Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat. (Chandra, 2006) Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang krusial bahkan sampah dapat dikatakan sebagai masalah kultural karena berdampak pada sisi kehidupan terutama di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Medan dan kota besar lainnya. Sampah akan terus ada dan tidak akan berhenti diproduksi oleh kehidupan manusia, jumlahnya akan berbanding lurus dengan jumlah penduduk, bisa dibayangkan banyaknya sampah-sampah dikota besar yang berpenduduk padat. Permasalahan ini akan timbul ketika sampah menumpuk dan tidak dapat dikelola dengan baik sehingga dapat menimbulkan dampak yang luas baik sosial masyarakat, kesehatan maupun lingkungan. (Kuncoro, 2008)
2.2 Teknik Pengelolaan Sampah
Dalam melakukan pengelolaan sampah, dibagi menjadi beberapa jenis teknik pengelolaan yang dilakukan berdasarkan lokasi dan jenis sampah yang akan diperoleh. 1. Pengerukan (Landfill) Mengeruk sampah dengan tanah di tempat tertentu (khusus) secara masif (kuantitas besar). Tempat pengerukan umumnya dibangun pada pertambangan, galian, terowongan, lubang ataupun ruang bawah tanah yang sudah tidak digunakan/dipakai lagi. Pada metode pengerukan masa lampau menimbulkan masalah seperti sampah terbawa angin, menarik binatang kecil (kutu maupun tikus) serta menghasilkan lumeran air endapan sampah (air lindi sampah). Hasil lain dari metode pengerukan sampah ialah terbentuknya gas (umumnya gas metana dan karbon dioksida/CO2) yang dihasilkan melalui penguraian anaerobik, dimana gas tersebut menghasilkan masalah bau dan gas efek rumah kaca. Pada metode pengerukan modern menambahkan lapisan plastik di dasar pengerukan untuk menampung air lindi sampah. Sampah yang dibuang juga dimampatkan terlebih dahulu, juga ditambahkan penutup untuk menghindari binatang kecil (kutu ataupun tikus). Ditambahkan juga di dalamnya untuk mengumpulkan gas yang dihasilkan sampah untuk menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
2. Pembakaran dengan tungku bakar (Incineration) :
Proses ini mengurangi volume sampah padat hingga 30% dari volume sampah padat sebelumnya. Proses ini mengubah sampah menjadi panas, gas, uap panas dan debu. Metode ini banyak digunakan pada pengelolaan (pengolahan) sampah pada pabrik (industri). Pada industri, metode pembakaran digunakan untuk pembuangan sampah cair, gas maupun padat. Metode pembakaran praktis digunakan untuk pembuangan jenis sampah biomedis. Pada perkembangannya, pembakaran sampah juga dimanfaatkan untuk pembakaran tungku peleburan dan juga boiler untuk menghasilkan energi listrik. Namun penggunaan metode pembakaran mengandung masalah polusi udara yang diakibatkan dari reaksi pembakaran sampah.
3. Daur ulang (Recycle) :
Secara umun sampah-sampah yang dapat didaur ulang antara lain aluminium (sampah kaleng minuman), tembaga (sampah kabel listrik), besi/baja (sampah tabung aerosol), polyethylene (sampah botol plastik), kaca (sampah toples dan botol kaca atupun piring kaca), kertas (sampah koran, kardus, HVS, dsj) dan juga sampah serat (fiber) termasuk PVC, LDPE, PP dan PS serta sampah elektronika.
4. Proses ulang biologis (Biological reprocessing) :
Penguraian sampah organik secara alami (melalui proses alami alam) menghasilkan kompos untuk pupuk. Proses ini juga menghasilkan gas (gas metana) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
5.Pemulihan energi (Energy recovery) :
Membuat sampah menjadi bahan bakar langsung boiler untuk menghasilkan uap panas dan energi listrik melalui turbin. Proses ini juga dapat dilakukan dengan membuat sampah menjadi bahan bakar tidak langsung dalam bentuk lain. Proses ini terdapat 2 (dua) macam yaitu pyrolysis dan gasifikasi. Keduanya merupakan bentuk proses yang saling berkaitan dengan memberikan perlakuan panas terhadap sampah dengan suhu yang sangat tinggi dengan batasan ketersediaan oksigen. Kedua proses tersebut secara umum menggunakan tangki tertutup bertekanan tinggi. Pyrolysis pada sampah padat mengubah sampah padat menjadi padatan, cairan dan gas. Hasil cairan dan gas pyrolysis dapat dijadikan bahan bakar pembangkit listrik ataupun diolah kembali menjadi produk kimia lain, sedangkan hasil padatan dapat diolah kembali menjadi produk karbon aktif. Gasifikasi digunakan untuk mengubah sampah organik menjadi gas sintesis yang terbentuk dari karbon dioksida (CO2) dan hidrogen (H2). Gas sintesis dijadikan bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap. (Adzim, 2013)
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah disebut juga sebagai pembangkit listrik tenaga sampah merupakan pembangkit yang dapat membangkitkan tenaga listrik dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan utamanya, baik dengan memanfaatkan sampah organik maupun anorganik. Mekanisme pembangkitan dapat dilakukan dengan metode secara pembakaran / thermal dan secara biologis. Proses konversi melalui metode thermal dapat dicapai melalui beberapa cara pembangkitan, yaitu dengan metode pirolisis, combustion, Plasma Arc Gasification, thermal gasifikasi. Sedangkan Proses konversi tenaga listrik dengan cara mekanisme biologis terbagi atas dua metode pembangkit yaitu dengan cara Anaerobik digestion dan landfill gasification. (Kuncoro, 2008)
2.3.1 Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion atau biasa dikenal dengan pengolahan anaerobik merupakan proses suatu proses biologis dengan menggunakan mikroorganisme yang bertujuan untuk menghasilkan biogas. Biogas ini biasanya terdiri dari gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Proses pengolahan ini disebut anaerobik karena mikroorganisme yang digunakan tidak memerlukan oksigen dalam proses pengolahan tersebut. Anaerobic digestion biasanya digunakan untuk mengolah limbah organik seperti makanan atau kotoran hewan. Dalam pengolahan dengan menggunakan teknik anaerobic digestion juga diperlukan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Faktor pertama yang perlu diketahui yaitu suhu, suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengolahan karena mikroorganisme yang digunakan akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada suhu optimum sehingga keadaan suhu perlu dijaga dengan baik. Suhu yang baik dalam proses pengolahan anaerobic digestion yaitu berkisar antara 4 – 60°C. Namun hal ini juga perlu disesuaikan dengan mikroorganisme yang digunakan karena setiap mikroorganisme memiliki tingkat ketahanan yang berbeda – beda untuk suhu. Selain suhu faktor selanjutnya yang perlu diperhatikan yaitu pH. Tingkat keasaman juga mempengaruhi karena mikroorganisme yang dapat menghasilkan metana (CH4) biasanya dapat bekerja optimal pada pH antara 6,4 – 7,4. Jika terjadi penurunan atau kenaikan pH yang cukup signifikan hal ini akan menyebabkan proses anaerobic digestion akan berjalan lebih lambat dari seharusnya. Faktor ketiga yang perlu diperhatikan yaitu konsentrasi substart atau ketersediaan nutrient untuk mikroorganisme yang digunakan. Jika jumlah nutrient yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah mikroorganisme yang ada maka dapat menyebabkan proses terjadi lebih lambat. Hal ini dapat terjadi karena banyak mikroorganisme yang mati selama proses disebabkan jumlah nutrient yang tidak mencukupi. Faktor terakhir yaitu zat beracun, zat beracun disini maksudnya adalah zat organik maupun anorganik yang berbahaya bagi mikroorganisme yang digunakan dalam proses pengolahan. Jika terdapat zat yang berbahaya maka mikroorganisme akan mati dan proses pengolahan tidak dapat terjadi sehingga produksi metana (CH4) berkurang. (Lanovia, 2015)
2.3.2 Landfill Gasification
Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik dengan dengan metode sanitary landfill yaitu, memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah. Landfill Gas adalah produk sampingan dari proses dekomposisi dari timbunan sampah yang terdiri dari unsur ~50% metan (CH4), ~50% karbon dioksida (CO2) dan <1% non-methane organic compound (NMOCs), ujarnya. Landfill Gas harus dikontrol dan dikelola dengan baik karena jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menimbulkan smog (kabut gas beracun), pemanasan global dan kemungkinan terjadi ledakan gas. Sistem sanitary landfill dilakukan dengan cara memasukkan sampah kedalam lubang selanjutnya diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah yang gembur demikian seterusnya hingga menbentuk lapisan-lapisan. Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk, proses selanjutnya adalah memasang pipa-pipa penyalur untuk mengeluarkan gas. Gas selanjutnya dialirkan menuju tabung pemurnian sebelum pada akhirnya dialirkan ke generator untuk memutar turbin. Dalam penerapan sistem sanitary landfill yang perlu diperhatikan adalah, luas area harus mencukupi, tanah untuk penutup harus gembur, permukaan tanah harus dalam dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan sampah sehingga biaya transportasi untuk mengangkut tanah tidak terlalu tinggi. (Kementrian ESDM, 2009) Adzie, Hebbie Ilma. 2013. Manajemen Pengelolaan (Pengolahan) Sampah di Era Modern. https://teraspenganggur.blogspot.co.id/2013/11/manajemen-pengelolaan-pengolahan sampah.html. Diakses tanggal 18 Desember 2017 Kuncoro, Kukuh Siwi. 2008. Studi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah10 MWe di Kota Medan Ditinjau dari Aspek Teknis, Ekonomi, dan Lingkungan. Surabaya Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta Lanovia, Cindy. Pengolahan Limbah Pome Menggunakan Teknik Anaerobic Disgestion. Tangerang Kementrian ESDM. 2009. Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik. Kementrian ESDM RI. http://www3.esdm.go.id/berita/energi-baru-dan-terbarukan/323 energi-baru-dan-terbarukan/2741-pemanfaatan-gas-dari-sampah-untuk-pembangkit listrik.html Diakses tanggal 18 Desember 2017