Sirene ambulance sore itu seakan mengguncang kota Brebes. Rumah Sakit Setia
membawa para korban kebakaran yang baru saja terjadi di Pasar Central kota Brebes.
menyambut bapak presiden di acara 17-an, seakan-akan mereka takut akan mendapat
hukuman jika tidak menyambutnya. Mereka sigap sekali menanti pasien-pasien yang
akan di keluarkan dari dalam mobil jenazah itu. Suara-suara tangis kesakitan para
korban serta bau obat-obatan khas rumah sakit berbaur menjadi satu. Membuat hati
Mereka di kumpulkan di ruang IGD. Ruangan itu menjadi sesak para korban dan
sanak familinya. Para dokter muda (residen) dengan sigap melaksanakan tugas mereka
arah pintu IGD tempat para korban itu di rawat. Air wajahnya sangat tenang,
Sakit Setia Budi itu. Tubuhnya proporsional, yang selalu di balut dengan jas putih , serta
kepalanya yang selalu tertutup kain tipis, menambah pesona dokter muda itu. Di
usianya yang ke 25 tahun itu , ia sudah di beri kepercayaan sebagai kepala departemen
oleh pimpinan rumah sakit. Meskipun begitu, namun ia sangat di hormati oleh orang-
orang disana. Terbukti, para dokter dan suster menunduk memberi salam ketika ia
memasuki ruangan. Sebenarnya ia tidak ingin di perlakukan seperti itu. Tapi, itu adalah
suatu bentuk penghormatan kepada seorang atasan, tak memandang usianya, tetapi
protes di perlakukan seperti itu. Namanya Aina Maryam. dr. Aina Maryam. Merupakan
Sesekali ia berbincang dengan dokter residen yang bertugas disana. Ia keluar setelah
sebelumnya memberi petunjuk serta arahan untuk tindakan yang harus mereka lakukan
Ia berjalan menuju kantin yang terletak di ujung koridor rumah sakit. Kantin
Biru namanya. Makanan disana memang terkesan murah, tapi bukan berarti rasanya tak
enak. Pelayananya juga sangat bersih dan baik. Itulah salah satu alasan kenapa kantin
Biru itu menjadi tempat favoritnya untuk makan, atau hanya sekedar beristirahat setelah
“Kok suka kesini , Dok? Padahal ada kantin khusus buat para dokter yang pelayanannya
bisa lebih baik” pungkas seorang wanita paruh baya, yang bisa di tebak bahwa dia
“ Disana berisik. Orang-orang terlalu serius dengan dunia bisnis mereka. Dunia medis
mereka. Dan dunia-dunia mereka yang lain. Mereka tidak pernah berfikir tentang
bagaimana dunia pasien-pasien mereka. Mereka juga tidak bisa merasakan penderitaan
kerabat-kerabat pasien mereka yang kesusahan berfikir mencari uang , agar bisa
membeli obat yang harganya selangit. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya, Bu.
Makanya aku mencari duniaku sendiri disini.” Ungkapnya panjang lebar seraya
rendah dirinya mahluk tuhan yang satu ini. begitulah pikir ibu pelayan kantin itu.
***
Rumah sakit Setia Budi memang sering kali ramai oleh para pasien. Hal tersebut
dokter-dokter imitasi, yang suka melakukan mal praktek. Mereka adalah dokter-dokter
luar biasa lulusan perguruan tinggi ternama di seluruh dunia. Tapi tidak dengan hari itu.
Rumah sakit itu diramaikan oleh pasien-pasien keracunan yang datang dari suatu
kampung di pedalaman, yang sangat jauh dari jangkauan kota Brebes. Mereka
tersebut ke rumah sakit Setia Budi, karena rumah sakit itu adalah rumah sakit yang di
anggap terjangkau juga mereka percayai bisa mengobati anak-anak mereka. Tetapi
sayang, semuanya sungguh diluar dugaan mereka. Hal-hal baik yang mereka harapkan,
semisal mendapat pelayanan yang baik, sungguh hanyalah fiktif belaka. Para suster
bahkan para dokter acuh saja dengan keadaan disekitarnya. Tak ada yang mau memberi
“Apa yang mereka pikirkan dengan membawa orang-orang itu kesini, hah?” bentak
seorang pria berjas hitam, yang bisa dipastikan dia adalah seorang direktur. Direktur
obatan yang akan di berikan itu, murah? Iya kalau mereka mampu membayar biaya
berobat disini, bagaimana kalau mereka meminta di gratiskan? Enak saja. Jangan
berikan pelayanan apa pun tanpa izin dariku. Bila perlu usir saja mereka. Panggil semua
satpam yang bertugas untuk membawa mereka keluar” bentaknya berapi-api, bak
harimau kelaparan.
Orang yang di bentaknya itu berlalu dengan cepat. Takut jika kena semprot lagi oleh
atasannya yang beringas itu. Setidaknya, begitulah penilaian orang-orang yang menjadi
pendampingnya.
“Begini Aina, bapak Direktur kita yang baru itu melarang semua aktivitas medis untuk
dilakukan kepada para pasien keracunan. Kasian mereka Aina. Sudah satu jam lebih
mereka disini, memohon mendapat pelayanan. Jika kita tidak cepat mengambil
tindakan, mereka semua akan mati. Dan itu artinya kita telah membunuh banyak orang”
racaunya panik.
“ Kamu tenang Farhan. Pak Rendi itu hanya direktur sementara, yang di tugaskan oleh
dr. Sofyan selaku ayahnya. Tujuannya agar ia bisa terlatih sebagai seorang pemimpin,
guna meneruskan posisi ayahnya nanti. Dan itu artinya, dia tidak sepenuhnya berhak
untuk mengatur segalanya, termasuk tindakan tidak masuk akal ini. kita bisa
“Bagaimana mungkin orang seperti itu menjadi pemimpin?” gerutunya geram terhadap
keluarganya yang sedih karena tak bisa mendapatkan pelayanan. Ada yang muka serta
badannya sudah membiru, mungkin racun itu sudah merajai seluruh tubuhnya. Mereka
terlihat pasrah akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara itu, di depan gedung
tangannya. Ya, mereka adalah media. Media yang siap meliput tindakan tidak adil yang
dimana ketidakadilan sempat terjadi di tempat ini di waktu yang sama. Masih ada rasa
geram saat mengenangnya lagi. Ia ingin kembali ke masa itu dan memberontak.
Perasaan bersalahnya tak pernah hilang selama dua tahun lamanya. Butiran bening jatuh
di pipi tirusnya. Itu adalah air mata penyesalan. Menyesal karena tak bisa berbuat
banyak.
Dddrrrtttt... dddrrrrttt...
***