Bab VI
Asas itikad baik (good faith), asas ini sudah harus diperhatikan
mulai dari saat paling awalnya, yakni dari pendekatan informal dan
dilanjutkan dengan langkah formal berupa perundingan, penerimaan,
pengotentikan, pengikatan diri, perberlakuan, pelaksanaanya, sampai
dengan paling akhir, yakni berakhirnya suatu perjanjian internasional
dengan segala masalah hukum yang ditinggalkannya.
Page 1 of 23
terlihat dalam praktek pelaksanaanya yang tentu saja harus
didasarkan atas itikad baik dari para pihak yang bersangkutan. Disini
tampak bahwa asas ini berhubungan erat dengan asas itikad baik,
yakni, kewajiban para pihak untuk menaati dan melaksanakan
ketentuan perjanjian haruslah dijiwai oleh asas itikad baik. Keduanya
seperti tidak terpisahkan. Pelaksanaan suatu perjanjian yang tidak
dijiwai dengan itikad baik dari para pihak, sangat boleh jadi tidak akan
mengantarkan mereka kea rah maksud dan tujuan yang hendak
dicapai oleh perjanjian itu.
Page 2 of 23
internasional itu sendiri adalah merupakan bagian daru hukum
internasional dan juga sebagai bagian dari hukum pada umumnya.
Page 3 of 23
Pertama, substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu
sendiri selaras dengan hukum atau peraturan perundang – undangan
nasionalnya.
Sesuai dengan asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu
perjanjian internasional hanyalah memberikan hak dan membebani
kewajiban kepada pihak – pihak yang terikat pada perjanjian tersebut.
Pihak lain atau pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan
perjanjian itu tentulah tidak berhak menerima hak maupun tidak
memikul kewajiban apapun dari perjanjian itu.
Page 4 of 23
Penarikan kembali ataupun pengubahan atas kewajiban yang
dibebankan ataupun atas hak yang diberikan kepada pihak ketiga,
secara tegas diperkenankan tetapi hal itu hanya bisa dilakukan
asalkan ada persetujuan dari Negara – Negara peserta dalam
perjanjian pada suatu pihak dan Negara ketiga yang dibebani
kewajiban pada lain pihak. Sudah tentu ada pengecualiannya, yakni,
jika mereka (para pihak) telah mencapai kesepakatan yang lain atau
yang sebaliknya. Oleh karena seperti telah dikemukakan di atas,
bahwa kewajiban adalah suatu beban, dan penarikan kembali ataupun
pengubahan atas kewajiban itu dapat meringankan beban pihak
ketiga yang bersangkutan, maka hal ini dapat dibenarkan.
Tampaknya, ketentuan pasal 103 ini pun tidak terlepas dari kedua hal
ini :
Page 5 of 23
tentulah tidak boleh diberlakukan surut, kecuali berdasarkan salah
satu dari dua alasan seperti telah dikemukakan di atas.
BAB VII
Page 6 of 23
Penafsiran atas suatu peraturan hukum memegang peranan
penting dalam ilmu hukum, oleh karena melalui penafsiran inilah
makna yang terkadung di dalamnya maupun maksud dan tujuannya
akan dapat diketahui. Menafsirkan atau menginterpretasikan suatu
peraturan hukum pada hakekatnya adalah usaha untuk memperjelas
substansi peraturan hukum itu sendiri, dalam rangka menemukan
makna ataupun maksud dan tujuannya. Selanjutnya hasil penafsiran
itu dapat digunakan untuk tujuan teoritis-ilmiah, seperti
pengembangan ilmu atau teori hukum itu sendiri, maupun digunakan
untuk tujuan praktis, misalnya diterapkan terhadap suatu kasus atau
perkara yang sedang dihadapi.
Page 7 of 23
umumnya, apa yang diformulasikan (yang dapat dilihatdan dibaca)
dalam bentuk teks atau naskah perjanjian adalah merupakan
penuangan atas maksud dan tujuan dari para pihak. Jadi naskah
perjanjian itulah yang pertama harus dipegang sebagai langkah awal
dalam melakukan penafsiran, sebab di dalamnya terkandung maksud
dan tujuan dari para pihak yang juga merupakan maksud dan tujuan
yang hendak dicapai oleh perjanjian itu sendiri.
BAB VIII
Page 8 of 23
Suatu perjanjian internasional yang sudah mulai berlaku dan
bahkan sudah dilaksanakan, mugkin dalam beberapa hal sudah tidak
sesuai lagi, dan oleh karena itu perlu diubah. Kadang-kadang
kebutuhan untuk mengubah beberapa ketentuan suatu perjanjian
internasional sudah dirasakan dan dipandang perlu untuk dilakukan,
sebelum perjanjian itu mulai berlaku, tegasnya ketika telah dibuka
kesempatan untuk meratifikasinya hingga terpenuhinya persyaratan
mulai berlakunya. Namun karena waktu itu perjanjian itu belum mulai
berlaku, jadi belum ada pihak-pihak yang secara yuridis formal terikat,
maka perjanjian itu belum bisa diubah. Pengubahan itu baru bisa
dilakukan, pada saat mulai berlakunya itulah baru mulai terbuka
kesempatan untuk mengubahnya.
Page 9 of 23
Amandemen atas Perjanjian Internasional menurut Konvensi
Wina 1969
Page 10 of 23
Bahwa semakin sering suatu perjanjian internasional
diamandemen, maka semakin besar pula kemungkinan terbaginya
Negara-negara yang terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini terjadi,
karena Negara-negara memiliki kebebasan penuh sebagai
manifestasi dari kedaulatannya, untuk memilih dan menentukan
sendiri kepada ketentuan yang manakah Negara itu hendak
mengikatkan diri. Sebagian Negara ada yang masih tetap bertahan
untuk terikat pada perjanjian yang lama, sebagian lagi ada yang terikat
pada perjanjian hasil amandemen pertama, sebagian lagi pada hasil
amandemen kedua, ketiga, dan demikian seterusnya.
BAB IX
Page 11 of 23
Hubungan Antara Perjanjian Internasional Yang Duluan dan
Belakangan
Page 12 of 23
Model pertama: Semua Negara peserta pada suatu perjanjian
internasional (yang duluan) mengenai suatu masalah tertentu,
membuat perjanjian internasional baru (yang belakangan) yang juga
mengenai masalah yang sama dan di dalam salah satu pasalnya
ditegaskan , bahwa dengan mulai berlakunya perjanjian yang
belakangan, perjanjian yang duluan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Page 13 of 23
tidak sesuai lagi, serta jumlah Negara-negara di dunia ini juga
bertambah banyak.
BAB X
Page 14 of 23
Penundaan Atas Pelaksanaan Suatu Perjanjian Internasional
Page 15 of 23
dilakukan penundaan atas pelaksanaan suatu perjanjian
internasional. Pertama, suatu perjanjian internasional yang belum
dilaksanakan meskipun sudah dapat dipastikan (akan) terpenuhi
syarat untuk mulai berlakunya. Kedua, suatu perjanjian internasional
yang sudah berlaku dan dilaksanakan bahkan sudah menimbulkan
akibat-akibat hukum terhadap para pihak, juga karena salah satu dan
lain hal, kemudian ditunda pelaksanaannya baik untuk jangka waktu
tertentu ataupun suatu jangka waktu yang tidak ditentukan.
Page 16 of 23
menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pihak, juga karena
satu dan lain hal, kemudian ditunda pelaksanannya baik untuk suatu
jangka waktu tertentu ataupun suatu jangka waktu yang tidak
ditentukan.
BAB XI
Page 17 of 23
Suatu perjanjian internasional yang sudah mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, bahkan yang
sudah beberapa lama diterapkan dengan segala konsekuensi hukum
yang ditimbulkannya karena para pihak sudah melakukan kewajiban
maupun menikmati haknya, pada suatu waktu dapat dipertanyakan
keabsahannya.
Page 18 of 23
Menurut pasal 42 ayat 1, keabsahan itu dibedakan atas dua
macam, yakni keabsahan atas perjanjian internasional itu sendiri, dan,
keabsahan atas persetujuan suatu Negara untuk terikat pada
perjanjian. Secara teoritis, keduanya dapat dibedakan sebagai berikut:
Page 19 of 23
Secara garis besar, ketidaksahan suatu perjanjian internasional
ada yang sifatnya fakultatif atau relatif da nada yang absolut. Suatu
perjanjian internasional yang ketidakabsahannya bersifat fakultatif
atau relatif, penentuannya terserah sepenuhnya kepada Negara yang
merasa dirugikan, apakah akan menggunakan haknya ataukah tidak
untuk menyatakan bahwa perjanjian itu tidak sah. Apabila Negara
tersebut menggunakan haknya untuk menyatakan perjanjian itu tidak
sah, dengan alasan yang dipandangnya cukup kuat, dan ternyata
memang dapat diterima, maka perjanjian itu menjadi tidak sah.
Sebaliknya, meskipun ada alasan kuat untuk mengklaimnya sebagai
tidak sah, jika Negara itu tetap terus bersedia menerima dan
menaatinya, maka perjanjian itu masih bisa terus berlaku secara sah.
BAB XII
Page 20 of 23
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri,
atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan
ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas
eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang
dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun
ketidakabsahannya. Itulah sebabnya di dalam konvensi wina1969,
ketiganya diatur di dalam satu bagian, yakni part V.
Page 21 of 23
Semenjak berakhirnya eksistensi maupun masa berlaku suatu
perjanjian internasional, maka semenjak itu pula perjanjian itu tidak
lagi memberikan hak maupun membebani kewajiban kepada para
pihak, karena memang sudah tidak lagi merupakan hukum
internasional positif. Akan tetapi perjanjian-perjanjian internasional
jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya merupakan
formulasi dari kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun
kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional
masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa
ketentuannya merupakan perumusan kembali atau pengkodifisian
atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah
merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional.
Page 22 of 23
Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian
internasional diatur dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 konvensi. Menurut
ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur
tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika
pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah pihak mencapai
kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika
keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan
seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian
internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau
ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya
eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan
itu saja.
Page 23 of 23