“SKRINING RESEP”
DISUSUN OLEH :
NIM : O1A114017
KELAS :A
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR
“Bismillahhirrohmannirrohim”
Penulis
DAFTAR ISI
A. LatarBelakang
Dalam dunia farmasi, salah satu hal mendasar yang harus diketahui oleh seorang
apoteker adalah penulisan resep yang baik. Seorang apoteker diharuskan untuk mampu
membaca dan memahami resep serta mampu membuat copy resep. Selain itu, dalam membaca
resep dan membuat copy resep, ada hal-hal tertentu yang perlu diperhatikan yaitu struktur
penulisan resep dan copy resep yang benar.
Permasalahan dalam peresepan merupakan salah satu kejadian medication error.
Menurut Surat Keputusn Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
menyebutkan bahwa medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian
obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah. Bentuk
medication error yang terjadi adalah pada fase prescribing (error terjadi pada penulisan resep)
yaitu kesalahan yang terjadi selama proses peresepan obat atau penulisan resep. Dampak dari
kesalahan tersebut sangat beragam, mulai yang tidak memberi resiko sama sekali hingga
terjadinya kecacatan atau bahkan kematian. Selain itu, Hartayu dan Aris, 2005 menyebutkan
bahwa medication error yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul
efek obat yang idak diharapkan seperti terjadinya interaksi obat.
Beberapa contoh permasalahan dalam peresepan adalah kurang lengkapnya informasi
pada pasien, penulisan resep yang tidak jelas atau sulit untuk dibaca, kesalahan penulisan dosis,
tidak dicantumkannya aturan pemakaian oba yang jelas, tidaka menuliskan rute pemberian
obat, dan tidak mencantumkan tanda tangan atau paraf dokter. Banyak faktor yang
mempengaruhi permasalahan dalam peresepan, sehingga diperlukan kepatuhan dokter dalam
melaksanakan aturan-aturan dalam penulisan resep sesuai undang-undang yang berlaku
Interaksi obat didefinisikan sebagai reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa
kimia (obat lain, makanan) didalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat
mempengaruhi kerja obat sehingga dapat terjadi peningkatan/pengurangan kerja obat atau
bahkan obat sama sekali tidak menimbulkan efek. Defenisi yang lebih relevan adalah ketika
obat bersaing satu dengan yang lainnya aau yang terjadi ketika suatu obat hadir bersama dengan
obat yang lainnya. Mekanisme interaksi obat dapat dapat dibagi menjadi interaksi yang
melibatkan aspek farmakokinetik obat dan interaksi yang mempengaruhi respon
farmakodinamik obat. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi
absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi
dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi.
Makalah ini dibuat agar mahasiswa jurusan farmasi mengenal dan mengetahui mana
resep yang benar, cara membuat dan copy resep, serta mengetahui bagaimana nantinya jika
sudah resmi menjadi apoteker hal-hal apa yang dapat dilakukan jika berhadapan dengan sebuah
resep.
Untuk itu, makalah ini sangat penting bagi pengembangan kemampuan seorang ahli
farmasi maupun apoteker.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa masih terdapat banyak masalah dalam
penulisan resep. Resep yang rasional harus memenuhi beberapa persyaratan kelengkapan
dalam penulisan resep diantaranya kelengkapan administratif dan kelengkapan farmasetik.
Kegiatan untuk menilai kelengkapan persyaratan ini disebut skiring resep. Skrining resep
merupakan suatu hal yang penting untuk menjamin obat yang digunakan oleh pasien sesuai
kebutuhan dan permintaan oleh dokter yang merawatnya. Oleh karena itu makalah ini untuk
mengetahui hal-hal yang menyebabkan Ketidaklengkapan tersebut, meliputi bagian
administrasi, farmasetik, dan klinis
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengkaji dan menskrining contoh resep.
b. Tujuan khusus
Secara khusus, makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kelengkapan contoh resep ditinjau dari persyaratan administrasi,
farmasetik dan klinis.
2. Mendapatkan gambaran interaksi obat yang terdapat pada contoh resep yang
diperoleh.
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis
Makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang
kefarmasian pada penulisan resep yang baik dan benar sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
b. Manfaat praktis
Hasil makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam proses peresepan
sehingga dapat mendukung upaya pelaksanan patient safety.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resep
Menurut. Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014, Bab 1, Pasal 1(4) tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Menurut WHO peresepan
yang rasional adalah memberikan obat sesuai dengan keperluan klinik, dosis sesuai dengan
kebutuhan pasien, diberikan dalam jangka waktu yang sesuai dengan kebutuhan pasien, dan
dengan biaya termurah menurut pasien (WHO, 2002). Resep harus ditulis dengan jelas dan
lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus
menanyakan kepada dokter penulis resep (Anief, 1997).
Filosofi dasar peresepan menurut Bernhard Fantus menyatakan bahwa resep adalah
kunci dari seluruh upaya terapi seorang dokter kepada pasiennya. Resep dibuat berdasarkan
pada diagnosis (yang didasarkan pada patofisiologi) dan prognosis kasus di satu sisi, serta
pengetahuan Farmakologi dan Terapi seorang dokter di sisi lainnya. Kelemahan pada salah
satu sisi tersebut akan tercermin pada resep yang ditulis.
Penulisan resep dapat diartikan sebagai bentuk aplikasi pengetahuan dokter dalam
memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan peraturan yang
berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek. Pihak Apoteker sebagai pihak
penerima resep berkewajiban melayani secra cermat, member informasi terutama
menyangkut dengan penggunaan obat dan mengoreksi jika terjadi kesalahan dalam
penulisan.Dengan demikian pemberian obat dapat lebih rasional (Jas, 2009).
Hasil cohort study oleh Kozer et al., (2005) melibatkan 1532 peresepan pasien anak-
anak di ICU Rumah Sakit Amerika yang disampling secara random, sekitar 14% di antaranya
mengalami medication error yang terinci menjadi prescribing error (10,1%) dan drug
administration error (3,9%) (Rahatnawati, 2010).
Penelitian dari Dewi (2009) tentang studi kelengkapan resep obat pada pasien anak di
apotek wilayah kecamatan Sukoharjo bulan Oktober-Desember 2008 menunjukan bahwa
adanya ketidak lengkapan resep yang dapat memicu terjadinya medication error. Hasil
penelitian menunjukkan ketidaklengkapan resep terdapat pada unsur nama dokter (1,03%),
nama pasien (2,12%), umur (13,69%), berat badan (97,13%), alamat pasien (91,70%), potensi
(41,04%), jumlah obat (2,89%), aturan pakai (2,46%), bentuk sediaan (30,01%). Akibat dari
medication error dapat merugikan pasien, terlebih pada anak-anak.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor.:
1027/MENKES/SK/IX/2004 yang dimaksud medication error adalah kejadian yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan.
Ketidaklengkapan dan ketidakjelasan penulisan dalam bagian resep yakni inscriptio,
invocatio, prescriptio, signatura, subscriptio, dan pro dapat menyebabkan medication error.
Akibat dari medication error dapat merugikan pasien terlebih pada anak-anak, sebab sistem
enzim yang terlibat dalam metabolisme obat pada anak-anak belum terbentuk atau sudah ada
namun dalam jumlah yang sedikit, sehingga metabolismenya belum optimal. Ginjal pada
anak-anak belum berkembang dengan baik, sehingga kemampuan mengeliminasi obat belum
optimal (Aslam dkk., 2003).
I. Medication Errors
Secara umum, medication errors didefinisikan sebagai suatu kesalahan dalam
pengobatan untuk melaksanakan suatu tindakan yang diharapkan (Malone, 2001). Para ahli
kesehatan harus menerapkan prinsip ‘5 ketepatan’ dalam mengobati pasiennya untuk menuju
pengobatan yang aman, yaitu : tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat indikasi dan tepat
waktu serta waspada terhadap efek samping obat. Kesalahan dalam pengobatan bisa terjadi
jika salah satu dari lima ketepatan tersebut tidak dipenuhi. Hal itu tentunya dapat
membahayakan jiwa pasien. Para ahli kesehatan tentu tidak mengharapkan adanya kesalahan
tersebut. Para ahli kesehatan harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah
kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pengobatan tersebut (Cohen, 1999).
Secara garis besar, medication errors dibagi menjadi 3 jenis:
a. Prescribing errors, disebabkan karena kesalahan peresepan, yang meliputi: tulisan yang
tidak jelas, resep yang tidak lengkap, dan instruksi yang tidak jelas.
b. Pharmaceutical errors, meliputi dosis, bentuk sediaan, cara pemberian dan stabilitas.
c. Clinical errors, disebabkan oleh interaksi obat, kontra indikasi, alergi, side effect, adverse
drug reaction.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya medication errors:
a. Miskomunikasi antara dokter dan farmasis.
Kesalahan dalam miskomunikasi ini disebabkan karena:
1) Penulisan yang tidak jelas
Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua
pengobatan yang mempunyai nama serupa. Selain itu, banyak nama obat yang
nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas, atau salah
melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat tersebut memiliki cara
pemberian yang sama dan memiliki dosis yang hampir sama (Cohen, 1999).
2) Nama obat yang hampir sama
Nama obat yang hampir sama dapat menyebabkan medication errors. Contoh
obat yang sering menyebabkan kesalahan pengobatan adalah obat pencegah
pembekuan darah coumadin® dan obat anti parkinson kemadrin®. Taxol®
(paclitaxel), suatu agen antikanker hampir sama kedengarannya dengan paxil®
(paroxetine) yang merupakan suatu antidepressant. Zebeta® beta bloker
antihipertensi nampak seperti diabeta®, suatu antibiotik golongan sulfonamid dan
seldane® (terfenadine), suatu antihistamin non sedatif (Cohen, 1999).
Nama generik juga dapat menyebabkan kebingungan. Sebagai contoh,
amrinone (inocor®), suatu inotrop yang digunakan pasien dengan cardiomiopaty,
lafalnya hampir sama dengan amiodarone (cordarone®), suatu antiaritmia. Akhirnya,
permasalahan muncul manakala nama umum nampak seperti nama dagang.
Ritonovir (norvir®), suatu inhibitor protease digunakan pasien dengan
®
immunodefisiensi virus (HIV) infeksi, terlihat hampir sama dengan retrovir , suatu
nama dagang dari zidovudine, juga untuk pasien dengan HIV. Kesalahan seperti ini
dapat diprediksi. Dengan berbagai jenis pengobatan yang tersedia, praktisi
diharapkan untuk dapat mengikuti perkembangan masing-masing pengobatan
tersebut. Sehingga, manakala berhadapan dengan suatu nama baru (misal: losec),
pasien boleh secara otomatis membacanya dengan lasix, suatu produk yang telah
umum dikenal. Kesalahan seperti ini disebut “konfirmasi bias” (Cohen, 1999).
3) Penggunaan angka desimal yang tidak jelas
Penulisan resep yang terburu-buru dapat menyebabkan permasalahan, bahkan
nama dari pengobatan harus jelas. Suatu pesanan untuk “Vincristine 2.0 mg” dibaca
salah oleh praktisi sebagai “20 mg”, sebab tanda desimalnya berada pada garis keras
resep. Akibatnya, pasien meninggal setelah pasien menerima obat dengan dosis
yang salah tersebut. Didalam kasus lain, seorang bayi menerima 0.17 mg Digoxin
sebagai ganti 0.017 mg, sebab tanda desimal salah diletakkan selama perhitungan
dosis (Cohen, 1999).
4) Sistem perhitungan yang keliru
Sistem perhitungan yang benar merupakan dasar dari perhitungan dosis.
Perhitungan yang keliru dapat menyebabkan terjadinya medication errors. Sebagai
contoh, seorang perawat membutuhkan 1/ 200 butir (0,3 mg) nitrogliserin tablet
yang digunakan 2 x 1/ 100 butir (setiap 0,6 mg atau total dosis 1,2 mg) sebagai
gantinya (Cohen, 1999).
5) Penggunaan singkatan yang tidak standart
Medication errors sering terjadi karena kesalahan dalam menstandartdisasi
singkatan. Singkatan yang tidak standart tidak akan ditemukan jika pembaca
mempelajari kamus kesehatan (Cohen, 1999).
Banyak singkatan yang mempunyai maksud yang salah. “D/C” yang
biasanya digunakan dengan maksud ‘pemberhentian’ diartikan salah oleh pasien.
Sebagai contoh, seorang dokter menulis “D/C: digoksin, propanolol, hormon
insulin”. Maksudnya adalah bahwa ketiga obat tersebut tetap dilanjutkan setelah
pasien pulang dari rawat inap. Tetapi pasien mengira bahwa dokter menyarankan
untuk menghentikan pengobatan ketiga obaT tersebut (Cohen, 1999).
6) Aturan pakai yang kurang jelas/ kurang lengkap
Pada tahun 1995, publik dikejutkan oleh kejadian medication error yang
berakibat fatal di Institut Dana sebagai akibat dari penulisan aturan pakai yang tidak
lengkap (Cohen, 1999).
Aturan pakai yang kurang lengkap dapat menyebabkan kerancuan. Sebagai
contoh, Seseorang menulis pesanan untuk neonatus “digoksin 1,5 cc”, dia tidak
menetapkan konsentrasi yang sebenarnya sudah ditetapkan (0,5 mg/ ml dalam 2 ml
ampul). Hal itu akan berakibat fatal (Cohen, 1999).
J. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama (Harkness, 1989).
Interaksi farmakokinetik (Harkness, 1989) meliputi :
1. Absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran
cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian
besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan
kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut
air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat
dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah
berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak
dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda
tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.
2. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di
mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada
di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein
albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa,
sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke
jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak. Hal
ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak misalnya golongan
fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat. Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai
afinitas terhadap protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai
afinitas untuk berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma
protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat.
Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak
terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang
sangat terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat
yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan
protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah.
3. Metabolisme
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti
obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak.
Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air
yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat
melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I,
terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di
endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolisme
fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat,
dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa
dapat melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut
dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat
metabolisme fase I dari pada fase II.
4. Ekskresi
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu
atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke
glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran
glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul
yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati
bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan
metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif
maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena
perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Resep Asli
Resep diambil dari Rumah Sakit BahteaMas Kendari. Resep dituliskan oleh dokter
Firman S. Dullah, M.Kes., Sp.JP. untuk pasien laki-laki bernama Tn. Sutardjo. Resep ditulis
pada tanggal 17 Desember 2016.
.
B. Mengenali Riwayat Pasien
No. Kriteria Keterangan
Tn. Sutarojo, jenis kelamin laki-laki
1. Data Pasien
-
2. Riwayat Penyakit
-
3. Riwayat Pengobatan
-
4. Keadaan Khusus Pasien
C. Skrining Resep
1. Administratif (Kelengkapan Resep)
PADA RESEP
NO. URAIAN
ADA TIDAK
Inscription
Identitas dokter:
1. Nama dokter
2. SIP dokter
3. Alamat dokter
4. Nomor telepon
5. Tempat dan tanggal penulisan resep
Invocatio
6. Tanda resep diawal penulisan resep (R/)
Prescriptio
7. Nama obat
8. Kekuatan obat
9. Jumlah obat
Signatura
10. Nama pasien
11. Jenis kelamin
12. Umur pasien
13. Berat badan
14. Alamat pasien
15. Aturan pakai obat
16. Iter/tanda lain
Subscriptio
17. Tanda tangan/paraf dokter
Kesimpulan:
Resep tersebut lengkap/tidak lengkap.
Cara pengatasan
Konfirmasi kembali dengan penulis resep (dokter) terkait.
2) Kesesuaian Farmasetis
No. Kriteria Permasalahan Pengatasan
3. Inkompabilitas - Sesuai
3) Dosis
No. Dosis
Nama Obat Dosis Resep Kesimpulan Rekomendasi
Literatur
1. Bisoprolol 2,5 mg 1x1 2,5 mg 1x1 Sudah sesuai Tidak perlu
sehari sehari diubah
2. Simvastatin 20 mg, 1x1/hari Oral : Sudah sesuai Tidak perlu
Hiperlipidaemia
Dewasa: diubah
Awalnya, 10-20
mg sekali
sehari. Pasien
dengan risiko
CV tinggi atau
memerlukan
pengurangan
kolesterol yang
besar: Awalnya,
40 mg sekali
sehari. Mungkin
sesuaikan dosis
dengan interval
minimal 4
sampai
maksimal 80
mg sekali sehari
4) Pertimbangan Klinis
No. Kriteria Permasalahan Pengatasan
Indikasi - Sesuai
1.
Kontraindikasi - Sesuai
2.
Alergi - Sesuai
5.
7. merugikan (ADR /
Adverse Drug Reaction)
D. Karakteristik Obat
1) Clopidogrel
1. Komposisi Clopidogrel
2. Dosis 75 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan. Tidak
diperlukan penyesuaian dosis pada pasien lanjut usia atau
dengan kelainan fungsi ginjal..
3. Pemberian Obat Oral
4. Kontra Indikasi hipersensitivitas, perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau
perdarahan intrakranial, menyusui
5. Peringatan hati-hati digunakan pada pasien dengan risiko terjadinya
pendarahan seperti pada keadaan trauma, pembedahan atau
keadaan patologi lainnya; Penggunaan bersamaan dengan obat
yang meningkatkan risiko pendarahan. Pada pasien yang akan
menjalani pembedahan dan tidak diperlukan efek anti platelet,
klopidogrel harus dihentikan 7 hari sebelumnya
6. Efek samping Dispepsia, nyeri perut, diare; perdarahan (termasuk
perdarahan saluran cerna dan intrakranial); lebih jarang mual,
muntah, gastritis, perut kembung, konstipasi, tukak lambung
dan usus besar, sakit kepala, pusing, paraestesia, leukopenia,
platelet menurun (sangat jarang trombositopenia berat),
eosinofilia, ruam kulit, dan gatal; jarang vertigo; sangat jarang
kolitis, pankreatitis, hepatitis, vaskulitis, kebingungan,
halusinasi, gangguan rasa, gangguan darah
7. Kategori Kehamilan B
2) Bisoprolol
1. Komposisi Bisoprolol
2. Dosis Dewasa: PO Angina pectoris; HTN 5-10 mg sekali sehari. Max:
20 mg / hari. Gagal jantung Awal: 1,25 mg sekali sehari, berlipat
ganda setelah 1 minggu, kemudian meningkat secara bertahap
pada interval 1-4 wk. Maks: 10 mg sekali sehari.
3. Pemberian Obat Oral
4. Kontra Indikasi ihat propranolol hidroklorida; keadaan akut atau gagal jantung
dekompensasi yang menghendaki pemberian inotropik intravena;
blok sino-atrial.
5. Peringatan lihat propranolol hidroklorida; pada gagal jantung pantau status
klinis selama 4 jam sesudah pemberian awal (dengan dosis
rendah) dan pastikan gagal jantung tidak berbahaya sebelum
meningkatkan dosis; psoriasis; gangguan hati.
6. Efek samping Bradikardia, pembengkakan gagal jantung yang sudah ada
sebelumnya, hipotensi, pusing, sakit kepala, gangguan GI (mis.,
Mual, muntah, diare, konstipasi), ekstremitas dingin atau kebas,
asthenia, kelelahan, infeksi respek atas, rhinitis, sinusitis,
dyspnoea.
7. Kategori Kehamilan C
3) Simvastatin
1. Komposisi Simvastatin 20 mg
2. Dosis Dewasa: PO Hyperlipidaemia Awal: 10-20 mg sekali sehari di
malam hari. Dapat menyesuaikan dosis dengan interval minimal 4
minggu. Maks: 80 mg / hari. Pengurangan risiko CV Pasien berisiko
tinggi: 20-40 mg sekali sehari. Pasien berisiko sedang: 10 mg sekali
sehari.
3. Pemberian Obat Oral
4. Kontra Indikasi Penyakit hati akut atau peningkatan persisten transaminase
serum yang tidak dapat dijelaskan. Pasien keturunan Tionghoa
tidak boleh memakai simvastatin 80 mg / hari dengan dosis
pengubah lemak dari produk yang mengandung niasin.
5. Peringatan Gangguan fungsi hati dan ginjal, riwayat tukak GI, kehamilan
dan laktasi
6. Efek samping lihat keterangan di atas; juga ruam kulit, alopesia, anemia,
pusing, depresi, parestesia, neuropati perifer, hepatitis, sakit
kuning, pankreatitis; sindrom hipersensitivitas (termasuk
angioedema) jarang dilaporkan.
7. Kategori Kehamilan X
4) Lansoprazole
1. Komposisi Lansoprazole
2. Dosis Dewasa: Dispepsia terkait PO Asam 15-30 mg sekali di pagi
hari selama 2-4 minggu
3. Pemberian Obat Oral
4. Kontra Indikasi Pasien hipersensitif, bersamaan menggunakan w / rilpivirine
dan atazanavir.
5. Peringatan Keganasan lambung harus dikesampingkan. Kerusakan hati.
Kehamilan dan menyusui.
6. Efek samping meningkatkan risiko Clostridium difficile-associated diarrhea
(CDAD) dan osteoporosis yang berhubungan dengan fraktur. Diare,
sakit perut, mual, muntah, perut kembung, sembelit, sakit kepala,
mulut kering, edema perifer, pusing, gangguan tidur, kelelahan,
parestesia, artralgia, mialgia, ruam, pruritus, pankreatitis, glossitis,
tremor, anoreksia, petechiae, purpura Langka atau sangat jarang,
gangguan rasa, stomatitis, hepatitis, ikterus, reaksi hipersensitivitas
(misalnya bronkospasme)
7. Kategori Kehamilan B
E. Perhitungan Dosis
Karena tidak lengkapnya resep pada bagian umur dan berat badan maka sebenarnya
tidak dapat dilakukan perhitungan dosis. Namun dari skrining resep yang telah dilakukan
diatas kemungkinan pasien merupakan orang dewasa.
F. Kesimpulan
Pengkajian resep dari segi administrasi tidak lengkap karena tidak terdapat umur dan
berat badan pasien. Hal tersebut dapat menyulitkan apoteker dalam mengkaji kesesuaian
antara obat dan dosis yang digunakan dengan umur pasien. Dari segi kesesuaian farmasetis
tidak ada masalah dan dari segi penimbangan klinis dan dari perhitungan dosis tidak dapat
dihitung karena kurangnya data umur dan berat badan namun dari skrining resep yang teah
dilakukan kemungkinan pasien merupakan pasien dewasa. Dari pengkajian tersebut, dapat
dipastikan obat yang diresepkan oleh dokter tidak ada yang perlu diubah/dihilangkan.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pada makalah ini masih banyak ditemukan adanya kejadian ketidaksesuaian dalam
penulisan resep menurut PERMENKES RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Instalasi Apotek.
B. Saran
1. Kepada dokter, dalam penulisan resep diharapkan dapat menerapkan PERMENKES RI
No 35 Tahun 2014 sehingga resiko kesalahan pada resep dapat dihindari.
2. Kepada apoteker, dalam melayani resep perlu mengacu pada PERMENKES RI No. 35
Tahun 2014 sehingga terapi obat yang diberikan dapat maksimal.
3. Perlu ditingkatkan komunikasi antara apoteker dan dokter dalam menentukan terapi untuk
mencegah terjadinya interaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, http://kkyazid.blogspot.co.id/2011/10/kodein-metilmorfin-yang-memiliki-banyak.html,
diakses pada tanggal 19 maret 2017
Arayne, M.S et all. 2002. Antibacterial Studies Of Cefixime Copper, Zinc And Cadmium Complexes.
Faculty of Pharmacy, Department of Chemystry, University of Karachi
Aslam, Mohammed, dkk, 2003, Farmasi Klinis. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Baxter, K., “Stockley’s drug interaction ninth edition”, pharmaceutical press, London, 2010. Hal. 179.
BNF, 2007, British National Formulary 54th Edition, BMJ Publishing Group, London.
Dean B, Barber N, Schachter M. What is a prescribing error?. Quality in Health Care. 2009; 9: 232–
37.
Depkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York
Ditjen POM, 1995, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Djuanda, dkk. 2016. MIMS Petunjuk Konsultasi Indonesia 2016/2017, Edisi ke 16. Jakarta : Bhuana
Ilmu Populer.
Dwiprahasto Iwan, Erna Kristin, 2008. Intervensi Pelatihan untuk Meminimalkan Risiko Medication
Error di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran
Fradgley, S, 2003. Interaksi Obat, Dalam Farmasi klinis (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : PT. Elex Media Kkomputindo
Gramedia
Gautman, C.S., Saha, Lekha, 2008, Fixed Dose Drugs Combination (FDCs); Rational or Irrational: a
View point. British Jurnal Clinic Pharmacology. 65(5) ; 795-796.
Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. Interaksi obat.
Bandung: Penerbit ITB, 1989.
Hartayu, T.S, dan Widyati, A. Kajian Kelengkapan Resep Pediatri yang Berpotensi Menimbulkan
Medication Error di Rumah Sakit dan 10 Apotek di Yogyakarta. Yogyakarta
http://pionas.pom.go.id/monografi/kodein-fosfat-0
http://www.mims.com/indonesia
Jas A. 2007. Perihal Resep dan Dosis serta Latihan Menulis resep Edisi 1, Medan: Universitas
Sumatra Utara Press
Jas A. 2009. Perihal Resep dan Dosis serta Latihan Menulis resep Edisi 2, Medan: Universitas
Sumatra Utara Press
Kasim, F., Trisna, Y., sebagai redaksi, “ISO-Informasi Spesialite Obat Indonesia, Vol. 47 tahun 2012-
2013”, penerbit PT. ISFI penerbitan, Jakarta, 2012, hal 37,261,268,403
Lofholm PW, Katzung BG. Chapter 65: Rational Prescribing & Prescription Writing. Dalam:
Katzung BG, Masters BS, Trevor AJ, editor. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-11.
United State: McGraw Hill Medical; 2009. hlm.1139-48.
Malone, P.M., Mosdell, K.W., Kier, K.L., and Stanovich, J.E., 2001, Drug Information A Guide for
Pharmacists, 2nd edition, McGraw-Hill, New York.
MIMS. Referensi Obat. Informasi Ringkas Produk Obat. PT. Medidata Indonesia. 2016
Octavia, Hanna, 2011, Skripsi : Analisis Kelengkapan Peresepan di Apotek KPRI RSUD DR.
SOETOMO, Bulan Desember 2010, Surabaya.
PERKI. 2015. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung, Edisi Pertama. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Kardiovaskular Indonesia.
Prawitasari, Diah, 2009. Skripsi: Tinjauan Aspek Legalitas dan Kelengkapan Resep di 5 Apotek
Kabupaten Klaten Tahun 2007. Surakarta
Rahmawati, F. 2002. Kajian Penulisan Resep : Tinjauan Aspek Legalitas Kelengkapan Resep di
Apotek-apotek Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta: Majalah Farmasi Indonesia.
Sandy, 2010, Skripsi : Studi Kelengkapan Resep Obat Untuk Pasien Anak di Apotek Wilayah
Kecamatan Kartasura Bulan Oktober-Desember 2008. Surakarta