Apa artinya ini? TI berpendapat bahwa mengawasi tindak korupsi hanya dapat dilakukan jika
wakil-wakil dari pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil bekerja sama untuk menyetujui
serangkaian standar dan prosedur yang mereka dukung bersama. TI juga berpendapat bahwa
korupsi tidak dapat dibasmi dalam satu sapuan besar. Sebaliknya, pertempuran itu adalah
langkah-demi-langkah, proyek-melalui proses-proyek. TI mengutuk penyuapan dan korupsi
dengan penuh semangat dan berani dimanapun kasus itu telah diidentifikasi, meskipun TI tidak
berusaha untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi individual. Akhirnya, pendekatan TI non-
konfrontatif diperlukan untuk mendapatkan dukungan semua pihak terkait.
Secara ekonomi, korupsi menyebabkan penipisan kekayaan nasional. Hal ini merupakan
penyebab untuk penyaluran sumber daya publik yang langka untuk proyek-proyek high-profile
tidak ekonomis, seperti bendungan, pembangkit listrik, jaringan pipa dan kilang, dengan
mengorbankan proyek-proyek infrastruktur kurang spektakuler tetapi mendasar seperti sekolah,
rumah sakit dan jalan, atau pasokan listrik dan air untuk daerah pedesaan. Selain itu,
menghambat perkembangan struktur pasar yang adil dan mendistorsi persaingan, sehingga
menghalangi investasi.
Pengaruh korupsi pada struktur sosial masyarakat adalah yang paling merusak dari semua. Ini
melemahkan kepercayaan rakyat dalam sistem politik, di lembaga dan kepemimpinannya.
Menimbulkan frustrasi dan sikap apatis umum di kalangan publik akibat kekecewaan. Yang
berikutnya membuka jalan bagi pemimpin lalim maupun pemimpin yang terpilih secara
demokratis tapi tak bermoral untuk mengubah aset-aset nasional menjadi kekayaan pribadi.
Menuntut dan membayar suap menjadi norma. Mereka yang tidak bersedia untuk mematuhi
seringkali emigrasi, meninggalkan negara kehabisan warganya yang paling mampu berkarya
dan paling jujur.
Kerusakan lingkungan adalah satu lagi konsekuensi dari sistem yang korup. Kurangnya, atau
tidak adanya penegakan, peraturan lingkungan dan perundang-undangan secara historis
memungkinkan pembalakan liar. Pada saat yang sama, eksploitasi sumber daya alam yang
ceroboh, oleh agen domestik dan internasional telah menyebabkan lingkungan alam rusak.
Proyek-proyek yang merusak lingkungan menjadi pilihan dalam pendanaan, karena mereka
adalah target mudah untuk menyedot uang publik ke dalam kantong pribadi.
Contoh berikut menggambarkan dilema menekan isu menjadi fakta-fakta dan angka: Sebuah
pembangkit listrik sedang dibangun di suatu tempat di dunia, dengan biaya sebesar 1 trilyun
rupiah. Dapat dikatakan bahwa - kalau bukan karena korupsi - biaya bisa saja terendah 800
milyar rupiah. Kerusakan finansial publik berarti sebesar 200 milyar rupiah. Dalam praktek,
cukup sering proyek direncanakan secara sederhana sehingga mereka yang yang terlibat dapat
membuat keuntungan pribadi yang besar. Jika diasumsikan bahwa pembangkit listrik itu
ternyata sudah melebihi kapasitas berlebih, maka kerusakan finansial bernilai 1 Trilyun rupiah.
Dan hingga saat ini, belum ada proyek konstruksi utama yang tidak mempengaruhi lingkungan.
Hasilnya mungkin: polusi meningkat, penurunan harga tanah, memindahkan kembali
(resettlement) penduduk lokal, beban utang meningkat bagi negara, dll perhitungan ini -
mungkin dekat dengan kenyataan - sangat kompleks. Pada skala global, tampaknya hampir
mustahil. Tetapi bahkan jika kita dapat menghitung kerusakan lingkungan, peningkatan beban
utang dan faktor lain, bagaimana seseorang mengukur erosi kepercayaan publik dan
kemerosotan legitimasi pemerintah, yang merupakan akibat langsung dari korupsi?
Orang-orang korup karena sistem memungkinkan mereka untuk menjadi korup. Ini adalah
pertemuan antara godaan dengan ke-permisif-an sehingga korupsi berakar pada skala luas.
Lingkungan seperti itu lebih mungkin dalam negara demokrasi yang baru muncul dari Selatan
dan Timur. Di sana, administrasi dan lembaga-lembaga politik masih lemah dan skala gaji
umumnya sangat rendah, para pejabat tergoda untuk "tambahan" penghasilan mereka. Dalam
sistem diktatorial, sementara itu, lembaga-lembaga administratif dan politik hanyalah
perpanjangan dari praktek korup perampas itu.
Tahun 1999 Konvensi Anti-Suap OECD telah membuat penyuapan pejabat asing sebagai
tindak pidana. TI telah membahas hal ini aspek dengan Index Pembayar Suap nya (BPI),
sebuah pelengkap logis CPI. Selain pertanyaan tentang pervasiveness korupsi regional, isu
korupsi berdasarkan sektor sering diangkat. BPI menyediakan bukti statistik sebagai mana
sektor usaha yang paling rentan terhadap korupsi. Menurut hasil ini, masalah korupsi sangat
lazim di pekerjaan umum dan konstruksi, diikuti oleh persenjataan dan industri pertahanan.
Sektor dengan korupsi terdeteksi paling sedikit adalah pertanian.
Ketika harga bensin Guatemala melonjak pada 2008, kehidupan menjadi sulit bagi banyak
keluarga dan bisnis. Beberapa pemasok bensin, bagaimanapun, tidak menderita bersama
mereka: mereka telah mampu membawa bensin murah melalui perbatasan dari Meksiko,
meskipun itu ilegal untuk dilakukan. Karena "menyebrang" dengan truk kosong merupakan
pelanggaran, pengemudi truk mungkin telah membayar suap kepada otoritas bea cukai untuk
diizinkan lewat. Media secara luas melaporkan bahwa bensin murah tersedia di pinggiran kota,
kadang-kadang dijual di stasiun bensin dadakan dan sementara. Pemilik SPBU yang tidak
memiliki akses ke pasokan bensin murah dari Meksiko mengklaim mereka kehilangan bisnis
kepada para pemasok bensin baru. TI menyerahkan masalah ini ke Kantor Bea Nasional bahwa
peraturan bea diperjelas untuk memastikan bahwa semua kendaraan komersial melintasi
perbatasan harus punya bukti yang sah atas alasan bisnis mereka untuk melakukannya.
Selain Jaksa Agung MA Rachman dan Hakim Agung Parman Soeparman, dalam seminar itu sekitar
10 profesor doktor di bidang hukum berbicara soal korupsi. Pesertanya adalah kalangan akademisi
di bidang hukum dan bidang terkait dari berbagai perguruan tinggi, serta praktisi hukum, yakni polisi,
jaksa, hakim, pengacara, dan mahasiswa hukum S1 sampai S3 pun hadir.
Tujuan seminar ini antara lain mengindentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan kendala
pemberantasan korupsi, merumuskan berbagai kriteria tentang kemungkinan kebijakan publik dapat
dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang memenuhi unsur sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi yang positif.
Seminar itu akan merumuskan sumbangan hukum perdata terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi, khususnya yang berkaitan antara perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata
dengan sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana, serta merumuskan standar penerapan
pertanggungjawaban korporasi dalam pidana korupsi.
Jaksa Agung tampil mengungkapkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan penegakan
hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia mengakui, korupsi harus diberantas dan
dijadikan agenda setiap pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak, untuk
memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional. Korupsi sudah merusak mekanisme dan
pertumbuhan ekonomi swasta serta merusak kepercayaan publik terhadap birokrasi, mengacaukan
pengambilan keputusan, menimbulkan anomali dalam kehidupan ekonomi rakyat.
Ironisnya, kata Rachman, selain modusnya semakin canggih, pelaku tindak pidana korupsi bukan
hanya dari kalangan birokrasi, tetapi juga menyebar di berbagai strata dan kalangan elite politik,
ekonomi, dan sosial bahkan lembaga kekuasaan di negara Indonesia.
Akan tetapi, ia juga mengakui tantangan yang dihadapi kejaksaan adalah lemahnya kemampuan
teknis sumber daya manusia jaksa baik dari kuantitas maupun kualitas.
Kendati demikian, kejaksaan sudah berusaha semaksimal mungkin menegakkan hukum dengan
menuntut pelaku tindak pidana korupsi ke pengadilan. Rachman pun menyebutkan, selama 10
tahun terakhir, hingga April 2004, perkara korupsi yang dilimpahkan ke pengadilan mencapai 574
perkara.
Angka di atas dianggap kejaksaan sebagai sebuah prestasi. Secara kuantitas mungkin demikian.
Namun, secara kualitas belum tentu demikian, karena hampir sebagian besar perkara yang masuk
ke pengadilan-terutama koruptor kelas kakap-kalau tidak lolos dari tuntutan hukum alias bebas,
hukumannya sangat rendah.
Tidak heran, kalau Prof Dr Andi Hamzah, guru besar Universitas Trisakti, menilai bahwa salah satu
penyebab banyaknya terdakwa korupsi yang diputus bebas adalah kurang dikuasainya asas-asas
hukum pidana oleh jaksa, hakim, dan advokat. Keadaan ini terjadi karena tidak terpadunya
pendidikan jaksa, hakim, dan advokat.
Apa yang diucapkan Andi Hamzah adalah realita. Sudah bukan rahasia lagi, proses hukum kasus
korupsi di pengadilan hampir sebagian besar mengecewakan. Proses hukum dan putusan-putusan
pengadilan terhadap sejumlah koruptor kelas kakap dinilai hingga kini belum sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat.
Kalau tidak dihentikan di tengah jalan prosesnya dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3), maka prosesnya sengaja ditarik ulur sedemikian lama. Alasannya pun macam- macam, mulai
dari yang belum cukup bukti sampai sedang menunggu penyelesaian dari Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK).
Kalaupun ada yang lolos ke pengadilan, hanya sedikit yang dijerat dengan hukuman. Kalau tidak
bebas atau lepas dari tuntutan, vonis yang dijatuhkan sangat rendah alias minimum. Ada lagi yang
lebih mengecewakan, perkara korupsinya disidang tetapi orangnya tidak ada (karena keburu kabur
atau diizinkan pergi ke luar negeri -Red). Kerugian negara pun tidak ada-atau kecil sekali -yang bisa
diselamatkan.
Rantai tindak pidana korupsi tampaknya tidak pernah putus. Yang namanya kasus korupsi seakan-
akan stoknya tidak pernah habis di Tanah Air ini. Belum selesai proses hukum yang dulu, datang
lagi perkara baru. Yang satu belum sempat diadili, yang lainnya sudah dibebaskan. Ada lagi yang
lebih ironis, sudah diperiksa berbulan-bulan, bahkan bertahun- tahun, tetapi hingga kini tidak jelas
kelanjutannya. Apakah akan diproses ke pengadilan atau tidak.
Pejabat yang seharusnya mengampanyekan antikorupsi dan memberantas korupsi justru menjadi
tersangka kasus korupsi. Demikian rapinya dikemas perbuatan korupsi itu sehingga seakan-akan
sulit tersentuh dengan hukum.
Tidak heran, kalau kemudian yang namanya kebijakan publik menjadi bahan perdebatan dalam
seminar itu. Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif dan negatif sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
dibahas dalam seminar itu.
Dalam seminar di Semarang pun, persoalan ini mengundang perdebatan yang panjang. Pada satu
sisi ada yang berpendapat, kebijakan publik yang dilakukan oleh pejabat negara dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, sementara pada sisi lain, ada yang berpendapat kebijakan publik itu
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana alias tidak dapat diadili secara pidana maupun
perdata.
Ada juga pendapat kebijakan publik hanya bisa dinilai dengan hukum administrasi negara. Yang lain
lagi berpendapat kebijakan publik harus dilihat apakah sesuai dengan rasa keadilan atau norma
kehidupan sosial di masyarakat.
Namun, Andi Hamzah justru mempertanyakan siapakah yang bisa menentukan bahwa suatu
perbuatan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial di masyarakat. UU
Tindak Pidana Korupsi perlu dikaji mendalam dan perlu yurisprudensi untuk mengisi kekosongan.
Karena UU itu buatan manusia, maka perlu diperbaiki, disempurnakan, dan diselaraskan dengan
konvensi internasional, ujarnya.
Dan akhirnya seperti yang sudah diduga, seminar ini pun tidak ada bedanya dengan seminar lain.
Soal apakah kebijakan publik dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau tidak, tidak ada
kesimpulannya. Yang ada hanya rumusan sementara yang berisi kutipan- kutipan pembicara, tetapi
rekomendasi yang jelas mengenai upaya konkret dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air tidak
ada.
Bicara soal seminar yang terkait dengan korupsi, mungkin tidak terhitung berapa banyak seminar
yang membahas soal korupsi. Pembahasan maupun perdebatan soal korupsi dari waktu ke waktu
tak kunjung berhenti. Hampir semua pakar hukum di Tanah Air sudah berbicara dan memberikan
konsep-konsep tentang pemberantasan korupsi.
Bahkan, berbagai lembaga- lembaga untuk memberantas korupsi pun dibentuk, bahkan yang
terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya tidak membuat para koruptor jera, tidak
membuat praktik korupsi di Tanah Air berhenti. Proses hukum di pengadilan pun tidak pernah ada
perubahan berarti. Kendati gencarnya sorotan dan kritik terhadap masyarakat, putusan- putusan
pengadilan dalam kasus korupsi tetap saja masih mengecewakan. Ibarat pepatah, meski anjing
menggonggong, kafilah tetap berlalu. Itulah nasib pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kenyataannya, sampai sekarang korupsi semakin merajalela dan memprihatinkan. Sementara para
pakar dan aparat penegak hukum sibuk membahas dan mendiskusikan pasal demi pasal dari
berbagai undang-undang. Ada sedikit harapan ketika Law Summit III yang digelar April lalu, di mana
semua pemimpin di bidang hukum dan peradilan berkumpul dan sepakat akan mempercepat
melakukan upaya pemberantasan korupsi. Tetapi sayangnya, kesepakatan itu hanya tinggal secarik
kertas yang tiada berarti. Kapan mulai action-nya hingga kini tak kunjung jelas.
Lihat saja KPK enam bulan sudah berlalu, tetapi apa yang dikerjakannya belum jelas. Tidak heran,
kalau KPK kemudian dianggap telah mati suri, sementara pengadilan korupsi tak kunjung terbentuk.
Lalu, bagaimana nasib pemberantasan korupsi di Tanah Air? Jawaban terbaik saat ini, jangan
hanya berkumpul, berbicara, dan berdiskusi, tetapi tunjukan tindakan konkret. Itu penting. Karena
yang ditunggu rakyat saat ini bukan teori dan teori lagi, tetapi kapan praktiknya. Cuma itu! (SONYA
HELLEN SINOMBOR)
SOAL !
1. Kemukakan pengertian korupsi dari segi gramatika/bahasa dan dari segi pengertian
yuridis/hukum !
Jawab :
Dalam bahasa Inggris korupsi berasal dari kata “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie”
untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur
yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986).
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi merumuskan tindak pidana korupsi sebagai berikut :
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
2. Kemukakan 7 asas dalam UU No. 30 tahun 1999. Jelaskan dua di antara yang anda
kemukakan tersebut !
Jawab : ( saya menyerah untuk menjawab pertanyaan no 2 ini,, tidak ketemu jawabannya koddong..
klu ada yang dapat jawabannya mohon bagi jawabannya akakkakkaa )
Ada saya dapat tapi Asas dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 5 yaitu :
PENJELASAN ASAS :
"Kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang KPK.
2. Asas keterbukaan
"Keterbukaan" adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
3. Asas Akuntabilitas
"Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kepentingan umum" adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
5. Asas Proposionalitas
Jawab :
Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: (1) aspek
perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan
organisasi berada (Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan
ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi
(ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu faktor
politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi, dan faktor transnasional.
Faktor Penyebab Korupsi Menggila Di Indonesia
TAMBAHAN :
Orang-orang yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk melakukan tindakan
kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman orang tersebut kuat, mereka tidak akan melakukan
tindakan korups ini. Banyak sekali alasan yang diberikan oleh penindak korupsi ini.
Lemahnya dan tidak tegasnya penegakan hukum merupakan faktor berkembangnya tindakan korupsi.
Penegakan hukum yang lemah ini dapat menghindarkan para pelaku korupsi dari sanksi-sanksi
hukum.
Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak tahu tentang mengenai bentuk-bentuk tindakan korupsi,
ketentuan dan juga sanksi hukumnya, dan juga cara menghindarinya. Akibatnya, banyak sekali
diantara mereka yang menganggap "biasa" terhadap tindakan korupsi, bahkan merekapun juga akan
melakukan hal tersebut.
Dengan keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai tindakan pun akan dilakukan oleh
seseorang, guna untuk mempermudah kebutuhan ekonomi seseorang, salahsatunya adalah dengan
melakukan tindakan korupsi.
5. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang baik akan berdampak baik juga bagi orang yang berada dilingkungan tersebut,
tetapi bagaimana jika di lingkungan tersebut penuh dengan tindakan korupsi dan lain-lain. Maka
orang tersebut juga akan terpengaruh dengan tindakan kriminal, contohnya korupsi.
4. Apakah yang dimaksud Gratifikasi dan kemukakan cara pelaporan Gratifikasi ?
Jawab :
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 Pasal 12c ayat 2 dan UU No. 30 tahun
2002 Pasal 16, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai berikut :
2. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
5. Kemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 Tindak
Pidana Korupsi !
Jawab :
Rumusan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang kini telah diubah dengan UU No
20 tahun 2001 memuat 3(tiga) unsur yaitu:
1. Adanya perbuatan melawan hukum dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;
2. Menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
6. Tindak Pidana Korupsi yang bagaimana dapat di tangani oleh KPK ? Kemukakan dan
jelaskan jawaban Anda !
Jawab :
• Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
• Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
7. Dalam pembuktian terbalik maka keterangan terdakwa dapat meringankan dan dapat
pula memberatkan. Pertanyaan :
Jawab :
- keterangan terdakwa dapat memberatkan dirinya apabila : dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A ayat (1) UU No. 20
Tahun 2001 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
CATATAN :
Jika ada kesalahan atau jawaban yang keliru mohon kritik dan sarannya. Karena saya hanya
mendapat jawaban dari beberapa blog yang saya baca. DAN jika merasa kurang puas dengan jawaban
yang ada, silahkan Search di berbagai blog yang lainnya... Semoga Bermanfaat dan Semoga Sukses
Guys... (^___^)'
(Wallahu'alam)..
http://paulsinlaeloe.blogspot.co.id/2010/07/memahami-korupsi.html
http://www.kompasiana.com/www.nabilahfirda.com/faktor-penyebab-korupsi-menggila-di-
indonesia_54f939e0a33311f8478b4d47
https://msofyanlubis.wordpress.com/2010/10/17/perbedaan-pasal-2-dan-pasal-3-uu-nomor-31-
tahun-1999-yang-telah-diubah-dengan-uu-nomor-20-tahun-2001/
http://multiajaib.blogspot.co.id/2014/10/faktor-penyebab-tindakan-korupsi.html
http://hasbagiilmu.blogspot.co.id/2015/08/faktor-penyebab-korupsi.html
http://komunitasgurupkn.blogspot.co.id/2015/04/pengertian-gratifikasi-dan-cara.html
http://kpk.go.id/id/faq
http://kpk.go.id/id/layanan-publik/pengaduan-masyarakat/mengenai-pengaduan-masyarakat
Tanya Jawab Anti Korupsi
Rabu, 20 April 2011
Apa sajakah yang termasuk syarat laporan pengaduan tindak pidana korupsi yang baik?
Laporan pengaduan tindak pidana korupsi yang baik setidak-tidaknya harus:
* Disampaikan secara tertulis
* Dilengkapi dengan identitas pelapor yang jelas
* Memuat informasi dugaan TPK
* Menjelaskan siapa, melakukan apa, kapan, di mana (mengapa), dan bagaimana
* Dilengkapi dengan informasi nilai kerugian negara/penyuapan/pemerasan/penggelapan
* Dilengkapi dengan bahan bukti yang mendukung/menjelaskan adanya TPK (gambar,
dokumen tertulis, rekaman)
* Dilengkapi dengan data sumber informasi untuk pendalaman
* Informasi penanganan kasus oleh penegak hukum/lembaga pengawasan (jika ada)
* Pengaduan tidak dipublikasikan
Apakah yang dimaksud dengan gratifikasi?
Menurut UU No. 20 tahun 2001, penjelasan pasal 12b ayat (1), gratifikasi adalah "pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya". Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah
saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang
dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan
pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai
balas jasa.
Siapakah yang dimaksud "pejabat penyelenggara negara" dan "pegawai negeri" dalam konteks
gratifikasi ini?
Berdasarkan UU No. 28 tahun 1999, bab II pasal 2, penyelenggara negara yang dimaksud
meliputi:
* Pejabat Negara pada lembaga tertinggi negara
* Pejabat Negara pada lembaga tinggi negara
* Menteri
* Gubernur
* Hakim
* Pejabat Negara lainnya seperti Duta Besar, Wakil Gubernur, Bupati, Wali Kota dan wakilnya
* Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti: Komisaris, Direksi, dan pejabat
struktural pada BUMN dan BUMD
* Pimpinan Bank Indonesia
* Pimpinan Perguruan Tinggi
* Pejabat Eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer
* Jaksa
* Penyidik
* Panitera pengadilan
* Pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.
Sementara yang dimaksud dengan pegawai negeri, sesuai dengan UU No 31. tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan No. 20 Tahun 2001, meliputi:
* Pegawai pada MA dan MK
* Pegawai pada kementerian/departemen/LPDN
* Pegawai pada Kejagung
* Pegawai pada Bank Indonesia
* Pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi/Dati II
* Pegawai pada Perguruan Tinggi
* Pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasarkan UU, Kepres, maupun PP;
* Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat Presiden, Sekretariat Wakil Presiden, dan Seskab
& Sekmil
* Pegawai pada BUMN dan BUMD
* Pegawai pada Lembaga Peradilan
* Anggota TNI dan Polri, serta pegawai sipil di lingkungan TNI dan Polri
* Pimpinan dan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I dan II.
Selain jabatan-jabatan di atas, maka jabatan-jabatan berikut ini juga diwajibkan untuk
menyampaikan LHKPN kepada KPK, yaitu:
* Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan
atau lembaga negara
* Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan
* Pemeriksa Bea dan Cukai
* Pemeriksa Pajak
* Auditor
* Pejabat yang mengeluarkan perijinan
* Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat
* Pejabat pembuat regulasi
* Pejabat-pajabat lainnya yang diiwajibkan untuk menyampaikan LHKPN berdasarkan Surat
Keputusan Pimpinan Instansi di lingkungannya masing-masing
* Kandidat atau Calon Penyelenggara Negara yang berdasarkan perintah undang-undang
diwajibkan untuk menyampaikan LHKPN. Misalnya: Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
serta Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah
Korupsi ( bahasa latin: courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat
membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial,
kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan
(fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan
(menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan
dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-
besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
Pada umumnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan
menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain
itu, Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang
(negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain
dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta
pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan
amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan
hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara
penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
Dan
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak
mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang
otentik. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun
akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus
diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan
mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati.
Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Dalam konteks USDRP yang diinisasi Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab
rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan
ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Untuk
itu, menjadi suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang dikembangkan oleh CPMU dengan
dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan MTAS mengembangkan manual tentang
Program Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action Plan/ACAP.
Tentunya pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team Konsultan Tingkat
Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank Dunia melalui USDRP serius untuk
membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) beserta benih-benihnya.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan
yang mengabaikan prinsip demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial
masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya
dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. Hernando de
Soto (1992) misalnya menyatakan. “….terdapat perilaku rasional (rational choice) dari
masyarakat untuk menjadi “informal” secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah. Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari
perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.” Barzelay (1982) dalam ‘Breaking
Through Bureaucracy’ menyatakan “ masyarakat bosan pada birokrasi yang rakus dan bekerja
lamban”
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja,
yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja,
yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan
bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari
kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-
undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial
masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur,
mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat
negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib
sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana
korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari
sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negara yang berupaya
mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Akibat – akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah :
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat korupsi diatas adalah
sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah,
pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai
produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah
praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara,
sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.
Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa
orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih
banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya
(BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul
pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun
sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi
sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum
tetap. Tapi perkara korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan
elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan
selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi
mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan
saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan
bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya,
kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama.
Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas
sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis.
Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini
akan semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang
lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia
negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat
terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi
dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait
dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk
memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap
kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita?
Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error
criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar
dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang
membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada
aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi
banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum
hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif
serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat
yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya
ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan
sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan
dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-
satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya
menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran
yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena
memungkinkan memutus mata rantainya.
Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
Pada akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.
Pro kontra wacana remisi
untuk koruptor
‘Pemerintah bermaksud untuk melonggarkan syarat atau obral pemberian remisi
agar koruptor tidak perlu berlama-lama dipenjara’
PENGGELAPAN PAJAK. Mantan pegawai pajak Gayus Tambunan berada di Pengadilan Tipikor, 1
Maret 2012. Foto oleh Bagus Indahono/EPA
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah mengatakan, bahwa penjara di
Indonesia sudah kelebihan kapasitas.
Upaya merevisi PP No. 99 tahun 2012 sudah dimulai sejak akhir 2015, tetapi
ditolak publik sehingga wacana revisi aturan yang akan mempermudah
narapidana kasus korupsi mendapat remisi ini menghilang.
Namun, sekitar Juli 2016 rancangan revisi itu muncul kembali dalam bentuk
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Warga Binaan. Dalam RPP ini,
aturan tentang pemberian remisi bagi narapidana korupsi adalah bagian kecil
dari keseluruhan substansinya,
Karena tidak disebut “Revisi PP 99/2012”, walau PP No. 99 tahun 2012 akan
dicabut jika RPP disahkan, penolakan publik tidak sekeras ketika wacana ketika
Revisi PP 99/2012 muncul. Namun, syarat menjadi justice collaborator tetap
dihapus dalam RPP itu.
“Kedua, syarat remisi kepada napi korupsi sangat longgar,” kata Dewi.
RPP Warga Binaan (Pasal 32 Ayat 1 dan 2) memberi tiga syarat kepada
narapidana korupsi yang ingin mendapat remisi:
Pemberian remisi pun menjadi lebih mudah karena dihapusnya syarat harus
memiliki status sebagai justice collaborator.
ICW: Cabut hak remisi jika terdakwa bukan ‘whistleblower’ dan ‘justice
collaborator’
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas pantauan kasus korupsi
pada Januari 2016 hingga Juni 2016, para peneliti merekomendasikan,
“Pengadilan harus pula mempertimbangkan untuk mencabut hak mendapatkan
remisi jika terdakwa bukanlah seorang whistleblower dan justice collaborator.”
“Persoalan pemberian remisi itu memang hak pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Hukum dan HAM. Tapi kan perlu dicek kembali arah kebijakan
politik hukum penanganan kasus korupsinya pemerintah juga,” kata peneliti ICW,
Aradilla Caesar, kepada Rappler.
Menurut Aradilla, ketika PP No. 99 tahun 2012 disusun, tentu ada alasannya.
Menanggapi alasan yang diajukan Kementerian Hukum dan HAM untuk merevisi
PP No. 99 tahun 2012, Aradilla menguraikan, “Kalau mau menyusun kebijakan
untuk mengurangi over kapasitas, yang disasar harusnya napi-napi narkoba,
karena jumlahnya sangat besar.
“Napi narkoba itu jumlah napi yang paling banyak di lembaga pemasyarakatan.
Bukan napi-napi korupsi yang jumlahnya sangat kecil dan tidak memberikan
dampak yang signifikan bagi mengurangi masalah kapasitas lapas.”
“Yang kedua, apakah hak remisi adalah hak yang semua napi harus dapatkan?
Kalau di Undang-Undang Pemasyarakatan, itu adalah hak bagi narapidana, tapi
di PP No. 99, hak itu sudah diatur dengan konteks pembatasan, diperketat
syaratnya.
“Semuanya bisa dapat, napi korupsi juga bisa dapat pengurangan [hukuman],
remisi, tapi dengan syarat tertentu. Ini juga sudah di-judicial review beberapa kali
dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa PP 99 yang memperketat pemberian
remisi tidak melanggar hak narapidana yang diatur Undang-Undang
Pemasyarakatan. Jadi alasan-alasan ini tidak berdasar dan mudah sekali
dipatahkan,” ungkap Aradilla.
Dihukum agar jera dan tidak mengulangi korupsi
“Dengan mengurangi hukuman, tentu juga akan menghilangkan efek jera itu tadi
yang sudah diberikan pengadilan. Kalau tadi misalnya dua tahun dihukum
pengadilan, rendah, diberikan remisi lagi, apakah napi akan akan mendapat efek
jera? Tentu tidak.
Hukuman mati bagi koruptor masih memicu pro dan kontra. Anggota Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, kemarin menyatakan mendukung hukuman mati dengan
sejumlah syarat. "Saya sebagai anggota Satgas setuju (hukuman mati)," kata Achmad saat
dihubungi kemarin.
Achmad mengemukakan sejumlah alasan mengapa koruptor harus dihukum mati, antar lain korupsi
merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah mendorong pemiskinan masyarakat, membuat
bangsa Indonesia rentan dan lemah, serta menggerogoti kemampuan Indonesia dalam
memobilisasi investasi.
Namun, menurut Achmad, perlu ada kesepahaman dulu soal jenis korupsi seperti apa yang
pelakunya pantas dihukum mati. Misalnya, korupsi yang didorong oleh keserakahan atau kerakusan
serta korupsi yang memanfaatkan penderitaan.
Selain itu, menurut Achmad, penerapan hukuman mati tak bisa berdiri sendiri. Hukuman mati harus
diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan. Peradilan, kata dia, harus bersih dari praktek-praktek
manipulasi. "Susah membayangkan jika hukuman mati dihasilkan dari proses yang tak bersih," ujar
Achmad.
Isu soal pentingnya hukuman mati bagi koruptor kembali digulirkan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Patrialis Akbar pada Kamis lalu. Menurut Menteri, secara normatif, undang-undang yang
mengatur hukuman mati koruptor sudah ada. Menteri merujuk pada Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Patrialis, orang yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu bisa dihukum mati.
Keadaan tertentu itu, misalnya, saat negara dilanda bencana atau krisis, ada orang yang
mengkorupsi dana bencana atau uang negara.
Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin juga menyambut
usulan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Agar tidak berhenti sebatas wacana, Azis
menyarankan Kementerian Hukum dan HAM mempertegas dan mengusulkan pasal-pasal hukuman
mati dalam rancangan undang-undang. "Jangan hanya digelindingkan, harus ada langkah
konkretnya," ujar Aziz kemarin.
Namun sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, berpendapat beda. "Hukuman mati
harus ditolak," kata dia. Alasannya, tak ada manusia yang berhak mencabut nyawa manusia
lainnya. Selain itu, dalam sistem pengadilan yang masih korup, orang yang tak bersalah bisa saja
dihukum mati.
Thamrin mengusulkan agar koruptor dihukum dengan cara-cara yang bisa membuat malu dan jera.
Misalnya, dibuat penjara khusus koruptor yang bisa dilihat orang ramai. Selain itu, pengadilan kasus
korupsi perlu menerapkan sistem pembuktian terbalik. Para tersangka atau terdakwa harus
membuktikan bahwa mereka bersih dari tuduhan korupsi. "Saya kira itu akan lebih mempunyai efek
jera yang berkelanjutan," kata Thamrin.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menyatakan hukuman mati
bertentangan dengan prinsip hak asasi. Hak seseorang untuk hidup, menurut dia, tak dapat
dilanggar dan ditunda pemenuhannya. APRIARTO MUKTIADI | Febriana Firdaus | EVANA DEWI
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/muhamad_baiul_hak/pro-kontra-remisi-
koruptor_57cf8567b47a61623e03a5fd
“Pro kontra remisi bagi koruptor menjadi ruang pencitraan pejabat publik. Mereka yang pro
remisi dituding tidak komitmen pada pemberantasan korupsi, sementara yang kontra diklaim
sebagai pahlawan antirasuah. Bagaimana regulasi mengatur ini? Benarkah rencana revisi PP
No. 99 tahun 2012 akan menguntungkan koruptor?”
tirto.id - Idul Fitri 2016 merupakan hari yang cukup melegakan bagi mantan Bendahara Partai
Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Meski belum bisa merayakan lebaran bersama keluarga,
tetapi Nazaruddin mendapat kado istimewa berupa remisi atau pengurangan masa tahanan
selama 1 bulan 15 hari.
“Nazaruddin sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan remisi yaitu menjadi justice
collaborator dan mengembalikan uang hasil korupsi,” kata Kepala Bagian Humas Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan, M. Akbar Hadiprabowo, seperti dikutip Antara.
Tak hanya tahun ini saja pria kelahiran 26 Agustus 1978 itu mendapatkan remisi. Pada lebaran
tahun 2015, Nazaruddin yang divonis 7 tahun penjara dalam kasus korupsi wisma Atlet SEA
Games 2011 itu juga mendapat pengurangan tahanan selama 1 bulan.
Dalam konteks ini, Nazaruddin memang lebih beruntung ketimbang koleganya di Partai
Demokrat. Di kasus yang sama, para koleganya, seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng,
dan Angelina Sondakh justru belum pernah mendapat remisi karena dinilai belum memenuhi
persyaratan.
Namun, selain menjalani masa pidana dalam korupsi wisma Atlet SEA Games, Nazaruddin juga
masih harus menjalani vonis 6 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap sebesar Rp40,37
miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek tahun 2010 dan tindak
pidana pencucian uang pada 15 Juni 2016 lalu.
Pertanyaannya adalah apakah pemotongan masa hukuman bagi Nazaruddin termasuk kategori
obrol remisi? Untuk menjawab ini, kita harus mengacu pada persyaratan remisi yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Secara umum, persyaratan narapidana mendapatkan remisi diatur dalam Pasal 34 ayat (2) dan
(3). Namun, bagi terpidana korupsi, ada persyaratan khusus seperti diatur dalam Pasal 34A ayat
(1). Salah satu persyaratan yang harus dilalui terpidana korupsi adalah mereka harus bersedia
bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya. Selain itu, terpidana korupsi juga telah membayar lunas denda dan uang pengganti
sesuai dengan putusan pengadilan.
Kementerian Hukum dan HAM menilai, Nazaruddin telah memenuhi kriteria di atas. Mantan
Bendahara Partai Demokrat ini dinilai sudah memenuhi persyaratan tambahan tersebut karena
bersedia menjadijustice collaborator dalam kasus korupsi wisma Atlet SEA Games yang
menyeret banyak politisi tersebut.
Artinya, meskipun dengan persyaratan yang cukup ketat, terpidana korupsi masih memiliki
kesempatan untuk mendapatkan remisi yang menjadi hak narapidana. Lantas, apa yang menjadi
alasan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly begitu “ngotot” ingin merevisi PP Nomor 99
tahun 2012 yang dinilai sudah cukup ideal itu?
Jawaban pertanyaan di atas memang tidak mudah, karena rencana Yasonna tersebut bukan
sesuatu yang tiba-tiba muncul. Sejak awal 2015 lalu, ia sudah mengungkapkan niatnya untuk
mengubah PP yang dirancang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Akan tetapi, ide
Yasonna saat itu langsung mendapat kecaman publik, sehingga niat tersebut diurungkan.
Namun, saat ini pihaknya kembali mewacanakan ingin merevisi PP Nomor 99 tahun 2012 ini.
Kemenkumham menilai, PP tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Selain itu, pembuatan PP tersebut juga dinilai tidak melalui
syarat prosedur formal, karena tidak melibatkan para pakar terlebih dahulu.
Intinya, Kementerian Hukum dan HAM di bawah komando Yasonna Laoly akan merevisi PP
yang mengatur pengetatan soal remisi bagi koruptor ini. Yasonna menginginkan PP tersebut
harus disesuaikan dengan yang tertuang di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995.
“Intinya kami harus meletakkan keadilan bagi semuanya. Tapi prosedurnya harus jadi satu.
Kedua jangan sampai [PP] itu bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya. Itu saja,”
ujarnya seperti dilansirkompas.com.
Ide Yasonna ini tentu kembali menuai protes dari banyak pihak, termasuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK, Agus Rahardjo menolak pemberian remisi kepada
koruptor karena dinilai akan menghilangkan efek jera yang ingin ditanamkan lembaga antirasuah
tersebut.
Terlepas dari pro kontra di atas, seharusnya wacana pemerintah tersebut diarahkan menjadi
ruang evaluasi bersama terkait pemberantasan korupsi selama ini. Sebab, problem penegakan
hukum tindak pidana korupsi tidak hanya soal pro kontra pemberian remisi, namun juga
terkait hasil monitoringperadilan ICW pada periode Januari-Juni 2016 yang menemukan fakta
bahwa tren vonis korupsi semakin ringan dan menguntungkan koruptor.
Temuan tersebut mengkonfirmasi bahwa ada persoalan serius yang tidak kalah pentingnya dari
soal pemberian remisi ini, yaitu tren vonis korupsi yang semakin ringan. Dengan kata lain,
jangan sampai pro kontra revisi PP 99/2012 hanya menjadi ajang pencitraan bagi pejabat publik
di media massa, sehingga muncul anggapan “mereka yang pro remisi dituding tidak komitmen
pada pemberantasan korupsi, sementara yang kontra diklaim sebagai pahlawan antirasuah.”
Ajang pencitraan pejabat publik dalam pro kontra revisi PP 99/2012 ini dapat dilihat dari
pernyataan para politisi dan pejabat publik di media massa. Karena tak sedikit para politisi yang
mengkritisi usulan Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak memberikan solusi terkait
persoalan tersebut.
Misalnya, salah satunya adalah Ketua DPR RI, Ade Komaruddin. Sekilas, pernyataan politisi
Partai Golkar ini memang cukup populis karena menolak ide Yasonna Laoly yang hendak
mengkaji ulang persyaratan pemberian remisi yang diatur dalam PP 99/2012. Ia menilai, rencana
pemerintah memberikan kemudahan remisi bagi terpidana kasus korupsi sebagai tindakan yang
tidak bijaksana. Namun, ia tidak memberikan solusi, bahkan tidak menyinggung soal tren vonis
yang rendah bagi koruptor tersebut.
Selain Ade Komaruddin, ada juga Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan. Pria yang juga menjabat
sebagai Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai, ketimbang mempermudah
pemberian remisi bagi terpidana korupsi, lebih baik pemerintah berpikir dan mengkaji pemberian
remisi bagi para terpidana kasus narkoba, khususnya bagi para korban atau pemakai.
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam posisi yang berseberangan dengan dua politisi di
atas. Kalla berani pasang badan terkait rencana pemerintah yang akan merevisi PP 99/2012
tersebut. Kalla mengatakan, koruptor berhak mendapatkan remisi meskipun pidana korupsi
termasuk kejahatan yang luar biasa.
Menurut Kalla, tujuan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi adalah agar terpidana
memperlihatkan disiplin selama menjalani masa tahanan. Selain itu, sekaligus untuk memberi
kesempatan kepada koruptor bertobat dari sisi moral atau berkelakuan baik.
Terlepas dari ajang pencitraan para pejabat publik dan politisi di atas, semestinya pro kontra
revisi PP 99/2012 menjadi momentum untuk mengevaluasi penegakan hukum korupsi secara
komprehensif.
Pengetatan remisi bagi koruptor tidak akan memberikan efek jera, jika vonis bagi terpidana
korupsi ringan. Sebaliknya, pemberian remisi tidak akan membuat koruptor lega, jika sejak awal
vonis hakim terhadap terpidana korupsi maksimal atau berat.
Intinya, jangan biarkan koruptor mendapat hukuman ringan dan mudah dapat remisi.
Baca juga artikel terkait REVISI PP REMISI atau tulisan menarik lainnya Abdul Aziz
(tirto.id - abd/nqm)
JAKARTA (netralitas.com) - Pemerintah berencana ingin melakukan revisi terhadap
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No
32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Salah satu poin dalam PP tersebut yakni tentang syarat remisi bagi
pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
Menanggapi hal ini Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan mengatakan lebih baik mempermudah
syarat remisi bagi pengguna narkoba dibanding para koruptor. Hal ini dikarenakan 70
persen penghuni lapas merupakan pengguna narkoba.
"Tentu saya kira perlu ada revisi untuk pengguna (narkoba), yang lain-lain tentu kita rasa
tidak perlu," ujarnya di gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (12/8).
"Mereka mengadu pada saya. 'Pak bagaimana, kami ini pengguna, kalau pengedar atau
bandar itu silahkan, ini pengguna, pengguna itukan korban'," jelas Zulkifli.
Namun Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly berpendapat untuk memberikan remisi
terhadap narapidana koruptor. Alasannya berdasarkan UU No 12 tahun 1995 setiap napi
memiliki hak mendapatkan remisi sehingga PP 99/2012 yang membatasi remisi untuk napi
koruptor bertentangan dengan UU.
"Setiap napi yang memiliki hak bebas, hak remisi," ujar Laonny menanggapi revisi PP
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.