Anda di halaman 1dari 7

I.

RESEP

Resep adalah permintaan tertulis seorang dokter, dokter gigi atau dokter hewan yang di beri
izin berdasarkan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk
menyediakan dan menyerahkan obat-obatan bagi penderita.

Resep di sebut juga formulae medicae :


 formulae officinalis (yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainya dan
merupakan standar)
 formulae magistralis (yaitu resep yang ditulis oleh dokter).
Resep selalu di mulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambilah). Umumnya resep di tulis dalam
bahasa latin. Suatu resep yang lengkap harus memuat:
• Nama,alamat dan nomor izin resep dokter dokter gigi atau dokter hewan
• Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
• Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
• Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
• Nama pasien, jenis hewan, umur, serta alamat/ pemilik hewan
• Tanda seru pada paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya
melebihi jumlah maksimal

Pembagian suatu resep yang lengkap:


1) Tanggal dan tempat di tulisnya resep (inscripto)
2) Aturan pakai dari obat yang tertulis (signatura)
3) Paraf/tanda tangan dokter yang menulis resep (subcriptio)
4) Tanda buka penulisan resep dengan R/ (invecatio)
5) Nama obat, jumlah dan cara membuatnya (praescriptio atau ordinatio)

Resep untuk pengobatan segera


untuk penderita yang butuh pengobatan segera dokter dapat
memberi tanda:
cito : segera ; urgent : penting ; Statim : penting; P.I.M : Periculum in Mora = berbahaya bila
di tunda

Ditulis pada bagian kanan atas resep, Jika dalam resep di tulis Iteratie. Dan di tulis berapa
kali resep boleh di ulang. Misalkan iteratie 3X, artinya resep dapat di layani 1+3 kali ulangan
4X. Untuk resep yang mengandung narkotika, tidak dapat di tulis dengan interatie tetapi
selalu dengan resep baru.

Komponen resep menurut fungsi


Menurut fungsi bahan obatnya resep terbagi atas:
 Remidium cardinal, adalah obat berkasiat utama
 Remidium ajuvans, adalah obat yang menunjang bekerjnya bahan obat utama
 Corrigens adalah zat tambahan yang di gunakan untuk memperbaiki warna, rasa dan bau obat
utama.
 Corigen actionis, di gunakan untuk memperbaiki kerja zat berkasiat utama
1. Corrigen odoris, di guinakan untuk memperbaiki bau dari obat
2. Corrigen saporis, di gunakan untuk memperbaiki rasa obat
3. Corrigen colloris, di gunakan untuk memperbaiki warna obat
4. Corrigen solubilis, di gunakan untuk memperbaiki kelarutan dari obat utama.
5. Constituens/ Vehiculum/ Exipiens, merupakan zat tambahan.
SALINAN RESEP (COPY RESEP)
Salinan resep adalah salinan obat yang di buat oleh apotek, selain memuat semua keterangan yang
terdapat dalam resep asli juga harus memuat:
1) Nama dan alamat apotek
2) Nama dan nomor izin apoteker pengelola apotek
3) Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotik
4) Tanda det (detur) untuk obat yang sudah di serahkan dan tanda nedet (nedetur) untuk
obat yang belum di serahkan, dengan resep pada tanda ITER….X di beri tanda detur
orig/detur…..
5) Nomor resep dan tanggal pembuatan
Istilah lain dari coppy reep apograph, exemplum, afschrif.
Penandatanganan atau pencantuman paraf pada salinan resep dapat di lakukan oleh apoteker
pendamping atau apoteker pengganti dengan mencantumkan nama terang dan status yang
bersangkutan. Dengan catatan APA berhalangan.
Salinan resep hanya boleh di perlihatkan kepada dokter penulis resep, yang merawat
penderita, penderita sendiri dan petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku (contohnya petugas pengadilan bila di perlukan untuk suatu
perkara.

PENYIMPANAN RESEP
Resep harus di simpan sekurang-kurangnya selama 3 tahun, disusun menurut urutan tanggal
dan nomor urut penerimaan resep.
Resep yang mengandung narkotika harus di pisahkan dari resep lainnya. Resep yang di
simpan melebihi jangka 3 tahun dapat di musnahkan.
Pada pemusnahan resep, harus di buat berita acara pemusnahan rangkap 4 dan di tanda-
tangani oleh APA bersama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotik

II. TABLET
TABLET (MENURUT FI III)

Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung
pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat
pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok.

TABLET (MENURUT FI IV)

Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi.
Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa.

Tablet merupakan bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangannya didalam
mendesain dan membuatnya. Misalnya kesukaran untuk memperoleh bioavailabilitas penuh dan
dapat dipercaya dari obat yang sukar dibasahi dan melarutkannya lambat, begitu juga kesukaran
untuk mendapatkan kekompakan kahesi yang baik dari zat amorf atau gumpalan. Namun
demikian, walaupun obat tersebut baik kempanya, melarutnya, dan tidak mempunyai masalah
bioavailabilitas, mendesain dan memproduksi obat itu masih penuh tantangan, sebab masih banyak
tujuan bersaing dari bentuk sediaan ini.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN TABLET
Keuntungan:
1. Tablet merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan terbaik dari
semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas kandungan yang
paling rendah.
2. Tablet merupakan bentuk sediaan yang ongkos pembuatannya paling rendah.
3. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang paling ringan dan paling ringan.
4. Tablet merupakan bentuk sediaan oarl yang paling mudah dan murah untuk dikemas dan
dikirim.
5. Pemberian tanda pengenal produk pada tablet paling mudah dan murah; tidak memerlukan
langkah pekerjaan tambahan bila menggunakan permukaan pencetak yang bermonogram
atau berhiasan timbul.
6. Tablet paling mudah ditelan serta paling kecil kemungkinan tertinggal di tenggorokan,
terutama bila bersalut yang memungkinkan pecah/ hancurnya tablet tidak segera terjadi.
7. Tablet bisa dijadikan produk dengan profil penglepasan khusus, seperti penglepasan di
usus atau produk lepas lambat.
8. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang paling mudah untuk diproduksi secara besar-
besaran.
9. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang memiliki sifat pencampuran kimia, mekanik,
dan stabilitas mikrobiologi yang paling baik.

Kerugian:
1. Beberapa obat tidak dapat dikempa menjadi padat dan kompak, tergantung pada keadaan
amorfnya, flokulasinya, atau rendahnya berat jenis.
2. Obat yang sukar dibasakan, lambat melarut, dosisnya cukupan atau tinggi, absorbsi
optimumnya tinggi melalui saluran cerna atau setiapn kombinasi dari sifat diatas, akan
sukar atau tidak mungkin diformulasi dan dipabrikasi dalm bentuk tablet yang masih
menghasilkan bioavailabilitas obat cukup.
3. Obat yang rasanya pahit, obat dengan bau yang tidak dapat dihilangkan, atau obat yang
peka terhadap oksigen atau kelembaban udara perlu pengapsulan atau penyelubungan
dulu sebelum dikempa (bila mungkin) atau memerlukan penyalutan dulu. Pada keadaan
ini kapsul dapat merupakan jalan keluar yang terbaik dan lebih murah.

Kesimpulan dari keuntungan dan kerugian tablet dibandingkan dengan bentuk


sediaan oral lainnya, ternyata tablet benar-benar memberikan keuntungan dalam bentuk
tempat/ ruangan yang paling kecil yang diperlukan untuk penyimpanan, tablet juga mudah
diberikan dan dikontrol, mudah dibawa, dan ongkosnya rendah. Bagi dokter dosisnya
fleksibel (tablet dapat dibelah dua), serta dosisnya tetap.

III. SEDIAAN PARENTERAL


Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute
pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan intradermal. Apabila injeksi
diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan
itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam
sirkulasi. Cara ini sesuai utnuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik.
Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia.
Ahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler, begitu
juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa
larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari disamping atau
lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu
atau lebih lapisan kulit atau membrane mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang
sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membrane mukosa, maka kemurniaan yang sangat
tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain
harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil sedangkan
apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang biasa diberikan secara
intravena.
Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang
memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari
mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun
harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan
teknik aseptic.
Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja memberikan reaksi demam
atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan
oleh adanya fragmen dinding sel bakteri yang disebut “endotoksin”. Adanya endotoksin yang
ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama proses produksi terjadi
kontaminasi mikroba pada produk. Oleh sebab itu dalam proses produksi sediaan parenteral
diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral dan etik professional yang
tinggi.
2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap.
3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril.
4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi.
5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin.
6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan mutu produk dan harus
memenuhi keabsahan prosedur produksi.

Pengertian
Injeksi (FI) adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan
melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut dan
disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda.

Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka, antara lain
Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka tersebut di dalam antara kurung dan
lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemebrian ini bukan dimaksudkan agar dapat
menyuntikkan dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk ditinjau
secara farmasis
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan ukuran yang
tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas. Untuk jelasnya dapat
diikuti uraian masing-masing rute pemberian injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang dapat digunakan
untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin, skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya.
Injeksi subkutis biasanya diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh
lebih dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi ½ sampai 1 inci (1 inchi =
2,35 cm)
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk) mendekati kondisi
faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan larutannya isotoni dan dapat
ditambahkan bahan vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler atau intravena.
Namun apabila cara intravena volume besar tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan
untuk pemberian elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut hipodermoklisis,
dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka pemberiannya harus hati-
hati. Cara ini dpata dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya terhitung nomor 2
sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah
lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3
ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih
dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah
kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting
bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk
sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m,
suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril. Pemberian intramuskuler
memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2
jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi
produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume injeksi,
tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena
masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang
dari 50 mikron.

3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan efek segera. Dari segi
kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan
secara intrakutan atau intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka pemberian antidotum
mungkin terlambat. Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk
infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan samapi 5 ml diberikan 1 ml/10 detik,
sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk
pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu.
Kalau dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.

4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa temapt. Cara ini berbeda
dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya
yang sangat tinggi, karena dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai tekanan barik
lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh
sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat diabsorbsi. Sediaan
intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal, im,sc, dan intradermal

6. Intradermal
Capa penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian lebih kecil dan sc,
absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat dicapai sangat lambat.

7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal. Digunakan
untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan
secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke
dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.

Keuntungan dan kerugian


Keuntungan
 Respon fisiologis obat dicapai, jika diperlukan sehingga merupakan pertimbangan khusus
untuk pasien jantung, asma, shcok, pingsan.
 Terapi parenteral menemukan obat-obatan yang bukan hanya efektif melalui mulut atau
dirusak oleh saluran cerna seperti insulin, hormon dan antibiotik.
 Obat-obatan yang tidak kooperatif menimbulkan mual, muntah atau pasien tidak sadar harus
diberikan IV
 Bila diinginkan terapi parenteral memberikan kesempatan kepada dokter utnuk mengontrol
obat tersebut sehingga pasien harus kembali utnuk pengobatan selanjutnya.
 Dapat memberikan efek local seperti pada pembedahan gigi dan anestesi
 Dalam kasus dimana diinginkan efek obat diperpanjang, bentuk steroid yang berefek lambat
secara intraartikular dan golongan penisilin yang berefek lama jika diberiakn secara i.m
 Juga merupakan cara pemberian yang sangat baik untuk cairan-cairan dan untuk
keseimbangan elektrolit.
 Bila bahan makanan tidak dapat diberikan melalu mulut maka total nutrisi dapat diberikan
secara parenteral
Kerugian
 Sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti waktu dan cara
pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah terlatih.
 Bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan efek fisiologisnya
 Sediaan parenteral merupakan sediaan mahal karena preparasi dan pembuatan secara khusus
seperti menggnakan kemasan yang khusus dengan dosis yang sudah diatur sesuai kebutuhan
 Terapi parenteral akan meniulkan komplikasi dari beberapa penyakit seperti infeksi jamur,
bakteri sehingga interaksinya tidak bisa dikendalikan
 Kemajuan dalam manufaktur atau pabrikasi atau kemasan menimbulkan beberapa masalah
dalam sterilitas, partikulasi, pirogenitas, sterilisasi dll.
Sumber :
1. Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
2. Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
3. Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess
Publishing Co, USA.
4. Jenkins, G.L., (1969), Scoville's:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
5. Gennaro, A.R., (1998), Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck
Publishing Co, Easton.
6. Tjay, T.H., (2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
7. Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI,
Jakarta.
8. Kibbe,A.H., (1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press,
London.
9. Lachman, L, et all, (1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third
Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
10. Turco, S.,dkk., (1970), Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
11. Parfitt,K., (1994), Martindale The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy
Press.
12. Groves,M.J., ( ), Parenteral Technology Manual, Second Edition, Interpharm Press.

Anda mungkin juga menyukai