Anda di halaman 1dari 5

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Definisi Sampah


Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari
kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Undang-Undang Pengelolaan Sampah
Nomor 18 tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
dari proses alam yang berbentuk padat. (Chandra, 2006)
Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang krusial bahkan sampah dapat
dikatakan sebagai masalah kultural karena berdampak pada sisi kehidupan terutama di kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Medan dan kota besar lainnya. Sampah
akan terus ada dan tidak akan berhenti diproduksi oleh kehidupan manusia, jumlahnya akan
berbanding lurus dengan jumlah penduduk, bisa dibayangkan banyaknya sampah-sampah
dikota besar yang berpenduduk padat. Permasalahan ini akan timbul ketika sampah
menumpuk dan tidak dapat dikelola dengan baik sehingga dapat menimbulkan dampak yang
luas baik sosial masyarakat, kesehatan maupun lingkungan. (Kuncoro, 2008)

2.2 Teknik Pengelolaan Sampah


Dalam melakukan pengelolaan sampah, dibagi menjadi beberapa jenis teknik
pengelolaan yang dilakukan berdasarkan lokasi dan jenis sampah yang akan diperoleh.
1. Pengerukan (Landfill)
Mengeruk sampah dengan tanah di tempat tertentu (khusus) secara masif (kuantitas
besar). Tempat pengerukan umumnya dibangun pada pertambangan, galian, terowongan,
lubang ataupun ruang bawah tanah yang sudah tidak digunakan/dipakai lagi.
Pada metode pengerukan masa lampau menimbulkan masalah seperti sampah terbawa angin,
menarik binatang kecil (kutu maupun tikus) serta menghasilkan lumeran air endapan sampah
(air lindi sampah). Hasil lain dari metode pengerukan sampah ialah terbentuknya gas
(umumnya gas metana dan karbon dioksida/CO2) yang dihasilkan melalui penguraian
anaerobik, dimana gas tersebut menghasilkan masalah bau dan gas efek rumah kaca.
Pada metode pengerukan modern menambahkan lapisan plastik di dasar pengerukan
untuk menampung air lindi sampah. Sampah yang dibuang juga dimampatkan terlebih
dahulu, juga ditambahkan penutup untuk menghindari binatang kecil (kutu ataupun tikus).
Ditambahkan juga di dalamnya untuk mengumpulkan gas yang dihasilkan sampah untuk
menjadi bahan bakar pembangkit listrik.

2. Pembakaran dengan tungku bakar (Incineration) :


Proses ini mengurangi volume sampah padat hingga 30% dari volume sampah padat
sebelumnya. Proses ini mengubah sampah menjadi panas, gas, uap panas dan debu.
Metode ini banyak digunakan pada pengelolaan (pengolahan) sampah pada pabrik
(industri). Pada industri, metode pembakaran digunakan untuk pembuangan sampah cair, gas
maupun padat. Metode pembakaran praktis digunakan untuk pembuangan jenis sampah
biomedis. Pada perkembangannya, pembakaran sampah juga dimanfaatkan untuk
pembakaran tungku peleburan dan juga boiler untuk menghasilkan energi listrik. Namun
penggunaan metode pembakaran mengandung masalah polusi udara yang diakibatkan dari
reaksi pembakaran sampah.

3. Daur ulang (Recycle) :


Secara umun sampah-sampah yang dapat didaur ulang antara lain aluminium (sampah
kaleng minuman), tembaga (sampah kabel listrik), besi/baja (sampah tabung aerosol),
polyethylene (sampah botol plastik), kaca (sampah toples dan botol kaca atupun piring kaca),
kertas (sampah koran, kardus, HVS, dsj) dan juga sampah serat (fiber) termasuk PVC, LDPE,
PP dan PS serta sampah elektronika.

4. Proses ulang biologis (Biological reprocessing) :


Penguraian sampah organik secara alami (melalui proses alami alam) menghasilkan
kompos untuk pupuk. Proses ini juga menghasilkan gas (gas metana) yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

5.Pemulihan energi (Energy recovery) :


Membuat sampah menjadi bahan bakar langsung boiler untuk menghasilkan uap panas
dan energi listrik melalui turbin. Proses ini juga dapat dilakukan dengan membuat sampah
menjadi bahan bakar tidak langsung dalam bentuk lain.
Proses ini terdapat 2 (dua) macam yaitu pyrolysis dan gasifikasi. Keduanya merupakan
bentuk proses yang saling berkaitan dengan memberikan perlakuan panas terhadap sampah
dengan suhu yang sangat tinggi dengan batasan ketersediaan oksigen. Kedua proses tersebut
secara umum menggunakan tangki tertutup bertekanan tinggi.
Pyrolysis pada sampah padat mengubah sampah padat menjadi padatan, cairan dan gas.
Hasil cairan dan gas pyrolysis dapat dijadikan bahan bakar pembangkit listrik ataupun diolah
kembali menjadi produk kimia lain, sedangkan hasil padatan dapat diolah kembali menjadi
produk karbon aktif.
Gasifikasi digunakan untuk mengubah sampah organik menjadi gas sintesis yang
terbentuk dari karbon dioksida (CO2) dan hidrogen (H2). Gas sintesis dijadikan bahan bakar
untuk pembangkit listrik tenaga uap. (Adzim, 2013)

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah


Pembangkit Listrik Tenaga Sampah disebut juga sebagai pembangkit listrik tenaga
sampah merupakan pembangkit yang dapat membangkitkan tenaga listrik dengan
memanfaatkan sampah sebagai bahan utamanya, baik dengan memanfaatkan sampah organik
maupun anorganik.
Mekanisme pembangkitan dapat dilakukan dengan metode secara pembakaran / thermal
dan secara biologis. Proses konversi melalui metode thermal dapat dicapai melalui beberapa
cara pembangkitan, yaitu dengan metode pirolisis, combustion, Plasma Arc Gasification,
thermal gasifikasi. Sedangkan Proses konversi tenaga listrik dengan cara mekanisme biologis
terbagi atas dua metode pembangkit yaitu dengan cara Anaerobik digestion dan landfill
gasification. (Kuncoro, 2008)

2.3.1 Anaerobic Digestion


Anaerobic digestion atau biasa dikenal dengan pengolahan anaerobik merupakan proses
suatu proses biologis dengan menggunakan mikroorganisme yang bertujuan untuk
menghasilkan biogas. Biogas ini biasanya terdiri dari gas metana (CH4) dan karbon dioksida
(CO2). Proses pengolahan ini disebut anaerobik karena mikroorganisme yang digunakan
tidak memerlukan oksigen dalam proses pengolahan tersebut. Anaerobic digestion biasanya
digunakan untuk mengolah limbah organik seperti makanan atau kotoran hewan. Dalam
pengolahan dengan menggunakan teknik anaerobic digestion juga diperlukan beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan.
Faktor pertama yang perlu diketahui yaitu suhu, suhu sangat berpengaruh terhadap
proses pengolahan karena mikroorganisme yang digunakan akan menghasilkan enzim yang
lebih banyak pada suhu optimum sehingga keadaan suhu perlu dijaga dengan baik.
Suhu yang baik dalam proses pengolahan anaerobic digestion yaitu berkisar antara 4 –
60°C. Namun hal ini juga perlu disesuaikan dengan mikroorganisme yang digunakan karena
setiap mikroorganisme memiliki tingkat ketahanan yang berbeda – beda untuk suhu.
Selain suhu faktor selanjutnya yang perlu diperhatikan yaitu pH. Tingkat keasaman
juga mempengaruhi karena mikroorganisme yang dapat menghasilkan metana (CH4)
biasanya dapat bekerja optimal pada pH antara 6,4 – 7,4. Jika terjadi penurunan atau
kenaikan pH yang cukup signifikan hal ini akan menyebabkan proses anaerobic digestion
akan berjalan lebih lambat dari seharusnya.
Faktor ketiga yang perlu diperhatikan yaitu konsentrasi substart atau ketersediaan
nutrient untuk mikroorganisme yang digunakan. Jika jumlah nutrient yang tersedia tidak
sesuai dengan jumlah mikroorganisme yang ada maka dapat menyebabkan proses terjadi
lebih lambat. Hal ini dapat terjadi karena banyak mikroorganisme yang mati selama proses
disebabkan jumlah nutrient yang tidak mencukupi.
Faktor terakhir yaitu zat beracun, zat beracun disini maksudnya adalah zat organik
maupun anorganik yang berbahaya bagi mikroorganisme yang digunakan dalam proses
pengolahan. Jika terdapat zat yang berbahaya maka mikroorganisme akan mati dan proses
pengolahan tidak dapat terjadi sehingga produksi metana (CH4) berkurang. (Lanovia, 2015)

2.3.2 Landfill Gasification


Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik dengan dengan metode
sanitary landfill yaitu, memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah. Landfill Gas adalah
produk sampingan dari proses dekomposisi dari timbunan sampah yang terdiri dari unsur
~50% metan (CH4), ~50% karbon dioksida (CO2) dan <1% non-methane organic compound
(NMOCs), ujarnya. Landfill Gas harus dikontrol dan dikelola dengan baik karena jika hal
tersebut tidak dilakukan dapat menimbulkan smog (kabut gas beracun), pemanasan global
dan kemungkinan terjadi ledakan gas.
Sistem sanitary landfill dilakukan dengan cara memasukkan sampah kedalam lubang
selanjutnya diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah yang gembur demikian
seterusnya hingga menbentuk lapisan-lapisan. Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk,
proses selanjutnya adalah memasang pipa-pipa penyalur untuk mengeluarkan gas. Gas
selanjutnya dialirkan menuju tabung pemurnian sebelum pada akhirnya dialirkan ke generator
untuk memutar turbin. Dalam penerapan sistem sanitary landfill yang perlu diperhatikan
adalah, luas area harus mencukupi, tanah untuk penutup harus gembur, permukaan tanah
harus dalam dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan sampah sehingga biaya
transportasi untuk mengangkut tanah tidak terlalu tinggi. (Kementrian ESDM, 2009)
Adzie, Hebbie Ilma. 2013. Manajemen Pengelolaan (Pengolahan) Sampah di Era Modern.
https://teraspenganggur.blogspot.co.id/2013/11/manajemen-pengelolaan-pengolahan
sampah.html. Diakses tanggal 18 Desember 2017
Kuncoro, Kukuh Siwi. 2008. Studi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah10
MWe di Kota Medan Ditinjau dari Aspek Teknis, Ekonomi, dan Lingkungan.
Surabaya
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta
Lanovia, Cindy. Pengolahan Limbah Pome Menggunakan Teknik Anaerobic Disgestion.
Tangerang
Kementrian ESDM. 2009. Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik.
Kementrian ESDM RI. http://www3.esdm.go.id/berita/energi-baru-dan-terbarukan/323
energi-baru-dan-terbarukan/2741-pemanfaatan-gas-dari-sampah-untuk-pembangkit
listrik.html Diakses tanggal 18 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai