Anda di halaman 1dari 5

SEBUTIR HARAPAN dari SEGETIR PENYESALAN

Siti Nurhaliza S.Dg.M

Sirene ambulance sore itu seakan mengguncang kota Brebes. Rumah Sakit Setia

Budi telah menjadi pangkalan ambulance yang tak henti-hentinya berdatangan

membawa para korban kebakaran yang baru saja terjadi di Pasar Central kota Brebes.

Mahluk-mahluk berjas putih berlarian keluar dengan tergesa-gesa, bak hendak

menyambut bapak presiden di acara 17-an, seakan-akan mereka takut akan mendapat

hukuman jika tidak menyambutnya. Mereka sigap sekali menanti pasien-pasien yang

akan di keluarkan dari dalam mobil jenazah itu. Suara-suara tangis kesakitan para

korban serta bau obat-obatan khas rumah sakit berbaur menjadi satu. Membuat hati

siapapun tidak enak jika berada disana. Pilu.

Mereka di kumpulkan di ruang IGD. Ruangan itu menjadi sesak para korban dan

sanak familinya. Para dokter muda (residen) dengan sigap melaksanakan tugas mereka

melayani pasien-pasiennya, suster-susternya pun turut membantu.

Di kejauhan terlihat seorang wanita cantik berjalan dengan tenang menuju ke

arah pintu IGD tempat para korban itu di rawat. Air wajahnya sangat tenang,

menggambarkan kewibawaannya sebagai seorang Kepala Departemen Bedah di rumah

Sakit Setia Budi itu. Tubuhnya proporsional, yang selalu di balut dengan jas putih , serta

kepalanya yang selalu tertutup kain tipis, menambah pesona dokter muda itu. Di

usianya yang ke 25 tahun itu , ia sudah di beri kepercayaan sebagai kepala departemen

oleh pimpinan rumah sakit. Meskipun begitu, namun ia sangat di hormati oleh orang-

orang disana. Terbukti, para dokter dan suster menunduk memberi salam ketika ia

memasuki ruangan. Sebenarnya ia tidak ingin di perlakukan seperti itu. Tapi, itu adalah
suatu bentuk penghormatan kepada seorang atasan, tak memandang usianya, tetapi

bagaimana pembawaannya terhadap bawahannya. Begitu kata mereka setiap kali ia

protes di perlakukan seperti itu. Namanya Aina Maryam. dr. Aina Maryam. Merupakan

seorang dokter ahli bedah dengan bakat yang luar biasa.

Ia melangkah dari satu pasien ke pasien lainnya. Memeriksa keadaannya.

Sesekali ia berbincang dengan dokter residen yang bertugas disana. Ia keluar setelah

sebelumnya memberi petunjuk serta arahan untuk tindakan yang harus mereka lakukan

selanjutnya. Seakan memberi kepercayaan kepada dokter-dokter muda disana.Masih

dengan langkahnya yang tenang, ia berlalu meninggalkan ruangan IGD itu.

Saat itu pukul 13.20.

“Sudah waktunya makan siang” gumamnya

Ia berjalan menuju kantin yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Kantin

Biru namanya. Makanan disana memang terkesan murah, tapi bukan berarti rasanya tak

enak. Pelayananya juga sangat bersih dan baik. Itulah salah satu alasan kenapa kantin

Biru itu menjadi tempat favoritnya untuk makan, atau hanya sekedar beristirahat setelah

seharian bekerja keras melakukan operasi yang tidak ada henti-hentinya.

“Kok suka kesini , Dok? Padahal ada kantin khusus buat para dokter yang pelayanannya

bisa lebih baik” pungkas seorang wanita paruh baya, yang bisa di tebak bahwa dia

adalah salah satu pelayan di kantin itu.

“ Disana berisik. Orang-orang terlalu serius dengan dunia bisnis mereka. Dunia medis

mereka. Dan dunia-dunia mereka yang lain. Mereka tidak pernah berfikir tentang

bagaimana dunia pasien-pasien mereka. Mereka juga tidak bisa merasakan penderitaan
kerabat-kerabat pasien mereka yang kesusahan berfikir mencari uang , agar bisa

membeli obat yang harganya selangit. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya, Bu.

Makanya aku mencari duniaku sendiri disini.” Ungkapnya panjang lebar seraya

memamerkan senyum manisnya. Lagi-lagi sikapnya ini, menunjukkan bahwa betapa

rendah dirinya mahluk tuhan yang satu ini. begitulah pikir ibu pelayan kantin itu.

***

Rumah sakit Setia Budi memang sering kali ramai oleh para pasien. Hal tersebut

dikarenakan masyarakat percaya bahwa dokter-dokter yang ada di dalamnya bukanlah

dokter-dokter imitasi, yang suka melakukan mal praktek. Mereka adalah dokter-dokter

luar biasa lulusan perguruan tinggi ternama di seluruh dunia. Tapi tidak dengan hari itu.

Rumah sakit itu diramaikan oleh pasien-pasien keracunan yang datang dari suatu

kampung di pedalaman, yang sangat jauh dari jangkauan kota Brebes. Mereka

memutuskan membawa pasien-pasien keracunan yang rata-rata adalah anak-anak

tersebut ke rumah sakit Setia Budi, karena rumah sakit itu adalah rumah sakit yang di

anggap terjangkau juga mereka percayai bisa mengobati anak-anak mereka. Tetapi

sayang, semuanya sungguh diluar dugaan mereka. Hal-hal baik yang mereka harapkan,

semisal mendapat pelayanan yang baik, sungguh hanyalah fiktif belaka. Para suster

bahkan para dokter acuh saja dengan keadaan disekitarnya. Tak ada yang mau memberi

pelayanan medis kepada korban-korban itu.

“Apa yang mereka pikirkan dengan membawa orang-orang itu kesini, hah?” bentak

seorang pria berjas hitam, yang bisa dipastikan dia adalah seorang direktur. Direktur

Rumah Sakit Setia Budi.


“Kita akan mengalami kerugian besar jika melayani mereka. Apa kalian pikir obat-

obatan yang akan di berikan itu, murah? Iya kalau mereka mampu membayar biaya

berobat disini, bagaimana kalau mereka meminta di gratiskan? Enak saja. Jangan

berikan pelayanan apa pun tanpa izin dariku. Bila perlu usir saja mereka. Panggil semua

satpam yang bertugas untuk membawa mereka keluar” bentaknya berapi-api, bak

harimau kelaparan.

Orang yang di bentaknya itu berlalu dengan cepat. Takut jika kena semprot lagi oleh

atasannya yang beringas itu. Setidaknya, begitulah penilaian orang-orang yang menjadi

pendampingnya.

“Ada apa Farhan? Kenapa panik begitu?”

“Begini Aina, bapak Direktur kita yang baru itu melarang semua aktivitas medis untuk

dilakukan kepada para pasien keracunan. Kasian mereka Aina. Sudah satu jam lebih

mereka disini, memohon mendapat pelayanan. Jika kita tidak cepat mengambil

tindakan, mereka semua akan mati. Dan itu artinya kita telah membunuh banyak orang”

racaunya panik.

“ Kamu tenang Farhan. Pak Rendi itu hanya direktur sementara, yang di tugaskan oleh

dr. Sofyan selaku ayahnya. Tujuannya agar ia bisa terlatih sebagai seorang pemimpin,

guna meneruskan posisi ayahnya nanti. Dan itu artinya, dia tidak sepenuhnya berhak

untuk mengatur segalanya, termasuk tindakan tidak masuk akal ini. kita bisa

mengadukannya kepada dr. Sofyan”

“Bagaimana mungkin orang seperti itu menjadi pemimpin?” gerutunya geram terhadap

sikap atasannya itu.


Pelataran rumah sakit Setia Budi ramai oleh pasien-pasien dan sanak

keluarganya yang sedih karena tak bisa mendapatkan pelayanan. Ada yang muka serta

badannya sudah membiru, mungkin racun itu sudah merajai seluruh tubuhnya. Mereka

terlihat pasrah akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara itu, di depan gedung

rumah sakit sudah di ramaikan dengan orang-orang yang membawa kamera di

tangannya. Ya, mereka adalah media. Media yang siap meliput tindakan tidak adil yang

dilakukan oleh seorang direktur tidak berperikemanusiaan.

Kenangan tentang kejadian dua tahun silam menyeruak didalam pikirannya,

dimana ketidakadilan sempat terjadi di tempat ini di waktu yang sama. Masih ada rasa

geram saat mengenangnya lagi. Ia ingin kembali ke masa itu dan memberontak.

Perasaan bersalahnya tak pernah hilang selama dua tahun lamanya. Butiran bening jatuh

di pipi tirusnya. Itu adalah air mata penyesalan. Menyesal karena tak bisa berbuat

banyak.

Dddrrrtttt... dddrrrrttt...

“Halo dokter. Selamat siang. Operasi akan dilakukan 20 menit lagi..”

***

Anda mungkin juga menyukai