Anda di halaman 1dari 30

0

Presentasi Kasus

Seorang Anak Laki-laki Berusia 2 Tahun dengan Hipertrofi Adenoid dan


Tonsilitis Kronis

Oleh:
Lutfy Hersri Rahmady
G99162090

Pembimbing :
dr. Ardana Tri Arianto, M.Si Med, Sp.An, KNA

KLINIK SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
1

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertrofi adenoid adalah perubahan ukuran adenoid menjadi lebih besar
dari ukuran normal yang merupakan penyebab utama dari hidung tersumbat.
Hipertrofi adenoid dapat terjadi karena proses fisiologis, peradangan (inflamasi),
atau suatu proses keganasan. Sedangkan tonsilitis adalah peradangan pada tonsila
palatina yang merupakan bagian dari annulus (cincin) Waldeyer. Peradangan tonsil
dapat disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus (tonsilitis akut), bakteri
(tonsilitis bakterial), dan jamur yang masuk secara aerogen maupun foodborn.
Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis terbagi menjadi 2,
yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari 3 minggu dan
tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina berlangsung
lebih dari 3 bulan atau menetap.
Kedua penyakit ini (tonsilitis dan hipertrofi adnoid) merupakan penyakit
yang dapat diobati dengan cara intervensif (operatif) dengan syarat dan ketentuan
yang berlaku. Tindakan operatif tak lepas dari peran anestesi sebagai bidang yang
bertanggungjawab dalam menjaga agar proses operatif dapat berjalan dengan aman
dan lancar, serta menghindari munculnya efek samping dari obat-obatan anestesi
yang digunakan selama tindakan operatif itu sendiri. Anestesi harus memastikan
bahwa efek samping obat post-operatif, seperti mual, muntah, dan mungkin reaksi
alergi akibat obat bius tidak muncul. Selain itu, anestesi juga bertugas dalam
menghilangkan nyeri dan rasa tidak nyaman dari pasien setelah operasi berlangsung
(post-operatif).
Presentasi kasus dan tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan serta wawasan selaku tenaga medis dalam mengetahui peran anestesi
dan melakukan tindakan dasar di bidang anestesi dalam memfasilitasi tindakan
operatif sebagai salah satu tatalaksana untuk tonsilitis dan hipertrofi adenoid.
2

BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Anak JB
Tanggal lahir/Usia : 26 Oktober 2015/2 tahun 2 bulan
Pekerjaan :-
Alamat : Banaran, RT/RW 004/006, Ngringo, Jaten, Karanganyar,
Jawa Tengah
Tanggal Masuk : 02 Januari 2018
Tangga Pemeriksaan : 03 Januari 2018
No RM : 014005xx

B. Data Dasar
1. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)
Seorang pasien anak laki-laki berusia 2 tahun datang ke Poli THT-KL
RSDM dengan keluhan tenggorokan terasa mengganjal. Keluhan terebut
dirasakan sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan terus menerus
dan dirasa semakin memberat selama 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasa mengganggu aktivitas makan pasien, yang ditandai dengan
berkurangnya napsu makan, sering tersedak saat makan, dan bahkan terkadang
memuntahkan makanan-nya. Keluhan dirasa makin memberat saat pasien makan
makanan padat, seperti nasi, gorengan, dan minum minuman dingin. Keluhan
dirasa berkurang ketika mengkosumsi makanan lembut, seperti bubur, sereal
Selain itu, pasien juga terdengar mengorok pada saat tidur, nyeri tenggorokan,
nyeri saat menelan, sering terbangun pada malam hari karena sesak, dan pada
saat siang hari pasien terlihat sering mengantuk.
Keluhan lain seperti sesak napas (-), serak (-), menelan rasa asin (-), batuk
(-), pilek (-), gampang lelah dan mengantuk (+), kebiruan setelah aktivitas (-),
demam (-).
a. Alergi: pasien tidak punya alergi terhadap obat dan makanan
3

b. Medication: saat ini pasien mendapatkan pengobatan dari TS THT-KL berupa


IVFD D5 ¼ NS 40 cc/jam dan amphicillin sulbactam 500 mg/5 jam IV
c. Post illness: pada tanggal 28 November – 07 November 2017 pasien pernah
mondok di RSDM yang didagnosa dengan: 1) Tonsilofaringitis akut intake
sulit, 2) ODS Konjungtivitis, 3) Vomitus tanpa tanda dehidrasi e.c TFA, dan
3) Rhinitis akut. Dari hasil echocardiography tanggal 28 Desember 2017
didapatkan kesimpulan TR mild.
d. Last meal: pasien direncanakan puasa makanan padat selama 4-8 jam sebelum
operasi dan air putih 2 jam sebelum operasi.
e. Event: saat ini kondisi pasien baik, keadaan umum compos mentis,
tenggorokan mengganjal (+), demam (-), batuk (-), pilek (-)
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa: disangkal Riwayat DM: disangkal
Riwayat peny. Jantung: (+) TR Riwayat alergi: disangkal
mild (hasil ECG 28/12/17) Riwayat asma: disangkal
Riwayat TD tinggi: disangkal Riwayat operasi: disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan BPJS

VITAL SIGN
Keadaan umum: sedang Frekuensi napas: 28x/menit
Glasgow coma scale: E4V5M6 BB: 12 kg
Nadi: 112 x/menit TB: 85 cm
Suhu: 36.70 SpO2: 99%
4

PEMERIKSAAN FISIK
1. Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-)
2. Hidung: patensi hidung (+/+), sekret (-/-), deviasi septum (-), massa (-)
3. Mulut: buka mulut >3 jari, malampati 2, tonsila palatina ukuran T3-T3, kripte
melebar, hiperemis (-), detritus (-), gigi tonggos (-), gigi hilang (-), gigi palsu (-
), gigi goyang (-), gigi patah (-), lidah besar (-), obstruksi (-), mandibular kecil (-
), massa (-)
4. Leher: thyromental distance 3 jari (+), thyro-hyoid 2 jari (+), gerak leher bebas
(+), ekstensi atlanto oksipital >350 (+), chin to chest (+), massa (-), lingkar leher
< 40 cm (+), JVP tidak meningkat
5. Thorax: bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan=kiri
a. Pulmo: sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-) kedua lapang paru,
wheezing: (-/-)
b. Cor: BJ I-II regular, bising (-), Iktus kordis tak tampak, Iktus kordis tak kuat
angkat.
6. Abdomen: supel (+), nyeri tekan (-), BU (+) normal, massa (-)
7. Ekstrimitas: AD superior (-/-), inferior (-/-); oedem superior (-/-), inferior (-/-);
CRT <2 detik.
Antisipasi Kesulitan Ventilasi
Mask Seal: tidak ditemukan penyulit pada penggunaan masker sungkup
Obesity: -
Age: tidak ada penyulit dalam hal usia
No Teeth: tidak ditemukan gigi tonggos, gigi tanggal (-), gigi goyang (-).
Stiffness: tidak ditemukan adanya indikasi kekakuan pada paru, asma (-)
Antisipasi Kesulitan Intubasi
Look externally: tidak ditemukan adanya
Evaluasi (3-3-2 rule): buka mulut >3 jari, thyromental distance 3 jari (+), thyro-
hyoid 2 jari (+)
Mallampati: mallampati derajat 2
Obstruksi: Ukuran tonsil T3-T3 bisa menjadi penyulit dalam melakukan ventilasi
Neck mobility: Gerak leher bebas (+)
5

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Darah Rutin (20-12-17)
Hb 10.5 g/dl 12.0-15.6
Hct 33 % 33-45
Leukosit 8.7 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 298 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 3.98 Juta/ul 4.10-5.10
Index Eritrosit (04-12-17)
MCV 84.2 /um 80.0-96.0
MCH 24.1 pg 28.0-33.0
MCHC 28.7 g/dl 33.0-36.0
RDW 13.6 % 11.6-14.6
MPV 10.9 fl 7.2-11.1
PDW 55 % 25-65
Hitung Jenis Darah (04-12-17)
Eosinofil 4.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-2.00
Netrofil 24.00 % 55.00-80.00
Limfosit 68.00 % 22.00-44.00
Monosit 4.00 % 0.00-7.00
Golongan Darah B
Hemostasis (20-12-17)
PT 13.0 Detik 10.0-15.0
APTT 31.9 Detik 20.0-40.0
INR 1.000 -
Elektrolit (20-12-17)
Natrium Darah 140 mmol/L 136-145
Kalium Darah 4.2 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida Darah 109 mmol/L 98-106
Serologi
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive
Tabel 2.1. Pemeriksaan laboratorium darah
B. Pemeriksaan Radiologi
1. Kepala AP dan Lateral tanggal 4 Desember 2017
Klinis: Tonsilitis kronis
Skull AN Ratio
Aligment baik
Trabekulasi tulang normal
Bentuk dan Ukuran sella tursica dalam batas normal
Tak tampak tanfa-tanda peningkatan intracranial
Calvaria intak
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
AN Ratio usia 2 tahun 2 bulan: 0.79% (normal 0.455-0.65: mean 0.555)
6

Kesimpulan: hipertrofi adenoid


2. Foto Polos Thorax AP tanggal 20 Desember 2017
Klinis: Tonsilitis kronis
Cor: besar dan bentuk kesan normal
Paru: Tampak infiltrate disertai air bronchogram di perihiler kiri
Sinus costophrenicus kanan kiri normal
Hemidiaphragma kanan-kiri normal
Trakhea di tengah
Sisterna tulang baik

Kesimpulan: Pneumonia

Gambar 2.2. Foto polos thorax PA (20-12-17)


3. Pemeriksaan Echocardiography (ECG) tanggal 28 Desember 2017:
Situs solitus AV-VA concordance
Muara vena sistemik, vena pulmonalis normal
Tidak dijumpai ASD, VSD, dan PDA
Dijumpai TR mild dengan peak PG 17,76 mmHg
Dimensi ruang jantung normal
7

EF 82%, LA./Ao 1,24, E/A > 1


Arkus Aorta dikiri Koar (-)
Kesimpulan: TR mild

DIAGNOSIS TS THT-KL
1. Tonsilitis kronis
2. Hipertrofi adenoid

TATALAKSANA
1. IVFD D5 ¼ NS 40 cc/jam IV
2. Inj. Amphicillin sulbactam 500 mg/5 jam
3. Pro tonsilektomi dan adenoidektomi

DIAGNOSA ANESTESI
Anak JB, usia 2 tahun, dengan tonsillitis kronis dan hipertrofi adenoid, ASA II, pro
adenoidektomi dan tonsilektomi

MASALAH
1. Usia muda (toddlers)
2. Kesulitan saat akan dilakukan intubasi karena adanya pembesaran tonsil
3. Ventilasi menjadi tidak adekuat karena adanya hipertrofi adenoid dan tonsilitis
Penyesuaian dosis yang harus tepat mengingat ada perbedaan antara anak-
anak dan dewasa secara fisiologis, anatomi, maupun farmakologismengantuk.
Keluhan lain seperti nyeri, sesak napas, serak, susah menelan, menelan rasa
asin, batuk, pilek, dan demam disangkal
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTROFI ADENOID
A. DEFINISI
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada dinding posterior nasofaring sebagai salah satu
jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologi ukuran adenoid dapat
berubah sesuai dengan perkembangan usia. Pembesaran adenoid meningkat secara
cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3 - 7 tahun
kemudian menetap sampai usia 8 – 9 tahun dan setelah usia 14 tahun bertahap
mengalami involusi. Bila terjadi hipertropi pada adenoid maka nasofaring sebagai
penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari cavum nasi
ke orofaring akan mengalami penyempitan (ruang mengecil). Selain itu,
pembesaran adenoid akan menimbulkan resonansi saat berbicara serta gangguan
drainasi karena nasofaring merupakan ruang resonansi saat berbicara dan
disekitarnya terdapat tuba Eustachius. Hipertropi adenoid terutama umur anak-anak
muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, allergen, makanan, dan
iritasi lingkungan (Haves T., 2002; Soepardi A., 2007)
Adenoid mempunyai fungsi dalam proses imunologis sejak lahir yang
memiliki peran untuk proteksi di permukaannya terutama dari virus dan bakteri
patogen dengan cara menyekresikan imunoglobulin A (IgA) (Brodsky L dan Poje
C, 2006)

B. ETIOLOGI
Berdasarkan sebuah literature penyebab hipertrofi adenoid dapat
diklasifikasikan menjadi fisiologis, inflamasi (peradangan), serta proses keganasan.
Hipertrofi adenoid fisiologis umumnya bersifat asimtomatik, gejala klinis akan
timbul jika ukuran pembesaran mengisi dua per tiga rongga nasofaring. Umumnya
hipertrofi adenoid ditemukan dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat,
rhinolalia, dapat terjadi perubahan bernapas lewat mulut, serta sering pula disertai
9

mengorok sehingga menyebabkan gangguan napas pada saat tidur, peradangan


telinga tengah, dan sinusitis (Brodsky L dan Poje C, 2006).
Inflamasi adenoid dapat terjadi akibat infeksi saluran napas atas berulang,
iritasi dari asap rokok, gangguan pertahanan tubuh, refluks laringofaring, serta yang
paling sering akibat alergi. Pada pasien alergi ditemukan peningkatan IgE pada
mukosa adenoid dan juga peningkatan interleukin 1(IL-1) IL-4, IL-5, IL-6, IL-8,
tumor necroting factor α (TNF-α) serta interferon-γ (INF-γ) sebagai mediator
proinflamasi (Hamdan AL dan Sabra O, 2008).
Pembesaran adenoid tersebut dapat dicurigai suatu proses keganasan
apabila dalam gambaran makroskopis berbenjol, rapuh, dan juga mudah berdarah.

C. PATOFISIOLOGI
Pada saat lahir, nasofaring terpajan berbagai mikroorganisme.
Mikroorganisme berkembang biak pada traktus respiratorius sejak lahir. Saat anak
berusia 6 bulan berbagai spesies bakteri sudah dapat ditemukan pada adenoid. Flora
normal yang ditemukan terdiri atas streptokokus alpha-hemolitikus, streptokokus,
enterokokus, Corynebacterium, stafilokokus koagulase negative, Neisseria,
Haemophilus, Micrococcus, Stomacoccus. Adenoid terinfeksi dan menjadi tempat
berkembangbiak bakteri patogenik, yang dapat menjadi penyebab penyakit telinga,
hidung, dan sinus.
Adenoid yang membesar dapat menghambat saluran pernapasan dan
menyebabkan gangguan napas. Ukuran adenoid yang membesar akibat infeksi atau
alergi dapat menyebabkan anak mendengkur ketika tidur malam hari yang disertai
dengan periode apneu. Pada umumnya, pembesaran terjadi jika adenoid sudah
terinfeksi kronis.

D. GEJALA
Secara klinis hipertrofi adenoid dapat diketahui apabila ditemukan tanda-
tanda seperti bernapas melalui mulut, Sleep apnea, fasies adenoid, snoring dan
gangguan telinga tengah.
10

E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk menilai pembesaran
adenoid diantaranya, rinoskopi anterior, otoskopi, dan rinoskopi posterior.
Rinoskopi anterior dilakukan untuk melihat fenomena palatum mole, ada
tidaknya sekret, ada tidaknya deviasi septum dan konka hipertofi Pemeriksaan
otoskopi beguna untuk mengetahui keutuhan, warna, posisi membran timpani,
serta mengetahui perluasan infeksi ke telinga tengah. Rinoskopi posterior lebih
sulit dan biasanya dilakukan pada anak-anak yang kooperatif untuk melihat
adanya pembesaran adenoid.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis hipertrofi adenoid dapat
dilaksanakan dengan pemeriksaan rinoskopi posterior, foto polos jaringan dari
lunak leher, pencitraan magnetic resonance imaging (MRI), dan juga
pemeriksaan nasoendoskopi (Ballenger JJ, 2009)
a. Histopatologi (Patologi anatomi)
Pemeriksaan secara histopatologis dilakukan sebagai standar baku
emas untuk dapat menilai proses inflamasi yang terjadi. Pemeriksaan patologi
anatomi dapat menilai struktur histopatologi mukosa adenoid sehingga dari
hasil biopsi dapat ditentukan kelainan yang terjadi di permukaan adenoid
tersebut merupakan suatu proses dari keganasan atau inflamasi. Derajat
inflamasi dapat ditentukan dengan membuktikan hiperplasia limfoid pada
gambaran mikroskopis tersebut (Wang WH dan Lin YC, 2011).
b. Rontgen kepala lateral
Menentukan ukuran adenoid secara relatif cukup sulit, maka
diperlukan pemeriksaan penunjang dengan modalitas radiologi, yaitu
menggunakan foto polos true lateral. Pemeriksaan ini dianggap paling baik
untuk mengetahui ukuran adenoid dan pengukuran hubungan antara besar
adenoid dengan sumbatan jalan napas (Ballenger JJ, 2009). Pemeriksaan
Radiografi kepala True Lateral paramater pemeriksaan adalah: posisi pasien
11

Erect (kepala ekstensi dengan garis dari craniomeatal membentuk sudut 150
terhadap garis horisontal). Jarak tube cassette sejauh 180 cm dan sentrasi sinar
± 1 inch (2,5 cm) dibawah meatus akustikus ekstenus untuk memperlihatkan
daerah nasofaring.
c. Narrow band imaging
Seiring dengan perkembangan teknologi, keadaan patologis adenoid
pada dewasa dapat dinilai menggunakan alat nasoendoskopi serat lentur
dengan pencahayaan yang khusus, yaitu narrow band imaging (NBI) (Piazza
C dan Dessouky O, 2008). Metode pemeriksaan dengan menggunakan alat ini
mempunyai keunggulan, yaitu dapat melihat penyebab (etiologi) dari
pembesaran adenoid yang merupakan proses keganasan atau hanya inflamasi
biasa. Secara sederhana alat NBI ini bekerja berdasarkan pemakaian panjang
gelombang kelompok cahaya tertentu yang mengakibatkan perbedaan
penyerapan cahaya oleh pembuluh darah dan jaringan sekitarnya (Watanabe
A dan Taniguchi M, 2009).

F. TATALAKSANA
Penatalaksanaan inflamasi adenoid dapat berupa medikamentosa atau
tindakan intervensif (operatif). Penatalaksanaan medikamentosa diantaranya
dengan pemberian kortikosteroid intranasal, kortikosteroid per oral, obat
antimikrob, dan proton pump inhibitor (PPI), serta antihistamin.
1. Pemberian antimikroba
Antibiotik sistemik digunakan untuk pengobatan adenoid yang
terinfeksi
2. Kortikosteroid intranasal
Tujuan pemberian kortikosteroid intranasal adalah untuk mengurangi
jumlah sel folikel limfoid serta mengurangi ukuran sel germinativum. Jumlah
sel musin dalam lapang pandang menjadikan indikator derajat inflamasi pada
pemeriksaan histopatologi.
Kortikosteroid intranasal dapat mengurangi proses inflamasi adenoid
melalui mekanismenya menekan produksi sitokin, sel mast, basofil, sintesis
12

IgE oleh sel B, menurunkan migrasi sel inflamasi, menekan tahapan ekspresi
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM–CSF), IL-6, IL-8,
regulated on activation normal t-cell expresed and secreted (RANTES),
kemokin, penurunan jumlah sel epitel cluster of diferentiation 3 (CD3),
CD4+, CD8+, CD25+ dan IL-4 (Mygind N, Nielsen LP, 2011).
3. Intervensif (Operatif)
Apabila terapi medikamentosa tersebut tidak mendapatkan hasil yang
maksimal maka dilaksanakan tindakan operatif adenoidektomi. Tindakan
operatif ialah menjadi pilihan terakhir karena memiliki faktor risiko yanglebih
tinggu, komplikasi, serta kontraindikasi yang perlu dipertimbangkan, serta
efek samping yang berat.

G. KOMPLIKASI
Salah satu efek hipertofi adenoid adalah pembatasan gerakan dari torus
tubarius kearah posterior sehingga pembukaan muara tuba auditiva tidak adekuat.
(Austi DF, 1989). Perubahan patensi tuba auditiva oleh hipertofi adenoid
disebabkan oleh karena obstruksi mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada
pembuluh limfe sekitar lumen akibat terjadinya udem mukosa tuba auditiva.
(Tuohimaa dan Palva, 1987). Obstruksi tuba auditiva dianggap salah satu penyebab
penting untuk terjadinya efusi di dalam telinga tengah. Tekanan negatif yang terjadi
akibat absorpsi O2 dari udara yang terjebak dalam telinga tengah, telah dibuktikan
secara klinis maupun pada percobaan binatang. (Sedjawidada R, 1985).

TONSILITIS
A. DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina (merupakan bagian dari
cincin Waldeyer) yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan
jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn (Rusmarjono, Soepardi EA, 2011;
Siswantoro B, 2003). Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis
terbagi menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang
dari 3 minggu dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil
13

palatina berlangsung lebih dari 3 bulan atau menetap (Judarwanto W, 2013;


Farokah, 2010). Ukuran tonsil dan adenoid sangat kecil ketika anak lahir. Jaringan
adenoid dan tonsil cenderung kecil pada anak dengan usia <7 tahun, bertambah
besar dan secara pembesaran maksimal pada usia 7-15 tahun, cenderung mengecil
pada usia 15-17 (Akcay A dan Kara CO, 2006; Amalia N, 2011; Crombie IK dan
Barr G, 1990)

B. PATOFISIOLOGI
Pada tonsilitis kronis terjadi infeksi yang menetap atau berulang. Tonsil
yang berulang kali terkena infeksi suatu saat tidak dapat membunuh semua kuman,
akibatnya kuman bersarang di dalam tonsil (fokal infeksi). Adanya infeksi berulang
dan fokal infeksi menyebabkan tonsil bekerja keras melawan kuman dengan
memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil akan membesar
dengan cepat melebihi ukuran normal (Farokah, 2009). Pada tonsilitis kronis terjadi
infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di
dalam subepitel maupun di dalam jaringan interfolikel. Hiperplasia dan
pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan limfoid
mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil (Ugras S dan Kutluhan A, 2008).26
Ukuran tonsil hipertrofi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala seperti
rasa tidak nyaman atau rasa mengganjal di tenggorokan, kesulitan menelan dan
terutama bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas yang ditandai dengan tidur
mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian kurang dan prestasi belajar
menurun. Hal inilah yang biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan
Fungsi tonsil akan meningkat pada umur 5 tahun kemudian menurun dan
akan mengalami peningkatan lagi pada umur 10 tahun, kemudian akan menurun
pada umur 15 tahun karena tonsil mulai mengalami involusi pada saat pubertas
sehingga produksi antibodi berkurang yang membuat lebih rentan terhadap infeksi.
Karena itu anak-anak dan remaja usia 5-15 tahun (usia sekolah), yang lebih banyak
menghabiskan waktu di lingkungan sekolah dan di luar ruangan, sering menderita
ISPA (Shirley WP dan Wolley AL 2010). Anak-anak dan remaja usia sekolah juga
sering mengosumsi makanan ringan yang mengandung bahan pengawet, pemanis
14

buatan dan pewarna buatan serta minuman dingin yang dapat menimbulkan iritasi
ditenggorok sehingga dapat memicu timbulnya infeksi tenggorok ataupun infeksi
tonsil (Jupri, 2010). Tingginya kejadian tonsilitis kronis pada anak-anak dan remaja
dikarenakan mereka sering menderita ISPA atau tonsilitis akut yang tidak diterapi
dengan adekuat atau dibiarkan saja tanpa pengobatan (Farokah, 2005).

C. ETIOLOGI
Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis
akut yaitu bakteri aerob Gram positif (yang paling sering) dan Gram negative
(Nurjanah Z, 2011). Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak
tangan, menghirup udara setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi
peralatan seperti sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan remaja usia
sekolah adalah yang paling mungkin untuk menderita tonsilitis, tetapi dapat
menyerang siapa saja. Beberapa literatur menyebutkan tonsilitis kronis sering
terjadi pada usia 5-20 tahun (National Health Service, 2010; Edgren AL dan
Davitson T, 2004).

D. FAKTOR RISIKO
Makan makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, terlalu panas atau dingin
dan makanan-makanan yang terlalu bergetah serta kebiasaan merokok dapat
menimbulkan iritasi ditenggorok yang dapat memicu timbulnya infeksi tenggorok
ataupun infeksi tonsil (Jupri, 2010). Pada penderita yang alergi terhadap obat-
obatan tertentu, cuaca, debu, makanan dan minuman seringkali mengalami infeksi
berulang karena bila alergi tidak dikendalikan akan mengakibatkan daya tahan
tubuh menurun dan mudah terserang infeksi saluran nafas khususnya tonsilitis.

E. GEJALA
Keluhan utama yang diutarakan penderita tonsilitis beragam karena gejala
tonsilitis bervariasi, gejala lokal yaitu rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat
adanya pembesaran ukuran tonsil sehingga ada rasa mengganjal di tenggorok, susah
menelan dan nyeri atau sakit menelan karena radang tonsil yang berulang. Gejala
15

sistemis yaitu rasa tidak enak badan, nyeri kepala, demam, nyeri otot dan
persendian. Gejala klinis yaitu tonsil dengan kripta melebar, plika tonsilaris anterior
hiperemis, pembengkakan kelenjar limfe regional dan hipertrofi tonsil yang dapat
menyebabkan obstructive sleep apnea (OSA) dengan gejala mendengkur/
mengorok ketika tidur, terbangun tiba-tiba karena sesak atau henti nafas, sering
mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar menurun (Farokah,
2009; Amarudin T dan Christanto A, 2007)

F. TATALAKSANA
Penatalaksanaan tonsilitis meliputi medikamentosa dan operatif. Terapi
medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur ditujukan untuk
mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut, tonsilitis rekuren, maupun
tonsilitis kronis eksaserbasi akut (Novialdi dan Pulungan MR, 2012).
Penatalaksanaan operatif dengan tindakan tonsilektomi dilakukan apabila terjadi
infeksi berulang atau kronis, gejala sumbatan tenggorok serta kecurigaan
neoplasma (Rusmarjono, dan Soepardi EA, 2011). Penatalaksanaan dengan
tindakan operatif juga harus mempertimbangakan indikasi absolut dan indikasi
relatif. Intervensi pada tonsil yang hipertrofi dapat menyebabkan keadaan
emergency berupa obstruksi saluran napas yang merupakan indikasi absolut untuk
tindakan tonsilektomi (Amalia N, 2009).
Tatalaksana tonsillitis sendiri dibedakan berdasarkan etiologi tonsillitis
sendiri, yiatu:
Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis akut (Viral)
Istirahat dan minum air cukup. Dapat diberikan analgetik. Jika berat, dapat
diberikan antivirus.
2. Tonsilitis bakterial
a. Menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat
b. Kontrol nyeri dan demam, baik dengan kompres maupun higienitas mulut
c. Obat kumur untuk menjaga higienitas mulut
16

d. Antibiotic spectrum luas. Adapun beberapa pilihan antibiotic pada tonsillitis


dapat dilihat dalam tabel
Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral selama 10 hari
Benzathine pensilin G 1.2 juta U intramuscular Benzathine pensilin G 25.000 U/kg 1 kali suntik
intramuskular
Amoksisilin 2 x 500 mg atau 2 x 300 mg per oral Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2/3 dosis
selama 10 hari per oral selama 10 hari
Cefdinir 1 x 600 mg atau 2 x 300 mg per oral selama Cefdinir 14mg/kg 1 kali per oral selama 10 hari
10 hari
Cefuroxime axetil 1 x 250 mg per oral selama 4 hari Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral selama 4-10 hari
Bila alergi penisilin
Dewasa Anak
Azitromycin 1 x 500 mg, PO, selama 5 hari Azitromycin 1 x 12 mg/kg, PO, selama 5 hari
Clarithromycin 4 x 500 mg, PO, selama 10 hari Clarithromycin 2 x 2500 mg, PO, selama 10 hari
Erithromycin 4 x 500 mg, PO, selama 10 hari Erithromycin 4 x 20 mg/kg, PO, selama 10 hari
Clidamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 dosis, 10 hari Clidamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 dosis, 10 hari
Levofloxacin 1 x 500 mg per oral, selama 7 hari
Tabel 2.1. piluhan terapi tonsillitis dan faringitis secafa empirik
Tonsilitis Kronik
Diberikan terapi suportif berupa pemberian obat kumur untuk menjaga
kebersihan mulut.

PEDIATRI DI BIDANG ANESTESI


Anak-anak (pediatri) bukanlah miniatur mini dari orang dewasa. Terdapat
perbedaan yang mutlak tidak hanya dari aspek anatomis, namun dari aspek
fisiologis, patofisiologis, farmakologis, dan psikologis. Bidang Anestesi tidak juga
luput perhatiannya ketika memasuki ranah pediatri, maka terbentuklah sub anestesi
pediatrik khusus untuk menangani masalah anestesi ketika berhadapan dengan
pasien pediatri. Oleh karena itu beberapa hal yang membedakan antara anak-anak
dan dewasa terkait anestesi akan dibahas pada bab ini.
Pediatri (0-12 tahun) secara umum terbagi menjadi 4 golongan dalam
anestesi, yaitu:
1. Neonatus (0-1 bulan) 4. Small Children (3-8 tahun)
2. Infant (1-12 bulan) 5. Large Children (8-12 tahun)
3. Toddlers (1-3 tahun)
17

PSIKOLOGI
Perbedaan antara anak dan dewasa mencakup aspek yang sangat luas. Salah
satu yang wajib diperhatikan adalah perbedaan pada aspek psikis saat melakukan
pre-operatif. Dua hal yang perlu diketahui sebelum melakukan pre-operatif adalah
tingkat kecemasan pada anak lebih besar karena rasa khawatir akan nyeri dan
berpisah dari orang tua. Lalu, perkenalan proses operasi dan anestesi dengan
menjelaskan dalam cara yang dimengerti anak adalah proses yang penting dan
memerlukan pengalaman serta improvisasi dari ahli anestesi.

FISIOLOGI
Perbedaan anak dan dewasa pada aspek fisiologis sangat banyak. Oleh
karena itu, dalam bab ini hanya akan dibahas perbedaan dalam beberapa hal,
diantaranya perbedaa dalam sistem pernapasan, kardiovaskuler, serta metabolisme.
Karakteristik pernapasan pada pediatrik
1. Karena neonates mempunyai ukuran dan jumlah alveoli yang masih kecil
sehingga complince paru rendah dan tulang costa masih didominasi tulang
muda/kartilogenus. Dua kondisi ini menyebabkan dinding dada cenderung
kolaps saat inspirasi  FRC rendah  cadangan oksigen turun  mudah
desaturasi.
2. Alveoli maturasi secara bertahap sampai usia 8 tahun.
3. Neonates sangat bergantung pada pernapasan nasal karena proporsi kepala dan
lidah yang besar, epiglottis panjang dan leher yang pendek (obligat nasal
breathing sampai usia 5 bulan).
4. Cricoids cartilage adalah titik paling sempit smp umur 5 tahun. Pada dewasa titik
terdekatnya adalah glottis. (glotis anak setinggi C4 sedangkan dewasa setinggi
C6.
Perbedaan pada sistem kardiovaskuler
1. Ventrikel kiri noncomplience sehingga CO tergantung heart rate.
2. Lebih mudah bradikardia karena:
a. Baroreseptor yang belum sempurna.
b. Simpanan katekolamin endogen lebih sedikit.
18

c. Respon terhadap katekolamin eksogen lebih rendah.


3. Sistem vaskuler kurang berespon terhadap hypovolemia sehingga tanda
penurunan volume intravaskuler adalah hipotensi tanpa takhikardia.
Perbedaan metabolisme pada anak dengan dewasa
1. Anak mempunyai rasio luas tubuh/berat badan yang lebih besar sehingga
berkorelasi dengan oksigen consumption, produksi CO2, cardiac output dan
alveolar ventilasi.
2. Neonatus hanya mengandalakan thermogenesis melalui metabolisme lemak
coklat dan fosforilasi oksidatif hepar.
Karena perbedaan inilah yang menjadi salah satu alasan pada anak lebih
mudah terjadi hipotermia. Salain, kedua hal diatas beberapa hal lain yang
menyebabkan kondisi hipotermia pada anak, yaitu:
1. Faktor intrinsik:
a. lapisan kulit yang lebih tipis
b. lemak subkutan yang sedikit
c. rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan yang besar sehingga potensi
kehilangan panas meningkat.
2. Faktor ekstrinsik:
a. Suhu kamar operasi. (sebaiknya tidak lebih rendah dari 26’C)
b. Paparan luka operasi.
c. Infus intravena dingin.
d. Gas anestesi yang kering.
e. Efek gas inhalasi yang mengganggu regulasi suhu.
Perbedaan sistem renal dan gastrointestinal pediatri dengan dewasa
1. Fungsi renal belumsempurna sampai usia 6 bulan. Berangsur mencapai level
seperti dewasa sampai usia 2 tahun.
2. Neonatus terutama prematur sering mengalami:
a. Defek renal multipel.
b. Penurunan kliren kreatinin.
c. Gangguan retensi natrium.
19

FARMAKOLOGI
Dari segi obat-obatan yang digunakan dalam anestesi yang sebagian besar
ditunjukkan selama tindakan operatif, perbedaan antara anak dan dewasa terkait
obat bius tersebut juga penting untuk diketahui.
Berikut ini adalah tabel dosis MAC pada pediatric untuk anestesi inhalasi

Tabel 3.1. kebutuhan MAC anestesi inhalasi pada anak


Hubungan kompartmen tubuh pediatri terhadap resiko toksisitas obat
1. TBW pada neonates-infant lebih besar (70-75% berat badan) dibandingkan
dewasa (50-60% berat badan)  volume distribusi lebih besar secara tidak
proporsional.
2. Massa otot lebih kecil  memperpanjang terminasi aksi obat dengan redistribusi
ke otot.
3. Glomerular filtration rate lebih rendah.
4. Liver blood flow lebih rendah  gangguan konjugasi
5. Gangguan ikatan protein  bentuk bebas meningkat
Faktor faktor diatas meningkatkan resiko toksisitas istemik obat pada pediatri.
Farmakokinetik dan farmakodinamik agen inhalasi pada pediatri
1. Ventilasi alveolar yang tinggi, FRC yang rendah, koefisien partisi yang lebih
rendah  induksi lebih cepat tercapai  meningkatkan resiko overdosis.
2. MAC agen inhalasi halogen pada bayi lebih tinggi dari pada neonatus dan
dewasa. Kecuali sevofluran memiliki MAC yang sama antara bayi dan neonates.
20

3. Sistem kardiovaskuler lebih sensitif terhadap agen inhalasi karena imaturitas


miokardium dan belum sempurnanya mekanisme kompensasi vasokonstriksi
takhikardi.
4. Halotan dan sevofluran paling sedikit mengiritasi jalan napas.
5. Indek teuraputik sevofluran lebih besar dari pada halotan.
6. Insiden agitasi dan delirium pada desfluran dan sevofluran.
Farmakokinetik agen intravena pada pediatri
1. Dosis propofol anak lebih besar (dosis maintenance propofol untuk anestesi 250
mcg/kg/menit) karena:
a. Volume distribusi lebih besar. c. Klirens plasma propofol lebih
b. Waktu eliminasi lebih singkat. besar.
2. Dosis thiopental anak lebih besar (dosis induksi neonatus 3-4mg/kg dan bayi 5-
6mg/kg) karena:
a. Volume distribusi lebih besar.
b. Waktu eliminasi lebih singkat.
c. Klirens plasma tiopental lebih besar.
3. Opioid lebih poten pada neonatus oleh karena:
a. Lebih mudah menembus sawar darah otak.
b. Lebih penurunan kapasitas metabolik.
c. Peningkatan sensitivitas pusat pernapasan.
4. Efek hipotensi fentanyl+ketamin lebih kecil daripada ketamin+midazolam.
5. Onset NMBA pada pediatri lebih singkat karena masa sirkulasinya lebih singkat.
6. Bayi lebih sedikit membutuhkan NMBA kecuali succynilcollin, mivacurium dan
cisatracurium oleh karena imaturitas NMJ dan imaturitas fungsi hepatik.
Obat-obat yang sering dipakai dalam premedikasi anak
1. Midazolam:
a. Oral 0,3-0,5 mg/kg maksimum 15mg.
b. Intramuskular 0,1-0,15 mg/kg maksimum 10mg
c. Intravena 0,05 mg/kg
2. Atropine:
a. Oral 0,05 mg/kg
1

b. Intramuskular 0,02 mg/kg


c. Intravena 0,01-0,02 mg/kg
3. Ketamin: Intravena 0,5-1 mg/kg(sedasi)
4. Fentanyl: Intravena 1-2 mcg/kg
5. Ondansetron: 0,1 mg/kg
6. Dexametason: Intravena 0,1-0,5 mg/kg
2

BAB III
PEMBAHASAN
Seorang anak laki-laki, berusia 2 tahun datang ke Poli THT-KL RSDM
bersama kedua orang tua dengan keluhan utama tenggorokan terasa mengganjal.
Keluhan terebut dirasakan sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan
terus menerus dan dirasa semakin memberat selama 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan dirasa mengganggu aktivitas makan pasien, yang ditandai dengan
berkurangnya napsu makan, sering tersedak saat makan, dan bahkan terkadang
memuntahkan makanan-nya. Keluhan dirasa makin memberat saat pasien makan
makanan padat, seperti nasi, gorengan, dan minum minuman dingin. Keluhan dirasa
berkurang ketika mengkosumsi makanan lembut, seperti bubur, sereal. Selain itu,
pasien juga terdengar mengorok pada saat tidur, nyeri tenggorokan, nyeri saat
menelan, sering terbangun pada malam hari karena sesak, dan pada saat siang hari
pasien terlihat sering mengantuk.
Kemudian dokter spesialis THT-KL menyatakan bahwa pasien mengalami
pembesaran adenoid (hipertrofi adenoid) dan peradangan tonsil (tonsilitis), lalu
menyarankan agar pasien dioperasi pengangkatan adenoid (adenoidektomi) dan
pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Keluarga pasien kemudian setuju untuk
dilakukan operasi. Kemudian bagian THT-KL mengkonsulkan ke bagian anestesi
untuk memfasilitasi dan pendampingan operasi yang rencana-nya dilakukan pada
tanggal 04 Januari 2017.
A. Pre-operatif
Tujuan evaluasi pra-operasi adalah untuk menilai risiko pernafasan dan
perdarahan dan memberikan informasi perioperatif yang tepat kepada anak dan
orang tuanya. Pada pasien ini membutuhkan pre-operasi yang berbeda, karena
baaimanapun pada pasien pediatri yang akan menjalani operasi harus ada
penyesuaian cara preoperatif dibandingkan dengan pasien dewasa. Anak lebih
rentan akan kecemasan karena saat operasi harus memasuki lingkungan baru, yaitu
kamar operasi yang dengan semua peralatan serta lingkungannya dapat menakuti
anak-anak. Oleh karena itu induksi dilakukan sebelum memasuki kamar operasi,
agar anak tidak takut dan tidak rewel. Selain karena akan memasuki lingkungan
3

baru, kita harus sadar bahwa anak akan ditinggal sendiri tanpa didampingi orang
tua-nya, oleh karena itu butuh koordinasi antara ahli anestesi dan orang tua pasien
agar nantinya orang tua dapat memberikan penjelasan dan pengertian kepada sang
anak. Dengan begitu anak akan lebih paham dengan penjelasan dari orang
terdekatnya. Selain itu, butuh kedekatan emosional atau paling tidak pengenalan
kepada anak indentitas dari ahli anestesi agar anak merasa tidak sendirian dan
nyaman saat ditinggal orang tua-nya.
Selain membangun kedekatan psikologis, preoperatif juga harus melakukan
anamnesis khusus di bidang anestesi yang sering disingkat dengan AMPLE. Dari
hasil anamnesis didapatkan bahwa pada pasien ini belum pernah mengalami reaksi
alergi pada obat-obatan maupun pada makanan. Pasien saat ini mendapatkan terapi
dari TS THT-KL berupa infus IVFD D5 ¼ NS dengan 40 cc/jam dan terapi atibiotik
Amphicillin sulbactam 500 mg/5 jam secara IV. Pasien sebelum mondok ini, juga
pernah mondok di RSDM yang didiagnosis oleh TS IKA dengan tonsilofaringitis
intake sulit, ODS Konjungtivitis, vomitus tanpa tanda dehidrasi e.c TFA, dan
rhinitis akut. Puasa pre-operatif pada pasien pediatri berbeda dengan dewasa karena
anak lebih mudah mengalami dehidrasi, lebih sulit melakukan pembatasan cairan
preoperatif, pH lambung yang rendah (<2,5) dan volume residul yang tinggi. Oleh
karena itu pada pasien ini diberlakukan puasa sesuai ketentuan pasien anak, yaitu:
dengan lama puasa makanan padat 4-8 jam sebelum operasi dan air putih 2 jam
sebelum operasi. Kondisi pasien saat ini dalam keadaan baik, keadaan umum
compos mentis, dengan keluhan utama yang masih dirasakan berupa tenggorokan
mengganjal, saat tidur masih mengorok, nyeri telan, namun tidak ditemukan
demam, dan tidak ada batuk/pilek.
Selain anamnesis dengan ketentuan AMPLE, selama pre-operatif kita harus
mengantisipasi kemungkinan kesulitan dalam melakukan ventilasi (sungkup)
dengan MOANS dan antisipasi kemungkinan sulit intubasi dengan LEMON.
Antisipasi Kesulitan Ventilasi
Mask seal: Tidak ditemukan adanya penyulit pada penggunaan masker sungkup
Obesity: pasien tidak tergolong kriteria obesitas
Age (>55 tahun): tidak ada penyulit dalam hal usia (usia pasien 2 tahun)
4

No Teeth: tidak ditemukan adanya gigi tonggos, gigi tanggal (-), gigi goyang (-).
Stiffness: tidak ditemukan adanya indikasi peningkatan tekanan ventilasi, seperti
asma (-), PPOK (-), SGNA (-)
Antisipasi Kesulitan Intubasi
Look externally: tidak ditemukan adanya massa, luka, serta jejas di daerah kepala-
leher.
Evaluasi (3-3-2 rule): buka mulut >3 jari, thyromental distance 3 jari (+), thyro-
hyoid 2 jari (+)
Mallampati: mallampati derajat 2. terlihat visualisasi uvula secara sempurna
Obstruksi: ukuran tonsil T3-T3, bisa menjadi penyulit dalam melakukan intubasi
Neck mobility: Gerak leher bebas (+). Tidak ditemukan kekakuan, massa, ataupun
jejas di sekitar leher
B. Operatif
Pada pasien ini operasi dilakukan pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB.
Hal ini sesuai dengan sebuah literature yang menyatakan bahwa anak-anak yang
menjalani operasi di pagi hari lebih sedikit yang mengalmi desaturasi dibandingkan
mereka yang menjalani prosedur yang sama di sore hari.
Selama berlangsungnya operasi pasien menggunakan bantalan
termoregulator yang ditempatkan dibawah badan pasien. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya hipotermi yang lebih cepat terjadi pada anak. Hipotermi lebih
cepat terjadi pada anak disebabkan karena anak memiliki lapisan kulit yang lebih
tipis, lemak subkutan pada anak lebih sedikit, rasio luas permukaan tubuh terhadap
berat badan pada anak lebih besar sehingga potensi kehilangan panas meningkat.
Selain itu, suhu kamar operasi yang terlalu rendah (sebaiknya tidak lebih rendah
dari 26’C), paparan luka operasi, infus intravena yang dingin, gas anestesi yang
kering, serta efek dari gas inhalasi yang dapat mengganggu regulasi suhu berperan
sebagai factor ekstrinsik dalam membuat anak lebih ceapt jatuh kedalam kondisi
hipotermi.
Pada pasien ini diberikan beberapa obat pra-medikasi diiantaranya adalah
midazolam secara intravena dengan dosis 0,05 mg/kg (0.6 mg) saat pasien berada
5

di ruang transit. Pemberian midazolam ditujukkan untuk memunculkan efek sedasi


agar pasien dapat tenang sebelum induksi dilakukan.
Induksi pada pasien ini dilakukan secara inhalasi degan teknik steel
induction. Teknik induksi inhalasi pada pediatri dipilih dengan tujuan untuk
menghindari rasa takut, kecemasan, trauma dan gaduh gelisah. Inhalasi yang
digunakan adalah sevofluran karena tidak beraroma tajam dan tidak mengiritasi
jalan napas. Tata cara induksi inhalasi dengan teknik steel induction adalah sebagai
berikut:
1. Berikan N2O;O2 (70%:30%) karena tidak beraroma. Dekatkan cuff pada airway
anak.
2. Setelah tenang, berikan sevofluran incremental tambahkan 0,5% setiap 3-5
tarikan napas.
3. Efek negatif sevofluran: agitasi dan eksitasi post operatif. Dikurangi dengan
penambahan N2O saat induksi. Atau pemberian fentanyl 1-1,5 mcg/kg 15-20
menit sebelum operasi berakhir.
Setelah induksi berhasil, kemudian pasien diberikan fentanyl secara IV
dengan dosis 1-2 mcg/kg. Pertimbangan diberikan fentanyl adalah karena
pemberian dosis kecil fentanyl telah diketahui dapat menurunkan risiko depresi
pernapasan post-operatif. Pemberian fentanyl juga diketahui dapat mengurangi efek
negatif dari sevofluran, seperti agitasi dan eksitasi post operatif.
Sebagai muscle relaxan, pada pasien diberikan atracurium dengan dosis
0.35 mg/kg (4.2 mg) intravena. Atracurium diberikan pada pasien mengingat
kelebihan dari atracurium sendiri yang metabolism-nya di plasma sehingga tidak
tergantung fungsi hepar dan renal. Atracurium juga termasuk muscle relaxan keja
sedang (<60 menit) yang waktu kerjanya dapat lebih lama disbanding jenis obat
lain.
Sesaat sebelum dilakukan ektubasi, pada pasien diberikan ketamin, 0.5
mg/kg (6 mg). Ketamin diberikan untuk memunculkan efek sedasi agar pada saat
pasien berada di recovery room dapat tenang, tidak gelisah dan tidak menangis.
Pemberian deksametason 0,1-0,5 mg/kg intravena pada pasien ini digunakan untuk
mereduksi kejadian PONV.
6

C. Post-operatif
Pada pasien ini terdapat keluhan tidur mengorok (OSA). Pasca
Adenoitinsilektomi pada pasien dengan OSA membutuhkan ruangan khusus
sementara seperti HCU/ICU untuk mengevaluasi keadaan pos-operatif. Karena
akan mengalami peningkatan risiko desaturasi, laringospasme, dan pengembangan
penyumbatan jalan nafas selama induksi anestesi. Selain itu, anak-anak memiliki
kepekaan yang meningkat terhadap efek depresi pernafasan dari obat penenang dan
opioid yang menyebabkan respon ventilasi berkurang terhadap CO2 dibandingkan
dengan normal.
Sebagai analgetik post-operatif, pasien diberikan metamizol 15 mg/kg (200
mg per 8 jam) secara intravena. Pemberian metamizol diketahui aman pada anak.
Metamizol intravena dosis tunggal yang digunakan untuk pencegahan atau
pengobatan nyeri pasca operasi dapat ditoleransi dengan baik di lebih dari 1000
anak berusia di atas 6 tahun. Probabilitas kejadian ADR (reaksi hemodinamik,
anafilaksis atau respirasi) kurang dari 0,3%. Tidak ada efek samping pernafasan
yang berhubungan langsung dengan pemberian metamizol dan tidak ada tanda
klinis agranulositosis yang dilaporkan pada penelitian tersebut.
Perdarahan adalah komplikasi paling serius setelah tonsilektomi dan dapat
terjadi dalam 24 jam pertama (perdarahan primer) atau sampai 28 hari setelah
pembedahan (perdarahan sekunder). Konsekuensi anestesi ketika terjadi
perdarahan meliputi hipovolemia, risiko aspirasi paru (tertelan darah dengan atau
tanpa asupan oral), potensi intubasi yang sulit karena perdarahan yang berlebih
dapat mengaburkan pandangan dengan atau tanpa edema (akibat instrumentasi jalan
nafas sebelumnya, dan stresor pada anak maupun orang tua. Kehilangan darah
disebabkan oleh cairan vena atau kapiler dari tonsil akan sulit ditentukan, karena
terjadi selama beberapa jam dan sebagian tertelan.
Pada saat pasien mencapai recovery room, pemantauan pasca operasi tetap
wajib dilakukan. Beberapa poin yang harus dinilai saat pasien berada di recovery
room dan sebelum pindah ruang diantaranya, kesadaran, tanda-tanda vital, mual,
muntah, serta pergerakan. Dibawah ini adalah kriteria Steward yang digunakan
menilai kondisi anak pasca General Anestesi
7

Kriteria pasien anak pasca General Anestesi

Tabel 3.2. Kriteria pasien anak pasca GA

DAFTAR PUSTAKA
Auroy Y, Clergue F, Laxenaire MC et al. [Anesthetics in surgery]. Annales
Françaises d’Anesthésie et de Réanimation 1998; 17: 1324-41.

Murat I, Constant I, Maud’huy H. Perioperative anaesthetic morbidity in children:


a database of 24,165 anaesthetics over a 30-month period. Pediatric
Anaesthesia 2004; 14: 158-66.

Adewale L. Anatomy and assessment of the pediatric airway. Pediatric Anaesthesia


2009; 19(Suppl 1): 1-8.

Dalal PG, Murray D, Messner AH, Feng A, et al. Pediatric laryngeal dimensions:
an age-based analysis. Anesthesia and Analgesia 2009; 108: 1475-9.

SFAR. Conférence d’Experts - Intubation Diffi cile.


http://www.sfar.org/_docs/articles/149-cexp_intubationdiff-2.pdf 2006.

Uezono S, Holzman RS, Goto T, et al. Prediction of diffi cult airway in school-aged
patients with microtia. Pediatric Anaesthesia 2001; 11: 409-13.

von Ungern-Sternberg BS, Boda K, Chambers NA, et al. Risk assessment for
respiratory complications in paediatric anaesthesia: a prospective cohort
study. Lancet 2010; 376: 773-83.

Homer RJ, Elwood T, Peterson D, Rampersad S. Risk factors for adverse events in
children with colds emerging from anesthesia: a logistic regression.
Pediatric Anaesthesia 2007; 17: 154-61.
8

Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku Ajar
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. 2011. hlm. 217-25.

Siswantoro B. Pengaruh tonsilektomi terhadap kejadian bakteremia pasca operasi.


Semarang: Universitas Diponegoro; 2003.

Farokah. Hubungan tonsilitis kronis dengan prestasi belajar pada siswa kelas II
sekolah dasar di Kota Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro; 2005.

Novialdi, Pulungan MR. Mikrobiologi tonsilitis kronis. Padang: Universitas


Andalas; 2012 (diunduh 4 Maret 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://repository.unand.ac.id.

Nurjannah Z. Karakteristik penderita tonsilitis kronis di RSUP H. Adam Malik


Medan tahun 2007-2010. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.

Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, tonsillectomy and adenoidectomy. Dalam: Bailey


BJ, Johnson JT, penyunting. Head & neck surgeryotolaryngology. Edisi ke-
4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 1183−98.

Yildirim N, Sahan M, Karslioglu Y. Adenoid hypertrophy in adults: clinical and


morphological characteristics. J Int Med Res. 2008;36(1):157–62.

Watanabe A, Taniguchi M, Tsujie H, Hosokawa M, Fujita M, Sasaki S. The value


of narrow band imaging for early detection of laryngeal cancer. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2009;266(7):1017–23.

Roberts S, Thornington RE. Paediatric bronchoscopy. Contin Educ Anaesth Crit


Care Pain 2005; 5: 41–4

Warwick JP, Mason DG. Obstructive sleep apnoea syndrome in children.


Anaesthesia 1998; 53: 571–9

Rosen GM, Muckle RP, Mahowald MW, Goding GS, Ullewig C. Postoperative
respiratory compromise in children with obstructive sleep apnoea
syndrome: can it be anticipated? Pediatrics 1994; 93: 784–8

Nixon GM, Kermack AS, Davis GM, Manoukian JJ, Brown KA, Brouillette RT.
Planning adenotonsillectomy in children with obstructive sleep apnoea: the
role of overnight oximetry. Pediatrics 2004; 113: 19–25

Williams PJ, Bailey PM. Comparison of the reinforced laryngeal mask airway and
tracheal intubation for adenotonsillectomy. Br J Anaesth 1993; 70: 30–3
9

Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ.


Anaesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal
intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaesth 1993;
40: 1171–7

Hatcher IS, Stack CG. Postal survey of the anaesthetic techniques used for
paediatric tonsillectomy surgery. Paediatr Anaesth 1999; 9: 311–5

Anda mungkin juga menyukai