Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas

tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang, ini disebabkan karena

berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang

tanah terbatas. Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan

tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya. Untuk itu

berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa

tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan

masyarakat misalnya tanah tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses

penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses

penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi

menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul

kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam

penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan

kesepakatn yang bersifat “win-win solution”, dihindari dari kelambatan proses

penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan

komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut kemudian diterapkan

di Negara Indonesia yang di buatkan melaui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah menyediakan beberapa

pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para pihak

1
untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah pendayagunaan

pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pilihan penyelesaian

sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat ditempuh bila para pihak menyepakati

penyelesaiannya melaui pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS).

Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian sengketa diluar

pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus perkara lain seperti kasus-kasus perkara

pidana tertentu dan sengketa tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan dan sengketa

tanah, sehingga pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak hanya berlaku pada

kasus-kasus perdata saja.

Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan

biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang

harus dikeluarkan dan sering kali biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa

tanah hingga selesai tidak sebandingkan dengan harga dari obyek tanah yang

disengketakan. Namun oleh sebagian orang atau golongan tertentu tanah sebagai harga diri

yang harus dipegang teguh, tanah akan dipertahankan sampai mati.

Selama konflik berlangsung tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam

keadaaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan.

Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat merugikan

kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.

Seiring perkembangan kebutuhan masyarakat atas tanah maka diperlukan tata guna tanah

dan tatanan hukum agar terciptanya keharmonisan di dalam masyarakat. Perkembangan

tatanan hukum tentang tanah, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan antara

lain Keputusan Presiden (Keppres) No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Menteri Negara

2
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permeneg Agraria/ Ka BPN) No. 1/1994

sebagai pelaksanaan dari Keppres No. 55/1993. Peraturan ini diganti dengan Peraturan

Presiden (Perpres) No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentigan Umum yang diubah dengan Peraturan Presiden No.

65/2006 yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN No. 3/2007 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Upaya penyelesaian hukum mengenai perselisihan atau sengketa tanah di atur dalam

Perpres No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) Pasal 3 angka 14 dan 15

tersebut menyatakan bahwa Kepala BPN mempunyai tugas pengkajian dan penanganan

masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan dan pengkajian dan

pengembangan hukum pertanahan. Sebagai tindak lanjut Pasal 3 angka 14 dan 15 Perpres

No. 10/2006 Kepala BPN mengeluarkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 tahun 2007

tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

Mengingat negara Indonesia adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat sebagai warga negara harus berdasarkan hukum yang

berlaku. Apabila hukumnya belum ada atau tidak jelas maka perlu diciptakan atau

ditemukan (FX Sumarja, 2008; hal 1). Begitu juga yang berkaitan dengan masalah

pertanahan, perlu dicarikan dasar hukumnya. Seperti penyelesaian masalah pertanahan

dengan menggunakan penyelesaian sengketa alternatif yaitu mediasi yang dimaksudkan

dalam Peraturan Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk

Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

3
Penyelesaian sengketa tanah pada umumnya ditempuh melalui jalur hukum yaitu

pengadilan. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform penegakkan

hukumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Terhadap

kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan oleh rakyat sebaiknya

melalui jalur non pengadilan atau non litigasi (Maria S.W. Sumardjono Nurhasana Ismail,

Isharyanto, 2008; hal 5).

Pilihan penyelesaian sengketa tanah melalui cara perundingan sengketa, melalui cara

perundingan mediasi ini, mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan penyelesaian

dimuka pengadilan yang memakan waktu, biaya, dan tenaga. Melalui mediasi sesuai

dengan sifat Bangsa Indonesia yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara

musyawarah mufakat. Disamping itu, ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap

lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat pengadilan

merupakan pilihan terakhir penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa tanah dengan cara mediasi merupakan pilihan yang baik, ini

dikarenakan dalam proses penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi akan memberikan

kesamaan kedudukan kepada para pihak yang bersengketa sejajar dan upaya penyelesaian

akhirnya adalah win-win solution. Mediasi dirasakan sangat efektif dalam penyelesaiannya

berdasarkan pengalaman dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Cara penyelesaian

sengketa alternatif seperti ini juga tergantung dengan beberapa aspek seperti faktor budaya

dimasing-masing daerah, dan hukum adatnya yang mungkin saja mengatur tentang

permasalahan tanah maka dari itu dituntutnya peran tokoh masyarakat serta hukum adat

dalam penyelesaian sengketa dibidang pertanahan melalui cara mediasi.

Pada proses mediasi penyelesaian sengketa dengan mediasi terdapat orang atau badan

sebagai mediator yang pada dasarnya berperan sebagai “penengah” yang membantu para

4
pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Mediator memberikan informasi

baru bagi para pihak atau sebaliknya membantu para pihak dalam menemukan cara-cara

yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator juga akan membantu para

pihak untuk menjelaskan persoalan yang ada, sebagai masalah yang harus diselesaikan

secara bersama-sama. Sehingga dengan demikian peran mediator sangat dibutuhkan demi

keberhasilan penyelesaian sengketa diantara para pihak.

Sengketa di bidang pertanahan banyak terjadi di Indonesia dan semakin bertambah di setiap

tahunnya. Bahkan jumlahnya mencapai 7491 kasus yang melibatkan 3,2 juta orang

(Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008 /12/18/7491-sengketa-tanah-libatkan-3-2juta-

orang). Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik di

masyarakat maupun antar keluarga. Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan

berbagai dampak baik ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketika sengketa tersebut diajukan

ke pengadilan maka sudah masuk kategori perkara pertanahan

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana keadaan kasus sengketa tanah yang ada di eks 324 Teluk Jambe Timur

Kabupaten Karawang ?

b) Bagaimana kedudukan dan fungsi lahan di Eks 324 Teluk Jambe Timur Kabupaten

Karawang ?

c) Bagaimanakah peran mediator dalam penyelesaian di Eks 324 Teluk Jambe Timur

Kabupaten Karawang sengketa tanah melalui sidang ?

5
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

a) Untuk mengetahui keadaan kasus sengketa tanah yang ada di eks 324 Teluk Jambe

Timur Kabupaten Karawang

b) Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi lahan di Eks 324 Teluk Jambe Timur

Kabupaten Karawang.

c) Untuk mengetahui peran mediator dalam penyelesaian sengketa tanah di Eks 324 Teluk

Jambe Timur Kabupaten Karawang melalui sidang

1.4 Manfaat Penelitian

Bahwa penulis berharap penelitian ini dapat berguna secara

a) Kegunaan Teoritis

Yaitu berguna bagi para pembaca sebagai referensi dalam penyelesaian sengketa tanah

di Kabupaten Karawang dan menambah wawasan terhadap masalah-masalah

pertanahan di Kabupaten Karawang

b) Kegunaan Praktis

Yaitu penelitian ini berguna bagi Kantor Pertanahan Kabupaten Karawang dalam

menyelesaikan permasalahan dibidang pertanahan di Kabupaten Karawang dan

masyarakat secara umum

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. KEADAAN

Ratusan warga penduduk komplek eks Asrama Yon 324 di Telukjambe, Karawang,
Jawa Barat, menggelar aksi protes terkait perintah pengosongan rumah dinas eks Asrama Yon
324, Karawang. Aksi protes di gelar setelah warga menerima surat peringatan pertama dari
panglima kostrad. protes ratusan warga penghuni Asrama eks Yon 324 ini dilakukan di pintu
masuk Asrama tersebut. Warga yang mayoritas keluarga Purnawirawan TNI AD ini, menolak
dengan adanya permintaan pengosongan rumah yang dilayangkan melalui surat peringatan
pertama dari panglima kostrad.
Alasan warga menolak pengosongan, karena berdasarkan status tanah yang kini di huni
oleh 300 Kepala Keluarga (KK) bukan merupakan milik TNI. Warga juga menyebut, rumah
yang mereka tinggali bisa menjadi milik pribadi karena sudah dihuni lebih dari enam puluh
tahun. Warga mengaku akan tetap bertahan tinggal di komplek Asrama tersebut. Apalagi, surat
peringatan yang di layangkan itu dilakukan secara paksa dan tidak sesuai dengan peraturan dan
undang-undang. Mereka juga akan menolak, jika rencana pengosongan dilakukan tanpa uang
kerohiman atau uang ganti rugi,
Sebelumnya, wacana untuk pengosongan 300, KK Asrama eks Yon 324, sudah
berlangsung lama. Pengosongan bagi penghuni Asrama eks Yon 324 ini, karena akan adanya
rencana perluasan Asrama Yonif 305. Pengosongan Asrama eks Yon 324 ini juga di klaim
sebagai upaya penyelamatan Aset milik Kostrad TNI AD.

2.2. KEDUDUKAN DAN FUNGSI


Lahan warga eks 324 yang sebelumnya di huni oleh 300 rumah 600 KK (Kepala keluarga)
1, Masjid, 1 Madrasah, dan, 3 rumah Ibadah (Gereja). itu akan di kosongkan karena akan
adanya rencana perluasan Asrama Yonif 305. Pengosongan Asrama eks Yon 324 ini juga di
klaim sebagai upaya penyelamatan Aset milik Kostrad TNI AD.

2.3. PERAN

Sengketa Lahan Eks Asrama 324 Telukjambe Karawang – Pagi tadi, Rabu (8/11)
bertempat di ruang sidang kartika PTUN Kota Bandung kembali dilakukan persidangan

7
gugatan sengketa lahan dengan nomor perkara : 71/6/2017/PTUN-BDG dengan tergugat
Kepala Kantor Pertanahan BPN Kabupaten Karawang, Tergugat II Intervensi Kodam
III/Siliwangi selaku pemilik aset sertifikat hak pakai 00001 Desa Sirnabaya Kecamatan
Telukjambe Timur Kabupaten Karawang dengan penggugat Marto Kadim dengan agenda
sidang Putusan.Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Husban, SH,MH. tersebut di ikuti
sekitar 90 orang perwakilan dari massa aksi, sedangkan sebagian massa aksi lainnya berada
di luar ruang sidang. Sidang yang berlangsung sekitar satujam tersebut menghasilkan tiga
keputusan. Putusan pertama, menerima Eksepsi tergugat mengenai objek gugatan para
penggugat telah melampaui waktu (kadaluarsa) / Gugatan blokir tanah yang diajukan oleh
penggugat terhadap BPN Kabupaten Karawang oleh Majelis hakim dinyatakan tidak
diterima karena melampaui batas waktu yang ditentukan. Kemudian, Majelis Hakim
menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.815.000.
Terakhir Majlis Hakim menyampaikan kepada penggugat melalui kuasa hukumnya dapat
melakukan banding terhitung 14 hari dari putusan hari ini.

8
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan tempat tinggal meningkat, sedangkan luas tanah
terbatas, sehingga menyebabkan nilai guna tanah penting sekali, apapun akan diusahan oleh
pribadi manusia untuk mendapatkan tanah yang strategis. Selain sebagai tempat untuk tinggal,
tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu
lintas, perjanjian dan yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan). Ada
2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat oleh Badan Pertanahan
Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebab adalah : 1. Persoalan administrasi
sertifikasi tanah yang tidak jelas. 2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. 3.
Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah. Sertifikat (tanah) merupakan tanda bukti hak yang
berlaku, apabila data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur dalam Pasal 32
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Penyelesaian sengketa tanah dapat dituntaskan
dengan beberapa cara seperti : 1. Melalaui Badan Pertanahan Nasional 2. Melalui badan
peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya mengarahkan ke arahmana
jalan penyelesaian yang baik menurutnya.
3.2. SARAN
Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia ini, baik karena fungsi tanah itu
sendiri yang sangat dibutuhkan, maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana dari
hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia
ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas, distribusi
kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata pada
sertifikat saja, tanpa memperhatikan produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama
penyebab sengketa di atas dapat disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif
supaya tidak mengalami sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan
administrasi yangmana harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat tanah, agar
tidak ada yang berduplikat, maupun dalam pembagian tanah untuk pemukiman yang merata
bagi setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan membeli,
memperoleh tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah agar berhati-hati.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://beritabrantas.com/berita/berita-karawang/sengketa-lahan-eks-asrama-silmer-
324/attachment/sengketa-lahan-eks-324-telukjambe-karawang/

http://www.bintangnews.com/2017/09/sidang-di-tempat-ptun-bandung-di-lahan.html

http://www.bintangnews.com/2017/03/perintah-pengosongan-eks-asrama-yon-324.html

10

Anda mungkin juga menyukai