalu di tempat asalnya, [5].Raziq, hasan dan Prabowo, Hendro.
material yang digunakan kebanyakan (2002). Perubahan Bentuk dan Fungsi
berasal dari alam sekitarnya. Namun Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan
dalam kasus di Kamal Muara Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara.
ditemukan penggunaan bahan-bahan Jakarta : Universitas Taruma Negara, 2002.
bangunan buatan pabrik seperti Building Research and the Sustainability of the
asbes, tripleks dan beton. Situasi ini, Built Environment in the Tropics.
apabila dilihat dari segi kemudahan
mendapatkannya di daerah perkotaan, [6]. Hamka, Antariksa dan Wulandari, Lisa
maka penggunaan bahan buatan D.(2015). Karakteristik Orientasi Rumah
pabrik juga dapat digolongkan sebagai TRadisional Bugis (Bola Ugi) di Dusun
adaptasi arsitektur vernakular di Kajuara Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.,
kawasan tersebut. Penggunaan Langkau Betang, Vol.2 No. 2, hal. 94-107.
material kayu dan ijuk menjadi mahal,
karena bahan-bahan tidak terdapat di [7]. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus
lokasi. Sedangkan penggunaan Besar Bahasa Indonesia. KBBI Website.
struktur lapis beton merupakan [Online] 12 Agustus 2016. http://kbbi.web.id/.
adaptasi terhadap kondisi lingkungan
alam yang sering banjir karena [8]. Soekanto, Soerjono dan Sulistyowati,
naiknya muka air laut, sehingga Budi.(2014). Sosiologi, Suatu Pengantar,
dibutuhkan bahan bangunan yang Edisi Revisi. Kota Depok : PT. Rajagrafindo
dianggap lebih kuat diabandingkan Persada.
dengan kayu maupun bambu saja.
[9]. Rapoport, Amos.(1969). House Form and
UCAPAN TERIMA KASIH Culture. London : Prentice-Hall International,
Inc.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang
dilakukan dengan sumber dana yang dibiayai [10]. Koentjaraningrat. (2011).Pengantar
oleh Kopertis wilayah III melalui Surat Antropologi I. Jakarta : Rineka Cipta.
Perjanjian Pelaksanaan Hibah Bagi Dosen
Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah III [11]. Mentayani, Ira dan Ikaputra. (2012).
Tahun Anggaran 2016, Nomor: Menggali Makna Arsitektur Vernakular:
780/K3/KM/SPK.LT/2016 tanggal 14 Juni Ranah, Unsur, dan Aspek-aspek
2016. Vernakularitas. 2, Banjarmasin : Universitas
Lambung Mangkurat, Agustus 2012, Lanting
Journal of Architecture, Vol. 1, hal. 68-82.
DAFTAR PUSTAKA ISSN.

[1] Soesangobeng.(1977). Permukiman


Komunitas Suku Bugis dan Suku Bajo.
Ujung Pandang : Hasanuddin University
Press,.

[2] Kusnadi.(2009). Keberdayaan Nelayan


dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media.

[3] Nurhuzna, Atiza, Yudono, Ananto dan


Trisutomo, Slamet.(2012).Transformasi

83
Jurnal Arsitektur NALARs Volume 16 Nomor 1 Januari 2017 :69-84
ISSN 1412-3266

84

Anda mungkin juga menyukai